Share

Fur Lyra - Yang digariskan untuk hancur
Fur Lyra - Yang digariskan untuk hancur
Author: Everdine37

1 - Malam Pernikahan

Author: Everdine37
last update Last Updated: 2022-02-10 16:51:27

Warning!

Cerita mengandung explicit content!

--

Aku Lyra.

Dan malam ini adalah malam pernikahannya.

--

Aku tiba 5 menit lalu bersama orang tuaku, mereka sudah menghambur menyalami pengantin bahagia itu. Sementara aku, memutuskan sedikit berdusta dengan mengatakan bahwa aku ingin ke toilet.

Nyatanya, sekarang aku berdiri disini, di sudut ruangan yang tidak terlalu remang di dekat gantungan coat, posisinya jelas tidak terlihat dari arah panggung pelaminan yang terlihat seperti pernikahan kerajaan. Dengan hiasan lampu gantung kristal yang berkilauan. Mewah dan elegan.

Dan aku melihat mereka dengan jelas dari sini, berusaha menahan air mataku untuk tidak keluar. Sial sekali kalau aku malah menangis di hari bahagia mereka. Itu akan sangat memalukan dan menimbulkan pertanyaan.

Di depan sana, mereka tersenyum bahagia saat melihat orang tuaku menyalami keduanya. Si mempelai lelaki sedikit kebingungan, tatapannya mencari ke sekitar namun Mama mengatakan sesuatu yang membuatnya mengangguk.

Namun sepertinya mempelai lelaki itu tau kalau aku berbohong, begitu orang tuaku pergi, ia kembali menatap sekitar dengan tatapan khawatir yang tidak bisa disembunyikannya, membuatku beringsut semakin bersembunyi di balik gantungan.

Tidak, ia tidak boleh melihatku.

"Soda, miss?" Seorang pelayan dengan tuksedo menghampiriku dengan nampan berisi beberapa gelas tinggi soda.

"Tidak, terima kasih," gelengku sopan.

Pelayan itu berlalu dan aku kembali menatap ke depan. Radius 40 meter jauhnya, aku bisa melihat dengan jelas betapa gagahnya ia dalam balutan baju tuksedo putih itu. Rambutnya ditata hair up, menampakkan dahinya yang indah dengan sepasang alis lurus tebal menaungi mata kecilnya yang tajam.

"Kalau kita menikah, aku akan mengenakan tuksedo ini. Ini keren."

Ucapannya di masa lalu terngiang di benakku. Aku tersenyum getir. Kepada siapa janji itu ditujukannya?

Lelah bersembunyi, akhirnya aku menyerah dan menerima segelas soda yang kembali ditawarkan kepadaku, meneguknya cepat.

Lantas melangkah mantap menuju pelaminan, seorang diri. Orang tuaku entah duduk di meja mana.

Aku akan menyalami pengantin itu, menunjukkan bahwa aku masih bisa tersenyum setelah ia merusak kepercayaanku. Tidak peduli meski perasaanku di dalam sini sedang hancur-hancurnya.

Tapi kemudian pembawa acara itu mengatakan bahwa dia akan mempersembahkan sebuah permainan dari grand piano putih yang ada di ujung panggung pelaminan.

Tepuk tangan sontak terdengar, beriringan dengan dia yang bangkit dari duduknya dan menghampiri piano itu.

Alih-alih tersenyum cerah, dia justru tersenyum dengan ekspresi yang sulit diartikan. Bukan bahagia, bukan pula sedih.

Aku menghentikan langkah dan berdiri dengan agak bersembunyi di antara bahu-bahu para tamu. Tapi meski begitu, telingaku dengan seksama bersiap untuk mendengar alunan nada yang akan dimainkannya.

Aku menebak-nebak lagu apa yang akan kudengar setelah ini. Beautiful In White kah? Biasanya lagu ini selalu ada di momen pernikahan.

Tapi saat ia mulai memainkan sebaris nada pertama, jantungku mencelos.

Musik ini... dia selalu memainkannya untukku.

Jantungku sekarang berdegup kencang. Debarannya hampir membuatku kewalahan saking menyesakkannya.

Di depan sana, dia bermain piano tanpa repot harus melihat tuts-nya karena ia sudah sangat hapal. Dia lantas menatap sekeliling auditorium, seakan mencari sesuatu yang amat penting.

Seakan dia mempersembahkan musik itu untuk siapa pun yang dicarinya lewat tatapan itu.

Rupanya ia menemukanku, dan tatapan kami bertemu. Ia menatapku dari atas sana, lekat dan intens, dan tatapan khawatir itu kembali menghujamku. Tatapannya menyiratkan banyak hal, namun pada saat yang sama terasa sulit diartikan. Aku tercekat, wanita yang sudah menjadi istrinya itu lantas menghampirinya, menggandeng tangannya dengan mesra dan tekadku untuk pergi ke depan sana luluh lantak begitu saja.

Aku menunduk. Aku tidak bisa melakukannya, tidak dengan situasi saat ini. Aku tidak bisa melihatnya bersanding dengan yang lain dan sialnya mereka tampak serasi.

Jadi aku berbalik, melangkah menjauh dengan air di pelupuk mata.

Musik yang sudah sangat kuhapal iramanya itu memenuhu benakku.

Fur Elise dari Beethoven.

Orang-orang bilang, Beethoven memiliki kisah cinta yang kelam sehingga sang genius menciptakan musik ini. Mereka bilang, Beethoven menciptakan musik ini untuk Elizabeth Roeckel.

Tapi meski begitu, tidak ada yang bisa membenarkannya karena partitur musik ini baru ditemukan 40 tahun setelah Beethoven meninggal.

Meski memiliki alunan musik yang indah, kisah di baliknya amat misterius.

Kemudian, memori di masa lalu itu kembali menyergapku.

"Judul musik ini memang Fur Elise. Tapi kalau Kakak yang memainkannya, judulnya menjadi Fur Lyra."

Kali ini aku sungguhan pergi ke toilet.

Dan menangis sesenggukan disana.

***

Mataku bengkak. Sial. Ini jelas bukan saat yang baik untukku kembali ke pesta itu. Apa yang akan dikatakan orang tuaku?

Mereka pasti heboh kenapa aku menangis.

Aku buru-buru membasuh wajah dan touch up riasan wajahku dengan riasan sederhana ala anak SMA. Tapi itu pun tidak cukup untuk menyembunyikan wajah sembabku. Kondisiku mengenaskan. Dan mataku hampa. Senyum bahkan tidak bisa mencapai mataku saat aku mencoba membentuk kurva itu di bibirku.

Aku menatap diriku melalui pantulan cermin. Gadis remaja dengan gaun kuning mustard itu adalah gadis yang telah ditinggalkan tanpa penjelasan.

Yang meninggalkannya adalah lelaki yang tengah berbahagia di pelaminan di luar sana. Semua orang bersuka cita, tentu saja. Itulah alasan kenapa mereka datang ke pesta ini, untuk berbagi suka cita.

Mendadak aku merasa bahwa tidak seharusya aku datang. Aku bukan datang untuk berbagi suka cita. Sebab aku datang untuk sebuah rasa duka. Aku hanya datang karena, ,

Apa ya?

,, karena dipaksa orang tuaku? Ya, semacam itu. Aku tidak datang dengan sukarela. Satu jam lalu aku masih ada di rumah, bergelung di kasurku yang nyaman sembari memeluk guling dan pura-pura membaca novel untuk mengalihkan perasaan sedihku. Kalau bukan karena Mama mengomel karena aku tidak seperti orang yang berniat datang ke pesta pernikahan, aku juga tidak akan berangkat. Toh pada dasarnya aku memang tidak berniat.

Jadi aku bersiap ala kadarnya, dengan riasan seadanya, dan gaun sewajarnya.

"Yang benar saja, masa kamu tidak se-excited ini ke pernikahannya?"

Mama masih mengomel saat kami hendak memasuki mobil. Papa sudah duduk di kursi kemudi, jadi tidak mendengar bagaimana Mama mengomeliku panjang lebar.

"Kamu sakit?"

"Yeah, sedikit tidak enak badan."

Itu alasanku setengah jam lalu, sebelum mobil melaju pergi. Dengan begitu, Mama tidak lagi menuntut agar aku harus bahagia dan semacamnya.

Dan akhirnya disinilah aku, mengasingkan diri di halaman samping hotel yang sepi, sebab semua orang lebih memilih menikmati pesta di dalam. Aku duduk di salah satu bangku taman, menatap kolam ikan di hadapanku dengan hampa. Saking hampanya, aku tidak lagi merasakan dinginnya udara malam. Aku malah berharap setelah ini masuk angin, dan ada alasan agar besok tidak bertemu siapa-siapa.

Aku meriang, kira-kira begitulah alasanku besok kalau dimintai ini-itu sebagai 'tetangga' dari pengantin yang sedang berbahagia malam ini.

"Aku meriang, aku meriang, merindukan kasih sayang, ,"

Aku menoleh cepat karena suara berat yang menyenandungkan lagu dangdut itu sama sekali tidak matching. Lelaki dengan setelan jas yang rapi dan keren berdiri tak jauh dariku, kedua tangannya di saku. Saat aku menatapnya, ia melirik ke arahku.

"Sedang apa disana?" Tanyanya.

"Duduk," jawabku tak habis pikir. Memangnya kurang jelas apa yang kulakukan?

"Memangnya aku buta?" Ia mendengus. "Semua juga tau kamu sedang duduk."

"Kalau begitu buat apa bertanya?" Lelaki ini menyebalkan juga rupanya.

"Buat apa kamu duduk disana kalau di dalam lebih hangat?"

"Biar masuk angin," jawabku asal. Aku bersandar kembali pada bangku taman yang dinginnya menusuk kulitku. Entah kenapa malam ini dingin sekali. Mungkin karena musim kemarau. Sama sekali tak ingin melanjutkan pembicaraan absurd dengan lelaki random itu.

Hufftttt

"Shit!" Aku berjengit, langsung berdiri, kaget karena tengkukku ditiup kencang. Rambutku sedang disanggul, jadi tengkukku benar-benar terekspos.

"Mulutmu manis juga ternyata." Lelaki itu berdecak dengan tangan bersedekap, menatapku sambil menggeleng tak percaya.

"What the hell are you doing?" Tanyaku emosi.

Lalu dengan tampang tidak berdosanya, ia menatapku dengan sebelah alis terangkat. "Hanya membantumu masuk angin. Siapa tau kamu juga butuh bantuan untuk dikerok."

"Kurang ajar," umpatku kesal.

"Hati-hati dengan mulutmu, gadis kecil." Lelaki itu mendekat, namun untungnya ada kursi taman di antara kami sehingga lelaki itu berhenti dan tangannya bersandar pada punggung kursi. "Mulutmu harimaumu."

"Awasi dirimu sendiri," desisku, menahan diri untuk tidak mengumpat. Lelaki itu sepertinya semakin menyebalkan kalau aku mengumpat. Padahal aku sedang kesal-kesalnya, sedang sedih-sedihnya, sedang marah-marahnya, sedang kecewa-kecewanya, dan butuh pelampiasan. Keberadaan lelaki itu benar-benar mengusikku.

Tanpa menunggu reaksinya, aku berlalu cepat sambil menjinjing gaunku.

"Mau kemana?" Tanyanya tanpa menyusulku.

"Ke dukun, siapa tau kamu butuh disantet," sahutku kesal.

Yang membuatku mulai berpikir betapa konyolnya aku adalah, sudah tau lelaki itu menyebalkan bahkan dari udara yang dihembuskannya, tapi aku masih menyahutinya.

"Silahkan santet saja aku, supaya hatimu bahagia."

"Sinting!" Umpatku.

***

[]

Related chapters

  • Fur Lyra - Yang digariskan untuk hancur    2 - Kita

    Ini seperti buah simalakama. Maju kena, mundur kena. Kalau aku kembali ke aula, aku akan mendapati pengantin bahagia itu di depan sana. Kalau aku ke taman, lelaki aneh itu mungkin masih disana. Paling tidak berpapasan dengannya. Aku saja menghindari menghirup udara yang sama dengannya. Bisa-bisa aku keracunan. Jadi langkahku berhenti di lobi utama yang lengang, duduk di salah satu sofa tunggalnya yang nyaman dan empuk, lantas pura-pura sibuk membaca majalah. Itu majalah fashion terbaru, lumayan juga isinya, tidak buruk. Bisa menjadi inspirasiku besok kalau sedang keluar dengan teman. Baru-baru ini aku menyukai gaya ala gadis Korea yang lucu dan imut-imut, padahal sebelumnya aku menyukai gaya yang riasannya agak berat karena gandrung sekali dengan Tasya Farasya. Entahlah, seleraku berubah-ubah begitu. Sekian lama memandangi majalah itu, akhirnya aku merasa bosan. Aku ben

    Last Updated : 2022-02-10
  • Fur Lyra - Yang digariskan untuk hancur    3 - Kita Sudah Selesai

    Aku sampai rumah ketika malam sudah larut. Kami berenam sedang puas-puasnya menghabiskan waktu bersama karena Vernon dan Eric akan lanjut kuliah di Singapura. Sementara Viona di Jepang karena orang tuanya yang Kedubes bekerja disana. Zana akan ke Bandung. Lalu di Jakarta, tinggal aku dan Maxi.Yeah, kami lagi-kami lagi. Aku dan Maxi memang duo yang tidak terpisahkan.Buktinya meski kami sering baku hantam, Maxi selalu rela mengantar-jemputku."Besok tidak usah menjemput. Aku mau tidur sampai siang," kataku seraya melepas helmet dan menyerahkannya pada Maxi.Cowok itu mendengus. "Siapa juga yang mau menjemput."Aku berusaha tabah karena hari ini Maxi bersedia menjadi supirku seharian. "Ya sudah sana pulang," usirku sehalus mungkin yang membuatnya mengetuk kepalaku kesal. Sekejap kemudian, motor matic putihnya sudah melesat pergi.Aku be

    Last Updated : 2022-02-11
  • Fur Lyra - Yang digariskan untuk hancur    4 - Patah Hati Paling Menyakitkan

    "Dramanya sad ending ya?" Aku mengerjap ke arah Maxi. Tangan kiriku menopang dagu dan tangan kanan mengaduk milkshake. Akhirnya aku mengangguki Maxi dengan wajah drama ala bucin oppa. "Sedih sekali, ya ampun." Mungkin ia mengingat kalau tadi pagi aku menonton drama. Kisahnya tidak sesedih itu, tapi aku tidak seharusnya menampakkan kegalauanku gara-gara percakapan di teras tadi. "Kita tidak selesai, tidak akan pernah." Tanganku digenggam hangat olehnya saat hendak berlalu, membuat langkahku tertunda. Ia menyelusupkan jari telunjuknya ke jemariku yang mengepal lemah. Tangannya hangat dan nyaman, selalu seperti itu. "Kakak ingin kamu menunggu." Apa? Apa yang harus kutunggu?! "Makanan saja bisa kadaluwarsa, apalagi perasaanku." Untuk sesaat aku merasa lebay, tapi aku tidak tau harus berkata apa. Situasi ini terlalu sulit kalau harus kuhadapi sekarang. Aku hanya,

    Last Updated : 2022-02-12
  • Fur Lyra - Yang digariskan untuk hancur    5 - Masih Cinta Yang Sama

    "Keluar terus," sindir Mama saat aku turun dari tangga dengan pakaian rapi.Aku berdecak, maklum saja, pengangguran banyak acara memang begini. Baik ada kegiatan formal atau tidak, pokoknya jalan terus. Lagipula, aku ini seperti remaja pada umumnya, yang rapi jali kalau mau keluar, tapi kalau di rumah hanya mengenakan celana dan kaus belel yang nyaman."Ada sesuatu yang mau kulakukan," ujarku dengan tangan terkepal dan terangkat layaknya orator dalam demonstrasi mahasiswa. Toh aku juga calon mahasiswa. "Demi masa depan yang lebih baik!"Ayah yang baru muncul untuk sarapan menatapku dengan kening berkerut, namun tak ambil pusing. Katanya, tingkah absurdku menurun dari Ayah dan Mama sekaligus, jadi absurdnya double-double. "Mau kemana?""Mau jalan, dengan Maxi." Aku meneguk susu UHT favoritku dan melahap sarapan dengan tenang. Untuk saat ini, orang tuaku tidak perlu tau rencanaku yang akan

    Last Updated : 2022-02-12
  • Fur Lyra - Yang digariskan untuk hancur    6 - Dia Lagi

    Kakak masih mencintai kamu. Kata-kata itu berdengung bak nyamuk berisik di telingaku, sudah dihalau, tapi tidak juga hilang suaranya, bahkan meski sudah satu jam berlalu. Rasanya gamang ketika netra cokelat muda Saverio menatapku dengan sungguh-sungguh, binarnya sendu sekali. Dia selayaknya anak kecil yang penuh luka. Kalau bukan karena aku mendorong Saverio agar menjauh dan meninggalkannya disana, aku pasti sudah menangis di hadapan Saverio. Tega sekali dia mengkhianati istrinya seperti itu. Dan aku, aku juga akan merasa jahat sekali kalau terus disini, di rumah ini, memberi Saverio kesempatan untuk terus bertemu yang tidak seharusnya dia terima. Jelas, aku harus pergi. Lebih cepat lebih baik. Benar, aku tidak bisa terus disini. Setidaknya, salah satu dari kami harus pergi. Aku mengusap mataku yang rupanya sudah berlinang air mata dan menatap kalender

    Last Updated : 2022-02-24
  • Fur Lyra - Yang digariskan untuk hancur    7 - Laki-laki Yang Kehilangan

    "Terima kasih sudah mengijinkan kami bergabung di meja." Zana berucap sopan selagi Abang warung mengantar minuman kami.Angela tertawa kecil. "It's okay, Sweetheart. Jadi kalian sedang berlibur di Bandung?""Bukan." Maxi yang menjawab. "Zana berencana kuliah di Bandung, lalu si tukang makan di sebelahku ini memohon-mohon agar bisa ikut ke Bandung juga dengan dalih membantu beres-beres. Kak Saverio, Lyra tidak mungkin sebaik itu kan?" tanya Maxi pada laki-laki yang sudah mengenalku sejak kecil itu.Tapi Maxi tidak bertanya. Dia hanya sedang bergurau sembari meledekku.Dan lagi-lagi, membuat Saverio menatapku.Aku menunduk, pura-pura sibuk melipat tisu.Lalu dengan senang hati, Angela melanjutkan, "Kami ke Bandung untuk berlibur, sekaligus untuk bulan madu yang tertunda. Lagipula, Saverio terlalu sibuk kerja sampai tidak mau

    Last Updated : 2022-02-25
  • Fur Lyra - Yang digariskan untuk hancur    8 - Mengingkari Janjinya Sendiri

    Yang kami lakukan di dalam studio itu salah.Memori baru yang dibuat demi mengenang memori lama itu adalah salah.Ketika film selesai, aku merasa sangat jahat. Melihat Maxi yang keluar studio sambil merenggangkan punggung tanpa menyadari apa yg terjadi di bangku belakang, aku menunduk menatap cincin yang Saverio pasangkan di jari manisku dan melepasnya diam-diam.Lebih baik menyimpannya dan tidak seorang pun tau tentang cincin itu.Ketika aku melihat wajah istrinya, aku merasa sangat berdosa. Yang kulakukan dengan Saverio tadi tidak seharusnya terjadi. Harusnya tadi aku mendorongnya menjauh. Harusnya tadi aku tidak membiarkan dia menggenggam tanganku.Harusnya... kami tidak duduk bersebelahan.Dan ketika aku menatap Saverio, dia akan membalas tatapanku dengan intens. Seolah ada rona baru di wajahnya yang membuat laki-laki itu ter

    Last Updated : 2022-02-26
  • Fur Lyra - Yang digariskan untuk hancur    9 - Menyerah

    Sejak kapan aku menangis?Aku juga tidak tau. Aku menyusut air mataku dengan punggung tangan dan membalas tatapan Maxi. "Aku mimpi jadi Ratu, tapi tau-tau saja Rajanya pergi meninggalkanku," jelasku datar. "Bukankah mengenaskan?"Bukannya simpati, Maxi malah mendengus. Caraku bercerita memang agak tengil untuknya. Tapi aku hanya tidak ingin orang lain tau apa yang sedang kurasakan.Aku tidak mau orang lain tau aku sedih, apalagi sedihnya gara-gara Saverio.Aku lantas meraih bungkusan di tangan Maxi dan membukanya, seporsi nasi padang yang sambal hijaunya banyak!Senyumku langsung mengembang cerah.Maxi tau benar apa yang kubutuhkan. Perasaanku kacau balau sejak bangun tidur. Mimpi itu menamparku pada realita menyakitkan, bahwa kenyataannya, Saverio memang meninggalkanku saat aku menaruh kepercayaan dan rasa sayang yang begitu bes

    Last Updated : 2022-02-27

Latest chapter

  • Fur Lyra - Yang digariskan untuk hancur    26 - Impian Yang Fana

    Meski baru kenal, Ibu benar soal satu hal. Bahwa aku berbagi kebahagiaan lewat masakan. Itu salah satu filosofi memasak yang kupelajari di kampus, yang membuatku memiliki motivasi dan memasak dengan bahagia untuk Saverio. Melalui filosofi, kita memang jadi lebih memaknai sesuatu yang ada di hadapan dibanding tidak mengetahui maknanya sama sekali.Sekarang, aku bahkan berbagi kebahagiaan yang lebih luas dengan anak-anak panti.Dan melihat mereka makan dengan lahap, sembari tertawa bahagia melihat potongan buah yang dibalut cokelat, aku juga bahagia.Dan Saverio benar. Berbagi seperti ini, membuatku merasa lebih baik. "Vivi, udangnya tambah lagi ya," ujarku pada seorang anak perempuan pemalu yang duduk di sebelah kananku di kursi makan.Vivi mengangguk malu-malu. Aku mengambilkan sepotong besar udang goreng rambutan untuk menemani nasinya yang belum habis. "Sama supnya juga ya."Lagi-lagi Vi

  • Fur Lyra - Yang digariskan untuk hancur    25 - Baby Saviera

    Ketika semuanya selesai, aku membereskan dapur dan langsung mandi. Acara bersih-bersihnya saja sampai satu jam lebih, jadi aku tidak heran ketika aku dan Saverio sudah siap keluar ketika hari beranjak senja. Langit cakrawala di luar warnanya sudah seperti es krim favoritku, kuning ke oranye ke kemerahan.Terakhir, aku menyemprotkan parfum ke sekitar leher dan pergelangan tangan, bertepatan dengan Saverio yang juga baru selesai menerima telepon di balkon.Aku mengamati Saverio. Laki-laki itu juga sudah ganti pakaian yang lebih santai dengan celana bahan yang merupakan celana wajib dan kaos Polo warna hitam. Dan rambutnya rapi seperti biasa dengan potongan cepak.Aku sendiri hanya mengenakan celana jeans dan blouse warna merah muda, cukup rapi dan sopan untuk dipakai berkunjung ke panti asuhan.Aku membawa satu box berukuran sedang berisi gorengan yang tadi kumasak dan masih menguarkan aroma menggiurkan, sementara Saverio me

  • Fur Lyra - Yang digariskan untuk hancur    24 - Bertambah Dewasa

    Secara singkat, apa yang terjadi semalam dimana Saverio bertelepon dengan orang yang pembicaraannya membuatku penasaran, segera saja aku melupakan hal itu keesokan paginya.Karena hal pertama yang menyapaku di pagi hari itu begitu membuka mata adalah, sesuatu yang agak berat melingkari pinggangku dan sesuatu yang hangat terasa menghangatkan punggungku.Aku berbalik, membuat Saverio yang tadinya tidur seraya memelukku dari belakang ikut membuka mata dengan berat. "Pagi, Lyra," sapanya dengan suara serak. Sesaat kemudian, matanya sudah terpejam lagi.Aku tersenyum kecil, membalas, "Pagi juga. Sejak kapan Kakak ada di kamarku?" Karena seingatku, sesudah kami minum semalam, aku dan Saverio berlalu ke kamar masing-masing.Karena masih mengantuk, aku langsung tidur lagi dan tidak menyadari apalagi yang terjadi setelah itu. Sekedar mimpi Saverio datang saja tidak.Saverio melenguh sebentar, menjawab dengan suara pelan yang lebih mirip igauan saat tidur, "Jam dua pagi

  • Fur Lyra - Yang digariskan untuk hancur    23 - Telepon Tengah Malam

    Usai makan malam, kami membereskan balkon bersama. Di tengah kegiatan itu, aku menyetel musik-musik indie yang rasanya nyaman sekali diputar di saat seperti ini. Malam santai, balkon di ketinggian gedung apartemen, vibes langit malam Jakarta, dan musik indie. Menyenangkan sekali menikmati semua perpaduan itu setelah hari yang melelahkan di kampus dan jalanan Jakarta yang banyak macetnya.Aku bergabung dengan Saverio untuk membereskan lilin lampu mungil dan menaruhnya di kardus yang dipegang laki-laki itu. Kemudian, bersama Saverio, kami mengangkut meja dan kursi kembali ke ruang makan. Hal yang tidak kusangka adalah, bahwa perabot itu cukup berat rupanya."Kakak, padahal aku sama sekali tidak masalah makan malam di dalam," kataku, kembali mengawali pembicaraan.Saverio masih menatapku, menunggu kalimatku selanjutnya yang bilang,"Kakak kan baru sembuh dari tipes. Mengangkut perabot begini sendirian bisa melelahka

  • Fur Lyra - Yang digariskan untuk hancur    22 - Laki-laki Yang Jatuh Cinta

    "Bagaimana hari Kakak di kantor?" Aku bertanya di tengah kegiatan makan malam romantis dadakan di balkon ini."Oh--" Saverio menelan makanannya sejenak, kemudian menjawab, "Tidak terlalu baik. Tapi itu hanya masalah sehari-hari di kantor."Ah iya. Dulu Saverio kerap kali bercerita kalau di kantor sedang ada sedikit masalah yang kadang membuatnya terlambat datang atau bahkan terpaksa membatalkan janji nonton denganku.Ayah juga kadang cerita pada Mama beberapa masalah kecil yang dilaluinya di kantor, yang tidak sengaja kudengar tentu saja.Terkadang, Mama juga kerap kali kelepasan membahas kalau dia sedang ada masalah di tempat kerjanya saat memarahiku karena aku pulang terlalu malam bersama Maxi.Jadi aku selalu menganggapnya sebagai 'masalah sehari-hari' sebagaimana yang dibilang Saverio barusan. Toh aku juga punya masalah sehari-hari di sekolah atau di kampus. Dan tentu saja, masalahku biasanya masih sesuai kapasitas remaja perempuan di

  • Fur Lyra - Yang digariskan untuk hancur    21 - Makan Malam Romantis

    Nanti malam tidak perlu memasak. Kita akan makan di luar. Kakak berhasil dapat tempat untuk kita.'Begitulah isi pesan teks Saverio saat sebelumnya aku bilang kalau aku perlu belanja untuk menyiapkan makan malam. Sejenak, aku mendiamkan pesan itu dan menatap piring batagorku. Rasanya ada yang mengganjal di hatiku mengenai isi pesan itu."Nanti malam bagaimana?" Kina bertanya tiba-tiba di antara keriuhan kantin fakultas yang agak ramai karena jam makan siang. Aku mengalihkan atensi dari sepiring batagor yang isinya tinggal separuh sekaligus memecah lamunanku tentang Saverio, dan juga mematikan ponselku, kemudian menatap Kina dengan kening berkerut. "Apanya yang nanti malam?" Kina berdecak, dia menyodorkan ponsel yang sedari tadi diperhatikannya. "Tentu saja nonton, apalagi? Yang kita bahas di kelas sejak tadi.""Aku tidak bisa," sahutku tanpa berpikir panjang, kemudian menyuap batagorku dengan cuek. Tentu saja, aku mau berpikir apal

  • Fur Lyra - Yang digariskan untuk hancur    20 - Morning Glory

    Hari ini, sudah hampir sepuluh hari Saverio pemulihan di apartemen pasca rawat inap karena thypus dan tampaknya dia sudah mulai bosan setengah mati.Selama dua hari terakhir, Saverio hanya duduk di sofa dengan gurat bosan yang dia tunjukkan kalau ada aku, sembari fokus dengan layar iPad yang jadi teman setianya selama beberapa hari ini. Aku juga menyaksikan apa saja kegiatannya itu, yang tidak jauh-jauh dari laporan kantor dan kabar dari panti asuhan.Karena dia tidak punya kerjaan, Saverio seringkali menyibukkan dirinya untuk mengirim sesuatu ke panti selama setiap hari. Pagi hari dia mengirim susu, siang hari mengirim buah, dan sore hari mengirim puding.Tentu saja. Menghabiskan uang untuk anak panti yang jumlahnya bahkan tidak sampai sepuluh anak itu memang tidak berpengaruh sama sekali buat Saverio. Lalu karena fisik Saverio tampaknya sudah mulai prima lagi, maka aku juga sudah membolehkannya kembali ke kantor. Tentu

  • Fur Lyra - Yang digariskan untuk hancur    19 - Panti Asuhan

    Mata kuliah Ilmu Gizi pagi ini selesai, kemudian berlanjut ke Dasar Boga sampai siang. Selama dua kelas itu aku berpisah dengan Kina karena dia mengambil mata kuliah yang berbeda. Namun tidak urung, Maxi mengirimiku pesan. 'Ayo makan siang di warung bebek bakar belakang kampus,' ketiknya. Aku menepi sebentar di tangga agar mahasiswa lain di belakangku bisa lewat, kemudian membalas, 'Lain kali saja, aku mau mengambil laptop untuk mengerjakan tugas' 'Kan bisa sambil makan siang,' balasnya. Aku buru-buru mengetik, 'Memangnya kamu bisa membiarkan mengerjakan tugas? Kamu kan selalu mengajakku nonton' 'Benar juga. *Lol* Ya sudah, kapan-kapan saja kalau begitu' 'Oke' Dan aku segera memesan ojek online untuk mengantarku ke kost yang banyak sekali mahasiswa keluar masuk dengan bebas. Mereka bahkan tidak akan peduli kalau aku tidak pulang ke tempat ini selama berhari-hari. Bahkan mungkin mereka tidak men

  • Fur Lyra - Yang digariskan untuk hancur    18 - Prioritas

    "Kamu pulang..." Saverio kembali bergumam lirih, seolah memastikan bahwa apa yang dikatakannya benar. Bahwa mau berapa kali pun dia mengatakan bahwa aku pulang, maka tidak ada yang membantahnya. Termasuk aku. Yang terisak keras di pelukannya. "Iya, aku pulang," sahutku tersedu. Saverio membawa langkah kami memasuki apartemennya dan menutup pintu di belakangku dengan mudah. Laki-laki itu lantas mengurai pelukan kami dan menatap wajahku lekat. Kedua tangan lebar dan hangat Saverio menangkup wajahku. Kedua ibu jarinya mengusap air mata yang masih bercucuran di pipiku. "Kamu disini," gumamnya. Matanya tampak berkaca-kaca. Tapi kemudian kusadari bahwa mataku-lah yang berkaca-kaca lagi. "Kamu tidak akan pergi lagi kan?" "Tidak." "Kamu tidak akan meninggalkan Kakak lagi kan?" Bertanya, seolah untuk memastikan bahwa kami bertemu bukanlah untuk berpisah lagi. Aku menggeleng, menangis lagi. "Aku mau disini... bers

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status