Selama empat bulan terakhir ini, ada banyak yang terjadi dalam hidup Violet. Tak cuma memiliki kekasih yang dicintainya dan pindah kembali ke tempat indekos lama. Melainkan juga hal-hal lain yang cukup mengejutkan. Wynona akhirnya benar-benar memilih mengundurkan diri dari pekerjaannya dan kembali ke Cipanas. Salah satu sahabat Violet itu akan mengurus bisnis katering yang selama ini dijalankan oleh ibunya.
Berpisah dari Wynona adalah hal yang menyedihkan. Meski mereka masih bisa bertemu karena jarak antara Bogor dan Cipanas tak terlalu jauh. Tepatnya di bawah lima puluh kilometer. Namun, tentu saja situasinya sudah berbeda. Tak seperti saat mereka masih tinggal di rumah indekos yang sama.
“Kami akan merindukanmu, Wyn,” ulang Violet untuk kesekian kalinya sambil mendekap sahabatnya. Wynona mengusap-usap punggung Violet dengan gerakan perlahan.
“Kita masih bisa sering bertemu. Kalian harus sering datang ke Cipanas karena aku akan begitu sibuk me
Kejutan lain yang terjadi adalah berkaitan dengan Jeffry. Setelah kecelakaan mobil yang dialaminya dengan Eireen, Jeffry masih berusaha menundukkan hati Violet. Agar bersedia kembali bersama lelaki itu. Namun, hasilnya tentu saja bisa ditebak. Violet menolak mentah-mentah.“Kenapa kita menjadi begini, Vi? Aku tidak mau berpisah darimu. Harus berapa kali kukatakan kalau aku benar-benar cuma mencintaimu?”Jika menuruti kata hati, Violet ingin merespons ucapan Jeffry itu dengan kalimat-kalimat frontal. Namun dia tahu bahwa itu tak ada gunanya. Apa manfaatnya membahas hal-hal yang sudah lewat dan tak mungkin diperbaiki lagi? Tak ada gunanya juga jika dia terus menunjukkan kesalahan-kesalahan Jeffry. Karena lelaki itu tak pernah menganggap semuanya sebagai kekhilafan.“Kita memang sudah tidak bisa bersama, Jeff. Jangan bersikap begini karena aku merasa tidak nyaman. Jangan membuatku membencimu. Sekarang dan seterusnya, kita harus fokus pada hi
Sebenarnya, Violet tak berencana untuk mengambil cuti saat ini. Namun, karena suatu obrolan dengan Kelly, membuatnya berubah pikiran. Mereka sedang membahas pasangan masing-masing. Kelly mengaku bahwa Sherwin memang sudah mulai menyinggung tentang pernikahan. Tampaknya, Kelly pun tak keberatan untuk melangkah lebih jauh.“Kayaknya, kamu yang lebih dulu naik ke pelaminan, Kel,” canda Violet. “Jangan lupa pesan katering pada Wynona.”“Hush! Masih jauh. Tidak akan terwujud bulan depan. Aku malah curiga kamu yang lebih dulu menikah, Vi. Lihat saja, sekarang sudah kurus kering gara-gara ditinggal Quinn ke Yogyakarta,” balas Kelly, sok tahu. “Siapa tahu, saat Quinn kembali ke Bogor, tiba-tiba dia mengajak menikah dan kamu setuju.”“Itu masih jauh. Maksudku, urusan menikah,” sahut Violet dengan wajah terasa hangat. “Tapi, aku memang merindukan Quinn. Baru pacaran sudah ditinggal. Cuma, mau protes juga ta
Setelah menutup pintu, Quinn menaruh tas milik Violet di lantai. Lalu, pria itu benar-benar memeluk kekasihnya lagi. Karena mereka hanya berdua, dengan senang hati Violet pun melingkarkan kedua tangannya di belakang pinggang Quinn.“Maaf ya, karena kamu yang harus ke sini. Padahal, aku betul-betul rindu padamu, Violet Sayang,” desah Quinn. “Tapi di sisi lain, aku juga tidak bisa cuti. Terpaksa menunggu sampai aku kembali ke Bogor. Aku tidak mau dianggap sebagai orang yang tak bertanggung jawab. Mentang-mentang Kakek—”“Aku tahu! Jangan merasa bersalah begitu, Quinn! Kan tidak ada salahnya aku yang datang ke sini. Sekalian pengin memastikan kalau kamu tidak macam-macam di sini,” canda Violet.“Aku tidak sempat macam-macam karena terlalu sibuk bekerja dan merindukanmu.” Quinn akhirnya mengurai dekapannya. “Kamu menginap di mana? Sudah pesan hotel? Atau, mau bermalam di sini saja?”Violet meng
Kelly Madjid menelentang di ranjangnya. Belakangan ini, dia makin sering merasa kesepian. Terutama sejak kedua sahabatnya yang juga tinggal di tempat indekos itu, pindah. Awalnya Wynona, sekitar lima bulan silam. Disusul Violet, tiga minggu lalu.Setelah berbulan-bulan dibujuk oleh Quinn untuk pindah dan bekerja di The Suite cabang Yogyakarta, Violet akhirnya menyerah. Quinn pun meninggalkan pekerjaannya di Bogor dan meminta mutasi ke tanah kelahirannya. Meski Violet belum mau berterus terang, Kelly yakin jika sahabatnya akan segera menikah.“Masih jauh, Kel. Kami belum punya rencana ke sana,” argumen Violet. “Aku akhirnya bersedia pindah ke Yogyakarta karena beberapa alasan, sih. Aku betah di sana. Liburan kemarin itu benar-benar berkesan. Bukan cuma karena faktor Quinn saja. Apalagi, Quinn pun sepertinya ingin pulang ke Yogyakarta. Dia memang tidak pernah bicara terang-terangan. Tapi itu yang kutangkap. Apalagi setelah ayahnya sempat sakit lumayan l
“Ceritamu ini ... entahlah. Seperti kisah film-film thriller,” kata Kelly saat bertemu Katya. Sepupunya mengangguk sembari tersenyum tipis. Katya tampak jauh lebih matang dibanding dulu. Tidak ada jejak anak manja yang begitu dikenal orang-orang sekelilingnya.“Salah satunya, mirip film jadulnya J-Lo. Judulnya Enough,” gumam Katya.Kelly mengangguk. “Ah, iya! Aku ingat. Dulu pernah menonton film itu waktu diputar di televisi.”Siapa yang bisa menduga jika Frans tega memukuli istrinya, sementara dalam banyak kesempatan lelaki itu berusaha menunjukkan bahwa dia sangat mencintai Katya? Frans adalah manipulator yang mengerikan. Fakta itu mirip bayangan gelap yang menari-nari dan menghantui Kelly. Meski kini Katya sudah menikah lagi dan berbahagia dengan pria bernama Sebastian yang dikenalnya saat berada di Edinburgh.Bukan, Kelly tak bermaksud menuduh bahwa Sebastian akan mengulangi apa yang dilakukan Frans. Kelly
Kelly buru-buru menukas, “Maaf, Win, itu nggak betul. Tidak tepat kalau dibilang aku jadi mencurigaimu. Tapi memang aku jadi sering memikirkan masalah Katya. Wajar, sih, karena dulu Frans itu sangat perhatian, sangat memanjakan Kat. Pokoknya, membuat perempuan normal menjadi iri. Tapi ternyata apa yang terjadi saat mereka cuma berdua, itu menakutkan.”Sherwin yang sedang menyetir, menggumamkan persetujuan dengan suara pelan. “Kamu kenal aku. Memangnya kapan aku pernah berusaha mengasarimu?”Itu pertanyaan yang sebenarnya sulit dijawab dengan objektif. Berkaca dari kasus Katya, kapan seseorang bisa meyakini kalau dia mengenal pasangannya dengan baik? “Kamu nggak pernah kasar. Aku pun membahas masalah ini karena....” Kelly mengatupkan bibirnya. Tampaknya, pupus sudah harapan untuk menjadikan Sherwin teman diskusinya. Mungkin, lebih aman jika Kelly membahas perasaannya dengan Cilla, atasan sekaligus teman baiknya.“Apa?&rdq
Tiga tahun yang lalu.Duncan Caldwell sedang bicara di gawainya dengan nada riang yang dipenuhi cinta. Respons dari lawan bicaranya membuat lelaki itu tak henti merekahkan senyum. Taksi yang ditumpanginya masih membelah jalan tol yang tetap ramai di pagi buta itu.Hari ini, dia akan bertolak menuju Australia, tepatnya di kota Melbourne. Laki-laki itu mendapat kesempatan untuk menyaksikan secara langsung seri pembuka Formula One di sirkuit Albert Park. Duncan tumbuh besar dengan menemani ayahnya menonton kehebatan Michael Schumacher di lintasan dan melibas lawan-lawannya tanpa ampun. Tanpa terduga, itulah yang menumbuhkan kecintaannya pada balapan jet darat dan Herr Schumacher.Sembari mendengarkan kekasihnya bicara di telepon, Duncan memeriksa arlojinya. Penerbangannya masih sekitar empat jam lagi. Namun dia terbiasa sudah hadir di bandara jauh sebelum jam keberangkatan. Apalagi jika harus bepergian ke luar negeri.“Maaf ya, aku menelepon terlalu pa
“Hahaha, sebenarnya itu maksudku, Sis,” Duncan tergelak. Nina selalu bisa membuatnya merasa terhibur. Sepanjang adiknya tidak berada dalam mode si tukang ikut campur yang menyebalkan itu. “Boleh tahu kenapa kalian putus dan kamu nggak kelihatan sedih sama sekali? Pasti ada alasannya, kan?”“Aku memergokinya selingkuh. Basi dan mainstream, ya? Kenapa aku bukannya memergoki Troy saat konsultasi ke spesialis kandungan karena ternyata dia perempuan dan sedang hamil? Pasti itu lebih seru.” Nina mengangkat bahu. “Sudah ah, aku nggak mau membahas soal dia lagi. Sama sekali tidak penting. Buanglah mantan pada tempatnya, Bro.”Sejak awal, Duncan sudah melihat gelagat jika Troy bukan orang yang setia. Sebagai sesama pria, tak sulit melihat tanda-tanda ke arah sana. Cara Troy memerhatikan gadis lain saat mereka mengobrol, cukup menggangu Duncan. Meski dia baru dua kali bertemu lelaki itu. Duncan pernah mengingatkan Nina den
Wynona memasuki masa berkabung karena patah hati tanpa air mata atau kesedihan yang berlarut-larut. Kendati berpisah dari David setelah hubungan selama sembilan tahun, tetap saja bukan hal yang mudah untuk dihadapi. Akhir hubungan mereka begitu tak menyenangkan karena sikap David dan keluarganya. Namun Wynona makin yakin dia sudah mengambil keputusan yang tepat.Ada beberapa sebab, tak cuma melulu “dosa” David saja, melainkan juga kesalahan Wynona. Sejak malam itu, David bahkan tak berusaha menghubungi Wynona lagi. Lelaki itu seolah menghilang begitu saja. Sembilan tahun yang mereka miliki bersama-sama, tak penting. Wynona pun tampaknya dianggap bukan lagi perempuan yang pantas untuk diperjuangkan.Sementara dari sisinya, Wynona kian yakin bahwa perasaannya pada David sudah benar-benar tawar. Hatinya sudah berubah. Gadis itu tak keberatan disalahkan karena seolah memberi peluang pada Leon untuk masuk dalam hidupnya.Dia tak akan menampik hal itu. Nam
Kata-kata yang dilontarkan orangtua Leon itu membuat Wynona benar-benar merasa dihargai. Dia tak bisa mencegah rasa haru menusuk-nusuk dadanya. Namun. Tentu saja dia tak boleh menangis lagi di sini. Sudah cukup air mata yang ditumpahkannya hari ini.“Wyn, mau main ludo atau halma?” Suara erangan terdengar dari berbagai arah sebagai respon untuk kata-kata Anton. Lelaki itu menunjukkan ekspresi tak berdosa saat membela diri. “Papa kan belum pernah main ular tangga dengan Wynona.”“Tolong Pa, kreatiflah sedikit. Setiap tamu selalu diajak main halma atau ludo. Apa tidak ada yang lain?” gerutu Trisa. Lalu, perempuan itu bicara pada tamunya. “Wyn, kapan kamu bisa mengirim daftar belanjaan untuk minggu depan? Lebih cepat lebih baik, kan?”“Iya Kak, aku akan menyiapkan daftarnya secepatnya. Besok atau paling telat lusa,” janji Wynona.Trisa mengangguk senang. “Mungkin sehari sebelum acara, akan leb
“Tidak apa-apa. Walau sebenarnya aku ke sini cuma ingin bertemu Om, Tante, dan Kakak,” sahut Wynona. “Agak pesimis juga awalnya, karena menurut Leon, Kakak nggak tinggal di sini.”Trisa tersenyum lebar. “Begitulah kalau menjadi anak perempuan satu-satunya. Kalau aku nggak datang selama beberapa hari, pasti ada yang menelepon. Kalau tidak Mama, Papa, kadang asisten rumah tangga. Ada saja alasan yang diajukan. Yang terbanyak sih, Nadya. Padahal, mereka itu merindukanku,” kelakarnya.“Hahah, aku jadi sangat iri. Aku juga anak perempuan satu-satunya tapi tak ada yang merindukanku seperti itu.”Trisa menatap Wynona sungguh-sungguh. “Aku justru yang iri dengan kemampuan memasakmu, Wyn! Aku semur hidup cuma bisa memasak nasi goreng. Itu pun menggunakan bumbu instan. Kemampuan memasakku nol besar. Padahal Mama jago di dapur. Dan kami terbiasa dimanjakan dengan masakannya.”Setelah kembali ke ruang tamu,
Wynona hampir menabrak dada seseorang saat membalikkan tubuh. Sendok kayu yang dipegangnya, jatuh ke lantai. Tangan kanannya memegang dadaku, seakan dengan begitu rasa kaget gadis itu akan berkurang jauh.“Syukurlah kamu baik-baik saja,” gumamnya dengan ekspresi lega tergambar jelas. Leon pasti tidak pernah tahu kalau Wynona pun tak kalah lega melihatnya.“Kamu mengagetkanku,” bibir Wynona cemberut. Dia hendak berjongkok memungut sendok kayu, tapi Leon bergerak lebih cepat dan menaruh benda itu di wastafel.“Dapurnya indah. Aku suka,” puji Wynona. “Sebentar, aku harus memindahkan mi-nya dulu.”“Butuh mangkuk besar?” Leon membuka sebuah pintu kabinet di bagian atas dan mengeluarkan sebuah mangkuk kaca transparan. “Apakah ini cukup?”Wynona mengangguk. Dengan gerakan hati-hati, dia menyusun mi, kol, dan telur rebus yang sudah dipotong-potong. Saat hendak menua
David menatap Wynona tak percaya. Kemarahan tergambar di setiap gerak tubuhnya. “Putus? Kenapa kamu terlalu cepat mengambil keputusan?”Gadis itu menggeleng. “Ini bukan keputusan yang terburu-buru. Selama ini, aku hanya tidak berani mengakui kenyataan.”“Wynona!”Gadis itu menatap wajah David dengan perasaan campur aduk. Betapa lelaki ini pernah membuat hati Wynona berpesta karena cintanya. Betapa David pernah menjadi orang terpenting dalam hidup gadis itu. Betapa Wynona pernah sangat ingin mengubah dirinya agar menjadi sosok paling diinginkan dalam hidup lelaki ini. Itulah kuncinya, pernah. Artinya, itu sudah berlalu lama, sebelum gadis itu akhirnya diterpa kesadaran. Terlambat, tapi Wynona tidak menilainya sebagai sebuah kefatalan. Dia tidak menyesali semuanya. Gadis itu hanya menganggap semua ini sebagai proses panjang yang mendewasakan.“Wyn, jangan cuma karena masalah ini, hubungan kita m
“Wyn,” David menjajari langkah kekasihnya. Sementara Wynona berusaha berjalan lebih cepat. Dia hampir mencapai pintu gerbang ketika David berhasil meraih lenganku.“Apa kamu tidak mendengarku?” tanyanya marah. Ekspresinya berubah keras.“Aku cuma ingin pulang. Aku tidak mau dihina lagi.”David menggelengkan kepalanya. “Mama hanya ingin tahu tentang kamu.”Wynona menatap David dengan tajam. Andai bisa, dia ingin mengguncang tubuhnya David dan meniupkan kesadaran di benaknya agar lelaki ini melihat fakta yang sebenarnya.“Vid, mamamu tidak menyukaiku. Sampai kapan pun akan tetap seperti itu. Percayalah, tidak akan ada yang berubah. Dan aku tidak nyaman diperlakukan seperti tadi.”David masih memegang lengan Wynona. “Aku tidak mengizinkanmu pulang. Nanti aku akan mengantarmu, Wyn! Sekarang, ayo kita masuk ke dalam lagi,” ajaknya.Wynona menggeleng tegas seraya melepa
Wynona tersenyum kecil menanggapi gurauannya. David nyaris tidak pernah antusias menikmati masakanku. Gadis itu mengitari ruang tamu yang luas itu dengan tatapannya. Ada belasan perempuan paruh baya yang bergaya trendi. Juga ada beberapa gadis muda yang usianya tak jauh beda dengan Wynona. Aneka aroma parfum mahal menyengat hidung. Membuat campuran aneh yang memusingkan kepala Wynona. Semua orang sibuk berbincang seraya menikmati aneka makanan yang tampak lezat. Gadis itu tidak melihat kehadiran ayah dan saudara David lainnya.Irene mendekat ke arah Wynona, Sofia, dan David yang duduk di sebuah sofa panjang. Perempuan itu memilih sofa tunggal di depan mereka. Wynona baru ingat, dia sama sekali tidak diperkenalkan dengan tamu yang ada.“Ma, coba cicipi ini.” Sofia menyodorkan sepotong kecil pie yang dibawa Wynona. Irene menggigit ujungnya sedikit. Entah mengapa, Wynona menjadi tegang karenanya.“Enak,” ujarnya. Namun dia menolak m
Wynona mendesah. “Kukira kamu akan memberiku usul yang masuk akal. Kamu kan tahu apa yang terjadi padaku saat resepsi? Kenapa kamu masih bisa mengusulkan ini?”“Wyn, aku tidak ingin melihatmu sedih atau terluka. Akan tetapi, ada kalanya kita harus berhadapan dengan kepahitan untuk mengetahui apa sebenarnya kebenaran di baliknya. Kalau kamu tidak mau bertemu mamanya David, apa masalah kalian akan selesai? Bukannya malah membuat semuanya menjadi makin rumit?”Wynona mengerutkan alis. “Aku tidak mengerti maksudmu.”Gadis itu mendengar suara tawa ringan di seberang.“Menghindar pasti lebih mudah. Tapi, apa kamu tidak penasaran ingin tahu bagaimana sebenarnya sikap keluarga David? Maksudku, mamanya. Kamu butuh kesempatan untuk bisa menilai dengan objektif. Dan menurutku, ini saat yang tepat.”Wynona tercenung mendengarnya. Keheningan menyergap selama sesaat.Leon bicara lagi. “Sebenarnya
Wynona masih berada di dalam kepungan kabut membingungkan sebagai efek dari kata dan tindakan Leon. Dia masih belum bisa berpikir dengan jernih untuk tahu apa yang sebenarnya diinginkan. Semuanya serba membingungkan. Seakan Wynona berada di sebuah labirin paling rumit di dunia.Lalu, David menghubunginya setelah berhari-hari menghilang tanpa kabar. “Wyn, apa kamu baik-baik saja?” tanyanya penuh perhatian.“Ya,” dusta Wynona sembari menggigit bibir.“Aku minta maaf untuk berbagai masalah di antara kita. Tapi aku ingin menyelesaikannya satu per satu.” Jeda beberapa detik. “Mama ingin bertemu denganmu. Nanti malam bisa?”Wynona benar-benar tak siap dengan permintaan itu. “Nanti malam?”“Iya. Apa kamu tidak bisa? Ada pekerjaan?”“Aku....”Jawaban Wynona belum tuntas tapi sudah menukas dan mendesak. “Tolong luangkan waktu, ya? Aku tidak enak kalau har