Quinn menatap Violet tak setuju. “Omong kosong! Itu sama saja. Itu adalah bentuk ketidaksetiaan. Jika seorang lelaki berani memandangi perempuan lain sementara dia sedang bersama pacarnya, itu bukan hal yang wajar. Artinya, lelaki seperti itu tidak punya rasa hormat dan cinta yang pantas untuk orang yang memiliki posisi spesial di hatinya. Di depanmu saja dia berani bertingkah begitu, apalagi di belakangmu? Pernah memikirkan itu, Vi?”
Violet memelotot marah. “Jadi, menurutmu aku harus putus dengan Jeff setelah semua yang kita lakukan? Atau kamu cuma kesal karena tujuanku tercapai sedangkan hubunganmu dengan Eireen malah putus?”
Begitu kalimatnya tuntas, Violet tahu dia sudah melewati batas. Namun, kata-kata tajam adalah pedang yang tak bisa ditarik lagi.
“Bukan begitu! Aku tidak memintamu melakukan itu! Tapi aku berharap, kamu bisa lebih objektif. Setelah sekian lama kamu melihat sendiri sikap Jeffry, semestinya kamu membuka mata da
Quinn meninggalkan rumah indekos yang dihuni Violet dengan perasaan tak keruan. Jantungnya berdenyut nyeri oleh rasa sakit yang begitu kuat. Tak sekalipun dia mengira bahwa keputusan untuk bersekutu dengan Violet akan menjadi bumerang yang menyakiti Quinn sedemikian rupa.Tadi, Quinn harus mati-matian menahan diri agar tak mengguncang bahu Violet. Padahal, dia begitu ingin membuat gadis itu berpikir dengan rasional. Karena Violet sudah mengabaikan akal sehat demi pria yang bahkan tak bisa menahan pandangan saat berhadapan dengan perempuan menarik.“Vi, cobalah menilai dengan objektif. Jangan mengambil keputusan dengan terburu-buru.” Tadi, Quinn mengingatkan untuk kesekian kalinya. Dia sampai kehabisan kata-kata saat berusaha menjejalkan akal sehat di kepala Violet. Namun gadis itu bergeming. Violet bersikukuh bahwa sebaiknya mereka berhenti bertemu. Karena gadis itu tak mau Jeffry cemburu. Bagaimana bisa?Kedua tangan Quinn mencengkeram setir hingga
Quinn tiba di mes dengan kepala terasa berdenyut hebat. Waktu yang dihabiskannya di perjalanan tadi membuat lelaki itu kian gemas saja pada Violet. Entah berapa kali dia ingin memutar balik kendaraan untuk kembali mendatangi Violet dan bicara lagi dengan gadis itu. Quinn ingin Violet mengubah keputusannya. Namun, tentu saja dia tak bisa melakukan itu karena hari sudah malam.Quinn tak peduli meski saat ini Violet tak mencintainya dan masih menjadi kekasih Jeffry. Dia tak keberatan untuk berjuang menundukkan hati gadis itu, membuat Violet pelan-pelan jatuh cinta pada Quinn juga. Karena lelaki itu yakin, dia bisa melakukan itu. Sepanjang Violet memberinya kesempatan.Masalahnya, kini Violet malah jelas-jelas menyatakan bahwa mereka harus menjauh. Sebab, gadis itu sudah berjanji pada Jeffry yang ternyata merasa cemburu melihat kedekatan Quinn dengan Violet. Artinya lagi, mereka tak bisa menghabiskan waktu bersama seperti sebelumnya. Bagi Quinn, itu kehilangan yang terlalu
Hari-hari berjalan normal kembali. Hanya ada Violet dan Jeffry saja. Tanpa Quinn ataupun bayangan Eirene lagi. Seakan keduanya lenyap begitu saja dari hidup Violet. Namun, mengapa kenormalan itu justru ingin ditampik oleh Violet? Mengapa semua terasa salah dan malah membuatnya tersiksa? Apa yang harus Violet lakukan untuk mengakhiri semua ini?“Kamu sedang banyak masalah, ya?” Kelly menginterogasi suatu malam, dua bulan setelah pertemuan terakhir Violet dengan Quinn. Mungkin terluka dengan kata-kata Violet, pria itu tak pernah lagi menghubunginya. Violet pun melakukan hal yang sama. Menggenggam erat janji yang sudah dibuatnya kepada kekasihnya, Jeffry.“Iya,” sahut Violet dengan suara lemah. Dia tak berusaha menyembunyikan kenyataan.“Jeffry atau Quinn?” tanya Kelly lagi, menyebut dua nama itu dengan suara yakin.“Dua-duanya.” Violet mendesah dengan perasaan berat.Kelly berdeham pelan. Kedua perempua
Saat berada di keramaian, entah di toko buku atau menyusuri aneka pertokoan dan mal, mata Violet selalu mencari-cari. Berharap dia akan menemukan Quinn di antara ribuan manusia lainnya. Namun sayang, harapannya sirna dan punah tanpa pernah terwujud.Padahal, jika saja dia sedikit bernyali, Violet hanya perlu menelepon Quinn atau mendatangi The Suite. Dia yakin, Quinn bukan tipe orang yang akan menolak bicara dengannya atau malah mengusir Violet. Namun, gadis itu tak sanggup melakukannya. Meski Violet sendiri tak terlalu paham apa yang dicemaskannya. Mungkinkah Violet gentar jika pada akhirnya dia terpaksa menyerah pada kata hati yang terpaksa diabaikannya selama ini?“Akhirnya kamu memilih Jeff?” Rifka menautkan ujung-ujung alisnya ketika berhadapan dengan Violet. “Kukira, kamu akan lebih bijak mengambil keputusan. Quinn lebih tepat untukmu, Vi. Apa tidak ada orang yang pernah mengatakan itu?” ucapnya blak-blakanViolet tersentak. Dia bar
“Kamu mau dibelikan sesuatu? Kamu harus makan lagi supaya tidak mirip tengkorak hidup begitu,” komentar Kelly. “Mau pesan apa? Atau mau ikut dengan kami untuk makan malam?” desaknya lagi.Setelah menimbang-nimbang, Violet akhirnya menjawab, “Aku pengin nasi tutug oncom, di warung yang....”“Aku tahu,” tukas Kelly. “Nanti kubelikan.”Sepeninggal kedua temannya, Violet segera masuk ke kamarnya. Gadis itu langsung menuju kamar mandi setelah meletakkan tas dan sepatu. Tubuh Violet terasa lemas. Dia tahu pasti apa penyebabnya. Selain beban pekerjaan yang sedang tinggi, jam tidur dan porsi makannya pun luar biasa kacau. Belakangan ini, Violet lebih sering terjaga cukup lama sebelum matanya terpejam. Nafsu makan yang menurun pun membuatnya tak bisa menyantap makanan dalam porsi yang biasa.Setelah mandi, Violet berbaring menelentang di ranjang. Dia sengaja tak mengunci pintu karena sewaktu-waktu Wynona
Quinn pun sama santainya saat memberikan argumennya. “Kamu hampir selalu menolak apa pun yang kubawa. Menurutmu, barang-barangmu jauh lebih bagus. Seleraku payah, kan? Makanya, aku tidak membelikanmu apa pun.”Jika menuruti kata hatinya, ingin sekali Violet membela Quinn. Selera Quinn payah? Yang benar saja! Namun dia tahu, tidak ada gunanya melakukan hal itu. Tidak penting apa pun pendapat dunia tentang Quinn, Violet selalu punya penilaian tersendiri.“Astaga, ini anak malah melamun. Habiskan dulu makananmu itu, Vi!” sergah Kelly.Namun Violet memilih untuk menyerah. Lidahnya bukan pengecap yang baik sejak dia tak lagi melihat Quinn. “Rasanya betul-betul tidak enak.” Violet meletakkan piring ke atas nakas lagi. Lalu, dia meraih gelas berisi air putih yang disiapkan Wynona.“Apa?” Kelly membelalak. “Tadi siapa yang meminta dibelikan nasi tutug oncom?”“Aku. Tapi kukira rasanya enak.
Violet mengutuk tak sopan saat matanya dipaksa membuka. Suara ketukan di pintu seperti bom yang bertalu-talu tanpa jeda. Padahal rasanya dia baru saja tertidur setelah menangis cukup lama ditemani oleh Kelly dan Wynona. Kini, tak cuma ketukan di pintu saja yang menjadi sumber keributan, ponselnya pun ikut berbunyi nyaring.Tanpa melihat siapa yang menelepon, Violet langsung mematikan gawainya. Dia bersiap ingin melanjutkan tidur. Namun ketukan kembali terdengar. Kini suaranya bahkan lebih kencang. Jangankan Violet, sudah pasti seisi tempat indekos ini ikut terbangun karena suara yang begitu berisik.“Siapa manusia tak berperasaan ini?” keluh Violet dengan kelopak mata terasa menempel. Seolah menjawab pertanyaan yang dilisankannya dengan lirih itu, Violet mendengar namanya dipanggil. Itu suara Kelly, disusul oleh Wynona. Untuk apa mereka membangunkannya sepagi ini? Bukankah hari ini kalender berwarna merah? Selain itu, Kelly dan Wynona tahu kondisinya
Gadis itu lega karena Quinn hanya mengangguk dan tidak mengingatkan Violet bahwa dirinyalah yang tak ingin lagi bertemu lelaki itu. Bukankah itu yang diucapkan Violet saat kali terakhir mereka bertemu? Dia yang mengusir Quinn dari hidupnya, memutuskan pertemanan mereka karena mengikuti keinginan Jeffry.“Kenapa kamu tidak memakai sandal? Dan kenapa ke luar sepagi ini?” Giliran Quinn yang ingin menuntaskan rasa ingin tahunya.Violet menatap kakinya yang telanjang. Saat itu, dia baru menyadari ada rasa sakit di beberapa bagian. Mungkin karena menginjak batu atau sesuatu yang keras. Namun dia sama sekali tak peduli. Melihat wajah Quinn lain, pantas ditebus dengan rasa nyeri di telapak kakinya karena nekat keluar kamar tanpa mengenakan alas kaki.Violet mengaku, “Aku terburu-buru. Tidak sempat memakai sandal. Kelly dan Wynona mengetuk kamarku bermenit-menit, memberi tahu kalau ada mobilmu di sini. Kata mereka, sudah sejak pukul empat. Benarkah? Ken
Wynona memasuki masa berkabung karena patah hati tanpa air mata atau kesedihan yang berlarut-larut. Kendati berpisah dari David setelah hubungan selama sembilan tahun, tetap saja bukan hal yang mudah untuk dihadapi. Akhir hubungan mereka begitu tak menyenangkan karena sikap David dan keluarganya. Namun Wynona makin yakin dia sudah mengambil keputusan yang tepat.Ada beberapa sebab, tak cuma melulu “dosa” David saja, melainkan juga kesalahan Wynona. Sejak malam itu, David bahkan tak berusaha menghubungi Wynona lagi. Lelaki itu seolah menghilang begitu saja. Sembilan tahun yang mereka miliki bersama-sama, tak penting. Wynona pun tampaknya dianggap bukan lagi perempuan yang pantas untuk diperjuangkan.Sementara dari sisinya, Wynona kian yakin bahwa perasaannya pada David sudah benar-benar tawar. Hatinya sudah berubah. Gadis itu tak keberatan disalahkan karena seolah memberi peluang pada Leon untuk masuk dalam hidupnya.Dia tak akan menampik hal itu. Nam
Kata-kata yang dilontarkan orangtua Leon itu membuat Wynona benar-benar merasa dihargai. Dia tak bisa mencegah rasa haru menusuk-nusuk dadanya. Namun. Tentu saja dia tak boleh menangis lagi di sini. Sudah cukup air mata yang ditumpahkannya hari ini.“Wyn, mau main ludo atau halma?” Suara erangan terdengar dari berbagai arah sebagai respon untuk kata-kata Anton. Lelaki itu menunjukkan ekspresi tak berdosa saat membela diri. “Papa kan belum pernah main ular tangga dengan Wynona.”“Tolong Pa, kreatiflah sedikit. Setiap tamu selalu diajak main halma atau ludo. Apa tidak ada yang lain?” gerutu Trisa. Lalu, perempuan itu bicara pada tamunya. “Wyn, kapan kamu bisa mengirim daftar belanjaan untuk minggu depan? Lebih cepat lebih baik, kan?”“Iya Kak, aku akan menyiapkan daftarnya secepatnya. Besok atau paling telat lusa,” janji Wynona.Trisa mengangguk senang. “Mungkin sehari sebelum acara, akan leb
“Tidak apa-apa. Walau sebenarnya aku ke sini cuma ingin bertemu Om, Tante, dan Kakak,” sahut Wynona. “Agak pesimis juga awalnya, karena menurut Leon, Kakak nggak tinggal di sini.”Trisa tersenyum lebar. “Begitulah kalau menjadi anak perempuan satu-satunya. Kalau aku nggak datang selama beberapa hari, pasti ada yang menelepon. Kalau tidak Mama, Papa, kadang asisten rumah tangga. Ada saja alasan yang diajukan. Yang terbanyak sih, Nadya. Padahal, mereka itu merindukanku,” kelakarnya.“Hahah, aku jadi sangat iri. Aku juga anak perempuan satu-satunya tapi tak ada yang merindukanku seperti itu.”Trisa menatap Wynona sungguh-sungguh. “Aku justru yang iri dengan kemampuan memasakmu, Wyn! Aku semur hidup cuma bisa memasak nasi goreng. Itu pun menggunakan bumbu instan. Kemampuan memasakku nol besar. Padahal Mama jago di dapur. Dan kami terbiasa dimanjakan dengan masakannya.”Setelah kembali ke ruang tamu,
Wynona hampir menabrak dada seseorang saat membalikkan tubuh. Sendok kayu yang dipegangnya, jatuh ke lantai. Tangan kanannya memegang dadaku, seakan dengan begitu rasa kaget gadis itu akan berkurang jauh.“Syukurlah kamu baik-baik saja,” gumamnya dengan ekspresi lega tergambar jelas. Leon pasti tidak pernah tahu kalau Wynona pun tak kalah lega melihatnya.“Kamu mengagetkanku,” bibir Wynona cemberut. Dia hendak berjongkok memungut sendok kayu, tapi Leon bergerak lebih cepat dan menaruh benda itu di wastafel.“Dapurnya indah. Aku suka,” puji Wynona. “Sebentar, aku harus memindahkan mi-nya dulu.”“Butuh mangkuk besar?” Leon membuka sebuah pintu kabinet di bagian atas dan mengeluarkan sebuah mangkuk kaca transparan. “Apakah ini cukup?”Wynona mengangguk. Dengan gerakan hati-hati, dia menyusun mi, kol, dan telur rebus yang sudah dipotong-potong. Saat hendak menua
David menatap Wynona tak percaya. Kemarahan tergambar di setiap gerak tubuhnya. “Putus? Kenapa kamu terlalu cepat mengambil keputusan?”Gadis itu menggeleng. “Ini bukan keputusan yang terburu-buru. Selama ini, aku hanya tidak berani mengakui kenyataan.”“Wynona!”Gadis itu menatap wajah David dengan perasaan campur aduk. Betapa lelaki ini pernah membuat hati Wynona berpesta karena cintanya. Betapa David pernah menjadi orang terpenting dalam hidup gadis itu. Betapa Wynona pernah sangat ingin mengubah dirinya agar menjadi sosok paling diinginkan dalam hidup lelaki ini. Itulah kuncinya, pernah. Artinya, itu sudah berlalu lama, sebelum gadis itu akhirnya diterpa kesadaran. Terlambat, tapi Wynona tidak menilainya sebagai sebuah kefatalan. Dia tidak menyesali semuanya. Gadis itu hanya menganggap semua ini sebagai proses panjang yang mendewasakan.“Wyn, jangan cuma karena masalah ini, hubungan kita m
“Wyn,” David menjajari langkah kekasihnya. Sementara Wynona berusaha berjalan lebih cepat. Dia hampir mencapai pintu gerbang ketika David berhasil meraih lenganku.“Apa kamu tidak mendengarku?” tanyanya marah. Ekspresinya berubah keras.“Aku cuma ingin pulang. Aku tidak mau dihina lagi.”David menggelengkan kepalanya. “Mama hanya ingin tahu tentang kamu.”Wynona menatap David dengan tajam. Andai bisa, dia ingin mengguncang tubuhnya David dan meniupkan kesadaran di benaknya agar lelaki ini melihat fakta yang sebenarnya.“Vid, mamamu tidak menyukaiku. Sampai kapan pun akan tetap seperti itu. Percayalah, tidak akan ada yang berubah. Dan aku tidak nyaman diperlakukan seperti tadi.”David masih memegang lengan Wynona. “Aku tidak mengizinkanmu pulang. Nanti aku akan mengantarmu, Wyn! Sekarang, ayo kita masuk ke dalam lagi,” ajaknya.Wynona menggeleng tegas seraya melepa
Wynona tersenyum kecil menanggapi gurauannya. David nyaris tidak pernah antusias menikmati masakanku. Gadis itu mengitari ruang tamu yang luas itu dengan tatapannya. Ada belasan perempuan paruh baya yang bergaya trendi. Juga ada beberapa gadis muda yang usianya tak jauh beda dengan Wynona. Aneka aroma parfum mahal menyengat hidung. Membuat campuran aneh yang memusingkan kepala Wynona. Semua orang sibuk berbincang seraya menikmati aneka makanan yang tampak lezat. Gadis itu tidak melihat kehadiran ayah dan saudara David lainnya.Irene mendekat ke arah Wynona, Sofia, dan David yang duduk di sebuah sofa panjang. Perempuan itu memilih sofa tunggal di depan mereka. Wynona baru ingat, dia sama sekali tidak diperkenalkan dengan tamu yang ada.“Ma, coba cicipi ini.” Sofia menyodorkan sepotong kecil pie yang dibawa Wynona. Irene menggigit ujungnya sedikit. Entah mengapa, Wynona menjadi tegang karenanya.“Enak,” ujarnya. Namun dia menolak m
Wynona mendesah. “Kukira kamu akan memberiku usul yang masuk akal. Kamu kan tahu apa yang terjadi padaku saat resepsi? Kenapa kamu masih bisa mengusulkan ini?”“Wyn, aku tidak ingin melihatmu sedih atau terluka. Akan tetapi, ada kalanya kita harus berhadapan dengan kepahitan untuk mengetahui apa sebenarnya kebenaran di baliknya. Kalau kamu tidak mau bertemu mamanya David, apa masalah kalian akan selesai? Bukannya malah membuat semuanya menjadi makin rumit?”Wynona mengerutkan alis. “Aku tidak mengerti maksudmu.”Gadis itu mendengar suara tawa ringan di seberang.“Menghindar pasti lebih mudah. Tapi, apa kamu tidak penasaran ingin tahu bagaimana sebenarnya sikap keluarga David? Maksudku, mamanya. Kamu butuh kesempatan untuk bisa menilai dengan objektif. Dan menurutku, ini saat yang tepat.”Wynona tercenung mendengarnya. Keheningan menyergap selama sesaat.Leon bicara lagi. “Sebenarnya
Wynona masih berada di dalam kepungan kabut membingungkan sebagai efek dari kata dan tindakan Leon. Dia masih belum bisa berpikir dengan jernih untuk tahu apa yang sebenarnya diinginkan. Semuanya serba membingungkan. Seakan Wynona berada di sebuah labirin paling rumit di dunia.Lalu, David menghubunginya setelah berhari-hari menghilang tanpa kabar. “Wyn, apa kamu baik-baik saja?” tanyanya penuh perhatian.“Ya,” dusta Wynona sembari menggigit bibir.“Aku minta maaf untuk berbagai masalah di antara kita. Tapi aku ingin menyelesaikannya satu per satu.” Jeda beberapa detik. “Mama ingin bertemu denganmu. Nanti malam bisa?”Wynona benar-benar tak siap dengan permintaan itu. “Nanti malam?”“Iya. Apa kamu tidak bisa? Ada pekerjaan?”“Aku....”Jawaban Wynona belum tuntas tapi sudah menukas dan mendesak. “Tolong luangkan waktu, ya? Aku tidak enak kalau har