Bibir Jasmine menyatu dengan bibir Xavier. Mereka saling melumat penuh kelembutan dan hasrat yang membara. Degup jantung keduanya begitu kencang, begitu terasa kala tubuh mereka saling berdekatan. Tangan Xavier meremas pelan pinggang Jasmine, memeluknya posesif, seolah tak ingin kehilangan gadis itu.
Tak hanya diam, Jasmine pun mengalungkan tangannya ke leher Xavier. Dia memperdalam ciumannya. Percikan-percikan perasaan yang tak mampu tertahan. Jasmine begitu mendamba sentuhan Xavier yang memabukkan. Membuat tubuhnya bergejolak. Bahkan rasanya Jasmine tidak ingin melepas bibir Xavier yang tengah menjelajahi bibir ranumnya.
“Bibirmu selalu luar biasa, Jasmine. Manis. Rasanya manis. Aku selalu menyukainya,” bisik serak Xavier tepat di depan bibir Jasmine.
Jasmine tersenyum sambil mengelus rahang Xavier. “Bibirmu juga luar biasa, Sayang. Aku menyukainya.”
Xavier menatap Jasmine dengan tatapan lembut, membelai pipi Jasmine. “Aku harus pulang.”
“Kau mau pulang?” Alis Jasmine terangkat, menatap kekasihnya sedikit bingung. “Kau tidak menginap di sini?”
“No, Sayang. Aku tidak bisa. Ada sesuatu yang harus aku kerjakan,” jawab Xavier sembari mengecup kening Jasmine.
Ya, sudah tiga bulan ini hidup Jasmine benar-benar berwarna. Menjalin hubungan dengan Xavier Coldwell membuatnya sangat bahagia. Berawal berkenalan dari aplikasi kencan, akhirnya mereka memutuskan menjadi sepasang kekasih.
Bagi seorang Jasmine Stevanie Welsh, Xavier Coldwell adalah pelengkap hidupnya. Pria itu selalu membuat Jasmine nyaman. Bahkan pria itu pun selalu mampu membuat Jasmine jatuh hati setiap detiknya. Selama tiga bulan kehidupan mereka sudah seperti suami istri. Ranjang adalah tempat di mana mereka melepas rindu.
Jasmine tidak pernah menyesal menyerahkan dirinya seutuhnya untuk Xavier. Karena dia tahu Xavier adalah pria yang tepat. Jasmine yakin, Xavier begitu mencintainya seperti dirinya yang juga begitu mencintai Xavier.
“Kau ingin pergi ke mana, Sayang?” Jasmine memeluk lengan Xavier, dia tampak enggan membiarkan Xavier pergi.
“Ada urusan pekerjaan,” jawab Xavier sembari mengecup bibir Jasmine. “Kau tidurlah. Ini sudah malam.”
Jasmine mendesah pelan. Tak dipungkiri, dia tidak ingin Xavier pergi. Namun Jasmine pun tidak ingin egois. Hingga terpaksa akhirnya Jasmine menganggukkan kepalanya menuruti keinginan Xavier yang tidak menginap di apartemennya.
“Tapi janji kau harus menghubungi aku kalau sudah di rumah nanti,” pinta Jasmine dengan nada memaksa.
“Tenang saja, aku akan menghubungimu nanti.” Xavier mengecup lembut bibir Jasmine. “Aku pulang dulu.”
“Hati-hati, Xavier,” balas Jasmine hangat.
Xavier mengangguk. Lalu dia melangkah meninggalkan Jasmine yang masih bergeming di tempatnya. Sesaat embusan napas kasar Jasmine terdengar. Raut wajah gadis itu menatap kecewa punggung Xavier yang mulai lenyap dari pandangannya.
Saat sudah lebih dari satu jam Xavier pergi, Jasmine masih belum mendapatkan pesan dari Xavier. Raut wajahnya menjadi kesal. Ingin rasanya dia menghubungi kekasihnya itu, namun Jasmine memilih mengurungkan niatnya. Mungkin Xavier sedang sibuk. Itu yang ada di dalam benak Jasmine.
“Lebih baik aku tidur saja.” Jasmine kini memilih membaringkan tubuhnya di ranjang. Dia menarik selimut, menutupi tubuhnya itu. Rasa kantuk mulai menyerang. Nanti pagi pasti Xavier akan memberikan pesan ‘Good Morning’ padanya seperti kebiasaan sang kekasihnya itu.
***
Bunyi alarm di ponsel membuat Jasmine perlahan mulai membuka kedua matanya. Gadis itu itu mengerjapkan mata berberapa kali dan menggeliat kala sinar matahari menembus jendala kamarnya, menyentuh wajahnya.
“Ah, ini sudah pagi,” gumam Jasmine seraya mengambil ponselnya, menatap ke layar—waktu menunjukkan pukul delapan pagi.
Jasmine mulai membuka pesan masuk memastikan pesan dari Xavier. Namun, seketika raut wajah Jasmine berubah kala tidak ada satu pun pesan masuk dari Xavier. Tampak Jasmine menjadi bingung. Tidak biasanya Xavier tidak meninggalkan pesannya.
Jasmine terdiam sejenak. Di detik selanjutnya, dia menghubungi nomor Xavier. Satu, dua, hingga tiga kali dia memanggil tidak ada satu pun jawaban dari sang kekasih. Jasmine mendecakkan lidahnya kesal. Ini yang dia paling benci. Dia tidak suka kalau Xavier tidak menjawab teleponnya.
Jasmine mengatur napasnya. Berusaha meredakan rasa kesalnya. Gadis itu berpikir positive. Mungkin tadi malam Xavier sudah tidur. Itu yang ada di dalam benak Jasmine.
“Aku masak saja hari ini untuknya. Sebelum berangkat kuliah nanti, aku akan mengantarkan ke apartemen Xavier,” gumam Jasmine pelan.
Jasmine Stevanie adalah mahasiswa tingkat akhir. Dia tinggal sendiri di apartemen pribadi miliknya. Sebenarnya keluarganya pun masih tinggal di London, hanya saja Jasmine lebih nyaman untuk tinggal sendiri.
Jasmine melangkah menuju dapur memasak makanan yang Xavier sukai. Meski masih kesal, tetapi Jasmine berusaha untuk mengerti Xavier. Dia tahu, kekasihnya itu selalu sibuk dengan pekerjaannya.
Tak berselang lama ketika makanan yang dibuat oleh Jasmine sudah matang, dan telah diletakkan ke dalam kotak makan—Jasmine segera bersiap-siap untuk pergi ke kampus serta mengantar makanan yang dia buat untuk Xavier.
Sekitar tiga puluh menit Jasmine selesai bersiap-siap—dia langsung menuju ke luar apartemen mencari taksi yang sering lewat di depan lobby apartemennya.
“Nah itu dia taksi.” Jasmine mengangkat tangannya menghentikan taksi. Tepat di saat taksi sudah berhenti di hadapannya; Jasmine segera masuk ke dalam taksi dan menunjukkan alamat apartemen milik Xavier yang terletak di wilayah pusat kota London.
Sepanjang jalan entah kenapa hati Jasmine merasa tidak tenang. Seperti ada yang mengganjal pikirannya. Bahkan sekelebat pikiran buruk pun menyerbu dirinya. Lagi dan lagi, Jasmine menepis segala pikiran negative yang muncul.
Saat tiba di lobby apartemen pribadi milik Xavier, Jasmine segera membayar tarif taksi dan langsung menuju lantai dua puluh delapan—lantai di mana unit apartemen Xavier berada. Sebelumnya Jasmine pernah ke apartemen Xavier, walau baru hanya satu kali.
Saat Jasmine tiba di depan unit apartemen Xavier—dia langsung menekan bel apartemen miliki kekasihnya itu.
“Xavier, ini aku, Sayang,” panggil Jasmine lembut.
“Xavier?” Jasmine kembali memanggil Xavier, tapi masih belum ada juga jawaban. Andai saja dirinya tahu password apartemen Xavier, sudah pasti Jasmine akan langsung masuk.
Ceklek!
Pintu terbuka. Wajah Jasmine langsung sumringah bahagia.
“Xav—”
Perkataan Jasmine terpotong kala melihat seorang wanita paruh baya berpenampilan pakaian pelayan yang membuka pintu untuknya.
“Selamat pagi, Nona. Maaf Anda mencari siapa?” tanya sang pelayan dengan sopan pada Jasmine.
“Pagi, apa Xavier ada di dalam?” Jasmine bertanya dengan lembut.
“Maaf, Nona. Apa Anda temannya Tuan Xavier?” tanya sang pelayan lagi.
“Aku kekasih Xavier,” jawab Jasmine yang membuat raut wajah sang pelayan terlihat bingung.
“Nona kekasih Tuan Xavier?” ulang sang pelayan memastikan.
Jasmine mengangguk. “Iya, aku pacarnya. Xavier ada di mana?”
Sang pelayan tak mengerti. “Nona, tadi malam Tuan Xavier telah berangkat. Apa Nona tidak diberi tahu kalau Tuan Xavier tidak lagi tinggal di London?”
Jasmine terkejut. “Xavier tidak lagi tinggal di London?”
“Benar, Nona. Tapi saya tidak tahu ke mana Tuan Xavier pindah. Yang saya tahu, Tuan Xavier tidak lagi tinggal di sini,” jawab sang pelayan.
“Itu tidak mungkin!” Jasmine menggelengkan kepalanya tegas. Dengan cepat, Jasmine mengeluarkan ponselnya, berusaha menghubungi nomor Xavier. Satu, dua, hingga sepuluh kali gadis itu menghubungi nomor Xavier tetap tidak ada jawaban.
“Nona, tenangkan diri Anda.” Sang pelayan menjadi bingung kala melihat wajah panik Jasmine.
“Xavier tidak mungkin pergi begitu saja. Dia tidak mungkin meninggalkanku!” seru Jasmine dengan mata yang mulai berlinang air mata. Dia kembali berusaha menhubungi nomor Xavier, dan sayangnya hasil tetap sama. Tidak ada jawaban dari Xavier.
“Katakan padaku di mana Xavier!” Jasmine menatap tajam sang pelayan.
“Nona, Tuan Xavier sudah meninggalkan London sejak tadi malam. Beliau telah memutuskan meninggalkan kota London. Untuk kepindahannya, Tuan Xavier memang tidak memberitahukan pada saya, Nona,” ujar sang pelayan membuat Jasmine menangis keras.
Tubuh Jasmine melemah dan nyaris ambruk. Dalam benaknya mengingat tadi malam hubungannya baik-baik saja. Namun sekarang? Jasmine di hadapkan dengan kenyataan Xavier Coldwell meninggalkannya tanpa satu pun pesan.
Jasmine bersimpuh di lantai. Dia menangis keras. “Xavier, kau … jahat!”
~Empat tahun kemudian~Seorang wanita cantik melangkah dengan anggun kala turun dari podium. Suara tepuk tangan memenuhi ballroom hotel yang megah itu. Dia Jasmine Stevanie Welsh—seorang wanita sukses yang berhasil menjadi Direktur Pemasaran & Penjualan di sebuah perusahaan kosmetik terbesar di Inggris.Dalam empat tahun terakhir Jasmine sukses membawa laba perusahaan yang besar. Cantik, pintar, dan karir yang cemerlang. Akibat tingkat penjulan yang tinggi, Jasmine langsung mendapatkan posisi penting di perusahaan. Tidak tanggung-tanggung, dalam waktu hanya empat tahun, Jasmine nyatanya mampu menjadikan dirinya berada di posisi top management. “Jasmine! Selamat kau sekarang sudah menjabat sebagai Direktur Pemasaran & Penjualan. Aku benar-benar bangga padamu,” ucap Ivy—teman dekat Jasmine di kantor. Tatapannya menatap kagum Jasmine yang sejak tadi terus berjabat tangan dengan banyak staff.“Selamat juga untukmu. Sekarang kau sudah menjadi Manager Pemasaran & Penjualan. Aku bangga pada
Jasmine bergumam pelan menyebut nama pria yang empat tahun ini tak lagi dia sebut. Nama yang mati-matian selalu Jasmine hindari. Mata Jasmine nyaris berembun. Jika saja, tidak ada orang di ruang keluarga itu mungkin dia akan berteriak, dan memaki pria yang ada di hadapannya ini.Tapi tidak! Jasmine memilih untuk diam seraya menatap nanar pria yang ada di hadapannya. Tatapan tersirat penuh luka yang mendalam. Bagaikan sebuah pisau yang menancap ke jantungnya. Napas Jasmine rasanya ingin berhenti. Xavier Coldwell—menatap Jasmine dengan tatapan nyaris tak percaya. Namun, terlihat jelas tatapan Xavier tersirat penuh arti yang sulit untuk diungkapkan. Pria itu menatap Jasmine seperti tersesat di tengah hutan yang luas dan gelap. Jika siang hari hutan menunjukkan keindahan, lain halnya dengan malam hari— membuat hutan itu layaknya gelap, dan kesunyian yang tak berkawan. Sejenak, Xavier dan Jasmine masih saling menatap dalam satu sama lain. Tatapan yang seakan menimbulkan sebuah percikan
Jasmine benar-benar berpikir bahwa dia sudah berhasil berdamai dengan masa lalunya, mengikhlaskan Xavier dan menjalani kehidupan tanpa pria itu. Semuanya berjalan dengan baik dan sesuai rencana, walau terkadang dia masih merindukan Xavier. Tapi hanya pada saat dan momen-momen tertentu, saat rasa kesepian mulai menggerogoti hati dan jiwanya, pria itu muncul seperti sebuah penghiburan, sebuah pengingat bahwa dulu dia pernah mencintai dengan begitu dalam, walau pada akhirnya cintanya tersebut dipatahkan.Tidak cukup sampai di sana, kini Xavier muncul kembali seperti sebuah badai yang menerpa kehidupan Jasmine yang sudah tenang dan damai. Hal yang paling mengejutkan Jasmine adalah Xavier dan kakaknya akan bertunangan.Jasmine berharap bahwa sekarang dia sedang bermimpi, dan segera terbangun dari mimpi buruknya. Sayangnya, ini semua adalah kenyataan. Xavier Coldwell—pria yang meninggalkannya begitu saja beberapa tahun silam—akan menjadi kakak iparnya.Mata Jasmine berkaca-kaca membayangkan
Malam itu, Jasmine tidak bisa tidur. Dia berguling di atas ranjangnya untuk mencari posisi yang nyaman, berharap kantuk akan segera menjemputnya, tapi tidak juga bisa. Dia tidak bisa berhenti memikirkan Xavier.Pria itu seolah menghantui benaknya dengan cara yang paling mengganggu. Padahal besok, dia harus berangkat pagi sekali untuk sebuah rapat penting di perusahaannya. Dia tidak ingin datang dengan keadaan yang buruk.Tidur biasanya selalu bisa menjadi obat bagi Jasmine, namun kali ini rasanya begitu sulit. Kalau dia memberikan Xavier kesempatan untuk berbicara, akankah pria itu mau meninggalkannya sendiri? Empat tahun lalu, Xavier pergi tanpa penjelasan apa pun dan Jasmine lelah untuk memikirkan jawabannya. Namun kali ini, Xavier telah kembali dengan cara yang sangat buruk dan kembali menimbulkan pertanyaan serta badai perasaan baru dalam diri Jasmine.Jasmine bangkit dari posisi berbaringnya seraya menghela napas panjang. Dia memegangi kepalanya yang terasa berat dan kembali ber
“Shit!” umpat Jasmine berulang kali saat dia dengan susah payah mengenakan sepatunya di ruang gantinya dengan gerakan tergesa-gesa. Dia mengambil tas dengan asal, memasukkan barang-barangnya ke dalam, lalu menarik sebuah mantel berwarna cokelat dari lemari dan melangkah setengah berlari keluar dari kamarnya.Jasmine melirik arlojinya, lalu terbelalak. “Aku terlambat!” ucapnya dan kini dia benar-benar berlari. Saat turun dari tangga, Jasmine memelankan langkahnya, teringat pada kejadian semalam ketika dia hampir terjatuh. Setelah sampai di lantai bawah, Jasmine pergi ke ruang makan untuk berpamitan dengan kedua orang tuanya yang saat itu tengah sarapan.“Mom! Dad! Aku pergi dulu!” seru Jasmine, tidak perlu merasa repot-repot untuk sarapan terlebih dahulu.Mila memanggilnya, tapi Jasmine tidak berhenti dan sudah lebih dulu berada di teras. Saat di sana, langkah Jasmine sontak terhenti. Dia bisa merasakan keringat mulai terbentuk di permukaan kulitnya.“Jasmine?” Jelena berdiri di hadapa
Jasmine sontak berbalik dan menatap Xavier tajam. “Apa maksudmu?”Sebelah alis milik Xavier yang tebal dan hitam terangkat sedikit, kepuasan masih mengerling di tatapannya yang tertuju pada Jasmine.“K-kau ... kau mengatur ini?!” serunya.Xavier tidak menjawab, dia melangkah melewati Jasmine dan duduk di kursi dengan meja bundar terbuat dari marbel di depannya. Xavier menyentuh permukaan yang dingin itu sembari menjawab dengan singkat, “Ya.”Jasmine membelalakkan mata. “Berengsek!” rutuknya di antara napasnya yang menjadi tajam. “Aku tidak ingin membuang-buang waktuku untuk ini!” serunya lagi, lalu hendak melangkah pergi saat ucapan Xavier menghentikannya.“Bersikaplah profesional, Nona Welsh! Kau tidak mau jabatan yang baru kau dapatkan kembali diturunkan, bukan?” Kata-kata angkuh penuh ancaman Xavier berhasil membuat Jasmine tak berdaya.Jasmine menutup matanya, merasakan kemarahannya yang mengalir mulai surut perlahan. Xavier benar. Jasmine harusnya bisa bersikap lebih profesional.
Jasmine menatap makan siangnya dengan tatapan kosong, pikirannya masih terfokus pada pembicaraan bersama Xavier. Pria yang telah mencampakannya itu berkata kalau dia masih menyukainya.Dalam kondisi sekarang, dia dan Xavier tidak akan mungkin …Jasmine mendesah, lalu berkata dalam hati, ‘Apa yang sedang aku pikirkan? Menerima Xavier kembali setelah dicampakan oleh makhluk tidak berperasaan itu?’Tidak akan pernah! Jasmine terlalu menyayangi dirinya untuk jatuh dalam pelukan pria itu kembali. Apa yang dikatakan Xavier pasti hanya karena dirinya adalah seorang bajingan.Jasmine memijat pelipis, memikirkan ini saja sudah membuat kepalanya pening.“Jasmine?”Jasmine tersadar, menatap ke arah Ivy yang duduk di hadapannya. Mereka berdua telah sepakat menjadikan makan siang sebagai hari perayaan kenaikan jabatan. Sialnya, sekarang, bisa-bisanya Jasmine malah melamunkan Xavier—pria berengsek yang sudah tak ingin lagi dia pikirkan.“Apa kau sedang dalam masalah? Kau sama sekali tidak menyentuh
Jasmine membuka lembaran demi lembaran di kepalanya sendiri, mencari-cari kisah yang cocok untuk menjelaskan soal Xavier kepada Ivy. Menjalin hubungan dengan Xavier sebagai kekasih, di masa lalu, membuat Jasmine harus menutup rapat rahasia itu. Sampai kapan pun, dia tidak akan pernah membiarkan orang tahu tentang kisahnya dengan Xavier.“Aku mendengarmu berteriak, jadi aku langsung melihat situasi di luar. Apa yang terjadi, Jasmine? Siapa pria tampan ini? Apa kau mengenalinya?” Rentetan pertanyaan Ivy, membuat raut wajah Jasmine memucat akibat panik.“Dia ini—” Kepala Jasmine berputar mencari jawaban yang tepat.Mantan kekasih? Orang yang pernah aku cintai? Calon kakak ipar? Atau ... investor?Tidak ada jawaban yang bisa dia pilih. Dia harus memikirkan keberlangsungan hubungannya dengan Bernard. Calon kakak ipar yang tiba-tiba datang akan lebih menimbulkan kesalahpahaman. Tidak ada alasan bagi seorang investor menyusulnya ke acara non-formal ini, Ivy akan menyangka kalau mereka memili
Pagi-pagi, Xavier sudah meminta sopir menjemput kedua anaknya. Ya, pria itu tak ingin merusak rencana yang sudah dia buat. Untungnya keluarganya dan keluarga Jasmine mengerti bahwa Xavier ingin mengajak Jasmine dan juga dua anaknya berlibur.“Xavier, kenapa kita harus membawa paspor?” tanya Jasmine bingung.Xavier membelai lembut pipi Jasmine. “Kita akan pergi ke luar negeri, Sayang. Tentunya membutuhkan paspor.”Mata Jasmine membelalak terkejut. “Apa? Kau ingin mengajakku dan anak-anak ke luar negeri? Kenapa mendadak sekali, Sayang. Aku pikir kau hanya mengajakku berlibur ke luar kota saja.” Jasmine sama sekali tidak menyangka Xavier akan mengajaknya dan anak-anak berlibur ke luar negeri. Dia pikir Xavier akan mengajak berlibur ke luar kota saja. Namun, ternyata dugaannya salah besar. Suaminya itu malah mengajaknya untuk berlibur ke luar negeri.Xavier mendekat, dan memeluk pinggang istrinya itu. “Aku ingin mengajakmu ke negara yang ingin kau kunjungi. Tahun lalu kita tidak jadi ke
Jasmine dan Xavier harus merelakan dua anaknya dibawa oleh keluarga mereka. Sopir keluarga Xavier menjemput Jacob, dan sopir keluarga Jasmine menjemput Xavera. Meski masih kecil, tapi Xavera tidak pernah rewel jika berada di keluarga Jasmine ataupun Xavier. Kedua anak mereka akan menginap satu hari di keluarga mereka. Mereka terpisah, demi agar kedua orang tua Jasmine dan kedua orang tua Xavier tidaklah berdebat.Jasmine hendak mengajak Xavier ke dalam rumah mereka, tapi gerak mereka sama-sama terhenti di kala ada sebuah mobil masuk ke dalam halaman parkir. Tampak kening Jasmine mengerut dalam, menatap sosok pria tak asing di matanya baru saja turun dari mobil.“Dylan?” Xavier menatap pria yang menghampirinya.“Hi, lama tidak jumpa, Xavier,” ucap pria bernama Dylan itu.Xavier mendesah kasar. “Kenapa kau di sini?”Dylan terkekeh rendah. “Apa begini menyambut sepupumu, huh?”Jasmine langsung teringat di kala Dylan mengatakan ‘Sepupu’. Kepingan memorinya mengingat sosok pria tampan yang
Tiga tahun berlalu … “Bibi Jelena coming!” Jacob berseru melihat sosok Jelena yang muncul. Tampak jelas raut wajah bocah laki-laki tampan berusia tiga tahun—menunjukkan jelas kebahagiaannya.“Halo, Sayang.” Jelena langsung menggendong Jacob, dan menciumi pipi bulat Jacob. “Kau semakin tampan dan menggemaskan.”Jacob berbinar menatap Jelena. “Apakah aku sudah seperti Dad, Bibi?”Jelena mencubit pelan hidung mancung Jacob. “Kau bahkan jauh lebih tampan dari Daddy-mu.”Jacob tersenyum riang mendengar ucapan bibinya.“Wah, Jelena, rupanya kau datang.” Jasmine tersenyum seraya mendekat menghampiri kakaknya. Belakangan ini kakaknya sangat sibuk berpergian ke luar negeri. Hal tersebut yang membuat Jasmine jarang sekali bertemu dengan kakaknya. “Hi, Jasmine. Aku ke sini merindukan dua keponakanku.” Jelena tersenyum manis, seraya menatap Jasmine.Jasmine membalas senyuman Jelena.“Mommy, Bibi Jelena bilang aku lebih tampan dari Daddy,” ucap Jacob bangga. Jasmine membelai pipi bulat Jacob.
Beberapa bulan berlalu …. “Jelena, kau yang benar saja, kenapa kau ingin ke Argentina selama enam bulan? Apa kau berniat meninggalkan keluargamu?” Mila mengomel pada Jelena yang ingin pergi ke Argentina selama enam bulan. Wajar saja jika Mila marah, karena putri sulungnya itu mendadak ingin pergi. Padahal putrinya tidak membuka cabang salon.Johan dan Jasmine yang berada di sana memilih duduk dengan tenang, menunggu penjelasan Jelena. Mereka menikmati minuman dan cemilan yang diantar sang pelayan. Sudah cukup Mila saja yang mengomel. Johan dan Jasmine tak ingin mengomeli Jelena—yang sudah tampak kepusingan.“Mom, aku ke Argentina karena ingin liburan dan melihat pontensi bisnis di sana. Mungkin saja aku bisa membuka cabang salonku di sana.” Jelena menjelaskan pada sang ibu.Mila memijat keningnya. “Kau pergi sampai enam bulan. Lama sekali! Dulu waktu di New York, kau bertahun-tahun di sana. Sudahlah lebih baik kau fokus pada cabang salonmu saja yang sudah ada. Mommy lebih setuju kau
Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Hari di mana Jasmine dan Xavier akan menjadi satu. Tidak pernah mereka sangka akan tiba dititik ini. Berbagai hantaman badai telah mereka lalui. Berpisah empat tahun, dan semesta kembali mempertemukan dengan cara yang unik. Sebuah cara yang tidak pernah mereka sangka.Sebuah gaun pernikahan mewah sudah terbalut di tubuh Jasmine. Semua orang di ruang rias, memuji penampilan Jasmine yang sangatlah cantik. Jelena dan Mila yang ada di sana sampai menangis karena melihat penampilan Jasmine luar biasa cantik.“Jasmine, kau sangat cantik.” Jelena dan Mila memeluk Jasmine bergantian.Jasmine tersenyum lembut. “Kalian juga sangat cantik.”Mila membelai pipi Jasmine. “Mommy tidak menyangka kau akan menikah lebih dulu dari kakakmu.”“Mom, Jasmine berhak bahagia. Siapa pun yang menikah duluan tidak masalah,” sambung Jelena lembut dan hangat.“Maafkan aku,” ucap Jasmine merasa bersalah.Jelena menggelengkan kepalanya. “Kau tidak bersalah. Kau dan Xavier berhak
Rencana pernikahan Xavier dan Jasmine telah tercium di media. Sebagai pengusaha ternama tentunya nama Xavier Coldwell tentunya bahan perbincangan. Bagaimana tidak? Seharusnya yang menjadi istri Xavier adalah Jelena, tapi malah berubah menjadi Jasmine—adik kandung Jelena.Berbagai gossip miring masuk ke media. Namun, Xavier langsung menegaskan bahwa sejak awal yang dia cintai adalah Jasmine. Pun pria itu sampai memberikan keterangan bahwa dia pertama kali memiliki hubungan dengan Jasmine. Baik Xavier ataupun Jelena sama-sama memberikan keterangan, karena tak ingin Jasmine dijelek-jelekkan di hadapan publik.Sikap Jelena dan Xavier yang membela Jasmine, membuat publik yang tadinya menjelek-jelekkan Jasmine, menjadi tak lagi menjelek-jelekkan. Xavier tak menceritakan secara lengkap kisahnya dengan Jasmine di media. Hanya sekilas saja. Tentu Xavier tidak ingin orang tak dikenal mengetahui tentang masa lalunya dengan Jasmine.Saat ini persiapan pernikahan Xavier dan Jasmine bisa dikatakan
Jasmine melambaikan tangan ke arah mobil Jelena yang mulai pergi meninggalkan mansion Xavier. Senyuman lembut terlukis di wajahnya. Jelena hanya bisa menginap satu malam saja, karena harus mengurus pekerjaannya.“Jasmine,” panggil Xavier yang muncul dari belakang.“Ya?” Jasmine mengalihkan pandangannya, menatap Xavier.“Jelena sudah pulang?”“Sudah.” “Gantilah pakaianmu. Aku sudah menyiapkan dress untukmu di kamar. Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat.”“Kau ingin mengajakku ke mana, Xavier?”“Nanti kau akan tahu.” Xavier membelai lembut pipi Jasmine.Jasmine menghela napas dalam. “Baiklah, tunggu sebentar. Aku akan mengganti pakaianku dulu.”“Aku akan menunggu.” Xavier mengecup bibir Jasmine. Detik selanjutnya, Jasmine melangkah masuk ke dalam rumah menuju kamar. Wanita itu memilih menuruti keinginan Xavier tanpa banyak bertanya.*** Dress berwarna kuning dengan kombinasi hijau sangat cantik di tubuh Jasmine. Xavier pun tak tahan untuk meloloskan pujian. Hari itu Jasmine terlihat s
Jasmine menatap cermin melihat perutnya yang masih rata. Wanita itu mengusap lembut perutnya. Dalam benaknya membayangkan jika kelak nanti perutnya membuncit. Dulu dia gagal, karena keguguran. Sekarang cerita telah berbeda, karena dirinya kembali mengandung.Terakhir dokter mengatakan kandungannya sangat sehat. Hal tersebut membuat Jasmine optimis bahwa dirinya akan melahirkan bayi kedua ini. Terkadang Jasmine merasa bahwa ini semua adalah mimpi, tapi dia sangat sadar bahwa dirinya berada di dunia nyata.“Melamun di pagi hari. Apa yang kau pikirkan, hm?” Xavier mendekat, memeluk Jasmine dari belakang.Jasmine tersentak di kala ada yang memeluknya dari belakang. Namun, keterkejutannya hanya sebentar saja, karena dia melihat dari pantulan cermin Xavier yang tengah memeluknya dari belakang.“Xavier, kau mengejutkanku,” ucap Jasmine pelan.Xavier mengecup tengkuk leher Jasmine. “Kau melamun. Apa yang kau pikirkan?”Jasmine terdiam sebentar. “Aku masih tidak menyangka hubungan kita akan mu
London, UK. Hiruk pikuk London menyambut. Cuaca indah dan menyegarkan. Jasmine dan Xavier sudah berada di dalam mobil. Setibanya di bandara, sudah ada sopir yang menjemput. Tentu semua ini diatur oleh Xavier. Jasmine hanya memilih menurut dan patuh akan apa yang diminta oleh pria itu.“Xavier, kau akan membawaku ke mana? Pulang ke rumah orang tuaku?” tanya Jasmine ingin tahu. Jantungnya terus berdebar kencang seolah ingin berhenti dari tempatnya. Perasaan yang dirasakan oleh Jasmine benar-benar sangatlah campur aduk.“Tidak. Aku akan membawamu ke rumah orang tuaku,” jawab Xavier yang sontak membuat Jasmine terkejut.Jasmine tersentak. “A-apa? K-kau membawaku ke rumah orang tuamu?”Xavier menatap keterkejutan di wajah Jasmine. Dia membelai pipi Jasmine sambil berkata, “Nanti kau akan tahu. Jangan khawatir. Aku akan selalu di sisimu. Empat tahun kita sama-sama tersiksa. Sekarang sudah waktunya untuk bahagia.”Jasmine memilih menyandarkan kepalanya di lengan kekar Xavier. Dia percaya pa