Quinn membelikan popcorn manis yang rasanya –mendadak- luar biasa nikmat. Tadinya pria itu ingin membelikan hamburger yg outlet-nya bersebelahan dengan popcorn. Namun Violet menolak mentah-mentah.
“Rasanya tidak enak dan harganya mahal,” tolak gadis itu. “Cuma buang-buang uang.”
“Uangku masih cukup, Vi,” Quinn mengedipkan mata dengan gaya santai. Karena hal sederhana itu, Violet tiba-tiba saja sampai lupa cara bernapas karenanya.
“Kita ke sini mau nonton, bukan piknik. Jadi, makannya nanti saja. Aku tidak kelaparan, kok!” kata Violet setelah terdiam beberapa saat.
“Oke. Kalau begitu, kamu tidak boleh menolak popcorn, ya?” putus Quinn. Sebelum Violet merespons, lelaki itu sudah beranjak meninggalkannya. Tujuannya jelas, membeli popcorn. Violet hanya memandangi punggung Quinn sembari mengulum senyum.
Saat di bioskop Violet bertanya-tanya, ba
“Apa kamu sekarang sudah berubah jadi pengangguran, Quinn? Kok bisa bolak-balik muncul di kantorku?” tanya Violet, bercanda. “Padahal ini hari Jumat. Kamu pasti sibuk sekali karena menjelang akhir pekan. Memangnya tamu The Suite tidak perlu diurus? Atau, kamu sudah bosan menjadi residence manager? Kalau iya, aku bersedia menggantikanmu, lho!”Quinn tertawa kecil. Entah mengapa, Violet menilai lelaki itu lebih menawan jika sedang tersenyum atau tertawa. “The Suite akan baik-baik saja, kok! Kemarin aku sudah bekerja keras, pulang ke mes setelah lewat tengah malam. Karena ada pekerjaan yang harus dituntaskan. Hari ini, Kakek memberi sedikit dispensasi. Sebenarnya aku malah diminta untuk libur hari ini. Tapi kutolak. Aku tetap datang ke hotel walau sudah diusir sejak tengah hari. Akhirnya, aku pulang. Hal pertama yang kuingat adalah kamu. Makanya, ketimbang cuma bengong di mes, aku memilih datang ke sini.”Uraian panjang lelaki
Mereka menghabiskan waktu di toko buku selama lebih dari tiga jam. Terlalu lama berdiri dan berjalan mondar-mandir, membawa konsekuensi sendiri bagi Violet. Betis gadis itu terasa pegal dan kakinya lecet. Ini adalah rekor terlamanya berada di toko buku saat ditemani oleh seorang pria. Dengan Jeffry, satu jam pun belum pernah terlampaui. Kekasih Violet itu tidak betah dan berkali-kali melihat arloji. Tingkahnya itu sangat mengganggu Violet sehingga dia lebih suka pergi sendiri.Keluar dari toko buku, tangan Quinn dipenuhi beberapa kantong plastik. Violet tidak diizinkan membawa kantong miliknya sendiri. Tak hanya itu, Quinn juga tak membiarkannya membayar buku yang dipilihnya. Mereka bahkan nyaris bertengkar di depan kasir!“Quinn, orang bisa mengira kamu itu pelayanku. Membawakan buku-buku yang banyak itu, sementara bukumu sendiri tidak sedikit,” protes Violet seraya berjalan pelan. Dia manahan nyeri karena lecet di kaki.Quinn menjawab dengan
Tak dinyana, Quinn malah tertawa geli. Bahunya berguncang-guncang. Dari wajah hingga lehernya memerah karena hal itu. Violet tak bisa berkata apa-apa selain merutuk dalam hati. Dia tak paham mengapa Quinn merasa kata-katanya begitu lucu.“Kalau sedang cerewet kamu itu ternyata sangat mirip radio butut yang menyiarkan acara tidak jelas,” komentar Quinn setelah tawanya reda. Mereka terus berjalan menuju pintu keluar mal.Saat itu, sebenarnya Violet ingin marah, tapi tidak bisa. Di sisi lain, dia juga ingin tertawa tapi terlalu gengsi. Akhirnya, gadis itu cuma berujar, “Tidak apa-apa radio butut. Yang penting, masih ada gunanya.”Violet merasakan gelombang kenyamanan saat bersama dengan Quinn. Entah sejak kapan, mereka tak pernah lagi membicarakan tentang Jeffry dan Eirene. Seakan hal itu berada jauh di luar garis, topik yang sama sekali tak bijak jika disentuh. Dalam banyak kesempatan, Violet melakukan hal-hal yang tak pernah
Jeffry mendesah pelan. Malam ini Violet menolak pergi keluar. Alhasil, sejoli itu memilih untuk duduk di gazebo seperti biasa. Tubuhnya memang terasa kurang sehat sejak pagi. Flu sepertinya sedang berusaha mengusik kesehatannya.“Rasanya kok kurang ... tepat. Dia kan sudah punya pacar, kamu juga. Aku mulai ditanya-tanya orang, apakah kita sudah berpisah. Ada yang melihat kalian makan berdua, nonton, dan ke toko buku hanya dalam waktu tak sampai dua minggu. Kita saja pun tak sesering itu pergi berdua, kan?” cetus Jeffry.“Kurang tepat, ya?” Violet ingin tertawa melihat ekspresi kekasihnya. Dia bersumpah akan menceritakannya pada Quinn apa yang terjadi hari ini. Jeffry mulai menaruh perhatian serius. “Padahal, aku dan Quinn cuma berteman. Kami memiliki banyak kesamaan, makanya merasa klop,” aku Violet, jujur.“Maaf ya Vi, aku bukannya ingin membatasi pergaulanmu. Aku bukan ingin mengatur dengan siapa kamu berteman
Quinn tidak tahu mengapa semua menjadi tak terkendali. Rencananya tak berjalan lancar. Niat awal lelaki itu untuk mengajak Violet bekerja sama demi memastikan Eireen dan Jeffry menyadari keberadaan mereka, tampaknya gagal total. Apakah itu karena dia terlalu mengkhayati peran dalam sandiwara mereka, seperti yang diucapkan Violet berkali-kali?“Kamu nggak boleh menghabiskan waktu terlalu banyak denganku, Quinn! Apalagi kalau sampai mengganggu jadwal acaramu dengan Eireen. Itu sudah terlalu berlebihan,” gurau Violet. Itu kalimat kesekian yang diucapkan gadis itu sejak mereka sering bertemu belakangan ini. Namun, meski begitu, Violet tak pernah benar-benar menolak ajakan Quinn.“Aku merasa menemukan teman yang klop, Vi.” Aku Quinn, jujur. “Jadi, kalau kebetulan aku datang untuk menjemputmu ke kantor, jangan selalu fokus ke tujuan awal kita. Anggap saja ini karena aku betah berteman denganmu.”Yang tidak diucapkan Quinn di depan V
“Kelihatannya, kamu makin sering saja bertemu Violet, ya?” Eireen melipat tangan di atas meja, tubuhnya agak condong ke depan. “Sepertinya, kamu bahkan lebih sering bersama dia dibanding denganku. Bahkan kamu pernah memanfaatkan hari liburmu untuk menonton bersama Violet,” kritiknya.Quinn sudah memiliki jawaban untuk kalimat terakhir Eireen itu. “Aku kan sudah meneleponmu sejak pagi, tapi kamu bilang kalau ada acara penting dengan teman-teman SMA-mu. Aku kan tidak bisa memaksamu membatalkan acara kalian. Karena waktuku luang dan sepertinya Violet juga tidak memiliki aktivitas lain, makanya aku mengajaknya menonton. Seingatku, Jeffry malah tidak bilang pada Violet kalau dia akan bertemu denganmu dan yang lainnya. Tapi, tenang saja, aku tak ingin mereka bertengkar. Jadi, aku tak memberi tahu Violet soal acara itu.”“Apa kamu lupa kalau aku mengajakmu dan kamu menolak?” Eireen balik bertanya, tak mau disalahkan.&ldq
Sepanjang sisa makan malam itu, Quinn mendadak kehilangan antusiasmenya yang biasa. Entah ke mana semangat menggebu yang selalu dirasakan pria itu jika bertemu dengan Eireen. Quinn pun yang tadinya aktif berbicara, kini lebih suka menjadi pendengar saja. Saat itu, dia cuma merasakan satu hal. Ada sesuatu yang salah.“Kamu kok mendaak pendiam, sih? Seperti ada yang sedang dipikirkan,” kata Eireen. Tampaknya, gadis itu pun menyadari perubahan sikap Quinn. “Ada apa, Quinn?”Tentu saja lelaki itu tak mungkin menjawab dengan jujur. “Nggak ada apa-apa. Aku cuma agak capek.”Eireen merengut ke arah kekasihnya. “Kenapa kamu bisa betah berjam-jam di toko buku bersama Violet, tapi sudah mengeluh capek padahal kita baru di sini kurang dari satu jam?” kritiknya.“Karena hari ini aku memang banyak pekerjaan yang membuat tenagaku terkuras,” Quinn beralasan.Quinn baru saja hendak mengajak Eireen untuk m
Setelah tiba di rumah yang ditempatinya sejak bekerja di The Suite, Quinn memilih untuk buru-buru mandi. Tadi dia tak sempat melakukan itu sebelum meninggalkan hotel. Pasalnya, waktu sudah terlalu mepet. Pekerjaan lelaki itu seharian ini memang bertumpuk.Quinn menempati rumah mungil berkamar satu yang dilengkapi dengan dapur dan ruang tamu. Dulu, sebelum menjadi residence manager, Quinn tinggal di kamar berukuran empat kali lima meter dengan kamar mandi di dalam. Sehari-hari, ada petugas yang membersihkan semua ruangan dan kamar-kamar di mes itu.Quinn sudah tertidur saat ponsel lelaki itu berbunyi nyaring dan membuatnya terjaga. Kening Quinn berkerut karena dia menyadari saat itu sudah hampir tengah malam. Dia selalu berdebar-debar tiap kali ada yang menelepon di atas pukul sepuluh malam. Karena seringnya itu bukan berita bagus. Apalagi ketika Quinn membaca nama Eireen terpampang di layar.“Halo, Reen. Ada apa?” tanya Quinn tanpa basa-basi
Wynona memasuki masa berkabung karena patah hati tanpa air mata atau kesedihan yang berlarut-larut. Kendati berpisah dari David setelah hubungan selama sembilan tahun, tetap saja bukan hal yang mudah untuk dihadapi. Akhir hubungan mereka begitu tak menyenangkan karena sikap David dan keluarganya. Namun Wynona makin yakin dia sudah mengambil keputusan yang tepat.Ada beberapa sebab, tak cuma melulu “dosa” David saja, melainkan juga kesalahan Wynona. Sejak malam itu, David bahkan tak berusaha menghubungi Wynona lagi. Lelaki itu seolah menghilang begitu saja. Sembilan tahun yang mereka miliki bersama-sama, tak penting. Wynona pun tampaknya dianggap bukan lagi perempuan yang pantas untuk diperjuangkan.Sementara dari sisinya, Wynona kian yakin bahwa perasaannya pada David sudah benar-benar tawar. Hatinya sudah berubah. Gadis itu tak keberatan disalahkan karena seolah memberi peluang pada Leon untuk masuk dalam hidupnya.Dia tak akan menampik hal itu. Nam
Kata-kata yang dilontarkan orangtua Leon itu membuat Wynona benar-benar merasa dihargai. Dia tak bisa mencegah rasa haru menusuk-nusuk dadanya. Namun. Tentu saja dia tak boleh menangis lagi di sini. Sudah cukup air mata yang ditumpahkannya hari ini.“Wyn, mau main ludo atau halma?” Suara erangan terdengar dari berbagai arah sebagai respon untuk kata-kata Anton. Lelaki itu menunjukkan ekspresi tak berdosa saat membela diri. “Papa kan belum pernah main ular tangga dengan Wynona.”“Tolong Pa, kreatiflah sedikit. Setiap tamu selalu diajak main halma atau ludo. Apa tidak ada yang lain?” gerutu Trisa. Lalu, perempuan itu bicara pada tamunya. “Wyn, kapan kamu bisa mengirim daftar belanjaan untuk minggu depan? Lebih cepat lebih baik, kan?”“Iya Kak, aku akan menyiapkan daftarnya secepatnya. Besok atau paling telat lusa,” janji Wynona.Trisa mengangguk senang. “Mungkin sehari sebelum acara, akan leb
“Tidak apa-apa. Walau sebenarnya aku ke sini cuma ingin bertemu Om, Tante, dan Kakak,” sahut Wynona. “Agak pesimis juga awalnya, karena menurut Leon, Kakak nggak tinggal di sini.”Trisa tersenyum lebar. “Begitulah kalau menjadi anak perempuan satu-satunya. Kalau aku nggak datang selama beberapa hari, pasti ada yang menelepon. Kalau tidak Mama, Papa, kadang asisten rumah tangga. Ada saja alasan yang diajukan. Yang terbanyak sih, Nadya. Padahal, mereka itu merindukanku,” kelakarnya.“Hahah, aku jadi sangat iri. Aku juga anak perempuan satu-satunya tapi tak ada yang merindukanku seperti itu.”Trisa menatap Wynona sungguh-sungguh. “Aku justru yang iri dengan kemampuan memasakmu, Wyn! Aku semur hidup cuma bisa memasak nasi goreng. Itu pun menggunakan bumbu instan. Kemampuan memasakku nol besar. Padahal Mama jago di dapur. Dan kami terbiasa dimanjakan dengan masakannya.”Setelah kembali ke ruang tamu,
Wynona hampir menabrak dada seseorang saat membalikkan tubuh. Sendok kayu yang dipegangnya, jatuh ke lantai. Tangan kanannya memegang dadaku, seakan dengan begitu rasa kaget gadis itu akan berkurang jauh.“Syukurlah kamu baik-baik saja,” gumamnya dengan ekspresi lega tergambar jelas. Leon pasti tidak pernah tahu kalau Wynona pun tak kalah lega melihatnya.“Kamu mengagetkanku,” bibir Wynona cemberut. Dia hendak berjongkok memungut sendok kayu, tapi Leon bergerak lebih cepat dan menaruh benda itu di wastafel.“Dapurnya indah. Aku suka,” puji Wynona. “Sebentar, aku harus memindahkan mi-nya dulu.”“Butuh mangkuk besar?” Leon membuka sebuah pintu kabinet di bagian atas dan mengeluarkan sebuah mangkuk kaca transparan. “Apakah ini cukup?”Wynona mengangguk. Dengan gerakan hati-hati, dia menyusun mi, kol, dan telur rebus yang sudah dipotong-potong. Saat hendak menua
David menatap Wynona tak percaya. Kemarahan tergambar di setiap gerak tubuhnya. “Putus? Kenapa kamu terlalu cepat mengambil keputusan?”Gadis itu menggeleng. “Ini bukan keputusan yang terburu-buru. Selama ini, aku hanya tidak berani mengakui kenyataan.”“Wynona!”Gadis itu menatap wajah David dengan perasaan campur aduk. Betapa lelaki ini pernah membuat hati Wynona berpesta karena cintanya. Betapa David pernah menjadi orang terpenting dalam hidup gadis itu. Betapa Wynona pernah sangat ingin mengubah dirinya agar menjadi sosok paling diinginkan dalam hidup lelaki ini. Itulah kuncinya, pernah. Artinya, itu sudah berlalu lama, sebelum gadis itu akhirnya diterpa kesadaran. Terlambat, tapi Wynona tidak menilainya sebagai sebuah kefatalan. Dia tidak menyesali semuanya. Gadis itu hanya menganggap semua ini sebagai proses panjang yang mendewasakan.“Wyn, jangan cuma karena masalah ini, hubungan kita m
“Wyn,” David menjajari langkah kekasihnya. Sementara Wynona berusaha berjalan lebih cepat. Dia hampir mencapai pintu gerbang ketika David berhasil meraih lenganku.“Apa kamu tidak mendengarku?” tanyanya marah. Ekspresinya berubah keras.“Aku cuma ingin pulang. Aku tidak mau dihina lagi.”David menggelengkan kepalanya. “Mama hanya ingin tahu tentang kamu.”Wynona menatap David dengan tajam. Andai bisa, dia ingin mengguncang tubuhnya David dan meniupkan kesadaran di benaknya agar lelaki ini melihat fakta yang sebenarnya.“Vid, mamamu tidak menyukaiku. Sampai kapan pun akan tetap seperti itu. Percayalah, tidak akan ada yang berubah. Dan aku tidak nyaman diperlakukan seperti tadi.”David masih memegang lengan Wynona. “Aku tidak mengizinkanmu pulang. Nanti aku akan mengantarmu, Wyn! Sekarang, ayo kita masuk ke dalam lagi,” ajaknya.Wynona menggeleng tegas seraya melepa
Wynona tersenyum kecil menanggapi gurauannya. David nyaris tidak pernah antusias menikmati masakanku. Gadis itu mengitari ruang tamu yang luas itu dengan tatapannya. Ada belasan perempuan paruh baya yang bergaya trendi. Juga ada beberapa gadis muda yang usianya tak jauh beda dengan Wynona. Aneka aroma parfum mahal menyengat hidung. Membuat campuran aneh yang memusingkan kepala Wynona. Semua orang sibuk berbincang seraya menikmati aneka makanan yang tampak lezat. Gadis itu tidak melihat kehadiran ayah dan saudara David lainnya.Irene mendekat ke arah Wynona, Sofia, dan David yang duduk di sebuah sofa panjang. Perempuan itu memilih sofa tunggal di depan mereka. Wynona baru ingat, dia sama sekali tidak diperkenalkan dengan tamu yang ada.“Ma, coba cicipi ini.” Sofia menyodorkan sepotong kecil pie yang dibawa Wynona. Irene menggigit ujungnya sedikit. Entah mengapa, Wynona menjadi tegang karenanya.“Enak,” ujarnya. Namun dia menolak m
Wynona mendesah. “Kukira kamu akan memberiku usul yang masuk akal. Kamu kan tahu apa yang terjadi padaku saat resepsi? Kenapa kamu masih bisa mengusulkan ini?”“Wyn, aku tidak ingin melihatmu sedih atau terluka. Akan tetapi, ada kalanya kita harus berhadapan dengan kepahitan untuk mengetahui apa sebenarnya kebenaran di baliknya. Kalau kamu tidak mau bertemu mamanya David, apa masalah kalian akan selesai? Bukannya malah membuat semuanya menjadi makin rumit?”Wynona mengerutkan alis. “Aku tidak mengerti maksudmu.”Gadis itu mendengar suara tawa ringan di seberang.“Menghindar pasti lebih mudah. Tapi, apa kamu tidak penasaran ingin tahu bagaimana sebenarnya sikap keluarga David? Maksudku, mamanya. Kamu butuh kesempatan untuk bisa menilai dengan objektif. Dan menurutku, ini saat yang tepat.”Wynona tercenung mendengarnya. Keheningan menyergap selama sesaat.Leon bicara lagi. “Sebenarnya
Wynona masih berada di dalam kepungan kabut membingungkan sebagai efek dari kata dan tindakan Leon. Dia masih belum bisa berpikir dengan jernih untuk tahu apa yang sebenarnya diinginkan. Semuanya serba membingungkan. Seakan Wynona berada di sebuah labirin paling rumit di dunia.Lalu, David menghubunginya setelah berhari-hari menghilang tanpa kabar. “Wyn, apa kamu baik-baik saja?” tanyanya penuh perhatian.“Ya,” dusta Wynona sembari menggigit bibir.“Aku minta maaf untuk berbagai masalah di antara kita. Tapi aku ingin menyelesaikannya satu per satu.” Jeda beberapa detik. “Mama ingin bertemu denganmu. Nanti malam bisa?”Wynona benar-benar tak siap dengan permintaan itu. “Nanti malam?”“Iya. Apa kamu tidak bisa? Ada pekerjaan?”“Aku....”Jawaban Wynona belum tuntas tapi sudah menukas dan mendesak. “Tolong luangkan waktu, ya? Aku tidak enak kalau har