Sepanjang sisa makan malam itu, Quinn mendadak kehilangan antusiasmenya yang biasa. Entah ke mana semangat menggebu yang selalu dirasakan pria itu jika bertemu dengan Eireen. Quinn pun yang tadinya aktif berbicara, kini lebih suka menjadi pendengar saja. Saat itu, dia cuma merasakan satu hal. Ada sesuatu yang salah.
“Kamu kok mendaak pendiam, sih? Seperti ada yang sedang dipikirkan,” kata Eireen. Tampaknya, gadis itu pun menyadari perubahan sikap Quinn. “Ada apa, Quinn?”
Tentu saja lelaki itu tak mungkin menjawab dengan jujur. “Nggak ada apa-apa. Aku cuma agak capek.”
Eireen merengut ke arah kekasihnya. “Kenapa kamu bisa betah berjam-jam di toko buku bersama Violet, tapi sudah mengeluh capek padahal kita baru di sini kurang dari satu jam?” kritiknya.
“Karena hari ini aku memang banyak pekerjaan yang membuat tenagaku terkuras,” Quinn beralasan.
Quinn baru saja hendak mengajak Eireen untuk m
Setelah tiba di rumah yang ditempatinya sejak bekerja di The Suite, Quinn memilih untuk buru-buru mandi. Tadi dia tak sempat melakukan itu sebelum meninggalkan hotel. Pasalnya, waktu sudah terlalu mepet. Pekerjaan lelaki itu seharian ini memang bertumpuk.Quinn menempati rumah mungil berkamar satu yang dilengkapi dengan dapur dan ruang tamu. Dulu, sebelum menjadi residence manager, Quinn tinggal di kamar berukuran empat kali lima meter dengan kamar mandi di dalam. Sehari-hari, ada petugas yang membersihkan semua ruangan dan kamar-kamar di mes itu.Quinn sudah tertidur saat ponsel lelaki itu berbunyi nyaring dan membuatnya terjaga. Kening Quinn berkerut karena dia menyadari saat itu sudah hampir tengah malam. Dia selalu berdebar-debar tiap kali ada yang menelepon di atas pukul sepuluh malam. Karena seringnya itu bukan berita bagus. Apalagi ketika Quinn membaca nama Eireen terpampang di layar.“Halo, Reen. Ada apa?” tanya Quinn tanpa basa-basi
Violet tak bisa menahan debar paling kencang yang pernah dialaminya seumur hidup. Hari ini, seakan menjadi hari di mana vonis akan dijatuhkan. Hari yang tak pernah diduga akan tiba padanya. Namun, dia tak bisa mengelak karena Violet sudah berjanji. Inilah harga yang harus ditebusnya.Jantungnya memukul-mukul penuh kekuatan, seakan ingin melepaskan diri dari tempatnya. Udara nyaris tak bisa dihirup, membuat Violet tersengal-sengal dan merasa kehabisan napas. Tak hanya itu, Violet Jeffry merasakan darahnya menggelegak panas, seakan ingin menghanguskan setiap pembuluh yang dilewatinya. Seluruh pori-porinya “terjaga”, membuat Violet merasakan dingin yang menusuk hingga tulang.“Aku kadang membenci diri sendiri yang yang selalu pengin menjadi orang yang memegang janji,” ucapnya pada diri sendiri, berkali-kali. “Kenapa sesekali aku tak mencoba untuk memikirkan diri sendiri saja? Hal-hal yang membuat tak nyaman, tak harus kulakukan.”
“Violet? Sangat jarang kamu menghubungiku lebih dulu. Wah, ini kehormatan besar.”Hati Violet tersentuh rasa ngilu. Namun dia memaksakan diri untuk bicara. “Quinn, kamu di mana? Ada di kantor? Aku sudah hampir sampai di lobi,” katanya lirih. Violet nyaris meledak dalam tangis saat mendengar antusiasme di suara Quinn.“Kamu datang ke sini? Oh, baiklah! Sekarang juga aku akan menjemputmu di lobi. Tunggu ya!” balas Quinn cepat.Hubungan telepon diputuskan begitu saja. Violet menatap nanar bangunan di depannya. Fadia tak bertanya apa-apa. Sepertinya dia bisa merasakan betapa Violet sedang tidak ingin melakukan atau bicara apa-apa. Mendung begitu jelas bergelayut di wajah dan sikapnya.“Terima kasih ya Di, terima kasih Kemal. Karena kalian sudah berkenan mengantarku.” Violet membuka pintu mobil sedan milik Kemal sebelum petugas hotel sempat melakukannya. Entah kenapa dia perlu menunduk dan berbisik pada Fadia. &l
“Kamu lagi sibuk? Maaf ya, aku langsung datang ke sini. Tidak memberi tahu dulu sebelumnya,” sesal Violet. Dia baru benar-benar menyadari bahwa semestinya mengontak Quinn sebelum memutuskan mendatangi hotel tempat pria itu bekerja.Quinn menggeleng. “Tidak perlu minta maaf. Kamu bisa datang kapan saja ke sini tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Aku punya waktu kok, untukmu. Aku malah senang karena kamu langsung datang ke sini. Benar-benar kejutan tak terduga tapi membuatku senang, Vi. Sayangnya, aku tidak bisa mengajakmu makan di luar hari ini. Ada pekerjaan yang masih belum selesai. Makan di sini saja, ya? Seperti dulu,” celoteh Quinn.Violet tersenyum patah. “Kamu membuatku terdengar seperti orang yang selalu menodongmu untuk diajak makan. Apa aku serakus itu, ya?”“Jangan tersinggung, Vi. Kalaupun kamu rakus, memangnya kenapa? Aku tidak merasa keberatan.” Quinn tergelak. “Ini kan sudah mendekati jam makan
Suara Quinn terdengar begitu datar, tapi malah membuat tangan Violet menjadi gemetar. Dia buru-buru meletakkan sendok, urung memasukkan suapan pertama nasi goreng ke dalam mulutnya. Gadis itu mengangkat wajah dan menatap Quinn dengan sungguh-sungguh. Tak terlihat gurat sedih di wajah menawan yang duduk di sebelahnya itu.Quinn mengangkat alis. “Kenapa melihatku begitu serius?”“Kamu sudah putus dengan Eirene? Aku tidak salah dengar?”Quinn mengangguk. “Kamu tidak salah dengar, Vi. Aku dan Eireen memang sudah berpisah. Belum lama, baru beberapa hari yang lalu.”“Tapi, kenapa? Bukankah kamu sangat mencintai Eireen sampai nekat mengajukan usul untuk ... yah ... kamu tahu apa yang kumaksud,” cetus Violet. Tengkuknya mendadak terasa membeku.Lelaki itu menjawab dengan tenang, “Aku baru sadar, aku tidak cukup mencintainya. Dulu, kukira Eireen adalah segalanya buatku, Vi. Tapi ternyata aku salah. Aku b
Deja vu.Semuanya mirip saat pertama Violet datang ke ruangan itu. Hanya saja, kali ini Quinn harus keluar hingga tiga kali karena harus menenangkan tamu yang mengajukan keluhan. Meski cuma duduk memandangi Quinn bekerja, Violet merasa nyaman. Walau dia tahu bahwa di ujung pertemuan mereka hari ini, hati Violet akan kian terluka.“Vi... Violet ... bangun.”“Hmm...” Violet bergerak perlahan meski matanya masih terasa lengket.“Vi, sudah malam. Aku harus mengantarmu pulang.”Samar-samar gadis itu merasakan Quinn melepaskan earphone yang masih menempel di telinga Violet. Lalu, pria itu kembali mengguncang bahu Violet dengan gerakan yang sangat lembut. Seakan takut akan mengejutkannya.“Vi....” panggilnya lagi.Violet akhirnya membuka mata. Awalnya dia merasa bingung karena kehilangan orientasi. Lalu, mendadak gadis itu nyaris melompat saat menyadari kalau dirinya sedang di
“Ya,” sahut Quinn, serius. “Ada perubahan besar yang terjadi pada perasaanku, Vi. Selain itu, ada beberapa alasan lain terkait Eireen yang membuatku makin yakin untuk putus dari dia. Tapi, alasan-alasan itu, menurutku, hanya membuktikan bahwa aku tidak benar-benar cinta padanya. Karena kalau perasaanku sebesar yang kukira, aku akan bisa menerima semua itu. Dan takkan menganggapnya sebagai persoalan besar. Mungkin, kami bisa mencarikan jalan tengah untuk berkompromi. Tapi nyatanya tidak. Aku sama sekali tidak tertarik untuk itu. Aku cuma ingin berpisah dari Eireen.”Kata-kata Quinn membuat Eireen terkelu. Namun dia sengaja menghindari kontak mata dengan lelaki itu. Pandangannya diarahkan ke depan, ke arah pintu kamarnya yang tertutup.“Bicaralah, aku siap mendengarkan,” ucap Quinn lagi, menarik Violet pada kekinian.Tidak ada jejak gurau di suara Quinn. Seakan lelaki itu sudah tahu bahwa yang akan diucapkan Violet hanyalah kepa
Quinn menatap Violet tak setuju. “Omong kosong! Itu sama saja. Itu adalah bentuk ketidaksetiaan. Jika seorang lelaki berani memandangi perempuan lain sementara dia sedang bersama pacarnya, itu bukan hal yang wajar. Artinya, lelaki seperti itu tidak punya rasa hormat dan cinta yang pantas untuk orang yang memiliki posisi spesial di hatinya. Di depanmu saja dia berani bertingkah begitu, apalagi di belakangmu? Pernah memikirkan itu, Vi?”Violet memelotot marah. “Jadi, menurutmu aku harus putus dengan Jeff setelah semua yang kita lakukan? Atau kamu cuma kesal karena tujuanku tercapai sedangkan hubunganmu dengan Eireen malah putus?”Begitu kalimatnya tuntas, Violet tahu dia sudah melewati batas. Namun, kata-kata tajam adalah pedang yang tak bisa ditarik lagi.“Bukan begitu! Aku tidak memintamu melakukan itu! Tapi aku berharap, kamu bisa lebih objektif. Setelah sekian lama kamu melihat sendiri sikap Jeffry, semestinya kamu membuka mata da
Wynona memasuki masa berkabung karena patah hati tanpa air mata atau kesedihan yang berlarut-larut. Kendati berpisah dari David setelah hubungan selama sembilan tahun, tetap saja bukan hal yang mudah untuk dihadapi. Akhir hubungan mereka begitu tak menyenangkan karena sikap David dan keluarganya. Namun Wynona makin yakin dia sudah mengambil keputusan yang tepat.Ada beberapa sebab, tak cuma melulu “dosa” David saja, melainkan juga kesalahan Wynona. Sejak malam itu, David bahkan tak berusaha menghubungi Wynona lagi. Lelaki itu seolah menghilang begitu saja. Sembilan tahun yang mereka miliki bersama-sama, tak penting. Wynona pun tampaknya dianggap bukan lagi perempuan yang pantas untuk diperjuangkan.Sementara dari sisinya, Wynona kian yakin bahwa perasaannya pada David sudah benar-benar tawar. Hatinya sudah berubah. Gadis itu tak keberatan disalahkan karena seolah memberi peluang pada Leon untuk masuk dalam hidupnya.Dia tak akan menampik hal itu. Nam
Kata-kata yang dilontarkan orangtua Leon itu membuat Wynona benar-benar merasa dihargai. Dia tak bisa mencegah rasa haru menusuk-nusuk dadanya. Namun. Tentu saja dia tak boleh menangis lagi di sini. Sudah cukup air mata yang ditumpahkannya hari ini.“Wyn, mau main ludo atau halma?” Suara erangan terdengar dari berbagai arah sebagai respon untuk kata-kata Anton. Lelaki itu menunjukkan ekspresi tak berdosa saat membela diri. “Papa kan belum pernah main ular tangga dengan Wynona.”“Tolong Pa, kreatiflah sedikit. Setiap tamu selalu diajak main halma atau ludo. Apa tidak ada yang lain?” gerutu Trisa. Lalu, perempuan itu bicara pada tamunya. “Wyn, kapan kamu bisa mengirim daftar belanjaan untuk minggu depan? Lebih cepat lebih baik, kan?”“Iya Kak, aku akan menyiapkan daftarnya secepatnya. Besok atau paling telat lusa,” janji Wynona.Trisa mengangguk senang. “Mungkin sehari sebelum acara, akan leb
“Tidak apa-apa. Walau sebenarnya aku ke sini cuma ingin bertemu Om, Tante, dan Kakak,” sahut Wynona. “Agak pesimis juga awalnya, karena menurut Leon, Kakak nggak tinggal di sini.”Trisa tersenyum lebar. “Begitulah kalau menjadi anak perempuan satu-satunya. Kalau aku nggak datang selama beberapa hari, pasti ada yang menelepon. Kalau tidak Mama, Papa, kadang asisten rumah tangga. Ada saja alasan yang diajukan. Yang terbanyak sih, Nadya. Padahal, mereka itu merindukanku,” kelakarnya.“Hahah, aku jadi sangat iri. Aku juga anak perempuan satu-satunya tapi tak ada yang merindukanku seperti itu.”Trisa menatap Wynona sungguh-sungguh. “Aku justru yang iri dengan kemampuan memasakmu, Wyn! Aku semur hidup cuma bisa memasak nasi goreng. Itu pun menggunakan bumbu instan. Kemampuan memasakku nol besar. Padahal Mama jago di dapur. Dan kami terbiasa dimanjakan dengan masakannya.”Setelah kembali ke ruang tamu,
Wynona hampir menabrak dada seseorang saat membalikkan tubuh. Sendok kayu yang dipegangnya, jatuh ke lantai. Tangan kanannya memegang dadaku, seakan dengan begitu rasa kaget gadis itu akan berkurang jauh.“Syukurlah kamu baik-baik saja,” gumamnya dengan ekspresi lega tergambar jelas. Leon pasti tidak pernah tahu kalau Wynona pun tak kalah lega melihatnya.“Kamu mengagetkanku,” bibir Wynona cemberut. Dia hendak berjongkok memungut sendok kayu, tapi Leon bergerak lebih cepat dan menaruh benda itu di wastafel.“Dapurnya indah. Aku suka,” puji Wynona. “Sebentar, aku harus memindahkan mi-nya dulu.”“Butuh mangkuk besar?” Leon membuka sebuah pintu kabinet di bagian atas dan mengeluarkan sebuah mangkuk kaca transparan. “Apakah ini cukup?”Wynona mengangguk. Dengan gerakan hati-hati, dia menyusun mi, kol, dan telur rebus yang sudah dipotong-potong. Saat hendak menua
David menatap Wynona tak percaya. Kemarahan tergambar di setiap gerak tubuhnya. “Putus? Kenapa kamu terlalu cepat mengambil keputusan?”Gadis itu menggeleng. “Ini bukan keputusan yang terburu-buru. Selama ini, aku hanya tidak berani mengakui kenyataan.”“Wynona!”Gadis itu menatap wajah David dengan perasaan campur aduk. Betapa lelaki ini pernah membuat hati Wynona berpesta karena cintanya. Betapa David pernah menjadi orang terpenting dalam hidup gadis itu. Betapa Wynona pernah sangat ingin mengubah dirinya agar menjadi sosok paling diinginkan dalam hidup lelaki ini. Itulah kuncinya, pernah. Artinya, itu sudah berlalu lama, sebelum gadis itu akhirnya diterpa kesadaran. Terlambat, tapi Wynona tidak menilainya sebagai sebuah kefatalan. Dia tidak menyesali semuanya. Gadis itu hanya menganggap semua ini sebagai proses panjang yang mendewasakan.“Wyn, jangan cuma karena masalah ini, hubungan kita m
“Wyn,” David menjajari langkah kekasihnya. Sementara Wynona berusaha berjalan lebih cepat. Dia hampir mencapai pintu gerbang ketika David berhasil meraih lenganku.“Apa kamu tidak mendengarku?” tanyanya marah. Ekspresinya berubah keras.“Aku cuma ingin pulang. Aku tidak mau dihina lagi.”David menggelengkan kepalanya. “Mama hanya ingin tahu tentang kamu.”Wynona menatap David dengan tajam. Andai bisa, dia ingin mengguncang tubuhnya David dan meniupkan kesadaran di benaknya agar lelaki ini melihat fakta yang sebenarnya.“Vid, mamamu tidak menyukaiku. Sampai kapan pun akan tetap seperti itu. Percayalah, tidak akan ada yang berubah. Dan aku tidak nyaman diperlakukan seperti tadi.”David masih memegang lengan Wynona. “Aku tidak mengizinkanmu pulang. Nanti aku akan mengantarmu, Wyn! Sekarang, ayo kita masuk ke dalam lagi,” ajaknya.Wynona menggeleng tegas seraya melepa
Wynona tersenyum kecil menanggapi gurauannya. David nyaris tidak pernah antusias menikmati masakanku. Gadis itu mengitari ruang tamu yang luas itu dengan tatapannya. Ada belasan perempuan paruh baya yang bergaya trendi. Juga ada beberapa gadis muda yang usianya tak jauh beda dengan Wynona. Aneka aroma parfum mahal menyengat hidung. Membuat campuran aneh yang memusingkan kepala Wynona. Semua orang sibuk berbincang seraya menikmati aneka makanan yang tampak lezat. Gadis itu tidak melihat kehadiran ayah dan saudara David lainnya.Irene mendekat ke arah Wynona, Sofia, dan David yang duduk di sebuah sofa panjang. Perempuan itu memilih sofa tunggal di depan mereka. Wynona baru ingat, dia sama sekali tidak diperkenalkan dengan tamu yang ada.“Ma, coba cicipi ini.” Sofia menyodorkan sepotong kecil pie yang dibawa Wynona. Irene menggigit ujungnya sedikit. Entah mengapa, Wynona menjadi tegang karenanya.“Enak,” ujarnya. Namun dia menolak m
Wynona mendesah. “Kukira kamu akan memberiku usul yang masuk akal. Kamu kan tahu apa yang terjadi padaku saat resepsi? Kenapa kamu masih bisa mengusulkan ini?”“Wyn, aku tidak ingin melihatmu sedih atau terluka. Akan tetapi, ada kalanya kita harus berhadapan dengan kepahitan untuk mengetahui apa sebenarnya kebenaran di baliknya. Kalau kamu tidak mau bertemu mamanya David, apa masalah kalian akan selesai? Bukannya malah membuat semuanya menjadi makin rumit?”Wynona mengerutkan alis. “Aku tidak mengerti maksudmu.”Gadis itu mendengar suara tawa ringan di seberang.“Menghindar pasti lebih mudah. Tapi, apa kamu tidak penasaran ingin tahu bagaimana sebenarnya sikap keluarga David? Maksudku, mamanya. Kamu butuh kesempatan untuk bisa menilai dengan objektif. Dan menurutku, ini saat yang tepat.”Wynona tercenung mendengarnya. Keheningan menyergap selama sesaat.Leon bicara lagi. “Sebenarnya
Wynona masih berada di dalam kepungan kabut membingungkan sebagai efek dari kata dan tindakan Leon. Dia masih belum bisa berpikir dengan jernih untuk tahu apa yang sebenarnya diinginkan. Semuanya serba membingungkan. Seakan Wynona berada di sebuah labirin paling rumit di dunia.Lalu, David menghubunginya setelah berhari-hari menghilang tanpa kabar. “Wyn, apa kamu baik-baik saja?” tanyanya penuh perhatian.“Ya,” dusta Wynona sembari menggigit bibir.“Aku minta maaf untuk berbagai masalah di antara kita. Tapi aku ingin menyelesaikannya satu per satu.” Jeda beberapa detik. “Mama ingin bertemu denganmu. Nanti malam bisa?”Wynona benar-benar tak siap dengan permintaan itu. “Nanti malam?”“Iya. Apa kamu tidak bisa? Ada pekerjaan?”“Aku....”Jawaban Wynona belum tuntas tapi sudah menukas dan mendesak. “Tolong luangkan waktu, ya? Aku tidak enak kalau har