Pria itu sudah mengganti pakaian resminya dan memilih mengenakan celana jins dan kaus berwarna hitam. Dari kejauhan Violet tak bisa menangkap dengan jelas apa gambar yang tercetak di bagian depan kaus lelaki pujaannya. Yang Violet tahu, rasa bahagia terserap oleh setiap pori-pori di kulitnya.
Violet membulatkan tekad, sudah saatnya dia mengikuti hatinya. Keinginannya yang paling sejati. Keraguan sudah pergi saat Violet melangkah sambil mendorong troli miliknya. Namun, langkahnya terpaksa terhenti saat seorang perempuan dengan wajah familier memanggil Quinn dan membuat lelaki itu berhenti. Perempuan itu mendekat dan berbincang akrab dengan Quinn. Mereka bahkan berbagi tawa. Bisa menebak orangnya? Eirene!
Violet mengerjap untuk memastikan bahwa dia tak salah lihat. Setelah itu, dia buru-buru berbalik meninggalkan trolinya begitu saja. Hasrat untuk berbelanja dan bicara dengan Quinn, sudah menguap. Dengan langkah terburu-buru, Violet meninggalkan Marquiss.
When
Sheila dan Ezra bukan berasal dari keluarga sembarangan. Itulah yang jelas tergambar saat melihat jumlah dan siapa saja tamunya. Violet bahkan berpapasan dengan seorang vokalis band flamboyan, beberapa model, hingga wajah-wajah familiar yang sering berlakon di sinetron. Jeffry pernah mengungkapkan bahwa ibunda Sheila adalah pengusaha sementara ayahnya seorang produser. Jadi, sangat wajar jika tamu resepsinya bukan orang sembarangan.Namun Violet tetap tidak menduga saat melihat Quinn datang bersama ... Eirene! Seketika Violet merasa berada di lautan kekonyolan yang menggelikan. Penyesalan segera menghantamnya. Seharusnya dia tak pernah menyanggupi ini. Jeffry saja sudah menjadi alasan yang cukup kuat untuk mundur. Nah, kini malah diperparah dengan kehadiran Quinn.Semestinya, Violet mempertimbangkan kemungkinan ini. Sheila dan Ezra mengenal Quinn. Semua yang hadir saat di Puncak, diundang untuk datang. Hanya Rifka yang tidak hadir karena sedang dirawat inap seusai oper
“Begini. Saat di Marquiss, aku berusaha mengejarmu, tapi kamu sudah naik angkutan. Aku pun menyusul ke tempat indekos, tapi ternyata kamu sudah pindah. Ponselmu tidak bisa dihubungi. Aku sempat dua kali ke kantormu, tapi kamu sudah pulang. Tidak ada yang mau memberi tahu apa yang terjadi. Sampai kamu harus mengganti nomor ponsel dan pindah tempat tinggal. Kamu kira aku tidak merasa cemas? Di sisi lain, aku juga teradang masalah pekerjaan, karena sudah hampir mau pindah. Makanya, aku tidak bisa....”“Aku tidak butuh penjelasanmu!” Violet membuang muka. Saat itulah dia menyadari bahwa ada berpasang-pasang mata memperhatikan mereka berdua. Rasa jengah dan malu menerjangnya. Karena itu, dia berusaha menarik kaki kirinya.“Quinn, lepaskan kakiku! Lihat, kita sudah menjadi tontonan orang,” desah Violet gugup.Quinn tak peduli. “Biarkan saja! Kenapa harus meributkan pendapat orang, sih? Violet Sayang, kita punya banyak masalah
Quinn mendekap Violet dengan penuh perasaan. Mata lelaki itu terpejam, meresapi perasaan bahagia yang sedang berkecamuk di dadanya. Dia tak peduli kendati saat ini mereka sedang berada di sebuah acara resepsi. Quinn juga tak ambil pusing jika Jeffry mendadak kembali dan meninjunya tanpa permisi. Pria itu hanya ingin menikmati momen luar biasa yang sama sekali tak terduga ini.“Quinn, orang-orang menjadikan kita tontonan,” bisik Violet dengan suara lirih. Namun gadis itu tak merenggangkan pelukannya. Jari-jari Violet bertaut di pinggang belakang Quinn.“Biarkan saja. Tolong jangan buru-buru menyuruhku melepaskanmu, Vi. Aku sedang luar biasa bahagia dan tak mau ada yang mengganggu. Aku benar-benar ingin menikmati saat-saat ini.”Violet tertawa kecil. “Kenapa?”“Karena ini adalah akhir dari penantianku selama ini. Menderita berbulan-bulan, aku lega karena seperti inilah akhirnya. Semuanya tidak ada yang sia-sia, sepa
“Tapi, kamu nggak perlu sampai membopongku,” keluh Violet. Namun gadis itu melingkarkan kedua tangannya untuk memeluk leher Quinn.“Kamu masih ingat waktu kakimu lecet saat kita baru keluar dari toko buku?”“Ingat. Mana mungkin aku bisa lupa?” sahut Violet. “Waktu itu, kamu juga menawarkan diri untuk menggendongku.” Gadis itu tertawa kecil.Quinn agak menunduk untuk menatap Violet. Dia mengaku, “Waktu itu, aku serius dengan ucapanku, Vi. Aku bukan cuma berbasa-basi.” Quinn tersenyum pada gadis yang baru saja menjadi kekasihnya. “Saat itu, aku mulai menyadari satu hal. Bahwa aku sudah mulai jatuh cinta padamu. Kakimu yang lecet saja sudah membuatku cemas setengah mati.”“Serius?” Violet menaikkan kedua alisnya dengan bibir menyunggingkan senyum.“Serius, Violet Sayang.”Quinn baru menurunkan Violet setelah mereka tiba di mobilnya. Lelaki itu membuk
Violet malah tertawa kecil. Quinn lega karena gadis itu kini terlihat santai. Dia tak akan lupa betapa kagetnya Violet saat melihat Quinn tadi. Lelaki itu bahkan punya firasat bahwa Violet akan kembali menolaknya. Untung saja hal menyedihkan itu tak terjadi lagi. Kesabaran Quinn akhirnya terbayar lunas.“Aku memang menghindarimu. Itu setelah aku melihatmu dengan Eireen dalam dua kesempatan. Kukira kalian bersama lagi, Quinn,” Violet mengaku terus terang.“Aku tidak mengenal istilah CLBK, Vi. Aku akan bertahan pada suatu hubungan semampuku. Kalau istilah yang lebih dramatis, sampai titik darah penghabisan. Sehingga kalau akhirnya memutuskan untuk berpisah, tidak akan ada penyesalan,” urai Quinn. “Eh iya, mau makan di mana?”“Terserah kamu saja. Selera kita kan lumayan mirip. Makanan yang kamu bilang enak, biasanya juga cocok dengan lidahku,” sahut Violet. “Besok pagi aku akan menelepon ke tempat indekos yang l
Quinn terhenyak mendengar jawaban itu. Dia tak pernah menduga jika Violet memikirkan hal itu. Setelah lewat beberapa detik, Quinn menarik napas. Dia tahu, Violet sudah mengambil keputusan yang tepat. Memang seharusnya seperti itu. Sekarang, dia benar-benar lega karena yakin Violet memang jatuh cinta pada dirinya.“Terima kasih, Vi. Walau barusan aku merasa kamu agak berlebihan karena lebih memilih untuk tak menghubungiku, sekarang aku berubah pikiran. Kamu sudah mengambil langkah yang tepat.”Violet memiringkan kepalanya ke kanan, menatap Quinn dengan senyum terkulum. “Semua orang menilaiku seperti itu. Maksudku, Kelly dan Wynona. Mereka bilang aku sudah membuat segalanya jadi lebih rumit. Padahal, aku cuma ingin mengambil waktu supaya bisa berpikir jernih.”Quinn menukas tiba-tiba dengan suara menggoda, “Tapi kamu nyaris kabur lagi setelah melihatku dan Eireen di Marquiss berdua. Begitu juga saat kami datang ke resepsi tadi. Kalau
Violet tampak memikirkan sesuatu selama beberapa saat. “Iya, sih. Kayaknya Jeffry memang belum mau menyerah. Tapi, kurasa sekarang aku sudah lebih siap untuk menghadapinya. Apa pun yang diucapkan Jeffry, tidak akan mengubah keadaan.”“Aku percaya itu,” ucap Quinn sungguh-sungguh. Tak mau Violet salah paham, dia memberi penjelasan tambahan. “Bukannya kamu takut tergoda atau semacamnya. Aku cuma cemas kamu merasa terganggu karena dia mungkin tidak akan menyerah dengan mudah.”“Tak apa-apa. Sejak kami sibuk dengan persiapan acara resepsinya Sheila, Jeffry sudah mencoba berbagai cara, Quinn. Ternyata aku bisa tetap menjaga jarak walau memang kurang nyaman. Jujur, aku merasa bodoh karena sampai harus pindah tempat indekos dan mengganti nomor ponsel. Seharusnya, sejak awal aku tak perlu melakukan semua itu. Harusnya, aku cuma perlu menolak dengan tegas. Memberi pengertian secukupnya saja.”Quinn tak bicara apa-apa lagi,
Selama empat bulan terakhir ini, ada banyak yang terjadi dalam hidup Violet. Tak cuma memiliki kekasih yang dicintainya dan pindah kembali ke tempat indekos lama. Melainkan juga hal-hal lain yang cukup mengejutkan. Wynona akhirnya benar-benar memilih mengundurkan diri dari pekerjaannya dan kembali ke Cipanas. Salah satu sahabat Violet itu akan mengurus bisnis katering yang selama ini dijalankan oleh ibunya.Berpisah dari Wynona adalah hal yang menyedihkan. Meski mereka masih bisa bertemu karena jarak antara Bogor dan Cipanas tak terlalu jauh. Tepatnya di bawah lima puluh kilometer. Namun, tentu saja situasinya sudah berbeda. Tak seperti saat mereka masih tinggal di rumah indekos yang sama.“Kami akan merindukanmu, Wyn,” ulang Violet untuk kesekian kalinya sambil mendekap sahabatnya. Wynona mengusap-usap punggung Violet dengan gerakan perlahan.“Kita masih bisa sering bertemu. Kalian harus sering datang ke Cipanas karena aku akan begitu sibuk me
Wynona memasuki masa berkabung karena patah hati tanpa air mata atau kesedihan yang berlarut-larut. Kendati berpisah dari David setelah hubungan selama sembilan tahun, tetap saja bukan hal yang mudah untuk dihadapi. Akhir hubungan mereka begitu tak menyenangkan karena sikap David dan keluarganya. Namun Wynona makin yakin dia sudah mengambil keputusan yang tepat.Ada beberapa sebab, tak cuma melulu “dosa” David saja, melainkan juga kesalahan Wynona. Sejak malam itu, David bahkan tak berusaha menghubungi Wynona lagi. Lelaki itu seolah menghilang begitu saja. Sembilan tahun yang mereka miliki bersama-sama, tak penting. Wynona pun tampaknya dianggap bukan lagi perempuan yang pantas untuk diperjuangkan.Sementara dari sisinya, Wynona kian yakin bahwa perasaannya pada David sudah benar-benar tawar. Hatinya sudah berubah. Gadis itu tak keberatan disalahkan karena seolah memberi peluang pada Leon untuk masuk dalam hidupnya.Dia tak akan menampik hal itu. Nam
Kata-kata yang dilontarkan orangtua Leon itu membuat Wynona benar-benar merasa dihargai. Dia tak bisa mencegah rasa haru menusuk-nusuk dadanya. Namun. Tentu saja dia tak boleh menangis lagi di sini. Sudah cukup air mata yang ditumpahkannya hari ini.“Wyn, mau main ludo atau halma?” Suara erangan terdengar dari berbagai arah sebagai respon untuk kata-kata Anton. Lelaki itu menunjukkan ekspresi tak berdosa saat membela diri. “Papa kan belum pernah main ular tangga dengan Wynona.”“Tolong Pa, kreatiflah sedikit. Setiap tamu selalu diajak main halma atau ludo. Apa tidak ada yang lain?” gerutu Trisa. Lalu, perempuan itu bicara pada tamunya. “Wyn, kapan kamu bisa mengirim daftar belanjaan untuk minggu depan? Lebih cepat lebih baik, kan?”“Iya Kak, aku akan menyiapkan daftarnya secepatnya. Besok atau paling telat lusa,” janji Wynona.Trisa mengangguk senang. “Mungkin sehari sebelum acara, akan leb
“Tidak apa-apa. Walau sebenarnya aku ke sini cuma ingin bertemu Om, Tante, dan Kakak,” sahut Wynona. “Agak pesimis juga awalnya, karena menurut Leon, Kakak nggak tinggal di sini.”Trisa tersenyum lebar. “Begitulah kalau menjadi anak perempuan satu-satunya. Kalau aku nggak datang selama beberapa hari, pasti ada yang menelepon. Kalau tidak Mama, Papa, kadang asisten rumah tangga. Ada saja alasan yang diajukan. Yang terbanyak sih, Nadya. Padahal, mereka itu merindukanku,” kelakarnya.“Hahah, aku jadi sangat iri. Aku juga anak perempuan satu-satunya tapi tak ada yang merindukanku seperti itu.”Trisa menatap Wynona sungguh-sungguh. “Aku justru yang iri dengan kemampuan memasakmu, Wyn! Aku semur hidup cuma bisa memasak nasi goreng. Itu pun menggunakan bumbu instan. Kemampuan memasakku nol besar. Padahal Mama jago di dapur. Dan kami terbiasa dimanjakan dengan masakannya.”Setelah kembali ke ruang tamu,
Wynona hampir menabrak dada seseorang saat membalikkan tubuh. Sendok kayu yang dipegangnya, jatuh ke lantai. Tangan kanannya memegang dadaku, seakan dengan begitu rasa kaget gadis itu akan berkurang jauh.“Syukurlah kamu baik-baik saja,” gumamnya dengan ekspresi lega tergambar jelas. Leon pasti tidak pernah tahu kalau Wynona pun tak kalah lega melihatnya.“Kamu mengagetkanku,” bibir Wynona cemberut. Dia hendak berjongkok memungut sendok kayu, tapi Leon bergerak lebih cepat dan menaruh benda itu di wastafel.“Dapurnya indah. Aku suka,” puji Wynona. “Sebentar, aku harus memindahkan mi-nya dulu.”“Butuh mangkuk besar?” Leon membuka sebuah pintu kabinet di bagian atas dan mengeluarkan sebuah mangkuk kaca transparan. “Apakah ini cukup?”Wynona mengangguk. Dengan gerakan hati-hati, dia menyusun mi, kol, dan telur rebus yang sudah dipotong-potong. Saat hendak menua
David menatap Wynona tak percaya. Kemarahan tergambar di setiap gerak tubuhnya. “Putus? Kenapa kamu terlalu cepat mengambil keputusan?”Gadis itu menggeleng. “Ini bukan keputusan yang terburu-buru. Selama ini, aku hanya tidak berani mengakui kenyataan.”“Wynona!”Gadis itu menatap wajah David dengan perasaan campur aduk. Betapa lelaki ini pernah membuat hati Wynona berpesta karena cintanya. Betapa David pernah menjadi orang terpenting dalam hidup gadis itu. Betapa Wynona pernah sangat ingin mengubah dirinya agar menjadi sosok paling diinginkan dalam hidup lelaki ini. Itulah kuncinya, pernah. Artinya, itu sudah berlalu lama, sebelum gadis itu akhirnya diterpa kesadaran. Terlambat, tapi Wynona tidak menilainya sebagai sebuah kefatalan. Dia tidak menyesali semuanya. Gadis itu hanya menganggap semua ini sebagai proses panjang yang mendewasakan.“Wyn, jangan cuma karena masalah ini, hubungan kita m
“Wyn,” David menjajari langkah kekasihnya. Sementara Wynona berusaha berjalan lebih cepat. Dia hampir mencapai pintu gerbang ketika David berhasil meraih lenganku.“Apa kamu tidak mendengarku?” tanyanya marah. Ekspresinya berubah keras.“Aku cuma ingin pulang. Aku tidak mau dihina lagi.”David menggelengkan kepalanya. “Mama hanya ingin tahu tentang kamu.”Wynona menatap David dengan tajam. Andai bisa, dia ingin mengguncang tubuhnya David dan meniupkan kesadaran di benaknya agar lelaki ini melihat fakta yang sebenarnya.“Vid, mamamu tidak menyukaiku. Sampai kapan pun akan tetap seperti itu. Percayalah, tidak akan ada yang berubah. Dan aku tidak nyaman diperlakukan seperti tadi.”David masih memegang lengan Wynona. “Aku tidak mengizinkanmu pulang. Nanti aku akan mengantarmu, Wyn! Sekarang, ayo kita masuk ke dalam lagi,” ajaknya.Wynona menggeleng tegas seraya melepa
Wynona tersenyum kecil menanggapi gurauannya. David nyaris tidak pernah antusias menikmati masakanku. Gadis itu mengitari ruang tamu yang luas itu dengan tatapannya. Ada belasan perempuan paruh baya yang bergaya trendi. Juga ada beberapa gadis muda yang usianya tak jauh beda dengan Wynona. Aneka aroma parfum mahal menyengat hidung. Membuat campuran aneh yang memusingkan kepala Wynona. Semua orang sibuk berbincang seraya menikmati aneka makanan yang tampak lezat. Gadis itu tidak melihat kehadiran ayah dan saudara David lainnya.Irene mendekat ke arah Wynona, Sofia, dan David yang duduk di sebuah sofa panjang. Perempuan itu memilih sofa tunggal di depan mereka. Wynona baru ingat, dia sama sekali tidak diperkenalkan dengan tamu yang ada.“Ma, coba cicipi ini.” Sofia menyodorkan sepotong kecil pie yang dibawa Wynona. Irene menggigit ujungnya sedikit. Entah mengapa, Wynona menjadi tegang karenanya.“Enak,” ujarnya. Namun dia menolak m
Wynona mendesah. “Kukira kamu akan memberiku usul yang masuk akal. Kamu kan tahu apa yang terjadi padaku saat resepsi? Kenapa kamu masih bisa mengusulkan ini?”“Wyn, aku tidak ingin melihatmu sedih atau terluka. Akan tetapi, ada kalanya kita harus berhadapan dengan kepahitan untuk mengetahui apa sebenarnya kebenaran di baliknya. Kalau kamu tidak mau bertemu mamanya David, apa masalah kalian akan selesai? Bukannya malah membuat semuanya menjadi makin rumit?”Wynona mengerutkan alis. “Aku tidak mengerti maksudmu.”Gadis itu mendengar suara tawa ringan di seberang.“Menghindar pasti lebih mudah. Tapi, apa kamu tidak penasaran ingin tahu bagaimana sebenarnya sikap keluarga David? Maksudku, mamanya. Kamu butuh kesempatan untuk bisa menilai dengan objektif. Dan menurutku, ini saat yang tepat.”Wynona tercenung mendengarnya. Keheningan menyergap selama sesaat.Leon bicara lagi. “Sebenarnya
Wynona masih berada di dalam kepungan kabut membingungkan sebagai efek dari kata dan tindakan Leon. Dia masih belum bisa berpikir dengan jernih untuk tahu apa yang sebenarnya diinginkan. Semuanya serba membingungkan. Seakan Wynona berada di sebuah labirin paling rumit di dunia.Lalu, David menghubunginya setelah berhari-hari menghilang tanpa kabar. “Wyn, apa kamu baik-baik saja?” tanyanya penuh perhatian.“Ya,” dusta Wynona sembari menggigit bibir.“Aku minta maaf untuk berbagai masalah di antara kita. Tapi aku ingin menyelesaikannya satu per satu.” Jeda beberapa detik. “Mama ingin bertemu denganmu. Nanti malam bisa?”Wynona benar-benar tak siap dengan permintaan itu. “Nanti malam?”“Iya. Apa kamu tidak bisa? Ada pekerjaan?”“Aku....”Jawaban Wynona belum tuntas tapi sudah menukas dan mendesak. “Tolong luangkan waktu, ya? Aku tidak enak kalau har