“Dasar pembunuh! Kau membunuh anakku! Sialan! Akan kubunuh kau!” teriakan beserta lemparan benda-benda kearah remaja itu tak juga surut. Perempuan bengis itu sama sekali tak memperlihatkan tanda-tanda kewarasan hingga masuk akal apabila anak yang sedari tadi diamuknya akan meregang nyawa di tangannya.
“Ma … aku nggak. Maaf, Ma. sakit!” mohon seorang gadis remaja. Ia menangis. Sesenggukan. Dari tadi terus mengemis meminta sang mama untuk berhenti. “Pa, Rada nggak salah … Rada minta maaf.” Mencoba meminta pertolongan pada sang ayah, lelaki yang disebutkan hanya melengos acuh.Begitupun dengan orang-orang yang berdiri di sana. mereka hanya diam. Mengamati dan mungkin … menikmati.Air mata Farada kian keluar banyak kala kini ibunya tengah mengayunkan cambuk kepadanya.Buk!Terjingkat. Frada bangun dari tidurnya. Mimpi buruk itu lagi. Tanpa sadar tangannya menggerayangi betis. Sudah tak ada luka namun tetap saja sakitnya masih membekas.Diraihnya segelas air putih di samping tempat tidur, tangan Frada mengulur menggapai lampu kamar. Cahaya temaram melingkupi. Frada mengambil ponselnya yang tergeletak. Mengotak-atiknya sebentar sebelum sebuah suara terdengar dari sana.“Halo, Mbak? Mbak Frada mimpi buruk lagi, ya? Mau simbok nyanyikan lagu nina bobo? Tapi sebelum itu, Mbak Frada harus berdo’a dulu, supaya setannya nggak kembali.”Frada meringis. Rasanya ia sungguh merindukan si pemilki suara ini. Sayangnya, ia sudah tak mungkin akan bertemu di dunia ini lagi. Karena si empu yang tengah menyanyikan lagu tidur itu, telah bersemayam pada sisi tuhan.Suara itu hanyalah rekaman yang Frada ambil sejak tujuh tahun lalu. Saat ia masih di Indonesia. Ketika ia tengah terpuruk di keluarga bengis itu.Indonesia.Frada berjanji untuk tidak akan kembali ke Negara itu. Tempat di mana ia dilahirkan dan menghabiskan masa kecil dengan penuh kemalangan. Bahkan mungkin nyaris seperti kematian. Namun kini, Frada harus melanggar janji itu. Karena pembukaan butiknya tengah menghadapi masalah, hingga ialah yang harus turun tangan. Tidak, sebenarnya bisa diwakilkan oleh seseorang yang dipercayainya. Hanya saja, orang itu mendadak ada urusan dan terpaksa ia yang harus pergi ke sana. Seorang diri. Kembali menghadapi traumanya.Shit!Frada meremas ponsel. Fakta bahwa ia akan segera terbang ke Indonesia esok hari, membuat mimpi-mimpi buruk itu terus bergentayangan pada malam-malamnya.“Mbak, Frada? Mbak Frada sudah tidur? Kalau begitu simbok pamit mau tidur juga, ya, Mbak. Semoga Mbak Frada mimpi indah. Dan hari esok Mbak Frada juga semakin indah.”Itu adalah suara terakhir dari voice recorder ponselnya. Entah sudah berapa kali Frada mengganti handphone namun tetap menyimpan memori yang sama. Suara itu adalah satu-satunya kenangan tentang orang yang disayanginya yang ia bawa hingga kini. Dan menjadi penenang ketika mimpi buruk menghantui. Sementara yang lain, Frada sudah tak memilki.Segala masalalunya sudah ia buang. Mengganti identitas dan berjuang bertahan di Negara orang seorang diri tanpa keluarga yang mencampakkannya. Frada senang? Tentu. Di sini ia mendapat kehidupan baru. Tanpa harus ada penyiksaan dari orang yang berkedok ibunya. Ia telah memiliki harta dan status. Jaringan perteman kelas atas juga keluarga lain yang mau menganggapnya anak.Frada menyukai itu. Sungguh. Meski kenangan tentang simbok dan teman-teman baiknya harus ikut ia korbankan. Namun tak masalah. Di sini, di Paris ini, Frada mendapatkan gantinya.***“Fafa, I’m really sorry.” Seorang gadis berambut cokelat terang memeluk Frada erat. Seperti enggan membiarkan teman baiknya untuk kembali ke Negara yang membuat kenangan buruk itu.“Sudah kukatakan berkali-kali, ini bukan salahmu, Ghina. Memang siapa yang akan memperkirakan bila Steve menikah semendadak ini. Dan juga pergi berbulan madu selama itu.”“Ck, si pemalas itu! Seharusnya aku melarangnya tidur dengan pacarnya. Sekarang, malah kamu harus pergi sendiri,” dengkusnya jengkel. Apabila mengingat kejadian itu, Ghina merasa dipermainkan. Kakaknya yang katanya akan menikah tahun depan tiba-tiba meminta keluarganya untuk menyipakan acara pernikahan dalam waktu dua minggu. Katanya, Kate—pacarnya—tengah hamil satu bulan. Dan itu membuatnya harus bekerja di kantor keluarganya untuk menggantikan Steve yang absen karena bulan madu dan sekalian babymoon. Sialan memang!Frada menggeleng saja. Melihat tingkah Ghina yang seperti menahan amukan itu membuatnya geli. Well, perempuan itu memiliki wajah yang manis. Jadi seperti tak begitu cocok ketika sok-sok akan mengamuk.Frada berdiri. Membereskan barang-barang yang telah ia persiapkan ke dalam koper. “Fafa, are you really okay? Jika tidak, kita bisa menunda waktunya sampai Steve dan Kate kembali dan aku bisa mewakilimu ke Indonesia.”Ghina tak begitu fasih mengucapkan huruf R. Jadinya dia memanggil Frada dengan sebutan Fafa. Itu lebih nyaman bagi lidahnya.Frada menggeleng. Menolak gagasan Ghina yang satu itu. “Tidak bisa, Ghina. Beberapa artikel sudah menulis tentang kembalinya aku ke Indonesia. Dan itu menyebabkan peningkatan pemesanan di sana. Aku tidak mungkin mengabaikan itu, orang-orang yang ingin memakai jasaku itu orang yang cukup berpengaruh.”“Apa anak presiden?”“Ya, salah satunya.”Ghina berdecak. Makanya sahabatnya itu tak bisa menolak. Anak presiden itu tentunya sponsor besar bagi usaha Frada. Terlepas dari masalah serius yang harus di tangani Frada di sana, tapi dengan pemesanan yang spektakuler, gadis itu haruslah pulang.“Tapi, bagaimana jika kamu tak sengaja bertemu dengan keluargamu?”Frada menghentikan pergerakannya mendengar pertanyaan yang dilempar Ghina. Melebarkan senyum iblis, “aku sudah tidak memiliki keluarga di sana. Namun jika aku bertemu dengan orang-orang yang mengaku sebagai keluargaku, tentunya aku harus menyambutnya, bukan?”Ghina mengangguk-angguk semangat. benar. Itulah sahabatnya. Sejak pertama kali bertemu sampai sekarang, Frada sudah mengalami banyak perubahan. Salah satunya wanita itu kini berubah bengis. Dia adalah perempuan yang sudah tidak mengenal penindasan. Jika ada orang lain yang berusaha menindasnya, maka Ghina akan menyiapkan popcorn karena sahabatnya pasti akan membuatkan panggung pertunjukkan untuk orang itu.“Aku akan menunggu teaternya,” katanya senang.Mendengkus, “aku tak ingin membuat panggung di negaraku sendiri. Kalau bisa.”Beberapa wanita dengan dandanan yang elegan, Bukan, lebih tepatnya apa ya? Intinya dandanan khas seorang sosialita ibu kota. Baju, tas dan berlian yang berharga jutaan, terpasang sempurna pada tubuh para nyonya keluarga berpengaruh. “Hari ini saya sangat senang sekali,” seorang wanita menaruh cangkir teh yang baru diseruput. Wajah setengah bule itu memancarkan senyum sempurna. “Ada apa memangnya, Teh Sandra?” tanya seorang wanita dengan aksen sundanya. “Designer yang sudah saya incar sejak beberapa tahun ini akan kembali ke Indonesia,” jawabnya penuh kegembiraan. “Ah, iya. Silahkan jika ada yang ingin dipesan, pesan saja. Hari ini saya yang traktir.” “Wah, yang beneran, Bu?” tanya seseorang yang lain. “Tentu saja.” “Saya tidak akan sungkan kalau begitu.” Dan dimulailah acara memesan makanan dan camilan dengan harga yang cukup fantastis. Tempat berbincang yang dipilih nyonya-nyonya itu memang te
Frada turun dari taksi yang ia tumpangi. Ada seorang pria yang mengikutinya dan mengambilkan koper dari bagasi mobil. Frada menggumamkan terima kasih kala lelaki itu membantunya untuk memasukkan koper itu ke dalam sana. “Selamat datang, Mbak Frada,” sapa para karyawan dan designer butiknya. Frada mengangguk dan tersenyum membalas sapaan ramah itu. “Iya. Terima kasih dengan sambutannya.” Frada melangkah lebih dalam. Lelaki tadi yang membawakan koper Frada menggiringnya menuju lantai dua. Tempat yang akan menjadi kamar Frada selama di sini. “Apakah tamuku sudah datang?” Frada meneliti riasan di wajahnya. Memastikan jika make up yang dipakai masih bagus dan tidak luntur atau pudar. “Belum, Mbak. Mungkin sekitar lima menit lagi.” “Apakah orang yang datang ini adalah pihak itu langsung? Bukan perwakilan?” “Kabar yang saya dengar adalah orang itu langsung, Mbak.” “Baiklah.”
“Dia ada di dalam.” Frada memandang ruang yang berisi banyak anak-anak. Itu mengingatkannya atas hal-hal yang dulu selalu ia lakukan bersama sahabatnya. Frada meremas tangannya. Ada kerinduan juga rasa sesak yang entah timbul dari mana. Frada tahu dirinya tak berhak merasa begini. Ia yang meninggalkan semuanya. Ia yang tak tahu malu mengnginkan itu kembali. “Apakah Yumna sekarang resmi menjadi guru?” Lisa mengangguk. “Benar. Yumna mengambil jurusan keguruan. Satu-satunya hal yang ia ingat dengan jelas dan yang ia lakukan selama ini adalah mengajari anak-anak. Makanya ia memutuskan untuk menjadi guru. Tepatnya, guru untuk anak-anak.” Hati Frada berdenyut ngilu mendengar penjelasan dari Lisa. Sungguh, ia tak pernah memperkirakan menjadi seperti ini. padahal Yumna bercita-cita ingin menjadi salah satu pegawai di BMKG. Sayangnya, rencana itu harus sirna begitu saja. Yumna pasti melupakan cita-citanya. “A
“Jadi kamu sudah kembali?” Noval menyapa. Semuanya seketika hening. Bagi mereka, Noval adalah salah satu orang yang sangat jarang mengeluarkan kalimat sapaan.Frada segera mengangguk. dia mendengar helaan napas dari lelaki itu. lalu matanya menelisik Noval dengan seksama. Apakah lelaki tidak suka melihatnya? Mungkinkah lelaki itu marah padanya? “Mari kita bicara sebentar. Hanya kamu dan saya.” Noval melirik Yumna. adiknya jelas mengajukan sirat mata yang tak setuju. Namun Noval mengabaikannya. Sepertinya ada hal penting yang harus ia bicarakan dengan perempuan itu. “Kakak mau ngajak Rada kemana?” “Apa kamu mengenalnya, Yumna?” Noval membalikkan pertanyaan yang diajukan oleh adiknya. Yumna jelas jengkel setengah mati. Kalimat itu malah seperti mengejeknya. Tentang ingatannya yang sudah tak normal selama beberapa tahun ini. “Nggak. Tapi kata Kak Lisa dan suaminya, dia adalah teman dekatku. Dul
Frada meremas ponselnya. Bibirnya menciptakan seringai. Nampak buas sekaligus menawan. Kemarahan Frada tiba-tiba hadir. Nyonya keluarga Hardiyantara. Wanita dulu yang pernah Frada sebut sebagai mama. Namun sama sekali tak mempunyai sifat dan sikap yang mencermikan seorang ibu. “Apa ada masalah?” tanya Noval setelah ia puas mempethatikan saja. Respon Frada yang seperti itu telihat mengerikan dan membuatnya penasaran. Frada mengalihkan perhatiannya pada Noval. Ia baru saja tersadar jika masih di ruangan yang sama dengan lelaki itu. Frada mengganti seringainya menjadi senyuman sungkan. Ia telah bertingkah kurang sopan.“Tidak. Hanya sebuah masalah kecil.” “Jika saya bisa membantu masalah itu, saya akan dengan senang hati membantunya.” Frada tercenung sejenak. Noval tiba-tiba menawarkan bantuan. Keningnya sedikit berlipat. Curiga. “Apakah Anda mengetahui masalah apa itu sehingga mau untuk membantu?” Noval m
“Aku sudah melihat beritanya,” ujar Yumna. menyesap Americano dingin miliknya. Matanya menelisik Frada dalam. Gadis yang baru saja datang kembali ke Indonesia itu memasang wajah datar dan cenderung tak peduli. “Apakah kamu memang memiliki hubungan yang buruk dengan keluargamu?” Frada menghela napas dalam. Dia meletakkan Moccacino miliknya ke atas meja. Menyandarkan punggung pada dahan kursi, matanya mengedar sekitar di café ini. café terakhir di mana Frada berkunjung dengan Yumna. Tepatnya dua hari yang lalu. “Rada?” tanya Yumna kembali. seperti sudah tak sabar mendengar jawabn orang yang katanya sahabatnya ini. “Seperti itulah.” Frada memasang wajah datar. Apalagi ketika mendapati beberapa tatapan yang mengarah aneh padanya. Tentu saja, wajahnya sudah menjadi trending selama beberapa hari negeri ini. Sudah tak terhitung banyaknya berita yang bermunculan selama dua hari ini. bahkan infotaimen di televise pun juga turut memberitak
“Ma, kamu sadar apa yang kamu lakuin?!”Yudhistira Hardiyantara berteriak keras pada istrinya. Wajahnya merah padam dengan mata yang memicing tajam. Menatap Larasati dengan sorot penuh amarah.Larasati hanya bergeming. Dia sama sekali tidak merespon suaminya. Telinganya seketika menjadi tuli dan matanya hanya fokus pada layar televise di depannya.Yudhistira mengembuskan napas dengan kasar. Terdengar keras seolah memberitahukan pada dunia jika dirinya kini tengah tengah tidak bercanda.“Ma, kamu tahu apa yang kamu lakukan itu bisa merusak bisnis yang sudah kubangun dari nol. Kenapa kamu tidak bisa duduk diam dengan manis dan beremu dengan perempuan-perempuan sosialita itu?!”Larasati berdecak. Sungguh, Yudhistira saat ini benar-benar menyebalkan. “Aku sudah tidak mau berkumpul dengan orang-orang rendahan itu.”“Orang rendahan katamu?”Mata Yudhisti
“Amazing. Wow. Kamu memanfaatkan media dengan baik. bahkan, hei, lihat komentar-komentar di setiap video maupun artikel yang mengaitkan tentang dirimu. Isinya nyaris semuanya bagus semua. Kamu … benar-benar luar biasa, Fafa.”Frada bisa mendengar suara Ghina yang berdecak puas. Ia sudah memperkirakannya jika gadis itu pasti akan meresponnya demikian.Hal yang paling Ghina sukai ketika Frada melakukan pembalasan adalah, berbalik menyerang dengan menggunakan media sama yang telah digunakan musuh.“Tapi, Fa. Kamu mendapatkan dari mana orang-orang itu? Apakah kamu menyuap mereka?”Menyuap?Ayolah, Frada tak sepicik itu. meskipun ia bisa melakukannya namun jika bukan keadaan yang begitu mendesak, Frada tak akan menggunakan cara kotor hanya untuk menjalankan rencananya.“Tidak. Temanku meminjamkan mereka.”“Teman? Kamu masih mempunyai teman di sana?”G
"Arkana Hardiyantara, saya tidak tahu kalian memiliki sejarah yang lebih gelap." Frada menundukkan kepalanya. Kepalanya menunduk. Suara berat Noval nyatanya seperti melodi yang mengusik telinganya. Tangannya menggenggam erat mug gelas. Sekuat tenaga, Frada tidak mengluarkan air mata setelah menceritakan segalanya kepada Noval. Tentangnya masalalunya bersama si bejat Arkana. "Istirahat di sini, sebentar lagi Yumna akan--""Frada, apa yang terjadi!" Belum sempat Noval mengakhiri perkataannya, Yumna sudah masuk dan berteriak heboh. "Dia sudah berada di sini." Noval lantas menuju keluar. Membiarkan Yumna dan Frada saling berpelukan dan menguatkan. Ia keluar. Tepat di depan pintu, seorang bermata hijau sudah menungguinya. Matanya menjadi menajam. "Kau menemuinya lebih cepat dari dugaan." Noval terus bergerak berjalan. Menuju ke atas sofa yang letaknya tak jauh dari mereka."Tentu saja. Ini kesempatan langka kau memperbolehkanku untuk berdekatan dengannya."Noval memdengkus acuh. Jika
Menangis. Sama ketika bertemu dengan Frada pertama kali, respon tubuhnyapun begini. Rasa sesak dan kesedihan menyeruak menjadi satu. Terlebih amarah juga perlahan-lahan menyembul kala ia melihat warna hijau pada bola mata itu.Siapa lelaki ini?Yumna tak pernah ingat ia memiliki teman bule. Dalam catatannya tak tertulis hal macam itu. Apa pria ini juga berasal dari masalalunya? Eksistensi yang sudah lama ia lupakan? "Jangan menangis. Aku tak pernah bermaksud apapun." Pria itu tegang. Manik hijaunya bergulir menatap sekitar seolah meminta bantuan. Tubuhnya maku nyaris memeluk Yumna seandainya gadis itu tidak mundur dan mencegah interaksi mereka. 'Yumna harus menguasai diri. Yumna tidak boleh terlihat lemah. Yumna ... adalah wanita pemberani.'Ia berusaha mengulang kalimat itu dalam hatinya. Sebuah mantra yang berulang kali secara ajaib menenangkannya. Dan begitupun saat ini. Ia mulai santai kala menatap mata hijau pria asing it
Arkana Hardiyantara adalah momok terbesar dalam hidup Frada. Bahkan kengerian lelaki itu melebihi ibunya sendiri. Larasati Hardiyantara. Frada merasakan seluruh tubuhnya meremang. Merinding bukan main ketika mendapati Arkana sudah berhasil masuk ke dalam kamarnya. Frada meloncat dari atas ranjang. Membuka pintu dan lari menuju bawah. meminta pertolongan pada siapapun.Semoga Yumna belum jauh. Semoga pengawal Noval masih ada di depan. Semoga dan semoga. Hanya saja, belum sempat Frada menginjakkan kakinya di lantai bawah, Arkana berhasil menarik tangannya kembali ke atas. Ia berusaha menolak dan berteriak sekeras-kerasnya. Namun Arkana malah hanya tertawa tak berdosa."Untuk apa kau berteriak seperti itu? Meminta pertolongan pada orang-orang bodoh di depan?" Lelaki itu mendengkus malas. "Lakukan saja. Mereka sudah kubuat pingsan."Frada dilempar oleh Arkana begitu merek tiba di lantai dua. Kamar Frada. Gadis itu menvoba merangkak menjauh. Kali ini targetnya adalah balkon. Ia tak mau be
Melani Bianca Maheswara.Maheswara. Sebuah nama keluarga yang dulu selalu dielu-elukan oleh Larasati. berharap apabila salah satu kakaknya dapat bersanding dengan keturunan perempuan keluarga konglomerat itu. Ak seperti Hardiyantara mauoun Ardiansyah--keluarga Noval dan Yumna. Maheswara berada di level berbeda. mereka berada di puncak bersama dua keluarga lainnya yang begitu dihormati dan disegani.Frada baru pertama kali bertemu dengan salah seorang dari mereka. itupun karena statusnya yang merupakan teman dari adik tunangan Melani Bianca Maheswara.Haruskan Frada senang dan menunuduk hormat pada Melani? Alih-alih memendam kecemburuan dan hanya tersenyum kikuk di depan wanita berkuasa itu."Aku ingat tudak memiliki janji denganmu. Mengapa kau bisa ada di depanku?" tanya Noval.Melani mendengkus sinis. "Memangnya bertemu dengan tunangan harus membutuhkan janji?"Noval memilih bungkam. sementara Melani nampak tersenyum angkuh. Lantas tatapan matanya jatuh pada Yumna. Matanya mengerlin
Frada tidak yakin bagaimana mediasi tadi berjalan. Yang jelas, sekarang surat perjanjian perdamaian antara durinya dan juga Larasati Hardiyantara sudah sama-sama ditandatangi. Dalam persidangan tadi, Yumna bisa merasakan tatapan menghunus mantan ibu tirinya.Ya, mantan. Frada secara khusus meminta untuk mengubah identitas Frada dan mencabut semua hak keluarga Hardiyantara atas dirinya. sebab sekalipun dia sudah lama diusir, nama Frada masih berada dalam kartu keluarga itu."Kalian sudah melakukannya dengan baik." Entah sejak kapan Noval Adriyansyah berada di antara dia dan Yumna. Bahkan tidak hanya dia yang kaget, Yumna pun menampakkan raut terkejut."Kakak kenapa ke sini?" Yumna nampak tak terima.*Hanya ingin menjemput kalian. apa salah?" "Salah! Salah besar! Aku ingin mengajak Frada jalan-jalan habis ini. Kakak kan pasti punya banyak kerjaan di kantor, kan? udah cepet sana balik!"seperti biasa, Yumna menolak keberadaan kakaknya itu. padahal tidak ada salahnya Noval berada di sin
Setelah sampai di pengadilan, Frada bisa melihat banyaknya wartawan yang berjejer apih menunggunya. Para pencari berita itu berdesak-desakan ingin mengorek info dan mengambil gambarnya. Frada bahkan bisa melihat dibeberapa tempat ada beberapa yang sedang live siaran.Helaan napas lelah terdengar samping. Tunggu, bukankah seharusnya Frada yang melakukan itu? mengapa kini malah Yumna yang terlihat capai melihat banyaknya media yang menunggu turunnya mereka.“Sekarang aku bisa mengerti perasaan para selebriti yang tertekan dengan kehadiran para wartawan sialan itu.”“Yumna, jangan berbicara kasar,” tegur Frada.Tapi Yumna malah memasang wajah innocent tak berdosa. “Aku tidak.”“Sudahlah.” Frada hanya menghela napas lelah dan membiarkan Yumna. Kini jantungnya tengah berlompat ria. Berulang kali ia mencoba meyakinkan diri bahwa orang-orang yang akan ia temui bukanlah siapa-siapa. Mereka bukan lagi bagian dari Frada bahkan terkecil sekalipun.
Frada mengecek penampilannya sekali lagi. memastikan jika tidak ada yang kurang darinya. Baik itu tentang make up apalagi baju. Semuanya harus tertata dengan paripurna. “Rada, kamu tahu semua orang sudah menunggumu di bawah! Kenapa lama sekali?” Yumna membuka pintu. Ekspresi kesal bercampur jengkel terpasang nyata pada wajah manisnya. Bagaimana tidak? Frada sudah ditunggu oleh beberapa orang. dan gadis itu di sini hanya memandangi cermin saja. tidak tahu waktu sama sekali!Frada terkekeh. Tidak merasa bersalah sama sekali. Tangannya mengulur ke ranjang. Mengambil tas dan ponsel yang sudah ia siapkan sedari tadi. “Aku hanya ingin memastikan bahwa aku cantik hari ini.”Jawaban ringan itu bersambut lirikan sinis dari Yumna. Tapi Frada tidak memerdulikan. Ia bahkan dengan enteng menggandeng leher Yumna. Sahabatnya itu memang memiliki tubuh lebih pendek darinya. Hingga Frada dengan leluasa bisa memiting lehernya seperti ini.“Rada, kau mau m
Seorang pria berperawakan khas ras kaukasia, terlihat keluar dari bandara diikuti oleh beberapa orang bertubuh tegap juga berbaju hitam. Hal itu tentu saja menjadi daya tarik tersendiri bagi orang-orang yang ada di sana. Bukan hanya karena penampilan mereka yang mencolok, salah satu dari mereka juga merupakan seseorang yang sangat diminati gadis seantero negeri atau mungkin dunia.Rai Reifansyah Alexander.Anak sulung dari keluarga Alexander sekaligus pemimpin dari beberapa anak cabang perusahaan keluarganya itu nampak gagah dengan setelan semi formalnya. Untuk pertama kalinya dari beberapa tahun lalu, lelaki bermata hijau itu kembali pulang.Langkahnya terhenti kala mendapati seseorang yang dikenalnya sudah menyambut tepat di depannya.‘See? Bukankah itu sesuatu yang sangat janggal?’ batinnya bergumam.Namun tetap saja, ia tetap melangkah menuju orang itu. Seorang pria yang beberapa tahun lalu dengan arogannya menyuruhnya untuk mengakhir
“Kenapa kamu mau-mau saja menyanggupi kemauan Kak Lisa dan Kak Noval. Jika kamu bahkan bisa memerkirakan kejadian seperti ini akan terjadi?”Frada hanya menghela napas. Menolak menjawab pertanyaan Yumna dengan nada memekik syock.Bagaimana tidak? Gadis itu baru saja mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Bahkan perihal kepergian Frada dan alasannya—secara garis besar, Yumna sudah mengetahuinya.Kepergian Frada dari Indonesia itu sesuatu yang cukup bagus sebagai langkah awalanya. Sekalipun berat, setidaknya itu lebih baik dari pada lingkungan toxic yang hanya menyakitinya.Yumna tahu jika keadaan keluarga Hardiyantara dengan Frada sendiri itu adalah sesuatu yang buruk. Tapi Yumna tak memerkirakan jika sampai di tahap di mana seseorang mungkin jauh lebih mudah untuk mati.Yumna merentangkan tangannya dan memeluk Frada erat. “Pasti berat ya selama ini?”Frada hanya meletakkan dagunya dengan tenang di atas pundak Yumna. Aroma manis d