"Terima kasih sudah mengijinkan kami bergabung di meja." Zana berucap sopan selagi Abang warung mengantar minuman kami.
Angela tertawa kecil. "It's okay, Sweetheart. Jadi kalian sedang berlibur di Bandung?"
"Bukan." Maxi yang menjawab. "Zana berencana kuliah di Bandung, lalu si tukang makan di sebelahku ini memohon-mohon agar bisa ikut ke Bandung juga dengan dalih membantu beres-beres. Kak Saverio, Lyra tidak mungkin sebaik itu kan?" tanya Maxi pada laki-laki yang sudah mengenalku sejak kecil itu.
Tapi Maxi tidak bertanya. Dia hanya sedang bergurau sembari meledekku.
Dan lagi-lagi, membuat Saverio menatapku.
Aku menunduk, pura-pura sibuk melipat tisu.
Lalu dengan senang hati, Angela melanjutkan, "Kami ke Bandung untuk berlibur, sekaligus untuk bulan madu yang tertunda. Lagipula, Saverio terlalu sibuk kerja sampai tidak mau kuajak pergi jauh."
Satu-satunya wanita dewasa disana menjelaskan dengan wajah berbinar, melirik Saverio yang sedang makan kerupuk dalam diam. Meski nampak tak mendengarkan, istrinya masih tetap tersenyum dan kembali menatap kami dengan ceria.
"Tapi tiba-tiba saja Saverio mengajakku ke Bandung." Angela melanjutkan. "Amat sangat tiba-tiba, membuatku berpikir itu seperti kejutan."
Maxi bersiul. "Sepertinya memang kejutan."
Zana mengangguk setuju, langka sekali melihat dua sahabatku itu sependapat. "Mungkin sebagai ganti bulan madu yang tertunda."
Aku tersenyum sekenanya, sempat berpikir bahwa Zana dan Maxi sok tau sekali. Tapi kemudian kusadari bahwa Saverio sempat melirik dua sahabatku itu dengan tidak suka.
Uh-oh. Sepertinya memang benar kalau mereka berdua sok tau.
Lalu apa yang membuat Saverio tiba-tiba mengajak Angela ke Bandung--
Uh-oh. Sial. Tidak mungkin Saverio betulan mencari tau pada orang tuaku kan?
"Senang sekali bertemu kalian disini." Hanya itu yang kemudian dilanjutkan Angela karena makanan kami mulai berdatangan.
"Kami juga," sahut Zana. "Terutama di bagian bangku ini."
Angela tertawa, Maxi menggelengkan kepala, dan aku tersenyum simpul sambil melipat-lipat tisu tanpa minat.
Saverio menyodorkan plastik kerupuk yang sedang ditekuninya padaku, namun aku menggeleng.
Makanan kami akhirnya datang semua, dan tidak ada lagi yang berbicara. Tanpa kata, Saverio menahan tanganku yang hendak menuang sendok ketiga sambal, dan aku menurut, lebih karena aku ingin meminimalisir interaksi di antara kami.
"Ayah mertuaku sering bercerita soal kamu, Lyra." Angela lantas menatapku sesudah menelan suapan pertamanya.
Tangannya terulur menuang beberapa sendok sambal yang cukup banyak, namun seperti tidak ada yang menyadarinya. Saverio bahkan terlihat tidak peduli sama sekali.
"Kamu sudah seperti adiknya. Kata Ayah, Saverio yang dulu mengajarimu naik sepeda waktu kecil."
Aku mengangguk menanggapi. "Kak Saverio juga yang mengajariku berenang."
Saverio sontak tersenyum lembut ke arahku, membuatku mengutuk lisanku yang sudah asal menyahut.
Tanpa kuduga, Saverio yang sejak tadi diam kini melanjutkan, "Dulu Lyra rewel sekali kalau harus berenang, dia paling tidak suka air. Kalau airnya sedang dingin, Lyra akan pura-pura kram dan pelajaran berenang terpaksa ditunda."
"Oh. Makanya malas mandi," celetuk Maxi yang langsung mendapat remahan kerupuk dariku.
Zana dan Angela tertawa, aku merengut.
"Berenang di rumah Saverio?" tanya Angela tertarik.
Aku mengiyakan. "Di rumahku tidak ada kolam renang."
"Ah, pantas saja ada banyak fotomu di rumah Saverio," gumam Angela.
"Kalau sudah begitu, Lyra akan bergegas ke dapur dan melahap makanan apapun yang disodorkan Mama," tambah Saverio, seolah lupa bahwa tadi dia sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Tukang makan sejati." Maxi berceletuk lagi, padahal aku tidak separah itu kok.
"Tapi kamu tetap langsing," puji wanita itu, membuatku tetsenyum.
"Karena sebenarnya Lyra cacingan." Maxi betulan minta kuhajar rupanya. Kalau bukan karena Zana duduk di tengah kami, aku pasti sudah mencubitnya sampai puas.
Entah kenapa malam itu aku jadi satu-satunya korban ejekan disana. Sementara mereka semua tertawa, Saverio hanya tersenyum. Dan lagi-lagi, dia kembali memandangiku tanpa kata.
Sejak menikah, Saverio jadi pendiam, tidak banyak bicara, lebih memilih tersenyum untuk menanggapi situasi seolah dia sibuk dengan pikirannya sendiri. Mungkin itu sebabnya Ayahku mengatakan Saverio jadi semakin dewasa setelah menikah.
Tapi alih-alih dewasa, menurutku perubahan itu membuatnya tampak jauh, membuatnya terlihat menyimpan semua pikiran sendiri.
Kasarnya, perubahan itu membuat Saverio terlihat tertekan. Itu hanya pendapatku, tapi aku melihat itu dengan jelas di netra cokelat mudanya yang sendu setiap aku mendapati laki-laki itu menatapku di tengah suasana yang bising.
Ketika kami semua selesai makan, yang bertugas membayar tentu saja Saverio dan dengan baik hati malah mentraktir kami semua. Usai membayar, kami beriringan keluar dari warung yang kecil itu, sementara Saverio ada di belakangku, meraih tanganku sampai aku berbalik.
"Jadi ini alasan kamu pergi? Untuk menghindar dari Kakak dan malah pergi dengan Maxi?" Tanya Saverio dengan wajah menuntut.
Aku mengangguk, berusaha tidak terpengaruh tatapannya yang masih menguarkan sikap posesif yang sama. Aku tidak pernah mengerti kenapa dari dulu Saverio selalu merasa cemburu kalau aku akrab dengan laki-laki lain yang merupakan temanku. "Kan sudah jelas. Lagipula, perasaan Kakak salah."
Rahang Saverio mengatup rapat. "Apanya yang salah?!"
Aku menelan ludah, situasi benar-benar tidak kondusif kalau harus membicarakan hal semacam itu sekarang. Warung ini sedang ramai-ramainya, dan yang lain sedang menunggu di luar.
Aku mendongak saat tangan Saverio justru sedang menyelipkan helai rambutku ke belakang telinga, mendapati tatapan itu tampak... terluka.
"Tidak ada yang salah dalam mencintai seseorang, Lyra. Dari dulu, perasaan Kakak ke kamu begini adanya. Tidak ada yang berubah," bisiknya lirih.
Aku menunduk.
Lalu kenapa Kakak mengingkari janji Kakak sendiri?
***
Gara-gara Saverio ada di Bandung juga, bahkan gilanya, mereka menginap di hotel yang sama denganku, aku jadi malas mau kemana-mana.
Tapi Maxi dan Zana bahagia sekali kalau kita semua jalan bersama, sebab Saverio begitu loyal membayar semua belanjaan kami saking banyaknya uang yang ia punya dan tidak tau harus bagaimana menghabiskannya.
Di mall, saat Angela dan Zana memutuskan pergi ke salon untuk melakukan perawatan rambut, aku dan Maxi memutuskan untuk ke CGV sembari menunggu.
Bisa dipastikan, Saverio memutuskan ikut denganku dan membelikan tiket untuk kami bertiga.
Dari tiga tiket yang ada, dua di antaranya terpisah. Dan Maxi dengan senang hati menjadikanku tumbal untuk duduk dengan Saverio.
Sial!
"Aku tidak masalah sendiri, biar Lyra dengan Kak Saverio. Karena kalau duduk denganku, aku bakalan digebuknya setiap ada setan muncul." Maxi berkilah dengan wajah tengil mengesalkan, sembari menjulurkan lidah karena ia tidak terancam kena gebuk.
Aku hendak meraih tiket Maxi, tapi cowok tengil itu sudah berlalu dan membiarkanku berdiri kikuk di samping Saverio.
Lelaki tinggi yang untuk sesaat menatapku lembut.
"Ayo." Saverio hendak meraih tanganku, namun aku mundur.
"Aku mau ke toilet." Aku hendak meraih tiketku, tapi Saverio memundurkan tangannya yang memegang tiket itu.
"Kakak tunggu di depan toilet, siapa tau kamu kabur," balasnya.
Aku terdiam, dikiranya aku tahanan. Tapi memang aku sempat berpikir begitu, untuk kabur dan menyusul dua cewek lainnya ke salon saja. Tapi nasibku di Bandung ini sial sekali.
Takdir seperti mempermainkanku, sebab beberapa saat kemudian, aku duduk bersebelahan dengan Saverio di deret bangku belakang. Sisi kananku dan sisi kirinya masih kosong, sehingga tempat ini seperti milik kami berdua. Mengurung kami dalam gelap.
Aku menoleh ke kiri, mendapati Saverio menatap lurus ke depan dengan pandangan hampa.
Dan pikiranku mengembara ke masa yang telah lalu.
Saat aku dan Saverio masih baik-baik saja. Saat aku berpikir bahwa kami akan selalu ada untuk satu sama lain sampai kapanpun. Saat banyak hal masih terasa begitu menyenangkan.
Masa-masa itu...
***
"Mam, aku pergi dulu!"
"Main terus!"
"Biar." Aku terkekeh, berlari keluar untuk menghampiri Saverio yang sedang memanaskan mesin mobilnya.
Sore itu, kami berencana menonton bersama di salah satu mall. Saverio mengenakan celana jeans dan kaus hitam polos, lengkap dengan sepatu kets dan topi. Dengan kostum seperti itu, ia terlihat seperti sebaya denganku dibanding orang yang usianya 12 tahun di atasku.
Melihatku datang, Saverio tersenyum cerah, terutama karena celana jeans dan kaus hitam juga yang membuat kami terlihat kompak padahal tidak janjian, lantas membukakan pintu untukku.
"Aku cantik tidak?" tanyaku usil.
Saverio menoleh lagi, menatapku dari atas ke bawah dengan tangan di dagu seolah sedang berpikir keras. Kemudian menjawab, "You are more than beautiful, kakak bahkan tidak yakin bisa bosan hanya dengan melihat kamu," sahutnya serius.
"Sekalipun aku punya jerawat besar di hidung?"
Tanpa ragu, dia mengangguk. "Sekalipun kamu punya jerawat besar di hidung."
Aku langsung tersenyum lebar, dengan gemas memainkan tangan kirinya yang bebas di atas persneling mobil.
Sampai dia menangkap tangan kananku kemudian menggenggamnya hangat.
Hangat sekali sampai aku berpikir bahwa dia-lah tempat amanku. Tidak masalah kalau aku tidak terlalu dekat dengan orang tuaku. Yang penting aku punya Saverio.
Di sepanjang jalan menuju mall, tangan kami saling menggenggam, hangat dan tanpa kata. Rasanya seperti aku bisa mempercayakan banyak hal dalam hidupku untuk bersamanya. Salah satunya, tentang masa depan yang ingin aku habiskan bersama.
Melihatnya menua dengan rambut beruban dan wajah berkeriput pasti lucu kan?
Saverio lantas mengecup punggung tanganku sekali lagi dan berkata, "Terima kasih sudah menerima Kakak."
Aku mengangguk, menatapnya yang tengah menyetir dengan satu tangan.
Saverio tampan sekali, orang paling tampan yang pernah kulihat. Mata kecilnya terlihat tajam dan fokus. Hidungnya mancung tegas dan alisnya lurus. Bibirnya kecil dan bersih, menandakan bahwa dia tidak mengonsumsi zat nikotin. Rahangnya kokoh dan mengecil di bagian dagu.
Itu hari jadi kami yang baru seminggu, aku sudah menyesuaikan diri dengan status baru kami, meski masih backstreet.
Rasanya nyaman sekali ketika ia menggenggam tanganku, lembut namun erat, seolah tak pernah melepasnya. Waktu itu, aku hanya berpikir bahwa permintaan terima kasihnya terlalu awal bagi hubungan kami. Masih ada jalan panjang yang harus kami lalui, namun rupanya masa itu tak pernah tercapai.
Tidak pula berlaku ketika waktu itu Saverio menatapku lurus dan tampak sungguh-sungguh saat berkata, "Kita akan membangun masa depan bersama, kamu dan kakak."
Sebab sekarang, ia meninggalkanku di tikungan jalan, sendirian.
Sedang aku lupa jalan kembali.
***
Di studio sinema yang gelap, kesadaran juga kembali saat tanganku digenggam dengan lembut.
Saverio mengusap punggung tanganku dengan ibu jarinya.
"Kakak merindukan ini," bisiknya lirih. "Kakak merindukan kamu."
Dan aku... benci ini.
Ketika Saverio meraih tanganku untuk mengecupnya, seharusnya aku melepaskan tanganku. Tapi pikiranku terpecah pada masa lalu dan masa kini. Pada deru napas Saverio yang terasa hangat di punggung tanganku, pada helai rambutnya yang tampak halus dan lebat.
Dan ketika aku sadar, sebuah cincin telah melingkar di jari manisku. Cincin putih berhiaskan batu permata kecil kesukaanku, cincin yang aku tidak tau apa artinya.
Karena... buat apa lagi?
Semua ini terlalu cepat untukku. Aku tidak siap dengan situasi ini. Tidak dengan perasaanku yang kacau balau. Tidak dengan aku yang masih belum bisa menerima semuanya. Tidak dengan aku yang masih bersusah payah menyembuhkan lukaku sendiri, tanpa seorang pun yang tau.
Bahkan ketika film tengah berlangsung di depan sana, aku tidak sepenuhnya menyadari bahwa kami berpagutan lembut.
Tangan Saverio menangkup sisi wajahku dengan lembut dan hati-hati, seperti takut aku akan pecah kalau ia menangkup lebih.
Seperti tahun lalu, ciuman pertama kami di bioskop. Ah itu... kenangan yang indah.
Bedanya dengan tahun ini, kami menangis dalam diam.
Aku merindukan banyak hal, sangat.
Dan ketika pagutan kami terlepas, dengan tangannya yang masih menangkup wajahku dengan hati-hati, menyisakan kening kami yang bersentuhan lembut, Saverio berbisik, "Jangan menangis, Scahtz."
Awalnya aku yakin aku tidak menangis, aku baik-baik saja, tegar-tegar saja. Tapi saat Saverio menggesekkan hidung kami dengan lembut, air mataku berderai seketika.
***
[]
Yang kami lakukan di dalam studio itu salah.Memori baru yang dibuat demi mengenang memori lama itu adalah salah.Ketika film selesai, aku merasa sangat jahat. Melihat Maxi yang keluar studio sambil merenggangkan punggung tanpa menyadari apa yg terjadi di bangku belakang, aku menunduk menatap cincin yang Saverio pasangkan di jari manisku dan melepasnya diam-diam.Lebih baik menyimpannya dan tidak seorang pun tau tentang cincin itu.Ketika aku melihat wajah istrinya, aku merasa sangat berdosa. Yang kulakukan dengan Saverio tadi tidak seharusnya terjadi. Harusnya tadi aku mendorongnya menjauh. Harusnya tadi aku tidak membiarkan dia menggenggam tanganku.Harusnya... kami tidak duduk bersebelahan.Dan ketika aku menatap Saverio, dia akan membalas tatapanku dengan intens. Seolah ada rona baru di wajahnya yang membuat laki-laki itu ter
Sejak kapan aku menangis?Aku juga tidak tau. Aku menyusut air mataku dengan punggung tangan dan membalas tatapan Maxi. "Aku mimpi jadi Ratu, tapi tau-tau saja Rajanya pergi meninggalkanku," jelasku datar. "Bukankah mengenaskan?"Bukannya simpati, Maxi malah mendengus. Caraku bercerita memang agak tengil untuknya. Tapi aku hanya tidak ingin orang lain tau apa yang sedang kurasakan.Aku tidak mau orang lain tau aku sedih, apalagi sedihnya gara-gara Saverio.Aku lantas meraih bungkusan di tangan Maxi dan membukanya, seporsi nasi padang yang sambal hijaunya banyak!Senyumku langsung mengembang cerah.Maxi tau benar apa yang kubutuhkan. Perasaanku kacau balau sejak bangun tidur. Mimpi itu menamparku pada realita menyakitkan, bahwa kenyataannya, Saverio memang meninggalkanku saat aku menaruh kepercayaan dan rasa sayang yang begitu bes
Pada akhirnya Saverio menyerah. Baiklah, aku tidak apa. 'Seharusnya' aku tidak apa-apa. Aku 'hanya' ditinggalkan untuk kedua kalinya oleh orang yang sama. Seharusnya kejadian kedua ini menjadi sesuatu yang bagus dan membuatku merasa lebih baik. Toh aku sudah mengalaminya pada kali pertama dalam rentang waktu yang tidak jauh. Rasa sakit karena Saverio menyerah akan membuatku kebas. Iya, begitu. Pagi di pelabuhan itu terasa aneh sekali, seperti mimpi yang aku tidak tau tentang apa dalam episode hidupku, namun sangat menggangguku ketika aku sudah bangun. Sebuah mimpi yang sebenarnya bukan mimpi buruk, tapi amat membuat gusar. Sejak pagi itu, hari-hariku tidak pernah lagi diganggu oleh Saverio. Hari ketika aku akhirnya harus berangkat untuk menyongsong waktu menjad
"Markus oke, kan?"Aku melirik Maxi yang tengah mengemudikan mobil menuju kampus.Semalam usai pesta, kami tidak pulang bersama sebab Markus yang mengantarku pulang. Bukan sekedar itu. Sebelum naik mobil, Markus membukakan pintu mobil untukku dengan tangannya berada di atas kepalaku, jaga-jaga barangkali aku terbentur tepi mobil dan tidak akan menyakitkan karena ada Markus.Lelaki itu betulan memperlakukanku dengan baik, layaknya aku memang gadis bangsawan. Padahal kami baru kenal tidak lebih dari dua jam.Perlakuannya tidak seperti selayaknya dua orang yang baru berkenalan.Jadi aku menanggapi pertanyaan Maxi dengan anggukan ringan. "Oke sekali," jawabku jujur.Maxi terkekeh. "Baguslah, Markus memang lebih baik daripada kamu menemukan teman kencan yang tidak jelas asal usulnya," katanya sembari membelokkan kemudi memasuki
Terus terang, aku tidak tau apa yang harus kulakukan saat Saverio kembali datang padaku.Memelukku erat sebagaimana dulu aku memeluk erat janjinya. Sebagian dari diriku menjerit kasihan melihatnya tersiksa, merasa bahwa tidak seharusnya Saverio semenderita ini. Sebagian diriku itu menjerit ingin merengkuh Saverio. Namun sebagian diriku yang lain menjerit menolak kehadirannya. Tidak seharusnya kami bertemu lagi jika situasi masih sekacau ini. Karena aku yakin, kami masih tidak baik-baik saja. Jelas tidak ada yang baik-baik saja dengan pertemuan ini.Lagipula, aku berniat memiliki hubungan serius dengan Markus, kalau memang ada perkembangan. Yang jelas, aku tidak menutup diri dari perkembangan semacam itu. Namun ketika aku baru mulai dengan pikiran baru itu, Saverio kembali padaku.Dan aku merasakan pertahananku goyah, lagi dan lagi.Detik selanjutnya saat kami dikurung hening, aku tertawa sumbang. "Jangan bercanda," ujarku sarka
Hari itu, akhirnya aku memutuskan untuk tidak berangkat ke kampus. Aku bahkan tidak melakukan panggilan balasan pada Kina dan hanya kirim pesan bahwa aku sedang sakit, jadi tidak bisa kuliah. Padahal nyatanya, aku memiliki perlu lain. Dan keperluanku hari itu adalah, mengurus Saverio yang sedang demam namun tidak mau ke rumah sakit."Kakak hanya ingin disini", begitu katanya untuk yang kesekian kali setiap aku membujuknya untuk ke rumah sakit. "Tapi kalau demamnya sudah sampai tiga hari, Kakak harus ke rumah sakit untuk tes darah," kataku tegas. Saverio tidak menjawab, hanya berbalik memunggungiku seperti kucing merajuk, kemudian bergumam tidak jelas. Aku menghela napas menatap punggung lebarnya, tidak mengerti lagi kenapa dia harus datang kembali di saat sakit seperti ini. Karena sejujurnya, aku tidak pernah bisa melihat Saverio sakit. Kali itu, aku hanya bisa mengusap punggungnya yang sudah berbalut piyama yang k
Sudah tiga hari ini aku menemani Saverio di rumah sakit. Aku selalu kesini sepulang kuliah, selalu memastikan kondisinya berangsur membaik setelah insiden dimana dia tidak mau dirawat kalau aku tidak ada. Saverio memang manja merepotkan kalau sakit. Tapi pada satu titik, segala sikapnya itu membuatku merasa... berarti. Merasa dibutuhkan. Dan itu membuatku senang karena memang seharusnya seperti itulah dia padaku. Di antara kami ada hubungan saling ketergantungan seperti itu. Yeah, setidaknya itu dulu. Sekarang, entahlah. Aku bingung bagaimana menjabarkan perasaanku. Aku hanya... prihatin, mungkin. "Aku akan menelepon Bunda? Bunda pasti khawatir dan aku hanya akan memberi tau kalau Kakak sudah dirawat di rumah sakit," usulku, berbaik hati agar Saverio tidak perlu sendirian lagi kalau aku balik ke kehidupanku semula. Namun laki-laki itu hanya menghela napas keras. "Tidak usah," katanya pendek. "Tidak perlu menghubun
Pada akhirnya, aku mengurai pelukan itu usai menampar kuat pikiranku dengan kenyataan bahwa kami sudah tidak boleh seperti ini lagi. Tidak bisa. Ada jurang yang amat besar di antara kami sekarang. Jurang yang sudah tidak mungkin lagi kami arungi hanya demi legalitas dari sebuah pelukan. Oh. Bahkan keberadaanku disini pun amat jauh dari kata legal. Yang itu berarti, tidak seharusnya aku berada disini. Tapi lagi-lagi hatiku menghendaki hal lain. Kalau logikaku tidak mengizinkan aku menikmati kembali saat Saverio memelukku, maka hatiku menghendaki agar setidaknya aku tidak pergi begitu saja saat ini. "Kakak istirahatlah, aku akan belanja sebentar agar bisa masak dan menyiapkan makan malam," ujarku akhirnya. "Delivery order saja," pinta Saverio sebagai bentuk protes karena aku mengurai pelukan kami. Aku bisa membayangkan wajah merengutnya sebelum aku menggeleng, menjawab, "Tidak baik terus menerus beli makan di luar."
Meski baru kenal, Ibu benar soal satu hal. Bahwa aku berbagi kebahagiaan lewat masakan. Itu salah satu filosofi memasak yang kupelajari di kampus, yang membuatku memiliki motivasi dan memasak dengan bahagia untuk Saverio. Melalui filosofi, kita memang jadi lebih memaknai sesuatu yang ada di hadapan dibanding tidak mengetahui maknanya sama sekali.Sekarang, aku bahkan berbagi kebahagiaan yang lebih luas dengan anak-anak panti.Dan melihat mereka makan dengan lahap, sembari tertawa bahagia melihat potongan buah yang dibalut cokelat, aku juga bahagia.Dan Saverio benar. Berbagi seperti ini, membuatku merasa lebih baik. "Vivi, udangnya tambah lagi ya," ujarku pada seorang anak perempuan pemalu yang duduk di sebelah kananku di kursi makan.Vivi mengangguk malu-malu. Aku mengambilkan sepotong besar udang goreng rambutan untuk menemani nasinya yang belum habis. "Sama supnya juga ya."Lagi-lagi Vi
Ketika semuanya selesai, aku membereskan dapur dan langsung mandi. Acara bersih-bersihnya saja sampai satu jam lebih, jadi aku tidak heran ketika aku dan Saverio sudah siap keluar ketika hari beranjak senja. Langit cakrawala di luar warnanya sudah seperti es krim favoritku, kuning ke oranye ke kemerahan.Terakhir, aku menyemprotkan parfum ke sekitar leher dan pergelangan tangan, bertepatan dengan Saverio yang juga baru selesai menerima telepon di balkon.Aku mengamati Saverio. Laki-laki itu juga sudah ganti pakaian yang lebih santai dengan celana bahan yang merupakan celana wajib dan kaos Polo warna hitam. Dan rambutnya rapi seperti biasa dengan potongan cepak.Aku sendiri hanya mengenakan celana jeans dan blouse warna merah muda, cukup rapi dan sopan untuk dipakai berkunjung ke panti asuhan.Aku membawa satu box berukuran sedang berisi gorengan yang tadi kumasak dan masih menguarkan aroma menggiurkan, sementara Saverio me
Secara singkat, apa yang terjadi semalam dimana Saverio bertelepon dengan orang yang pembicaraannya membuatku penasaran, segera saja aku melupakan hal itu keesokan paginya.Karena hal pertama yang menyapaku di pagi hari itu begitu membuka mata adalah, sesuatu yang agak berat melingkari pinggangku dan sesuatu yang hangat terasa menghangatkan punggungku.Aku berbalik, membuat Saverio yang tadinya tidur seraya memelukku dari belakang ikut membuka mata dengan berat. "Pagi, Lyra," sapanya dengan suara serak. Sesaat kemudian, matanya sudah terpejam lagi.Aku tersenyum kecil, membalas, "Pagi juga. Sejak kapan Kakak ada di kamarku?" Karena seingatku, sesudah kami minum semalam, aku dan Saverio berlalu ke kamar masing-masing.Karena masih mengantuk, aku langsung tidur lagi dan tidak menyadari apalagi yang terjadi setelah itu. Sekedar mimpi Saverio datang saja tidak.Saverio melenguh sebentar, menjawab dengan suara pelan yang lebih mirip igauan saat tidur, "Jam dua pagi
Usai makan malam, kami membereskan balkon bersama. Di tengah kegiatan itu, aku menyetel musik-musik indie yang rasanya nyaman sekali diputar di saat seperti ini. Malam santai, balkon di ketinggian gedung apartemen, vibes langit malam Jakarta, dan musik indie. Menyenangkan sekali menikmati semua perpaduan itu setelah hari yang melelahkan di kampus dan jalanan Jakarta yang banyak macetnya.Aku bergabung dengan Saverio untuk membereskan lilin lampu mungil dan menaruhnya di kardus yang dipegang laki-laki itu. Kemudian, bersama Saverio, kami mengangkut meja dan kursi kembali ke ruang makan. Hal yang tidak kusangka adalah, bahwa perabot itu cukup berat rupanya."Kakak, padahal aku sama sekali tidak masalah makan malam di dalam," kataku, kembali mengawali pembicaraan.Saverio masih menatapku, menunggu kalimatku selanjutnya yang bilang,"Kakak kan baru sembuh dari tipes. Mengangkut perabot begini sendirian bisa melelahka
"Bagaimana hari Kakak di kantor?" Aku bertanya di tengah kegiatan makan malam romantis dadakan di balkon ini."Oh--" Saverio menelan makanannya sejenak, kemudian menjawab, "Tidak terlalu baik. Tapi itu hanya masalah sehari-hari di kantor."Ah iya. Dulu Saverio kerap kali bercerita kalau di kantor sedang ada sedikit masalah yang kadang membuatnya terlambat datang atau bahkan terpaksa membatalkan janji nonton denganku.Ayah juga kadang cerita pada Mama beberapa masalah kecil yang dilaluinya di kantor, yang tidak sengaja kudengar tentu saja.Terkadang, Mama juga kerap kali kelepasan membahas kalau dia sedang ada masalah di tempat kerjanya saat memarahiku karena aku pulang terlalu malam bersama Maxi.Jadi aku selalu menganggapnya sebagai 'masalah sehari-hari' sebagaimana yang dibilang Saverio barusan. Toh aku juga punya masalah sehari-hari di sekolah atau di kampus. Dan tentu saja, masalahku biasanya masih sesuai kapasitas remaja perempuan di
Nanti malam tidak perlu memasak. Kita akan makan di luar. Kakak berhasil dapat tempat untuk kita.'Begitulah isi pesan teks Saverio saat sebelumnya aku bilang kalau aku perlu belanja untuk menyiapkan makan malam. Sejenak, aku mendiamkan pesan itu dan menatap piring batagorku. Rasanya ada yang mengganjal di hatiku mengenai isi pesan itu."Nanti malam bagaimana?" Kina bertanya tiba-tiba di antara keriuhan kantin fakultas yang agak ramai karena jam makan siang. Aku mengalihkan atensi dari sepiring batagor yang isinya tinggal separuh sekaligus memecah lamunanku tentang Saverio, dan juga mematikan ponselku, kemudian menatap Kina dengan kening berkerut. "Apanya yang nanti malam?" Kina berdecak, dia menyodorkan ponsel yang sedari tadi diperhatikannya. "Tentu saja nonton, apalagi? Yang kita bahas di kelas sejak tadi.""Aku tidak bisa," sahutku tanpa berpikir panjang, kemudian menyuap batagorku dengan cuek. Tentu saja, aku mau berpikir apal
Hari ini, sudah hampir sepuluh hari Saverio pemulihan di apartemen pasca rawat inap karena thypus dan tampaknya dia sudah mulai bosan setengah mati.Selama dua hari terakhir, Saverio hanya duduk di sofa dengan gurat bosan yang dia tunjukkan kalau ada aku, sembari fokus dengan layar iPad yang jadi teman setianya selama beberapa hari ini. Aku juga menyaksikan apa saja kegiatannya itu, yang tidak jauh-jauh dari laporan kantor dan kabar dari panti asuhan.Karena dia tidak punya kerjaan, Saverio seringkali menyibukkan dirinya untuk mengirim sesuatu ke panti selama setiap hari. Pagi hari dia mengirim susu, siang hari mengirim buah, dan sore hari mengirim puding.Tentu saja. Menghabiskan uang untuk anak panti yang jumlahnya bahkan tidak sampai sepuluh anak itu memang tidak berpengaruh sama sekali buat Saverio. Lalu karena fisik Saverio tampaknya sudah mulai prima lagi, maka aku juga sudah membolehkannya kembali ke kantor. Tentu
Mata kuliah Ilmu Gizi pagi ini selesai, kemudian berlanjut ke Dasar Boga sampai siang. Selama dua kelas itu aku berpisah dengan Kina karena dia mengambil mata kuliah yang berbeda. Namun tidak urung, Maxi mengirimiku pesan. 'Ayo makan siang di warung bebek bakar belakang kampus,' ketiknya. Aku menepi sebentar di tangga agar mahasiswa lain di belakangku bisa lewat, kemudian membalas, 'Lain kali saja, aku mau mengambil laptop untuk mengerjakan tugas' 'Kan bisa sambil makan siang,' balasnya. Aku buru-buru mengetik, 'Memangnya kamu bisa membiarkan mengerjakan tugas? Kamu kan selalu mengajakku nonton' 'Benar juga. *Lol* Ya sudah, kapan-kapan saja kalau begitu' 'Oke' Dan aku segera memesan ojek online untuk mengantarku ke kost yang banyak sekali mahasiswa keluar masuk dengan bebas. Mereka bahkan tidak akan peduli kalau aku tidak pulang ke tempat ini selama berhari-hari. Bahkan mungkin mereka tidak men
"Kamu pulang..." Saverio kembali bergumam lirih, seolah memastikan bahwa apa yang dikatakannya benar. Bahwa mau berapa kali pun dia mengatakan bahwa aku pulang, maka tidak ada yang membantahnya. Termasuk aku. Yang terisak keras di pelukannya. "Iya, aku pulang," sahutku tersedu. Saverio membawa langkah kami memasuki apartemennya dan menutup pintu di belakangku dengan mudah. Laki-laki itu lantas mengurai pelukan kami dan menatap wajahku lekat. Kedua tangan lebar dan hangat Saverio menangkup wajahku. Kedua ibu jarinya mengusap air mata yang masih bercucuran di pipiku. "Kamu disini," gumamnya. Matanya tampak berkaca-kaca. Tapi kemudian kusadari bahwa mataku-lah yang berkaca-kaca lagi. "Kamu tidak akan pergi lagi kan?" "Tidak." "Kamu tidak akan meninggalkan Kakak lagi kan?" Bertanya, seolah untuk memastikan bahwa kami bertemu bukanlah untuk berpisah lagi. Aku menggeleng, menangis lagi. "Aku mau disini... bers