Pangkal paha Yogie berdenyut, mendesak-desak supaya cepat di lepaskan, tetapi, Yogie menahannya. Malam ini ia harus menikmatinya, Elena juga harus menikmatinya. Mereka melakukan hal ini dengan sama-sama sadar, dan Yogie ingin Elena merasakan betapa berharganya malam ini dengannya.
Satu per satu Yogie melucuti pakaian yang di kenakan Elena, membuat tubuh seksi Elena terpampang jelas tepat di hadapan Yogie. Yogie menelan ludahnya dengan susah payah. Bagaimana mungkin Elena memiliki tubuh seindah ini? Siapa saja yang sudah pernah melihatnya? Apa si brengsek Andrew melihat tubuh Elena yang seperti ini setiap hari?
Dan seketika itu juga Yogie merasakan dadanyaa terasa panas. Ia cemburu, sangat cemburu, belum lagi kenyataan jika Elena mungkin saja seorang wanita nakal, wanita yang dengan gampang menyerahkan tubuhnya untuk lelaki lain. Apa Elena wanita seperti itu?
Dengan kasar Yogie kembali melumat bibir Elena, menggigitnya, seakan memberi hukuman bagi wanita itu. Sedangkan Elena sendiri juga membalas setiap perlakuan yang di berikan Yogie padanya. Jemarinya sudah terulur membuka resleting celana yaang di kenakan Yogie.
Tangan halus Elena mengusap bukti gairah yang terpampang jelas pada tubuh Yogie, Yogie semakin mengerang dengan perlakuan lembut yang di berikan Elena.
“Apa yang kamu lakukan padaku?” Suara Yogie benar-benar serak.
“Aku hanya menuruti apa maumu, kita akan menjadi sepasang kekasih malam ini.”
“Hemm..”
“Buka bajumu, aku ingin melihat otot-otot kerasmu.” Elena berbisik kemudian membantu Yogie membuka T-shirt yang di kenakan lelaki tersebut.
Elena menatap dengan lapar tubuh di hadapannya, tampak otot-otot terpahat dengan sempurna, membuat siapapun yang melihatnya ingin menyentuhnya.
“Sejak kapan kamu memiliki tubuh sebagus ini?” tanya Elena penasaran, karena setahunya dulu Yogie hanyalah seorang anak SMA yang kurus.
“Sejak jadi pengangguran.”
Elena menaikkan sebelah alisnya. “Pengangguran?”
Yogie mengangguk pasti, matanya tidak berhenti beradu pandang dengan mata Elena.
“Aku tidak memliki pekerjaan Elena, setelah lulus perguruan tinggi, aku hanya sesekali ikut bekerja dengan kakakku. Tapi bekerja di balik meja dengan menatap komputer benar-benar sangat membosankan, akhirnya aku keluar, dan menjadi pengangguran, setelah itu waktu olahragaku semakin banyak hingga bisa membentuk ototku seperti ini.”
“Oh ya? Jadi kamu lebih memilih balapan nggak jelas sambil sesekali ke kelab malam dari pada bekerja?”
“Ya.”
Elena menggelengkan kepalanya. “Sangat buruk.”
“Kenapa?”
“Kamu sudah setua ini dan tidak bekerja? Astaga.”
Yogie tertawa lebar. “Apa kamu takut aku tidak bisa menafkahi kamu dan bayi kita nanti?” tanya Yogie dengan tampang tengilnya.
“Ya, kalau aku takut seperti itu bagaimana?”
Tubuh Yogie menegang seketika, ia tidak menyangka jika jawaban Elena akan seperti itu. Terdengar serius dan entah kenapa sedikit mempengaruhi Yogie.
“Kamu ingin aku bekerja?”
“Ya, setidaknya kamu harus punya penghasilan.”
“Aku sudah punya penghasilan dari balapan, bukan hanya balapan liar, karena aku juga mengikuti beberapa Race resmi yang di adakan beberapa kelab motor di kota ini maupun di luar kota.”
Elena tersenyum, jemarinya mengusap lembut pipi Yogie. “Itu bukan pekerjaan, itu hobby yang menghasilkan uang.”
“Jadi, aku harus kembali bekerja?”
“Harus.” Jawab Elena.
Yogie semakin menempelkan tubuhnya pada tubuh Elena, hasratnya kembali terbangun dengan perintah yang di berikan Elena, perintah yang menyiratkan jika wanita itu peduli padanya.
“Kalau aku kerja, apa yang ku dapat?” tanya Yogie dengan parau, bibirnya yang sudah menempel pada bibir Elena, bergerak menggoda.
“Kamu dapat uang.”
“Bukan itu, sayang. Apa yang kudapat darimu?”
“Kenapa aku harus memberimu hadiah? Bukan menjadi urusanku jika kamu kerja atau tidak.”
“Kalau begitu, kenapa kamu memintaku supaya bekerja?” jemari Yogie meremas payudara sintal milik Elena, membuat Elena meloloskan erangannya.
“Sebab aku ingin melihatmu lebih baik.”
“Oh ya?” Yogie mendaratkan bibirnya pada puncak payudara Elena, menghisapnya sesekali menggodanya. “Hanya itu Elena?”
“Ah ya, teruskan, Astaga...” Elena mengerang ketika Yogie tidak berhenti menggoda payudaranya. Jemari Elena meremas rambut di kepala Yogie, mendorong kepala Yogie supaya tidak menjauh dari dadanya.
“Aku bertanya Elena, apa yang kudapat jika aku sudah bekerja.”
“Kontakku.”
“Aku tidak butuh.” jawab Yogie parau. Sebelah tangannya kini sudah mengusap lembut pusat diri Elena membuat Elena semakin kewalahan dengan apa yang di lakukan Yogie.
“Gie, Astaga...”
“Suka, Elena?”
“Ahhh ya.”
“Jawab aku, apa yang kamu berikan jika aku sudah bekerja.”
“Tidak ada.” Elena menggigit bibir bawahnya ketika tiba-tiba Yogie menegakkan tubuhnya, mengangkat sebelah kaki Elena kemudian memasuki diri Elena begitu saja tanpa basa-basi lagi.
Elena mendesah panjang ketika Yogie terasa penuh di dalam dirinya. Matanya masih memejam sedangkan napasnya tidak berhenti memburu. Yogie tidak bergerak sama sekali, dan itu membuat Elena sedikit kesal.
“Kenapa kamu tidak bergerak?”
“Aku butuh jawaban.” jawab Yogie santai sambil menatap dalam-dalam wajah Elena yang memerah karena gairah.
“Brengsek!! Aku akan bercinta denganmu, apa kamu puas? Sekarang cepat gerakkan bokong sialanmu sebelu-.”
“Bukan itu yang ku mau Elena.” Yogie sedikit tersenyum saat melihat Elena tidak berdaya.
“Lalu apa?”
“Menjadi kekasihku.”
“Tidak!! Aku sudah punya Andrew.”
Rahang Yogie mengeras karena marah. “Kekasih gelapku, Elena.”
“Persetan denganmu, kamu tidak ingin bekerja? Maka aku tidak peduli!” Elena mulai marah dan Yogie tertawa.
“Bagaimana dengan ini?” Yogie menggerakkan tubuhnya sedikit demi sedikit untuk menggoda Elena dan Elena kembali mengerang, meracau tidak jelas karena kenikmatan yang menghujam pada dirinya.
“Yogie, Please..”
“Please for what?”
“Bencinta denganku, buat aku berteriak. Astaga, kamu membunuhku.” racau Elena.
“Jawab, Ya.”
“Yogie...” Elena semakin mengerang ketika Yogie mempercepat lajunya.
“Please, say yes.” Yogie mendaratkan kembali bibirnya pada puncak payudara Elena, sedangkan yang di bawah sana semakin menggila dengan gerakan menghujam yang semakin cepat.
“Yes, yes, yes....” Elena tidak tahu apa yang baru saja di katakannya, yang ia tahu bahwa ia akan terjebak dengan soerang Yogie hanya karena ketololannya.
Yogie tersenyum di antara kedua payudara milik Elena, ia puas dengan jawaban yang di berikan Elena. Yogie lalu mempercepat lajunya, membuat Elena mengerang panjang karena pelepasannya sedangkan Yogie sendiri sibuk mengatur gairahnya sendiri. Tak lama, meledaklah ia di dalam tubuh Elena.
Yogie tersugkur ke dalam pelukan Elena. Kepalanya tersandar pada pundak wanita tersebut. Sedangkan tubuh Elena sendiri masih bersandar pada dinding.
“Kamu berat.” ucap Elena yang seketika itu juga membuat Yogie melepaskan diri dari wanita tersebut.
Yogie menatap Elena dengan tatapan penuh rasa bersalah. Sial!!! Ia benar-benar gila karena.....
“Ada apa?” tanya Elena tanpa sedikitpun rasa canggung.
“Aku, aku tidak menggunakan pengaman.”
Elena membulatkan matanya seketika. Saat mendengar jawaban dari Yogie. Sial!!! Bagaimana mungkin ia bisa bercinta tanpa pengaman dengan Yogie?
-TBC-
Dengan cepat Elena mendorong dada Yogie hingga lelaki di hadapannya tersebut menjauh.“Apa yang kamu lakukan? Bagaimana mungkin kita bercinta tanpa pengaman?!” Elena tampak sangat marah dengan Yogie.“Maaf, aku akan bertanggung jawab.”“Bertanggung jawab katamu? Walaupun aku hamil aku nggak akan mau kamu bertanggung jawab!”“Kenapa? karena aku pengangguran?” Yogie bertanya dengan nada kerasnya.Elena memejamkan matanya frustasi, ia menyadari jika perkataannya menyinggung Yogie.“Gie, dengar, ini bukan masalah tanggung jawab. Kamu tahu, kan resikonya seks bebas tanpa pengaman? Bukan karena hamil, sungguh, kalau itu yang kamu takutkan, kamu nggak perlu khawatir, aku nggak akan hamil, tapi-”“Aku bersih. Dan aku yakin kamu juga bersih.” Potong Yogie yang sudah mengerti apa yang di maksud oleh Elena.“Seyakin apa? Kamu nggak tahu bagaimana kehidupan seksu
Elena dan Yogie turun bersama ketika waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Keduanya sepakat menuju ke kafe terdekat untuk membicarakan perihal kesepakatan mereka.Yogie sama sekali tidak bisa mengalihkan pandangannya pada diri Elena. Oh sial!! Sebenarnya apa yang di lakukan wanita itu hingga membuatnya tidak bisa berpaling seperti saat ini?“Berhenti menatapku seperti itu atau kamu akan salah memasukkan sup itu ke dalam lubang hidungmu.” Elena berkata dengan wajah datarnya.Yogie tertawa. “Aku suka melihatmu, apa itu aneh?”“Risih.”“Apa yang membuatnya risih?”Elena menatap Yogie lalu bekata. “Kamu terlihat seperti lelaki yang menginginkan seks setiap waktu, dan aku risih melihat itu.”“Aku memang menginginkan seks setiap waktu.” jawab Yogie dengan tawa lebarnya. “Percaya atau tidak, aku sudah kembali menegang, Elena.”Elena membulatkan mata
“Kita tidak bisa melakukan itu di sini, Gie.” ucap Elena yang suaranya sudah sangat serak.“Kata siapa? Aku bisa melakukan apapun yang kumau.”“Please, tidak sekarang, tidak di sini.” Elena memohon. Yang benar saja, saat ini Elena juga sangat menginginkan Yogie, tapi demi Tuhan, mereka sedang berada di dalam ruang kerjanya yang mungkin saja sewaktu-waktu bawahannya bisa saja mengetuk pintu dan masuk.“Aku benar-benar menginginkanmu.”“Percaya atau tidak, akupun juga menginginkanmu, Gie. Tapi astaga, kita tidak bisa melakukannya di sini.”“Oke.” Yogie mengalah. “Tapi kesepakatan kita...”“Ya, aku tahu, mulai saat ini kesepakatan kita sudah berlaku.”“Jadi, kita sudah menjadi sepasang kekasih?”“Ingat, hanya saat kita berdua, kita akan bersikap seperti orang asing ketika di hadapan oraang lain.”
“Jadi... kamu memilih tetap mengenakan juba ini saat kita makan malam bersama?” Yogie bertanya dengan suara yang begitu serak. Wajahnya sudah sangat dekat dengan wajah Elena. Dengan spontan Elena mengecup singkat permukaan bibir Yogie.“Ya, aku tetap mengenakan juba ini.” tantang Elena.Jemari Yogie sudah terulur membuka ikatan juba yang di kenakan Elena, dan kini tampaklah tubuh bagian depan Elena yang polos tepat di hadapan Yogie.“Sepertinya aku akan menyantap hidangan utama terlebih dahlu.”“Sepertinya bercinta di meja dapur adalah hal yang menyenangkan.” Tambah Elena yang menyatakan setuju dengan apa yang akan di lakukan oleh Yogie.Elena mulai teregah ketika jemari Yogie mengusap lembut puncak payudaranya, sedangkan mata Yogie tidak berhenti menatap wajah Elena yang seakaan tersiksa oleh sentuhan yang di berikan Yogie.Elena mengerang ketika Yogie mulai menggoda puncak payudaranya,
Yogie terbangun dan mendapati Elena di dalam pelukannya. Ini sudah dua minggu setelah kesepakatan mereka terjadi malam itu. Semuanya berjalan sesuai dalam kesepakatan. Elena selalu bersikp seolah tak mengenal Yogie ketika keduanya tidak sengaja bertemu di tempat umum. Begitupun sebaliknya. Kenyataan jika Yogie bekerja di kantor yang sama dengan Elenapun tidak berpengaruh. Toh Yogie hanya staf biasa, mana mungkin dengan leluasa bisa menemui Elena yang berkedudukan sebagai wakil direktur di perusahaan tempatnya bekerja. Yogie menatap langit-langit kamar Elena, pikirannya seakan terbang pada masalalu, masa dimana dirinya sempat menyukai wanita yang berada dalam pelukannya saat ini. Dulu, Yogie bukanlah lelaki bajingan dengan keinginannya untuk selalu melakukan seks, Yogie bukan pria seperti itu. Dia memiliki cinta, dan dia percaya dengan kata tersebut. Yogie pernah menyukai Elena ketika SMA, tapi Elena yang populer seakan tidak pe
Malamnya...Yogie dan Elena akhirnya menghadiri pesta itu, pesta pernikahan Kezia, sepupu Yogie.Sejak tadi, jantung Elena tidak berhenti berdegup kencang, entah karena apa Elena juga tidak tahu, apa karena Yogie yang berubah seratus delapan puluh derajat dengan mobil mewah yang di bawanya? Oh yang benar saja, ini hanya mobil rental, Elena. Gerutu Elena pada dirinya sendiri.Lelaki yang kini sedang mengemudi di sebelahnya ini juga berpenampilan rapi dengan setelan hitamnya yang membuatnya terlihat bak CEO-CEO di film-film romantis maupun di dalam fantasinya ketika ia sedang membaca novel. Film Romantis? Novel? Memangnya sejak kapan kamu pernah menonton film romantis dan membaca Novel, Elena? Jangan ngaco!Akhirnya Elena hanya mampu berkali-kali menghela napas panjang untuk menenangkan dirinya sendiri.“Kamu gugup?” tanya Yogie tiba-tiba.“Eh? Kenapa aku gugup?”&ldquo
“Al... Shit, Alisha, Oh, kamu benar-benar membuatku gila.” Entah sudah berapa kali Yogie meracau ketika ia mendapatkan kenikmatan lagi dan lagi dari tubuh di bawahnya kini.“Aku tidak bisa berhenti, Al, aku tidak bisa berhenti.” Lagi, dan lagi Yogie menyebut nama itu tanpa mempedulikan sedikitpun ekspresi wanita yang berada di bawahnya.“Aku akan sampai, sial!! Aku akan sampai.” Dan Yogie kembali mengerang panjang ketika pelepasan itu terjadi.Yogie memeluk tubuh di bawahnya, kemudian berbisik di sana dengan suara seraknya.“Aku mencintaimu, Al, aku tidak bisa menghilangkan perasaan ini.”Yogie menenggelamkan wajahnya pada lekukan leher wanita di bawahnya tanpa mempedulikaan jika wanita itu kini sudah memeluk tubuh Yogie erat-erat dengan lengan rapuhnya.***Yogie membuka mata dan merasakan nyeri yang amat sangat di kepalanya. Ia mengedarkan pandangan dan menda
Elena masuk ke dalam kamarnya, mengunci pintu kamarnya, kemudian menghela napas panjang. Bagaimana mungkin Yogie bisa begitu mempengaruhinya? Lagi-lagi pertanyaan itu terlintas di dalam ingatannya.Elena menyapukan matanya ke seluruh penjuru ruangan dan baru menyadari jika ada yang beda di dalam kamarnya. Ada sebuah gitar di ujung ruangan, sebuah Playstation di meja televisi tepat di depan ranjangnya. Apa itu punya Yogie? Kenapa lelaki itu membawa barang rongsokannya kemari? Piki Elena.Elena kemudian menuju ke arah lemari pakaiannya, membukanya dan berakhir dengan mengumpat karena mendapati beberapa pakaian pria di sana yang di yakini Elena adalah pakaian Yogie. Elena berlari ke dalam kamar mandinya dan mendapati ada sepasang handuk, yang satu miliknya dan satu lagi Elena yakin adalah milik Yogie, begitupun dengan alat-alat mandi, Elena bahkan melihat ada alat cukur beserta creamnya.Sial!Apa Yogie berniat tinggal bersamanya? Yang benar saja.
“Hansel, berhenti memainkan itu, hei, hei.” Yogie masih sibuk mengurus bocah berumur satu tahun yang masih duduk dengan tenang di tempat duduk khusus untuk memberi makan bayi. Namanya Hansel Pradipta, putera pertamanya dengan Elena.Setelah melahirkan, Elena memberi Yogie wewenang untuk menamai putera pertama mereka, dengan spontan Yogie menamainya dengan nama Hansel, entahlah, ia suka saja dengan nama tersebut. Sedangkan nama belakanngnya tetap membawa nama Pradipta, karena ayah Elena ingin cucu pertamanya itu menjadi penerus keluarga Pradipta.Yogie sendiri tidak mempedulikan nama belakang putera pertamanya itu, yang pasti, Hansel adalah puteranya, dan semua orang tahu kenyataan itu.“Sayang, Stiletto aku yang warna merah di mana?” suara lembut dari dalam kamar membuat Yogie mengangkat wajahnya. Itu pasti Elena, istrinya yang kini sering kali bersikap manja padanya.“Dengar Hansel, Papa akan ke tempat mama dulu, ka
Sorenya...Elena masih setia berada dalam pelukan Yogie, kepalanya tersandar dengan santai di dada Yogie, sedangkan lelaki itu kini masih asik bermain Playstation miliknya yang memang berada di kamar Elena.“Kamu masih seperti anak kecil.” Suara Elena terdengar serak, sesekali ia menggesekkan pipinya pada dada telanjang Yogie.“Anak keci katamu? Aku sudah menghamilimu, bagaimana mungkin kamu bilang aku seperti anak kecil.” Yogie menjawab datar, sedangkan matanya masih fokus pada layar televisi di hadapannya.“Sikap dan perilaku kamu mengingatkanku dengan anak kecil, masih suka main Ps, keluyuran, kencan dan lain sebagainya, lagian, kamu yakin sekali jika kamu yang menghamiliku.”Yogie mem-pause permainannya kemudian menatap lembut ke arah Elena. “Sampai kapan kamu akan membohongiku tentang dia?” jemarinya mengusap lembut perut telanjang Elena.“
Pagi itu, entah pagi ke berapa Elena bangun dalam pelukan seorang Yogie Pratama. Setelah hari di mana Yogie melamarnya, lelaki itu berubah menjadi lelaki yang lebih baik lagi setiap harinya, menjadi calon ayah dan juga seorang pasangan ideal untuk wanita manapun. Elena bahkan merasakan jika ia seakan jatuh lagi dan lagi dalam pesona seorang Yogie Pratama.Hubungan Yogie dengan Elena kini masih berjalan di tempat hingga usia kandungan Elena kini yang sudah memasuki bulan ke sembilan. Selama itu, Yogie bahkan tidak pernah sekalipun menuntut untuk berhubungan intim dengan Elena, meski sejak hari itu Yogie sudah kembali pindah ke apartemen Elena dan tidur di sana bersama dengan Elena.Elena bahkan sempat berpikir, apakah tubuhnya yang sudah membengkak seperti saat ini sudah tidak menarik lagi untuk Yogie? Hingga lelaki itu hanya tidur memeluknya saja tanpa melakukan apapun? Entahlah.Tentang lamaran saat itu, Elena belum menjawabnya hingga saat ini. Elena masih sang
“Kamu yakin kalau kamu akan tetap bekerja hari ini?” tanya Yogie penuh perhatian. Saat ini Yogie sudah mengantar Elena tepat di depan kantor Elena. Tadi pagi Yogie sempat melihat Elena mual-mual setelah meminum susu buatannya. Yogie bahkan tidak berhenti meminta maaf karena ia pikir susu buatannya tidak enak. Dan Elena hanya tersenyum dengan sikap Yogie yang terkesan polos tersebut.“Ya, aku harus kerja.”“Kamu kan pemilik perusahaan, kamu bisa cuti hamil dari sekarang.”“Aku nggak mau manja. Bukannya kamu juga harus kerja?”“Ya, sebenarnya aku harus kerja juga, sudah berminggu-minggu aku bolos. Yongki pasti ngamuk-ngamuk.” Elena tersenyum setelah mendengar pernyataan Yogie tersebut.“Oke, sekarang pulanglah, dan kerjalah. Aku baik-baik saja.”Elena membuka sabuk pengamannya kemudian akan bangkit keluar dari mobil Yogie, tapi Yogie lebih dulu menarik lengannya kemb
Yogie mengejar Elena, tapi wanita itu sudah tak ada. Akhirnya Yogie berinisiatif menyusul Elena sampai ke apartemen wanita tersebut. Dan benar saja, ketika Yogie sampai di depan pintu apartemen Elena dengan napas yang terputus-putus karena lari, Elena masih berada di sana dan sedang sibuk memencet password pintu apartemennya.“Elena.”“Apa yang kamu lakukan di sini?”“Sudah jelas, aku mengejarmu.”“Aku tidak mau di kejar, sekarang pergilah.”“Please, maafkan aku, aku akan melakukan apapun asal kamu memaafkanku dan kembali padaku.”“Aku nggak mau, Gie. Sekarang pergilah.”“Aku tidak akan pergi, aku tidak akan meninggalkan kamu dengan bayi kita.”“Bayiku.” ralat Elena dengan spontan mendaratkan telapak tangannya pada perutnya sendiri.“Aku turut andil dalam pembuatannya.”“Sial!”
Aaron menatap gelas kecil di hadapannya yang berisi minuman beralkohol. Saat ini dirinya sedang berada di aparetemen milik Yogie. Keduanya duduk di bar milik Yogie setelah keduanya membersihkan diri dari darah-darah yang berada di wajah mereka.“Lo dulu yang mulai.” ucap Aaron kemudian.“Gue suka Elena.”“Sejak kapan?”Yogie tercenung sebentar. “Dua tahun yang lalu.”Aaron memejamkan matanya. Jadi kemungkinan besar ayah dari bayi yang di kandung Elena adalah Yogie? Selama ini Elena tidak pernah mau memberi tahu siapa ayah dari bayi yang di kandungnya. Jangan-jangan memang benar Yogielah Ayah dari bayi yang di kandung Elena.“Sejauh apa hubungan lo sama dia? Apa kalian pernah melakukan seks?” tanya Aaron tanpa sedikitpun rasa sungkan.“Hampir setiap hari kita melakukan seks.”“Sialan lo! Kalau begitu kenapa lo tidak mencurigai diri lo sendiri seb
Yogie semakin menggila. Ia bahkan sudah tidak mau bekerja lagi, semua pekerjaannya terbengkalai karena ia lebih memilih menghabiskan waktunya untuk mengikuti kemanapun Elena pergi. Bukan mengikuti secara terang-terangan, melainkan secara sembunyi-sembunyi.Ya, sejak pengakuan cintanya saat itu pada Jihan, pikiran Yogie semakin kacau. Ia sudah memantapkan diri jika ia memang jatuh cinta pada sosok Elena, tapi di sisi lain hatinya meragu. Bagaimana jika Elena menolaknya? Bagaimana jika wanita itu kini benar-benar hamil anak dari lelaki lain? Mengingat itu Yogie kembali marah.Yogie melanjutkan mengemudikan mobilnya ke arah manapun mobil Elena melaju. Saat ini ia sudah seperti seorang mata-mata yang mengikuti kemanapun targetnya melangkah.Ternyata mobil Elena berhenti di sebuah kafe, dan Yogie masih setia mengikuti wanita tersebut sedikit lebih jauh. Ternyata wanita itu bertemu dengan seseorang, lagi-lagi orang itu adalah Aaron Revaldi.Sial, benar-benar si
Elena kini sudah duduk di ujung kafe milik Jihan. Telapak tangannya menangkup secangkir cokelat hangat yang mengepul di hadapannya. Sesekali ia menatap ke arah Yogie. Yogie sendiri tampak murung dengan ekspresinya. Entah apa yang sedang di pikirkan lelaki tersebut.“Kita lupakan saja semuanya.” Setelah cukup lama berdiam diri tanpa ada yang mau memulai pembicaraan, akhirnya Elena berucap dengan datar.“Kenapa tiba-tiba bicara seperti itu?”“Aku akan kembali ke luar negeri, jadi lupakan semuanya.”Yogie tersenyum miring. “Benarkah? Kupikir kamu sedang berniat menggoda suami orang.” sindir Yogie.“Jaga mulut kamu, Yogie!”“Aku sudah tahu Elena, kamu kembali menjalin hubungan dengan Aaron, kan? Padahal kamu jelas tahu, kalau dia sudah menikah dengan Bella.”“Bukan urusanmu.” Elena berdiri kemudian bergegas pergi, tapi kemudian tangan Yogie mer
“Terima kasih kamu mau menemaniku.” lirih Elena pada sosok lelaki di sebelahnya. Itu Aaron yang kini sedang mengemudikan mobilnya.Tadi Elena memang berniat ke tempat dokter kandungan untuk memeriksakan kehamilannya, hanya saja setelah sampai di sana, Elena sangat malu karena di sana hanya ia yang sendirian, sedangkan wanita yang periksa di sana di temani oleh suami masing-masing.Dengan spontan Elena berbalik dan meninggalkan tempat tersebut. Ia juga ingin di temani dengan ayah dari bayi yang di kandungnya, tapi meminta Yogie untuk menemaninya, benar-benar tidak mungkin.Yogie terlalu sibuk dengan urusannya sendiri, lelaki itu sudah berubah dan hanya mementingkan kesenangannya sendiri, mana mungkin Yogie mau mengakui bahwa bayi yang di kandungnya adalah bayi dari lelaki tersebut.Belum lagi kenyataan jika dulu Yogie juga pernah membuat dirinya kehilangan calon bayinya, ah, saat itu Yogie pasti sengaja meminta dokter untuk menggugurkan bayinya