Bibir Kelly membulat sementara Cilla berusaha menyembunyikan tawanya dengan sopan. Bagi kedua perempuan itu, kemungkinan besar berita yang disampaikan Imogen tersebut cukup mengejutkan.
“Duncan baru datang tiga hari lalu, untuk menghadiri pernikahanku. Dia juga berasal dari negara kalian. Duncan tinggal di kota ... apa namanya?” Imogen menatap putra tirinya dengan kening berkerut.
“Bogor.”
“Kami juga tinggal di Bogor,” beri tahu Kelly. Mata agak sipit milik gadis itu menatap Duncan saat bicara lagi. Namun Kelly tampaknya tak terlalu kaget mendengar kota asal Duncan. Mungkin karena Imogen sudah menyinggung sebelumnya tentang Jerome dan kaitannya dengan Indonesia. “Kebetulan yang luar biasa, ya. Di Bogor yang tidak terlalu luas, kita tidak pernah bertemu. Tapi justru berkenalan di Auckland,” Kelly menambahkan.
Imogen akhirnya bersepakat dengan kedua gadis itu untuk bertemu kurang dari seten
Lima belas menit kemudian, mereka kembali bertemu Kelly yang sedang berdiri mengamati sebuah setelan berwarna putih. Di mata Duncan, pakaian itu sama sekali tidak memenuhi syarat sebagai gaun pengantin. Pakaian untuk bekerja, lebih masuk akal.“Serius, setelan ini dipakai oleh mempelai perempuan?” tanya Duncan, memberi penekanan pada kata terakhir. Kali ini, dia menggunakan bahasa Indonesia. Kelly sempat menoleh dengan ekspresi kaget sebelum akhirnya tergelak pelan. Tawa yang menjalari hingga ke pupil mata serupa obsidian milik gadis itu.“Ini memang nggak ... tradisional,” ucap Kelly sambil mengulum senyum.“Bukan cuma nggak tradisional. Tapi juga aneh,” tegas Duncan. Matanya menyipit memandangi maneken di depannya selama tiga denyut nadi sebelum mulai bicara lagi. “Aku belum pernah melihat pengantin perempuan mengenakan pakaian semacam ini. Atau yang berwarna hitam seperti di area itu,” tunjuknya ke satu ar
Duncan mendengarkan uraian dari Kelly yang tampak begitu bersemangat menggambarkan model gaun pengantin yang sedang populer.“Tahun ini, para perancang banyak menggunakan bateau necline. Yaitu, garis leher tinggi yang melintang lurus dari bahu ke bahu, emngikuti lengkungan tulang selangka. Floral prints dan cropped tops pun banyak muncul saat ini. Selain itu, gaun berpotongan sheath atau A-Line juga kian banyak. Sheath itu maksudnya gaun ramping mengikuti bentuk tubuh yang sudah mulai populer sejak tahun 1930-an. Sepertinya, para perancang masa kini menyiapkan gaun pengantin yang terkesan ‘ringan’ dan santai. Aku pribadi sih....” Kelly tiba-tiba berhenti dengan wajah yang terlihat memerah.“Ada apa?” Duncan tak kuasa menahan rasa ingin tahunya.“Maaf, aku bicara terlalu bersemangat. Kamu pasti nggak mengerti apa yang tadi kuocehkan.” Gadis itu tampak merasa serb
Mereka berpindah dari satu maneken ke maneken lain sambil tetap mengobrol beragam tema. Usai membahas tentang Perisa, mereka malah membicarakan tentang global warming, serial televisi, biaya pendidikan, hingga acara memasak yang mendapat banyak slot di televisi belakangan ini. Duncan selalu menjadi orang yang lumayan mudah bergaul. Namun tetap saja cukup takjub karena bisa menemukan lawan bicara yang dengan lincahnya melenturkan diri membahas berbagai topik obrolan tanpa terkesan kehilangan kenyamanan.“Aku nggak tahu serial televisi yang sedang populer. Bukan karena tak suka, tapi masalah waktu. Aku baru meninggalkan Perisa setelah restoran tutup,” ujar Duncan di suatu ketika. “Hidupku cuma berkutat di sekitar Perisa.”“Kalau kamu suka cerita yang punya banyak kejutan, ada beberapa pilihan. Baik yang masih tayang maupun yang sudah tak lagi diproduksi. Salah duanya, Chicago PD atau How to Get Away with Murders. Aku selalu melongo
Duncan duduk di meja yang sama dengan kedua teman barunya. Mereka menyantap nasi, empal daging, sayur godog jamur merang, kering kentang ebi, serta semur telur. Dia sempat tergelak melihat ekspresi bingung Cilla dan Kelly.“Papaku memutuskan untuk memasak menu yang menurutnya akan membuatku betah di sini. Meski tentu saja rasanya sudah dimodifikasi,” gurau Duncan dengan senyum melebar.Jerome ikut bergabung di meja mereka, duduk bersebelahan dengan istri barunya. Lelaki itu mengangguk membenarkan ucapaan Duncan. Sementara Imogen menjadikan nasi goreng keju sebagai menu yang akan disantapnya untuk makan siang.“Kalian ini temannya Duncan atau Nina?” tebak Jerome setelah semua orang melewati periode basa-basi.“Bukan, Dad. Aku juga baru kenal dengan mereka tadi. Boleh dibilang, Kelly dan Cilla adalah teman Imogen,” kata Duncan dengan nada ringan. Dia bisa melihat Imogen mengangguk setuju seraya melingkarkan tangan kananny
Isi kepala Duncan berputar cepat sebelum dia memberi jawaban tanpa ragu, “Tidak.”Imogen menimpali, “Aku juga bisa bergabung dengan kalian.”Duncan tak bisa menahan tawa. “Kamu baru menikahi ayahku, tapi kamu malah ingin bersenang-senang dengan Kelly dan Cilla. Lalu, ayahku harus ditinggal sendirian?”Imogen mendorong piringnya yang sudah licin, bersandar pada suaminya. “Kami akan berbulan madu, Duncan. Jangan cemaskan itu! Aku punya pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan minggu depan. Ayahmu saat ini pun harus mengurus masalah perpanjangan kontrak kafe. Jadi, lebih bijak jika kami menunda, kan?” argumennya. “Memangnya menikah berarti tak boleh bersenang-senang dengan teman baru?”Kelly dan Cilla tampak sungkan dan berusaha menolak ide yang dilontarkan Jerome. “Kalian bisa memberi rekomendasi seputar tempat menarik yang terlalu sayang untuk dilewatkan,” usul Cilla setelah saling panda
Ini pagi ketiga Kelly terbangun di Auckland. Seperti kemarin, dia membuka mata dengan semangat yang melompat-lompat. Membayangkan bahwa dia punya kesempatan untuk melewati hari dengan pengalaman baru yang siap menanti, sungguh menggairahkan.“Apa? Kamu sekarang berada di Auckland? Auckland yang nun jauh di New Zealand itu? Serius, Kel?” teriak Violet saat Kelly meneleponnya kemarin. “Kenapa kamu bisa ada di sana tanpa memberitahuku? Jangan bilang kalau kamu berbulan madu di sana atau malah kawin lari,” oceh Violet lagi.Violet yang biasanya cukup tenang itu pun sampai membuat tudingan menggelikan yang membuat Kelly terkekeh geli.“Kalau aku kawin lari atau bulan madu, mustahil aku tak mengabari kalian,” kata Kelly, membela diri. “Aku ke sini dalam rangka urusan pekerjaan. Aku dan Cilla mengikuti pameran gaun pengantin di sini, mewakili Kirana Mahardika.”Reaksi tak kalah heboh pun didapat Kelly saat menelepo
Di depan semua orang, Imogen yang terbiasa blak-blakan itu mengaku bahwa dia belum benar-benar bisa menikmati cita rasa makanan yang tersaji di Indonesia Cafe. Namun dia tetap mencoba mencicipi demi menyesuaikan diri dengan lelaki yang dicintainya. Dan kalimat barusan menjadi penegasan baru. Bahwa Imogen mencintai suaminya seraya berusaha mengenali semua hal yang disukai Jerome. Membuang sisi egoisnya.“Kamu benar-benar total untuk urusan cinta, ya?” gurau Cilla sambil memandang Imogen. “Kalau aku, mungkin tak akan sanggup sampai ke titik itu. Maksudku, soal makanan. Itu adalah sesuatu yang tak bisa dipaksakan. Buatku sih begitu.”“Jerome sudah melarangku berkali-kali tapi aku saja yang tak peduli. Aku cuma ingin lebih mengenal segala hal yang disukai suamiku. Kalau nanti pada akhirnya aku tetap tak bisa ikut jatuh cinta, ya sudah. Yang penting, aku sudah berusaha,” sahut Imogen dengan nada riang. “Jerome pun melakukan hal yang
Sepanjang hari itu Duncan dan –terutama- Imogen, menjadi pemandu wisata yang luar biasa. Mereka mengunjungi beberapa museum, tujuan yang awalnya terdengar membosankan dan membuat Kelly tak terlalu bersemangat. Namun ternyata justru memberikan pengalaman yang mengasyikkan.Voyager New Zealand Maritime Museum yang berada di tepi pantai memberi pengetahuan tentang beragam jenis kapal. Auckland War Memorial Museum menyajikan informasi berlimpah tentang New Zealand. Termasuk Te Toki a Tapiri, kano perang bangsa Maori yang dibuat dari satu batang kayu totara.“Pulang dari sini, sepertinya aku berubah makin pintar,” komentar Cilla. “Banyak ilmu karena datang ke museum.”“Aku pun nggak menyangka akan menikmati kunjungan ke museum,” bisik Kelly dengan suara rendah. “Tadinya kukira aku bakalan bosan setengah mati.”Setelah meninggalkan museum, Cilla dan Imogen melakukan bungy jumping di Harbour
Wynona memasuki masa berkabung karena patah hati tanpa air mata atau kesedihan yang berlarut-larut. Kendati berpisah dari David setelah hubungan selama sembilan tahun, tetap saja bukan hal yang mudah untuk dihadapi. Akhir hubungan mereka begitu tak menyenangkan karena sikap David dan keluarganya. Namun Wynona makin yakin dia sudah mengambil keputusan yang tepat.Ada beberapa sebab, tak cuma melulu “dosa” David saja, melainkan juga kesalahan Wynona. Sejak malam itu, David bahkan tak berusaha menghubungi Wynona lagi. Lelaki itu seolah menghilang begitu saja. Sembilan tahun yang mereka miliki bersama-sama, tak penting. Wynona pun tampaknya dianggap bukan lagi perempuan yang pantas untuk diperjuangkan.Sementara dari sisinya, Wynona kian yakin bahwa perasaannya pada David sudah benar-benar tawar. Hatinya sudah berubah. Gadis itu tak keberatan disalahkan karena seolah memberi peluang pada Leon untuk masuk dalam hidupnya.Dia tak akan menampik hal itu. Nam
Kata-kata yang dilontarkan orangtua Leon itu membuat Wynona benar-benar merasa dihargai. Dia tak bisa mencegah rasa haru menusuk-nusuk dadanya. Namun. Tentu saja dia tak boleh menangis lagi di sini. Sudah cukup air mata yang ditumpahkannya hari ini.“Wyn, mau main ludo atau halma?” Suara erangan terdengar dari berbagai arah sebagai respon untuk kata-kata Anton. Lelaki itu menunjukkan ekspresi tak berdosa saat membela diri. “Papa kan belum pernah main ular tangga dengan Wynona.”“Tolong Pa, kreatiflah sedikit. Setiap tamu selalu diajak main halma atau ludo. Apa tidak ada yang lain?” gerutu Trisa. Lalu, perempuan itu bicara pada tamunya. “Wyn, kapan kamu bisa mengirim daftar belanjaan untuk minggu depan? Lebih cepat lebih baik, kan?”“Iya Kak, aku akan menyiapkan daftarnya secepatnya. Besok atau paling telat lusa,” janji Wynona.Trisa mengangguk senang. “Mungkin sehari sebelum acara, akan leb
“Tidak apa-apa. Walau sebenarnya aku ke sini cuma ingin bertemu Om, Tante, dan Kakak,” sahut Wynona. “Agak pesimis juga awalnya, karena menurut Leon, Kakak nggak tinggal di sini.”Trisa tersenyum lebar. “Begitulah kalau menjadi anak perempuan satu-satunya. Kalau aku nggak datang selama beberapa hari, pasti ada yang menelepon. Kalau tidak Mama, Papa, kadang asisten rumah tangga. Ada saja alasan yang diajukan. Yang terbanyak sih, Nadya. Padahal, mereka itu merindukanku,” kelakarnya.“Hahah, aku jadi sangat iri. Aku juga anak perempuan satu-satunya tapi tak ada yang merindukanku seperti itu.”Trisa menatap Wynona sungguh-sungguh. “Aku justru yang iri dengan kemampuan memasakmu, Wyn! Aku semur hidup cuma bisa memasak nasi goreng. Itu pun menggunakan bumbu instan. Kemampuan memasakku nol besar. Padahal Mama jago di dapur. Dan kami terbiasa dimanjakan dengan masakannya.”Setelah kembali ke ruang tamu,
Wynona hampir menabrak dada seseorang saat membalikkan tubuh. Sendok kayu yang dipegangnya, jatuh ke lantai. Tangan kanannya memegang dadaku, seakan dengan begitu rasa kaget gadis itu akan berkurang jauh.“Syukurlah kamu baik-baik saja,” gumamnya dengan ekspresi lega tergambar jelas. Leon pasti tidak pernah tahu kalau Wynona pun tak kalah lega melihatnya.“Kamu mengagetkanku,” bibir Wynona cemberut. Dia hendak berjongkok memungut sendok kayu, tapi Leon bergerak lebih cepat dan menaruh benda itu di wastafel.“Dapurnya indah. Aku suka,” puji Wynona. “Sebentar, aku harus memindahkan mi-nya dulu.”“Butuh mangkuk besar?” Leon membuka sebuah pintu kabinet di bagian atas dan mengeluarkan sebuah mangkuk kaca transparan. “Apakah ini cukup?”Wynona mengangguk. Dengan gerakan hati-hati, dia menyusun mi, kol, dan telur rebus yang sudah dipotong-potong. Saat hendak menua
David menatap Wynona tak percaya. Kemarahan tergambar di setiap gerak tubuhnya. “Putus? Kenapa kamu terlalu cepat mengambil keputusan?”Gadis itu menggeleng. “Ini bukan keputusan yang terburu-buru. Selama ini, aku hanya tidak berani mengakui kenyataan.”“Wynona!”Gadis itu menatap wajah David dengan perasaan campur aduk. Betapa lelaki ini pernah membuat hati Wynona berpesta karena cintanya. Betapa David pernah menjadi orang terpenting dalam hidup gadis itu. Betapa Wynona pernah sangat ingin mengubah dirinya agar menjadi sosok paling diinginkan dalam hidup lelaki ini. Itulah kuncinya, pernah. Artinya, itu sudah berlalu lama, sebelum gadis itu akhirnya diterpa kesadaran. Terlambat, tapi Wynona tidak menilainya sebagai sebuah kefatalan. Dia tidak menyesali semuanya. Gadis itu hanya menganggap semua ini sebagai proses panjang yang mendewasakan.“Wyn, jangan cuma karena masalah ini, hubungan kita m
“Wyn,” David menjajari langkah kekasihnya. Sementara Wynona berusaha berjalan lebih cepat. Dia hampir mencapai pintu gerbang ketika David berhasil meraih lenganku.“Apa kamu tidak mendengarku?” tanyanya marah. Ekspresinya berubah keras.“Aku cuma ingin pulang. Aku tidak mau dihina lagi.”David menggelengkan kepalanya. “Mama hanya ingin tahu tentang kamu.”Wynona menatap David dengan tajam. Andai bisa, dia ingin mengguncang tubuhnya David dan meniupkan kesadaran di benaknya agar lelaki ini melihat fakta yang sebenarnya.“Vid, mamamu tidak menyukaiku. Sampai kapan pun akan tetap seperti itu. Percayalah, tidak akan ada yang berubah. Dan aku tidak nyaman diperlakukan seperti tadi.”David masih memegang lengan Wynona. “Aku tidak mengizinkanmu pulang. Nanti aku akan mengantarmu, Wyn! Sekarang, ayo kita masuk ke dalam lagi,” ajaknya.Wynona menggeleng tegas seraya melepa
Wynona tersenyum kecil menanggapi gurauannya. David nyaris tidak pernah antusias menikmati masakanku. Gadis itu mengitari ruang tamu yang luas itu dengan tatapannya. Ada belasan perempuan paruh baya yang bergaya trendi. Juga ada beberapa gadis muda yang usianya tak jauh beda dengan Wynona. Aneka aroma parfum mahal menyengat hidung. Membuat campuran aneh yang memusingkan kepala Wynona. Semua orang sibuk berbincang seraya menikmati aneka makanan yang tampak lezat. Gadis itu tidak melihat kehadiran ayah dan saudara David lainnya.Irene mendekat ke arah Wynona, Sofia, dan David yang duduk di sebuah sofa panjang. Perempuan itu memilih sofa tunggal di depan mereka. Wynona baru ingat, dia sama sekali tidak diperkenalkan dengan tamu yang ada.“Ma, coba cicipi ini.” Sofia menyodorkan sepotong kecil pie yang dibawa Wynona. Irene menggigit ujungnya sedikit. Entah mengapa, Wynona menjadi tegang karenanya.“Enak,” ujarnya. Namun dia menolak m
Wynona mendesah. “Kukira kamu akan memberiku usul yang masuk akal. Kamu kan tahu apa yang terjadi padaku saat resepsi? Kenapa kamu masih bisa mengusulkan ini?”“Wyn, aku tidak ingin melihatmu sedih atau terluka. Akan tetapi, ada kalanya kita harus berhadapan dengan kepahitan untuk mengetahui apa sebenarnya kebenaran di baliknya. Kalau kamu tidak mau bertemu mamanya David, apa masalah kalian akan selesai? Bukannya malah membuat semuanya menjadi makin rumit?”Wynona mengerutkan alis. “Aku tidak mengerti maksudmu.”Gadis itu mendengar suara tawa ringan di seberang.“Menghindar pasti lebih mudah. Tapi, apa kamu tidak penasaran ingin tahu bagaimana sebenarnya sikap keluarga David? Maksudku, mamanya. Kamu butuh kesempatan untuk bisa menilai dengan objektif. Dan menurutku, ini saat yang tepat.”Wynona tercenung mendengarnya. Keheningan menyergap selama sesaat.Leon bicara lagi. “Sebenarnya
Wynona masih berada di dalam kepungan kabut membingungkan sebagai efek dari kata dan tindakan Leon. Dia masih belum bisa berpikir dengan jernih untuk tahu apa yang sebenarnya diinginkan. Semuanya serba membingungkan. Seakan Wynona berada di sebuah labirin paling rumit di dunia.Lalu, David menghubunginya setelah berhari-hari menghilang tanpa kabar. “Wyn, apa kamu baik-baik saja?” tanyanya penuh perhatian.“Ya,” dusta Wynona sembari menggigit bibir.“Aku minta maaf untuk berbagai masalah di antara kita. Tapi aku ingin menyelesaikannya satu per satu.” Jeda beberapa detik. “Mama ingin bertemu denganmu. Nanti malam bisa?”Wynona benar-benar tak siap dengan permintaan itu. “Nanti malam?”“Iya. Apa kamu tidak bisa? Ada pekerjaan?”“Aku....”Jawaban Wynona belum tuntas tapi sudah menukas dan mendesak. “Tolong luangkan waktu, ya? Aku tidak enak kalau har