"Cepat katakan di mana alamat rumah bordil itu berada!" teriak, Asisten Eki.Keduanya terdiam dan saling melirik. "Kami tidak tahu apa-apa, Tuan." ujar keduanya, takut."Oh, jadi kalian tidak mau jujur juga?" tanyanya, tajam."Pengawal, hajar mereka!" Beberapa orang mulai memberi pelajaran bagi keduanya karena memilih untuk diam. Namun salah satu dari antara mereka, mulai menyerah."Tuan, tolong jangan pukul saya lagi. Saya mau jujur tentang semuanya," lirihnya, sambil menahan sakitnya pukulan-pukulan dari para pengawal itu.Lalu dengan cepat, orang itu memberitahukan di mana alamat rumah bordil itu berada.Asisten Eki segera mencatat alamat yang mereka katakan."Coba jelaskan secara detail, di mana letaknya dan bisnis itu khusus untuk siapa?" tanya Asisten Eki, lagi.Karena sudah kepalang basah, keduanya pun kembali jujur.Salah satu diantara mereka, mengatakan jika rumah bordir itu, berada di salah satu perumahan mewah sehingga tidak ada yang curiga jika di dalamnya ada perbudakan
Dahlia dan Lilian adalah dua orang gadis cantik asal Bogor yang tinggal bersama sang nenek. Mereka adalah anak korban perceraian dari kedua orangtuanya yang menikah lagi dan telah memiliki pasangan masing-masing serta tinggal di kota lain.Sehingga sejak kecil, mereka diasuh oleh nenek Rukmini di sebuah rumah yang sangat sederhana.Dahlia berwatak keras, sembrono, dan sedikit tegas. Sedangkan Lilian berwatak lembut, pemalu, dan ramah. Saat ini, keduanya telah duduk di bangku SMA kelas tiga dan beberapa bulan lagi akan menamatkan pendidikan mereka di sana.Usia sang nenek sudah sangat renta dan sering sakit-sakitan. Selama ini, Nenek Rukmini menghidupi kedua cucunya dengan berjualan keripik talas khas camilan daerah Bogor dengan cara berkeliling kampung. Dahlia dan Lilian juga membantu Nenek Rukmini dalam mengolah dan menjual keripik tersebut. Meskipun sudah tua, Nenek Rukmini selalu berusaha kuat dan sehat demi kedua cucunya tercinta.Hari Senin yang cerah di sebuah SMA Negeri Bogor,
Dahlia dan Lilian berdiri di beranda rumah Nenek Rukmini, menatap halaman yang dipenuhi tanaman hias dan bunga-bunga. Matahari sore menyinari wajah mereka, memberikan cahaya hangat terakhir sebelum tenggelam di ufuk barat. Nenek Rukmini berdiri di pintu, tersenyum hangat namun matanya menunjukkan kesedihan yang mendalam."Jaga diri kalian baik-baik di Jakarta," tutur Nenek Rukmini sambil memeluk Dahlia dan Lilian secara bergantian dengan erat. "Kalian jangan lupa makan tepat waktu dan selalu saling menjaga.""Kami akan ingat, Nek," jawab Lilian dengan suara pelan, mencoba menahan air mata. "Terima kasih untuk semuanya,” ucap Dahlia.Lilian mengusap punggung Nenek Rukmini dengan lembut. "Doakan kami berhasil, Nenek."Nenek Rukmini mengangguk. "Nenek akan selalu mendoakan kalian. Kalian berdua, hati-hati di sana. Dunia luar tidak selalu seaman di sini."“Iya, Nek.” sahut keduanya serentak.Setelah berpamitan, Dahlia dan Lilian berdua berjalan perlahan menuju stasiun kereta api. Jalan
Setelah selesai makan, Dahlia mencoba untuk membayar makanan mereka.Namun, Si ibu berkata, “Kalian tidak perlu membayarnya. Anggap saja hadiah kecil dari saya. Apalagi kan, kalian baru saja kena copet,” tutur si ibu lagi.“Terima kasih, Bu. Ibu sangat baik kepada kami,” ucap Lilian dengan tersenyum. Namun berbeda dengan Dahlia yang seketika tidak senang dengan kebaikan perempuan itu.Ngomong-ngomong, kalau ibu boleh tahu, Mbak berdua ini tujuannya, ke mana?" tanya, sang ibu. “Tujuan kami belum pasti, Bu. Kami sedang mencari pekerjaan di sini,” tukas Dahlia."Wah … kebetulan sekali, Mbak, ada satu pabrik yang berada dekat di tempat tinggal lbu. Jika kalian mau, kalian bisa menginap malam ini di rumah Ibu," tawarnya kepada mereka. Namun Dahlia semakin curiga dengan sikap Si ibu yang begitu baik kepada mereka. Apalagi mereka baru saja kecopetan. Tentu saja tidak mudah untuk mempercayai orang baru.Seakan tahu kecurigaan dari Dahlia. Sang ibu itu pun berkata,“Kalian tidak usah takut
“Nak Junot, ini ketoprak pesanan Anda. Gado-gadonya, tunggu sebentar, ya!” seru Bu Jayanti.“Beres, Bu.” sahut Junot sambil mulai menyantap ketoprak itu sambil sesekali melirik ke arah sang gadis."Lilian, tolong ambilkan kerupuknya ya," suara lembut Bu Jayanti terdengar saat dia sibuk meracik bumbu gado-gado."Iya, Bu," jawab gadis itu dengan suara merdu, lalu dengan cekatan mengambil kerupuk dari dalam toples besar di meja.Junot mengamati setiap gerakan gadis itu. Nama Lilian terngiang di telinganya, begitu pas dengan kecantikan alami yang dimiliki gadis itu. Dia tak pernah merasa seperti ini sebelumnya, jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Lilian terlihat sangat berbeda dari gadis-gadis yang biasa ditemui olehnya sebelum, dengan kecantikan yang begitu tulus dan alami."Lilian, siapa ya?" tanya Junot dalam hati, penuh penasaran.Beberapa menit berlalu, Bu Jayanti datang menghampiri Junot sambil membawa piring gado-gado pesanannya."Ini, Mas Junot, gado-gadonya sudah jadi.
Junot melangkah keluar dari mobil sportnya, menatap rumah besar yang megah di depannya. Pilar-pilar tinggi dan taman yang tertata rapi menambah kesan elegan dan megah pada rumah tersebut. Namun, di balik keindahan itu, ada rasa kosong yang menyelimuti hatinya. Pintu depan yang berat dibukanya, dan dia pun melangkah masuk ke dalam rumah yang dingin dan sunyi.“Kembali kepada mode sunyi senyap!” sergah Junot tak semangat.Ruangan besar dengan langit-langit tinggi dan dekorasi mewah terasa begitu hampa tanpa suara kehidupan. Junot melepas sepatunya dan berjalan ke ruang tamu, berharap melihat kedua orang tuanya di sana, seperti di masa kecilnya. Namun, tak ada seorang pun di rumah itu. Papa dan mamanya sedang sibuk dengan aktivitas mereka di luar rumah, seperti biasa. Papa Alfonso sering kali terbang ke luar negeri untuk urusan bisnis, sementara Mama Belva kerap menghadiri acara sosial di berbagai tempat.Junot meletakkan tas kerjanya di sofa dan berjalan menuju kamarnya di lantai atas.
Pagi itu, sinar matahari menembus dedaunan, menciptakan bayangan-bayangan kecil di trotoar. Dahlia keluar dari rumah Bu Jayanti dengan perasaan campur aduk. Dia harus segera dan tidak lagi menjadi beban bagi Bu Jayanti dan Lilian saudaranya.Dengan tas kecil yang berisi beberapa dokumen penting dan sedikit uang, Dahlia melangkah keluar rumah. Jalanan sudah mulai ramai dengan aktivitas pagi. Mobil-mobil dan sepeda motor berlalu lalang, menciptakan hiruk-pikuk yang khas. Dahlia mengenakan pakaian yang rapi, mencoba terlihat seprofesional mungkin meskipun hatinya sedang gelisah. Dia tahu, mencari pekerjaan di kota besar ini tidaklah mudah.Langkahnya mantap meski hatinya sedikit gugup. Dahlia mulai menyusuri trotoar, matanya sesekali melirik ke arah toko-toko dan gedung-gedung perkantoran yang dilewatinya. Setiap kali dia melihat papan pengumuman yang bertuliskan "Lowongan Kerja" gadis itu berhenti sejenak, mencatat nomor telepon atau alamat yang tertera. Namun, pikiran tentang persainga
Senja mulai memudar, dan langit perlahan berubah menjadi kelam saat Noah dan Dahlia masih berdiri di tepi danau. Angin malam yang sejuk menyentuh kulit mereka, memberikan perasaan tenang setelah percakapan yang cukup intens. Dahlia sudah memaafkan Noah atas sikap kurang sopannya sebelumnya, dan kini mereka berdiri berdampingan, memandang air yang berkilauan di bawah sinar bulan yang mulai muncul."Terima kasih sudah memaafkanku, Dahlia," ucap Noah dengan nada tulus. "Aku benar-benar tidak bermaksud bersikap seperti itu tadi.""Tidak apa-apa, Noah. Aku mengerti, semua orang punya hari buruk," jawab Dahlia sambil tersenyum lembut. "Tapi, hari sudah mulai gelap. Bisakah kau mengantarku pulang?""Tentu saja, Dahlia. Motor gedeku di parkiran sana. Ayo kita pergi," ajak Noah sambil melangkah menuju tempat parkir.Namun, saat mereka hampir sampai di motor gede milik Noah, delapan orang pria bertampang preman muncul dari bayangan pohon-pohon yang ada di sekitar danau itu. Para pemuda itu mu
"Cepat katakan di mana alamat rumah bordil itu berada!" teriak, Asisten Eki.Keduanya terdiam dan saling melirik. "Kami tidak tahu apa-apa, Tuan." ujar keduanya, takut."Oh, jadi kalian tidak mau jujur juga?" tanyanya, tajam."Pengawal, hajar mereka!" Beberapa orang mulai memberi pelajaran bagi keduanya karena memilih untuk diam. Namun salah satu dari antara mereka, mulai menyerah."Tuan, tolong jangan pukul saya lagi. Saya mau jujur tentang semuanya," lirihnya, sambil menahan sakitnya pukulan-pukulan dari para pengawal itu.Lalu dengan cepat, orang itu memberitahukan di mana alamat rumah bordil itu berada.Asisten Eki segera mencatat alamat yang mereka katakan."Coba jelaskan secara detail, di mana letaknya dan bisnis itu khusus untuk siapa?" tanya Asisten Eki, lagi.Karena sudah kepalang basah, keduanya pun kembali jujur.Salah satu diantara mereka, mengatakan jika rumah bordir itu, berada di salah satu perumahan mewah sehingga tidak ada yang curiga jika di dalamnya ada perbudakan
"Cih! Tapi kan gue baru kali ini gue nggak fokusnya!" ujar Junot mencoba membela diri."Justru karena Anda berubah seperti ini, makanya mereka menjadi berubah juga Tuan Muda." tutur Asisten Eki."Makanya tadi saya katakan tolong Anda bisa memilah-milah dan bisa memisahkan mana yang menjadi prioritas dalam perusahaan dan mana yang tidak," lanjut, Asisten Eki.Junot terdiam sambil memegang kepalanya yang tiba-tiba terasa pusing."Lilian, ternyata kehilanganmu sangat menyakitkan bagiku, tapi aku harus bangkit! Aku tidak mau terpuruk terus seperti ini!" tegasnya, dalam hati."Asisten Eki, apakah masih ada jadwal meeting untuk sore ini?" tanyanya, kepada asistennya. "Ada Tuan Muda, meeting sore ini terkait dengan kerjasama kita dengan perusahaan yang berasal dari China." ujarnya, menjelaskan."Siapkan mobil ke lokasi meeting. Kita berangkat sekarang," seru Junot."Tuan Muda, apa Anda yakin akan menghadiri meeting sore ini?" tanya Asisten Eki kepada Junot."Tentu saja! Ayo buruan nanti kit
Junot kembali ke kantor dengan wajah kusut. Dia benar-benar tidak bersemangat hari ini.Bahkan dirinya membiarkan Asisten Eki yang memimpin rapat kali ini, sementara dia hanya menjadi pendengar setia.Junot malah asyik melihat-lihat ponselnya yang berisikan foto Lilian.Asisten Eki memperhatikan tingkah Junot yang tidak fokus tersebut. Padahal ini adalah meeting yang sangat penting."Tuan Muda, bagaimana pendapat Anda tentang penjelasan saya tadi?" tanya Asisten Eki kepada Junot selaku CEO di perusahaan itu."Mantap dan ok banget! Saya sangat setuju, Asisten Eki! Silakan lanjutkan lagi meeting nya." seru Junot asal. Padahal sebenarnya dia tidak tahu sama sekali mengenai apa yang sedang dibahas di ruang meeting tersebut.Asisten Eki dan beberapa orang di ruang meeting itu seketika melongo mendengar jawaban Junot yang tidak nyambung sama sekali.Junot yang langsung tahu jika dia salah ngomong langsung berbicara lagi, "Apakah saya salah ngomong, ya?" Dia, malah balik bertanya."Maaf,
“Dahlia, gue ... gue sangat menyesal telah melakukan pemaksaan itu kepada Lilian! Gue khilaf! Gue juga sangat menyesalinya.Tolong sampaikan permohonan maaf gue kepada Lilian. Please, tolong bantu gue kali ini." lirih Junot, sambil memelas."Ha-ha-ha, Lo pikir Lilian akan semudah itu memaafkanmu? Tidak segampang itu! Saat ini dia sangat terluka dengan apa telah Lo lakukan, kepadanya!" cecar Dahlia."Untuk itu, Lo bantu gue, Dahlia. Please ... Lo tahu kan, gue sangat menyayangi Lilian.""Bulshit! Jika Lo memang benar-benar menyayanginya, Lo tidak mungkin memaksanya melakukan apa yang tidak dia sukai! Asal Lo tahu, Lilian sangat trauma saat ini! Dan semua gara-gara, Lo!" hardik Dahlia lagi."Sial! Sial! Sial!" Junot merutuki perbuatan jahatnya kepada Lilian."Dahlia, menurut Lo apa yang harus gue lakukan sekarang?""Gue nggak tahu dan nggak mau tahu lagi! saran gue cuma satu, tolong jangan dekati Lilian lagi, lupakan dirinya! Jangan buat dia semakin membenci Lo!" seru Dahlia lantang.
"Papa dan Mama, kok tega banget sih!" kesal Sherly dalam hatinya."Maafkan aku, Sherly. Untuk sementara aku belum bisa memperjuangkanmu." gumam Doan, dalam hati."Sudah, kita jangan memikirkan hal itu dulu. Untuk sementara aku akan fokus untuk membesarkan perusahanku, sehingga tidak ada satu pun yang menganggap ku remeh lagi! Termasuk keluargamu!" tegas, Doan.Keluarga Sherly memang tidak menyetujui hubungan Doan dan Sherly karena pria itu berasal dari keluarga sederhana, sementara keluarga Sherly tergolong berasal dari keluarga berada. Untuk itu, Doan telah bertekad untuk membalas perbuatan keluarga Sherly yang merendahkannya, dengan kesuksesan yang pelan-pelan mulai diraih olehnya saat ini."Ayo, aku antar kamu," ucap Doan kepada sang pacar."I ... ya, Doan." Keduanya pun meninggalkan apartemen itu dengan perasaan yang berkecamuk.Sepanjang perjalanan keduanya terdiam dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Tak terasa mobil sampai tepat di depan kantor Sherly."Doan, aku masuk du
Padahal sesungguhnya selama ini Tuan Alfonso tidak ke mana-mana, hanya berada di rumah Puput dan bermesraan terus dengannya.Lalu keduanya mengakhiri panggilan itu dengan hati bahagia. Karena apa yang mereka inginkan telah terwujud."Kecurigaanku tidak terbukti, ternyata Alfonso tidak curiga kepadaku. Dan mungkin saja Junot hanya sekedar bertanya tadi." Demikian spekulasinya.Sang nyonya lalu melangkah masuk ke dalam toilet kamarnya untuk membersihkan dirinya.Di apartemen Doan,Pagi pun tiba, Sherly terbangun dan mendapati dirinya hanya sendiri di atas ranjang. Namun bunyi gemericik air shower terdengar dari dalam kamar mandi. "Sepertinya, Doan sedang mandi." gumamnya, pelan.Sherly yang dulu sudah biasa berada di apartemen Doan, segera mengambil inisiatif sendiri untuk membersihkan dirinya di toilet yang berada di kamar tamu.Dia lalu meraih paper bag yang telah disediakan oleh Doan kepadanya dan membawa ke dalam kamar itu.Sesampai di dalam kamar, Sherly lalu masuk ke dalam toilet
Di Kediaman Rivaldo,"Tuan muda, tolong makanlah, dari tadi pagi Tuan belum makan." seru Asisten Eki kepada Junot."Gue mau tidur! Gue nggak lapar!" sahut Junot malas."Tapi Tuan muda, hari sudah semakin malam, nanti Anda bisa saja masuk angin." serunya, lagi."Gue nggak peduli!" jawab Junot. Saat ini dia malah sedang asyik memandang foto Lilian yang dulu diam-diam dirinya foto."Tuan muda, jika Anda tidak makan, terus bagaimana Anda bisa mengejar cinta Nona Lilian, lagi?" tukas Asisten Eki, menakut-nakuti Junot."Maksud Lo, apa ngomong gitu?" tanyanya."Iya Tuan muda, jika Anda tidak makan, pasti tubuh Anda akan merasa lemah. Itu berarti Anda tidak bisa masuk kantor dan terbaring di kamar." "Terus apa hubungannya dengan Lilian?""Tentu ada hubungannya Tuan muda. Jika Anda berbaring terus di dalam kamar. Tuan Doan pasti akan semakin dekat dengan Nona Lilian. Apakah Anda mau jika itu terjadi?" tutur Asisten Eki lagi.Junot mulai berpikir jika apa yang dikatakan oleh sang asisten itu a
"Hanya perasaan kita saja yang sudah berbeda sekarang," lirih Sherly dengan wajah sedih."Masaklah sesukamu, aku pasti akan memakannya." sahut Sherly, lagi. Lalu dia duduk di mini bar yang ada di dapur Doan sambil menunggunya selesai memasak.Doan sejenak terdiam mendengar penuturan Sherly itu. Dia mencoba kembali menguasai dirinya dan mulai memasak masakan andalannya yang selalu gadis itu sukai.Setelah berkutat lama di dapur, akhirnya Doan selesai memasak.Dia lalu menata hasil masakannya di sebuah mini bar yang ada di dapurnya."Makanlah, selagi masih panas," seru Doan. Tak lupa dia menuangkan segelas air putih ke dalam gelas.Keduanya pun makan dalam diam, hanya terdengar suara dentingan sendok dan garpu yang sedang berlomba di atas piring keduanya."Rasa masakanmu tetap sama, aku tetap menyukainya." ujar Sherly memuji hasil masakan Doan yang memang sangat enak itu."Oh, ya? Jika kamu mau, kamu bisa mampir ke sini, kalau-kalau saja kamu merindukan masakanku," tawar Doan kepada Sh
Kedua bersaudara itu pun saling berpelukan pertanda mereka saling menguatkan. Ditengah berbagai masalah yang menderanya.Di Kediaman Rivaldo,Junot terbangun dari tidurnya dan melihat kondisi tangannya yang sudah terpasang selang infus.Dokter Adi dan Asisten Eki terlihat sedang tertidur di sofa. Tadi malam Junot mengamuk lagi. Asisten Eki terpaksa kembali menelepon dokter Adi untuk kembali memeriksa Junot. Dan karena takut sang bos kembali mengamuk, Asisten Eki pun meminta dokter Adi untuk menginap saja. Alhasil keduanya tidur di sofa kamar Junot saat ini.Junot melirik jam di dinding kamarnya. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi."Shit! Gue kok baru bangun! Padahal pagi ini gue harus menghadiri meeting penting." Asisten Eki juga terbangun diikuti oleh dokter Adi yang juga ikut bangun."Selamat pagi, Tuan Muda. Bagaimana keadaan Anda, pagi ini?" tanya dokter Adi."Sudah mendingan, dok." jawab Junot dingin."Tapi kenapa ya, dok? Badan saya terasa sakit semua?" tanyanya lagi.