POV YUMNA
.
Aku tidak tahu bagaimana cara menemukan jati diri. Lalu, aku harus mencari di mana dan bagaimana caranya?
Pun tentang kata orang bahwa masalah membuat kita dewasa. Lantas, bagaimana cara kita tahu kalau diri sudah dewasa? Tetap bersikap bijak di kala kesedihan melanda?
Tidak semudah itu.
Serupa dokter spesialis, mereka pasti tidak bisa tenang ketika yang ditangani adalah keluarga atau ibunya sendiri. Bagaimana mungkin bisa kompeten jika hati dirundung kegelisahan apakah pasien akan selamat atau tidak?
Mungkin ada, tetapi hanya sedikit.
"Tadi mas ketemu sama Ilham loh," ucap Mas Dika menghampiriku yang baru saja menyalakan tv.
"Kok bisa, Mas?"
"Dia datang ke percetakan. Kalau dilihat dari napasnya, dia kayak kekejar setan. Dia bilang mau bicara sesuatu tentang Nurul. Bahkan katanya kalau mas gak dengerin dia kamu bakal kena masalah dan sahabatmu akan dihadang orang lagi."
Aku memutar otak menc
Jumat pagi biasanya aku membaca al-qur'an, kali ini tidak karena ada pesanan kue pastel untuk acara syukuran. Ibu memang menerima pesanan kue sejak enam tahun yang lalu. Tiba-tiba pintu rumah terketuk sangat keras, aku sampai ketakutan mengingat di film-film tamu yang berlaku seperti itu biasanya rentenir. Apakah ayah atau Mas Dika meminjam uang? Aku mengekor ibu karena tidak tega juga membiarkannya membuka pintu sendirian. Dengan basmalah kami membukanya berharap hanya tamu biasa. "Mana Dika?!" tanya seorang ibu-ibu yang aku tidak kenal siapa namanya. Dia bersama seseorang, mungkin anaknya. "Dika lagi kerja, Bu. Ini ada apa ya, datang menggedor pintu rumah kasar nanyain Dika juga." "Anak Ibu itu gak ada sopan santunnya!" omel ibu-ibu itu. "Maksudnya apa ya, Bu?" Aku ikut membuka suara karena tidak suka melihat orang bicara kasar di depan orangtuaku. Ibu-ibu itu memperkenalkan diri, oh ternyata namanya Bu Ajeng, sementara anakn
"Bu Wenda apa gak mau taubat? Bentar lagi bulan ramadan, loh!" sungutku kesal. "Gak usah sok-sokan ceramah kalau kalian saja gak lepas dari dosa!" timpal Bu Wenda. Aku tidak mengerti apakah Bu Wenda tulus meminta maaf kala itu. Jujur, dalam hati kesal juga bertetangga dengan mereka semua. Aku sampai bingung bagaimana cara menghentikannya. Kami memang banyak dosa, tetapi belum pernah memfitnah orang lain apalagi karena mendengar cerita dari satu sisi. Aku sangat ingin semuanya berakhir. "Lah lah lah, apa ini?" Andin tiba-tiba muncul di antara ibu-ibu. Dia terus melangkah hingga berdiri di samping Rara. "Ra, ngapain lo di sini?" Rara membisikkan sesuatu ke telinga Andin membuat sepupuku itu melotot sempurna. Aku juga bingung kenapa dia ada di sini biasanya lebih banyak menghabiskan waktu di luar karena orangtuanya sibuk. "Gue nuntut Dika karena sudah ngelecehin, Din," jawabnya dengan suara parau. Aku menyikut lengan Andin, dia ha
"Jika gula tahu akan manisnya cinta, pasti ia tertunduk malu karena manisnya tak seberapa."–Maulana Jalaluddin Rumi.***Sehari sebelum ramadan, aku duduk termenung di depan rumah menghadap tanaman yang baru diletakkan ibu dalam pot subuh tadi. Entah itu pot besar atau kecil, yang pasti jumlahnya lumayan banyak.Mata terpejam menikmati angin sepoi yang tiba-tiba menyapa menyentuh kalbu. Bibir mengukir senyum seolah hidup tanpa beban. Genangan air menjadi saksi bisu bagaimana hujan mengguyur bumi malam tadi."Yumna!"Aku menoleh, lalu menyahut, "iya?""Bukankah tanaman bisa menjadi sebab pikiran tenang? Dia mengeluarkan oksigen yang kita butuhkan. Warna hijau pun terlihat begitu damai."Aku tersenyum menanggapi kalimat Andin. Bukan hanya itu, aku bahkan senang melihat tetes-tetes embun pada daun dan bunga yang mekar."Kalau saja cinta seperti itu ...," lirih Andin lagi."Cinta seperti apa yang kamu maksud, Ndin?" ta
Lelaki itu mematung di depan rumah, dia memeluk diri karena hanya memakai kaos lengan pendek. Ingin menawari masuk rumah, tetapi hari sudah semakin sore takutnya hujan kembali turun sampai dian terjebak di sini.Memalukan untuk seorang lelaki yang sudah beristri apalagi kami terlibat masa lalu yang diketahui semua orang sekitaran sini. Situasi saja masih memanas. Breaking Hot! Namun, untuk membiarkannya pulang rasanya terlalu kejam padahal dia mengantar Mas Dika."Pakai jaket ini biar gak terlalu dingin!" Mas Dika tiba-tiba menyembul keluar dengan jaket tebal dan berbulu kesayangannya."Tidak usah, Dik. Lagian hujannya sudah reda.""Hujan yang reda, hawanya masih kerasa!" ketus Mas Dika, "pake gih! Besok ramadan, mau lu gak tarweh nanti malam?"Jiyah. Masku sudah mulai gaya-gayaan pakai lu gue.Mas Ilham meraih jaket itu dan memakainya. Tanpa aba-aba lagi, dia kembali ke motor dan melaju dengan kecepatan sedang. Aku hanya bisa menatap sendu
"Jangan menoleh ke belakang. Tiada seorang pun tahu awal mula terciptanya semesta. Jangan takut masa depan, tiada yang abadi untuk selamanya. Jika sibuk dengan masa lalu atau masa depan, kau akan kehilangan hari ini." –Maulana Jalaluddin Rumi. *** Fajar menyingsing, aku menutup al-qur'an karena sudah harus menyapu halaman depan. Puasa pertama pasti berlalu sedikit berat karena kemarin masih bisa makan. Sungguh, aku bahagia karena berjumpa dengan ramadan. Di kala puasa, kita tidak hanya menahan lapar dan dahaga, melainkan berhenti mencari aib seseorang untuk dijadikan bahan cerita. Jangan marah pun jangan melakukan hal-hal yang bisa memakruhkan atau menghilangkan pahala puasa. Puasa sebagai ajang melatih diri untuk lebih bersabar lagi. Dengan puasa, kita juga tahu bagaimana rasanya menahan lapar sepanjang hari karena tidak memiliki uang. Ini untuk mengingat faqir miskin. Di bulan ramadhan, dosa dilipat ganda, dosa diampuni dan sebagainya. "Eh, ada Yumna lagi menyapu." Aku mengangka
Aku : Apa, Mas? Sampaikanlah! "Sebenarnya aku sudah menjatuhkan talak satu pada Nurul sepulang dari percetakan menemui Dika." Mas Ilham mengirim voice note, aku terkejut mendengarnya. Separah apa kesalahan Nurul sampai menjatuhkan talak padahal pernikahan mereka baru sepuluh hari? Aku tidak ingin mengetahui terlalu jauh, tetapi sepertinya memang ada kaitannya dengan kami, makanya Mas Ilham memberitahu. Aku hanya mengirim stiker terkejut karena tidak tahu mau bilang apa. Ingin memberi nasihat juga jangan sampai kena imbas atau mendapat tuduhan pura-pura peduli padahal mau menarik hatinya. Lagi, Mas Ilham mengirim voice note. "Ada sesuatu yang harus aku sampaikan dan tidak boleh lewat chat begini, nanti kedengaran sama Nurul. Ini ada kaitannya dengan Dika." Suara itu terdengar sangat pelan. Setelah satu menit berlalu, semua pesan ditarik Mas Ilham. Aku membalas memintanya datang saja. Dia menyetujui, semua pesan aku hapus, kemudian melangkah ke luar. Rupanya masih ada Kevin di sini
Mas Dika yang tadi masuk kamar tiba-tiba ke luar dengan memakai jaket. Dia mengajakku ikut serta, lalu menyambar kunci motor."Tunggu, Mas! Aku ganti baju sebentar."Mas Dika tidak menjawab, hanya mengangguk pelan. Gegas aku menuju kamar dan mengganti pakaian. Hanya lima menit takut kelamaan menunggu.Kami melaju dengan kecepatan sedang. Mas Dika seperti mencari sesuatu. Namun, dia tidak mau memberitahuku. Katanya, nanti juga akan tahu sendiri. Beruntung baru jam sembilan pagi, rasa lapar belum sampai puncak.Tiba-tiba motor direm mendadak. Aku memindai sekeliling dan melihat Nurul tengah berdiri tidak jauh dari kami. "Turun!" titah Mas Dika.Aku menurut saja tanpa mau bertanya. Seperti pasangan, Mas Dika malah menggandeng tanganku atau mungkin berniat melindungi. Kami mensejajarkan langkah mengikis jarak hingga tersisa satu meter saja."Tidak ada yang mau kamu sampaikan, Nurul?" Mas Dika memulai pembicaraan.Nurul terkekeh pelan. "Se
Aku sangat tidak sabar menunggu waktu berbuka. Bukan karena lapar, melainkan penasaran pada cerita ibu. Aku kasihan pada Mas Dika yang tidak pernah ke luar kamar selain salat berjamaah ke masjid, dia nampak sedih sekali. Paling tidak kalau mengetahui cerita sebenarnya, akan mudah menemukan solusi. Itulah mengapa aku penasaran bukan semata-mata mencari tahu aib seseorang. Ketika menunggu, waktu berputar begitu lambat. Aku merasa sudah seharian duduk di meja makan menanti waktu berbuka puasa padahal sebenarnya baru satu jam. "Panggil Dika, lima menit lagi azan magrib!" "Iya, Bu." Aku melangkah pelan menuju kama Mas Dika. Pintunya masih tertutup juga dikunci. Berulang kali aku ketuk baru terbuka. "Mas, sebentar lagi buka puasa." "Iya, mas juga tahu itu!" ketusnya. Tidak ada pilihan lain kecuali mengekor di belakang saja. Aku harus bisa memaklumi bahwa Mas Dika tengah dilanda masalah berat, tentu suasana hatinya sedang tidak bersahabat. Kami berempat duduk di meja makan, bedug lang
"Ibu, apa lamaran Gus Hanan ditolak saja?" tanyaku ragu-ragu.Selama ini sibuk menimbang hingga sekarang masih belum menemukan jawaban padahal ba'da dzuhur mereka akan datang sesuai janji Gus Qabil malam tadi. Jejak kenangan terus tereja dalam memori sejak waktu terasa tak berdetak begitu Mas Dika menyampaikan unek-uneknya."Apa alasanmu menolak lamaran Gus Hanan? Dia baik agama dan akhlaknya. Lantas tidak takut jika kelak musibah menimpa kamu? Beliau akan datang bersama Kyai Sholeh, apa berani menolak?"Aku diam, semua yang dikatakan ibu ada benarnya. Namun, bagaimana dengan Mas Dika yang kehilangan cahayanya? Apakah ditakdirkan hidup sebagai mentari redup?"Bu, aku belum mencintai Gus Hanan dan malu pada keluarganya yang semua orang berilmu. Coba Ibu bayangkan dilamar putra kyai yang sangat disegani. Semua orang akan mengira aku bodoh, tetapi memang sulit menjalaninya," lirihku."Apa maksudmu menolak lamaran Gus Hanan?" Pertanyaan Mas Dika berhasil meluruhkan air mata yang sejak tadi
"Maaf, Mas. Haram melamar pinangan orang lain," gumamku berhasil membuat Mas Ilham membisu.Selama ini aku tidak pernah menduga akan dilamar untuk kali ketiga. Padahal sudah banyak waktu terlewat menuai luka yang begitu dalam.Aku menunduk, tidak sanggup menatap wajah yang penuh kedukaan apalagi jika melihat mata Mas Ilham. Pasti ada perih yang seketika membelenggunya. Aku memejamkan mata berusaha menenangkan diri."Carilah perempuan lain, Ham. Yumna sudah dilamar Gus Hanan. Jawabannya sudah ada hanya belum menyampaikan.""Tapi aku cinta ....""Cinta saja tidak cukup. Takdir yang menentukan sementara kita menjalani. Tiada cinta tanpa pengorbanan. Mungkin memang ini yang sudah menjadi takdirmu. Terima saja walau perih merajai hati." Penjelasan Mas Dika cukup bisa membungkam lelaki itu.Masalah kesungguhan hati, aku bjsa merasakannya. Dia memeriksakan diri, kemudian kembali dengan sejuta harapan berujung nestapa. Kejujuran memang a
"Diamlah! Cinta adalah sebutir permata yang tak bisa kaulemparkan sembarangan umpama sebutir batu." –Jalaluddin Rumi.***"Mas, janji loh ya temani ke toko jilbab. Aku tuh mau pakai jilbab baru saat menerima lamaran!" teriakku sambil mengetuk pintu kamar Mas Dika.Tidak ada sahutan padahal sudah puku sepuluh siang. Kalau terus-terusan begini lebih baik pergi sendiri. Aku meminai sekliling rumah mencoba menemukan kunci motor. Nihil."Mas, kunci motor ada di kamu?" teriakku kesal.Bukannya menjawab, Mas Dika malah tertawa jahat. Aku semakin kesal sampai menendang daun pintu tersebut. Rengekanku tidak berarti lagi, Mas Dika kekeuh menutup pintu.Sialnya karena ayah ibu tidak ada di sini, jadi dia bebas berulah. Berulang kali aku memutar otak agar bisa menemukan cara, tetap gagal. Memang ada satu lagi, tetapi tidak meyakinkan.'Coba saja! Kalau gagal, gak apa!', bisik hati nuraniku.Pintu kamar kembali kuketuk. "Ya udah, engg
Ada pesan What$app dari Nurul yang izin bertamu jam dua siang. Sebenarnya it's okay, hanya saja nanti Mas Dika marah. Permintaannya ditolak, tetapi tetap juga datang.Sekarang dia ada di depanku. Mas Dika yang mendengar kabar kedatangan Nurul buru-buru masuk kamar dengan membanting pintu kasar. Aku sampai terperanjat dan mengelus dada."Aku mau ke Amerika minggu depan, Yum. Sebelum ke sana, tolong maafkan aku. Sampaikan pada Mas Dika juga ibu dan ayahmu." Nurul memulai percakapan dengan mimik datar."Serius?" tanyaku kaget.Dia mengangguk. "Sebelum ke Amerika, aku sudah harus selesai mengunjungi semua orang yang pernah kubuat sakit hati. Aku ingin memulai lembaran baru, maka harus meninggalkan Indonesia.""Mas Ilham sudah tahu?" Walau mereka sudah cerai, aku tidak tahu kenapa menanyakan itu. Nurul menggeleng lemah."Di sana nanti sama siapa?""Saudaranya mendiang ibu." Setelah itu Nurul menyodorkan sebuah surat. Katanya buat Mas Dika.
Sepulang dari belanja, aku kaget melihat banyak ibu-ibu kumpul di depan rumah seperti acara bagi sembako. Kali ini masih dipimpin Bu Wenda dan Bu Arin. Mereka selalu berulah seperti akan sekarat jika sehari belum menggibah atau fitnah orang lain. Andin ikut singgah dengan beberapa belanjaan dan itu mengundang perhatian mereka sambil berbisik-bisik. Aku hanya bisa diam karena belum tahu duduk masalahnya. "Mas Dika mana, Bu?" tanyaku setelah menyadari ibu menghadapi mereka semua sendirian. "Masmu lagi ke luar beli ... ibu lupa." "Jawab dong, Bu kenapa sampai cerai sama ayah Dika?" Mataku membulat sempurna mendengar mereka. Pantas saja kumpul seperti orang unjuk rasa, ternyata kepo tingkat dewa. "Wah, Yumna langsung belanja banyak setelah menerima uang dari ayah Dika. Baru pertama seumur hidup ya?" Aku tidak tahu siapa yang melempar pertanyaan itu. Hati mendadak panas, aku meremas gamis sendiri agar bisa menguasai diri. Mereka semua sudah kelewat batas. Semua belanjaan kuserahkan
"Mas, kamu mau ngerebut ayah, kan?" tuduh Nurul yang sengaja bertamu ke rumah kami"Apa katamu? Aku ngerebut ayah?" Mas Dika terkekeh pelan dengan tatapan nyalang. "Ayahku cuma satu dan sedang bekerja. Mentang Pak Fajar itu orang kaya lantas aku akan merebutnya? Sorry, aku gak matre kayak kamu!"Tetangga ada yang melihat kami dari kejauhan, mungkin penasaran apa yang sedang terjadi. Ya, kabar Nurul sebagai adik Mas Dika belum menyebar, aku suka itu.Katanya Mas Dika ingin merebut ayahnya? Ambil saja Pak Fajar-mu itu! batinku kesal."Lalu, kenapa kamu menerima uang sepuluh juta dan ATM itu. Aku saja gak dikasih!" protes Nurul. Aku pikir dia benar berubah kemarin atau karena uang, makanya marah?Mas Dika hendak masuk rumah, mungkin mau mengembalikan apa yang diterimanya kemarin, tetapi aku mencekal sekuat tenaga. Setelah itu, melirik pada Nurul. "Mas Dika punya hak, bahkan lebih daripada kamu!" tegasku."Ibumu dicerai hidup, tetapi ibuku dicer
Tiga puluh lima menit berlalu, sebuah alphard hitam terparkir di halaman depan. Untuk rumah sesederhana ini, aku merasa tidak cocok jika ada mobil mewah di depan. Terlalu mencolok. Seorang lelaki paruh baya dengan perut sedikit besar ke luar dari mobil. Dia memakai kacamata minus. Jas warna abu muda dengan sepatu hitam. Penampilannya jauh berbeda waktu datang sama Nurul. Dia mengetuk pintu, mengucap salam tanpa tahu kami mengintip di balik jendela. Mas Dika membuka, aku bisa melihat tangannya yang gemetaran. Ketika daun pintu terbuka lebar, Pak Fajar terpaku sesaat memindai Mas Dika dari bawah ke atas. Detik selanjutnya, hanya tangisan yang sedikit menggema di rumah sederhana ini. Dia memeluk penuh kerinduan. Aku tidak tahu kenapa dulu beliau mengaku bujang padahal ibu penyayang. "Silakan duduk!" Mas Dika menyilakan Pak Fajar. Beliau duduk di depan kami. Bisa kulihat binar kebahagiaan di matanya, senyum pun merekah menciptakan keriput kecil di
22 08 22Aku suka tanggal itu karena angka di depan dan belakangnya sama persis, kemudian di antarai angka nol dan delapan yang tidak berujung. Jika diumpamakan ; 22 adalah sepasang kekasih, cinta pun sayangnya tiada ujung.Di tanggal itu pula Pak Fajar ditemani Nurul datang bertamu ke rumah mencari Mas Dika, sementara hanya ada aku dan ibu yang bibirnya terkatup rapat. Lelaki paruh baya ini sangat mirip dengan masku, Nurul mungkin tidak memikirkan itu sebelumnya."Sekali saja, Dahlia. Sekali saja aku ingin melihat Dika!" mohonnya."Maaf, Pak Fajar. Namun, Dika selama ini mengira ayahnya telah meninggal." Ibu menyahut setelah lima menit diam. Itu pun karena aku memegang tangannya.Pak Fajar mendesah berat, aku bisa melihat bagaimana dia tidak mudah putus asa atau menyerah jika butuh sesuatu. Nurul sejak tadi tidak pernah membuka suara, aku tidak tahu bagaimana caranya menyampaikan tentang Mas Dika pada ayah mereka.'Ayah mereka', aku tidak s
Mas Dika pulang ke rumah pukul tiga sore, sementara ayah katanya menyusul karena singgah dulu di rumah teman lama yang sefrekuensi. "Mas, tadi Nurul ada di sini loh nungguin kamu!" aduku ragu-ragu. "Ngapain nunggu mas? Gak ada urusan!" ketusnya. "Mas, dia kan adik kamu juga. Apa nanti Mas Dika berubah dan melupakanku apalagi kalau sudah menikah dengan Gus Hanan?" "Yumna, kamu itu ngomong apa sih?! Cuma kamu adik mas gak ada yang lain!" Suara Mas Dika meninggi, aku sedikit takut mendengarnya. Ibu memanggil Mas Dika, sementara aku melangkah cepat masuk kamar. Mungkin sekarang lebih baik mengabari Amel tentang fakta mengejutkan ini. Ketika sibuk dengan ponsel, aku teringat pada Mas Ilham. Sejak lamaran aku tolak, nomornya tidak pernah aktif lagi. Apalagi sekadar lewat atau menyapaku. Tidak ada kabar, Nurul pun seperti enggan memberitahu. "Halo, Amel. Apa aku mengganggu?" sapaku ketika panggilan tersambung. "Tidak, lagi san