"Kita mau kemana ini, Mas?" tanyaku. Dia masih diam saja. Jangan-jangan dia mau membawaku ke kantor lagi. Waduh, gawat ini. Malah sekarang sertifikat rumah lagi aku pegang. Bagaimana kalau Mas Ilham nanti menggeledah seluruh isi tas dan juga gawaiku? "Mas Rafi!" bentakku. " Kita mau kemana?" lagi-lagi aku kesal dengan kediamannya. "Ih," karena kesal aku memukul lengannya yang sedang fokus menyetir. Tak lama dia meminggirkan mobil dan berhenti di jalanan yang cukup sepi. Ada apa ini? Apa dia marah karena barusan aku memukulnya? Apa dia akan membalasku dengan perbuatan yang tidak-tidak? Padahal kan pukulan tadi tidak terlalu kuat. Tidak mungkin dia merasa sakit hanya karena sentuhan seperti itu. Dia menatap tajam ke arahku. Apa dia benar-benar marah? "Kenapa nomor hape Mas kamu blokir? Bukankah kita sudah melakukan kesepakatan kemarin?" Mas Rafi terlihat gusar. Benar saja, kemarin tak lama setelah Mas Ilham mengantarku pulang dari rumah sakit, Mas Rafi menghubungiku beberapa kali
"He eh, terserahlah," jawabnya pasrah. "Iya, terserah. Nay juga tidak perduli mau pacarnya satu, dua atau sepuluh sekalian. Toh sebentar lagi juga Nay akan berpisah.""Nah, gitu dong," ucapnya sambil tersenyum. "Sekarang kamu mau kemana?""Anu, Mas. Nay mau menggadaikan surat rumah. Buat bekal Nay nanti kalau sudah berpisah. Mas kan tahu sendiri kalau Nay ini tidak bekerja dan tidak punya penghasilan.""Kalau mau menggadai nanti urusannya repot, Nay. Jual saja. Kebetulan teman Mas ada yang mau membeli rumah. Kamu mau jual berapa?""Benar, Mas? Kira-kira rumah seperti itu laku berapa ya? Kalau Nay kasi harga tiga Milyar, ada yang mau tidak, ya?""Tiga milyar, ya? Ya sudah, sini mana nomer rekening kamu? Biar selanjutnya nanti Mas yang urus."Eh? Kenapa Mas Rafi enteng sekali bicara soal uang tiga milyar. Apa dia sedang mengejekku? Mana mungkin dia langsung memberikan uang sebanyak itu tanpa syarat-syarat atau apapun itu. "Kok melamun? Mana?""Apanya, Mas?""Kok apanya? Ya nomer reken
Hari ini hari Minggu. Tumben sekali Mas Ilham tidak kelayapan. Biasanya ada saja alasannya untuk keluar rumah tanpa membawa aku dan Alta. Selesai makan siang kulihat dia sedang asik bermain bersama Alta. Sungguh pemandangan yang sudah sangat langka selama beberapa bulan ini. Baru kemarin aku merencanakan ingin mengajak Ratna mencari rumah baru, tapi harus kubatalkan karena Mas Ilham belum juga beranjak dari rumah. Mau tak mau aku juga harus berdiam diri di rumah sambil kembali membaca novel-novel online yang ada di grup kbm. Walaupun sepotong-sepotong jalan ceritanya, yang penting aku sudah bisa mencerna cara-cara apa saja yang akan aku pakai nantinya. Bukannya pelit atau ingin berhemat, masalahnya aku sama sekali tidak mengerti caranya membeli koin untuk membaca semua cerita itu sampai tamat. Jadi, yang ada saja aku baca. Ada puluhan judul tentang mereka yang nasibnya serupa denganku. Jadi aku merasa hidupku tidaklah sendiri. Tengah asik membaca, terdengar suara bel dari pintu de
Ya, aku sengaja menyebut namanya agar Mas Ilham menjadi cemburu. Bukankah dia tidak suka dengan kehadiran Mas Rafi diantara kami? Tidak ada salahnya juga aku menjual nama Mas Rafi untuk melancarkan aksiku, toh dia juga tidak tahu. "Kan Mas sendiri yang mulai. Nay tidak sengaja ketemu Mas Rafi saja, Mas sudah terlihat tidak senang. Apalagi ini, ada wanita yang dengan sengaja menemui Mas secara terang-terangan. Nay tidak boleh marah?"Mas Ilham terdiam, mungkin membenarkan apa yang barusan aku ucapkan. "Ya sudah, Mas minta maaf. Mas yang salah. Mas juga tidak tahu mau apa si Viona datang ke sini. Kita keluar saja, ya? Tidak enak tamu dibiarkan lama menunggu. Mas usahakan agar dia tidak berlama-lama di sini."Ternyata masih ada juga rasa sungkan Mas Ilham kepadaku. Tidak terlalu kasar dan berlebihan berbuat dzholim kepadaku. Apakah sebenarnya masih ada rasa cinta yang dulu kepadaku? Lalu untuk apa dia menjalin kasih dengan wanita lain dan melakukan hubungan terlarang itu? Tidak! Janga
"Aku kangen, lo Mas. Ngapain sih hari libur begini kamu di rumah. Seharusnya kan kamu sama aku. Aku mau di temani belanja ini," suaranya terdengar seperti merayu. "Belanja apa lagi? Kan baru kemarin aku kasi kamu uang," jawab Mas Ilham yang sedikit memelankan suaranya. "Ya sudah habislah, Mas. Aku kan juga harus ke salon dan perawatan. Biar makin cantik dan bikin kamu makin cinta sama aku."Darahku seperti mendidih mendengar percakapan mereka. "Iya, tapi tidak dengan datang ke rumah ini juga. Kalau Naya sampai curiga bagaimana?""Halah. Bukannya kamu sendiri yang bilang kalau istri kamu itu selalu percaya sama kamu. Buktinya sekarang dia masih baik-baik saja.""Itu tadi karena aku yang bujuk. Sekarang kamu pulang saja sana.""Kok aku diusir sih, Mas. Tega sekali kamu.""Besok sepulang kerja kita bertemu. Jadi kamu tidak usah khawatir.""Benar, Mas?""Iya, kamu jangan lama-lama di sini.""Ya sudah, tapi aku mau ke toilet sebentar, ya?"Dasar wanita murahan. Bisanya cuma morotin suam
Lagi-lagi aku dibuat kesal. Bukankah showroom mobil yang jadi langganan Mas Ilham tutup pada hari Minggu? Mas Ilham baru saja selesai menghubungi seseorang yang aku yakini sebagai pegawai dealer tersebut. Mas Ilham sudah sering berkomunikasi dengan pria yang usianya masih di bawah Mas Ilham itu, karena mobil yang Mas Ilham pakai sekarang adalah hasil dari mencicil selama tiga tahun. Walaupun sebelum menikah denganku mobil tersebut sudah dia lunasi. Aku mencoba untuk mengajaknya mencari showroom yang lain saja, siapa tahu ada yang beroperasional di hari merah. Namun Mas Ilham menolak dengan alasan sudah nyaman dengan layanan dari showroom langganan keluarga mereka. Alhasil, besok Mas Ilham akan bernegosiasi dengan mereka via telpon saja. Sedangkan kalau lancar dan selesai, mobil akan langsung di antar ke rumah.Aku jadi tak punya alasan lagi untuk memilih mobil mana yang aku inginkan. Ah terserahlah, mobil yang paling murah sajapun aku tidak apa-apa. Toh kemudian aku bisa me
"Kalau jadinya seperti itu, ya suruh Mas Rafi yang tanggung jawab dong, Nay. Kok malah aku?""Habis kamu sih, terus-terusan menggodaku." Ratna kembali tertawa. Tak lama Mas Rafi menghubungi dan mengatakan kalau dia sudah menunggu di luar. Tak ingin berlama-lama, kamipun langsung berangkat. "Maaf ya, Mas. Lagi-lagi Naya membuat repot Mas Rafi," ujarku. "Tidak apa-apa, Nay," jawabnya dengan penuh senyuman. Ratna menyikut lenganku menandakan kalau yang tadi dia katakan benar adanya. Aku menyerahkan semua dokumen-dokumen serta bukti foto, rekaman suara dan juga hasil percakapan mereka melalui mesenger. Mudah-mudahan dengan semua bukti ini, akan mempercepat proses perceraian kami. Setahuku Mas Ilham sudah tidak punya simpanan lain lagi selain yang ada di rekeningnya saat ini. Itupun akan segera habis setelah mobil yang aku minta dia belikan. Tak pernah ada kulihat brankas atau peti harta karun yang dia sembunyikan di rumah seperti di kebanyakan cerita yang aku baca. Aku sudah mencari
Jam sudah menunjukkan hampir jam dua belas malam. Namun belum ada tanda-tanda Mas Ilham akan pulang. Bahkan gawainya pun tidak aktif saat kuhubungi. Sudah hilangkah kesadarannya, saat bersama wanita murahan itu? Tanpa terasa menetes juga air mataku. Tapi bukan, bukan aku menangisinya. Hanya saja aku terlalu sedih melihat Alta yang nantinya akan terabaikan saat aku dan Mas Ilham berpisah. Siapa yang nantinya akan mengurusnya, sementara orang tua Mas Ilham juga tinggal di luar kota. Hanya sesekali saja datang untuk menjenguk. Aku dan Mas Ilham sama-sama merantau dan tidak punya keluarga lain di kota ini. Lalu bagaimana dengan Alta nantinya? Apakah setelah bercerai, Mas Ilham akan segera menikahi Viona? Sementara Viona sendiri tidak ada niatan untuk mengurus Alta. Aku tersentak saat mendengar suara bel dari depan. Rupanya aku tertidur di kamar Alta. Kulirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul dua dinihari. Dengan rasa kesal aku bangkit untuk membukakan pintu. Mas Ilham pulang d
Kamipun sampai di sebuah klinik yang tidak jauh dari rumah aku bersama Mas Rafi. Sengaja aku tak ingin pergi ke rumah sakit besar, selain malas untuk mengantri, kurasa penyakitku ini tidak terlalu parah dan juga berbahaya."Selamat ya, buat Ibu dan juga Bapak," seru seorang Dokter setelah tadi memeriksaku dengan senyuman."Selamat apa ya, Dok?" Mas Rafi bergantian memandangi kami."istri Bapak saat ini sedang mengandung. Usia kandungan sudah memasuki usia lima minggu. Selamat, karena sebentar lagi Bapak akan menjadi seorang Ayah."Kulihat binar matanya memancarkan kebahagiaan. Matanya berkaca-kaca, merasa antara percaya dan tidak percaya. Di tatapnya wajahku secara seksama, kemudian kembali ke arah Dokter itu."Benar Dokter? Istri saya hamil?" dia meyakinkan. Dokter muda itu pun mengangguk sambil tersenyum."Alhamdulillah... " ucap aku dan Mas Rafi bersamaan..Mas Rafi tak henti-hentinya menggenggam tanganku. Merasa berbahagia karena telah berhasil mengandung dari buah cinta kami. Kin
Aku duduk di sofa ruang tamu lantai dua. Ruangan ini menjadi lebih luas setelah menyelesaikan renovasi. Bangunan yang tadinya bersekat tembok yang tinggi, kini telah menyatu dan menjadi luas. Karyawan di lantai bawah pun sudah bertambah dua orang lagi, sehingga mengurangi lelahnya Ibu dalam mengurus toko."Ibu masak bubur kacang hijau lho, Nay," ujar Ibu. "Pakai durian lagi. Sengaja Ibu buatkan makanan kesukaan kamu," lanjutnya lagi."Nanti Nay ambil sendiri saja, Bu," ucapku yang agak malas untuk bangkit, tanpa kutahu tiba-tiba saja Ibu sudah berjalan membawa nampan berisi mangkuk.Mendadak aku pusing, tenggorokanku rasanya penuh, hingga memaksaku untuk bergegas ke kamar mandi untuk mengeluarkan segala yang kumakan pagi tadi."Nay, kamu kenapa?" kudengar panggilan Ibu sambil mengetuk pintu. Aku terus saja memuntahkan apa yang ada, hingga tubuh ini jadi seperti tak bertenaga."Tidak tahu, Buk. Mungkin masuk angin," aku berjalan kembali ke sofa setelah membukakan pintu. Kulihat Ibu ber
Akhirnya hari bahagia itu datang juga. Seperti sebuah mimpi, kini aku benar-benar telah mengakhiri masa kesendirianku. Status yang masih menjadi momok yang menakutkan bagiku itu, terlepas sudah. Entah bagaimana caraku mengungkapkannya.Pagi tadi, dengan menggenggam erat tangan Bapak, Mas Rafi mengucapkan lafaz dengan begitu lantang, hanya dengan satu tarikan nafas saja. Membuat semua yang hadir mengucapkan Alhamdulillah dengan begitu antusias dan bersemangat.Sebuah pesta sederhana dilanjutkan dengan sebuah hiburan berupa musik dari orkestra yang biasa diadakan di kampung kami.Aku tidak perduli bagaimana dengan tanggapan keluarga Mas Rafi nantinya, yang selalu terbiasa dengan musik-musik nan elegan yang sering aku lihat di pesta-pesta kalangan orang kaya. Itupun aku tonton dari infotainment para artis.Tapi, sempat kulihat tangan Papa mertua ikut bergoyang juga, menikmati musik dangdut yang dinyanyikan sang biduan.Para sanak famili dan juga sahabat hampir semuanya hadir. Tak terkecu
"Banyak rekan-rekan yang sudah melapor sama Mas, kalau akun Mas diretas orang. Mas curiga itu Viona.jadi, kamu jangan sampai terkecoh jika ada pesan-pesan seperti itu, ya. Mas tidak akan mungkin tega meminta uang sama kamu dengan jalan seperti itu. Melihat kamu menjaga Alta sebaik ini saja, Mas sudah sangat berterima kasih." Ucapannya terdengar tulus dan tidak mengada-ada. Alhamdulillah, ternyata jawaban dari semua beban pikiranku sudah terjawab tuntas tanpa aku menanyakannya.Ternyata Mas Rafi benar juga, bahwa mimpi itu cerminan dari hati dan pikiran..Mobil kembali melaju pelan. Kulihat Alta sudah kembali akrab dengan Mas Rafi. Seakan-akan kejadian malam tadi tidak pernah terjadi. Atau mungkin dia bahagia karena sudah bertemu dengan ayahnya."Mas, tadi Mas Rafi ngomong apa saja sama Mas Ilham, kok jadi akrab?" Aku memberanikan diri untuk bertanya. Sebelum pulang tadi, kulihat Mas Rafi berbicara empat mata dengan Mas Ilham dan diakhiri dengan berjabat tangan dan... berpelukan. Ane
Aku menceritakan semua apa yang kulihat dalam mimpi tersebut. Tentang semua kejadian yang erat sekali berkaitan dengan dirinya. Mas Rafi terlihat serius dalam mendengarkan ceritaku. Malu juga sebenarnya.tapi, karena Mas Rafi terus memaksa, akhirnya aku bersikap jujur saja. Lagipula, kami sudah sepakat akan terbuka satu sama lain seperti janji kami tempo hari. Mas Rafi tersenyum sambil meraih jemariku. Menggenggamnya dengan berusaha untuk menenangkan. "Itu artinya, kamu takut kehilangan Alta dan juga Mas. Iya, kan?" senyumnya semakin mengembang. Terlihat manis dan juga mendebarkan. Eh? Kenapa pipiku jadi panas?"Mas Rafi ge er, ya!" Aku berusaha mengelak dengan menepiskan genggamannya. Mencoba menyamarkan rasa gugup dan debaran di dada. "Biasanya mimpi itu cerminan dari hati, Nay. Saat hati kita bersih, maka mimpi baiklah yang kita lihat. Tapi saat hati kita kotor dan ketakutan, maka mimpi buruk lah yang akan datang. Bukankah hati itu seperti cermin?" Mas Rafi terlihat serius. Tak b
Hari masih terlalu pagi, Ibu sudah menggedor-gedor pintu kamarku. Jantung ini rasanya mau copot saja, bertanya-tanya apa gerangan yang sedang terjadi di luar sana. Bergegas aku beranjak dari tempat tidur, dan segera membukakan pintu untuknya. "Nay, Nak Rafi sedang menunggu di bawah itu. Katanya mau mengajak kamu dan Alta ke pantai." Sejenak aku berpikir. Masih pagi begini, Mas Rafi datang dan tiba-tiba mengajak pergi. Ada apa gerangan. "Ouh, Iya, Buk. Sebentar lagi, Nay turun." Aku menghela nafas. Baru ingat pesan whatsapp yang dikirimkan Mas Rafi malam tadi. Aku hanya sempat membaca, belum ada niatan untuk membalas dan mengiyakan ajakannya. "Memangnya kalian sudah janjian mau kepantai?" terlihat wajah Ibu sedikit cemas.Mungkin merasa khawatir kalau aku tidak sedang baik-baik saja untuk saat ini. Apalagi dia belum menanyakan mimpi apa yang menghantuiku malam tadi. "Nay sendiri lupa, Buk. Mungkin Mas Rafi mau bayar janjinya kemarin sama Alta," terangku yang hanya menduga-duga sa
Degh.... Jantungku serasa mau copot. Saat menyadari orang yang ada di sebelah mas Rafi ialah Viona. Mereka sedang mengawasi Diana_anaknya Viona_bermain. Darahku serasa mendidih. Kenapa Viona lagi-lagi hadir dalam hidupku. Setelah Mas Ilham, sekarang dia ingin merebut Mas Rafi juga dariku. Oh,tidak semudah itu Ferguso. Dengan berapi-api, aku langsung menghampiri mereka berdua. Entah kekuatan apa yang mendorong tubuhku untuk segera memberi pelajaran pada wanita tidak tahu diri itu. Apa Dia pikir Aku ini lemah, dan ingin mencuri apapun yang kumiliki. Oh, aku benar-benar marah dan tak bisa lagi mengendalikan diri. Emosiku kini telah menggunung hingga keubun-ubun. "Mas, sedang apa di sini? " Aku langsung menegur Mas Rafi. Mungkin dia belum menyadari kehadiranku di sini. "Nay? Kamu kenapa di sini? Tadi kamu bilang Alta sudah tidur." Jawabnya gugup. "Jadi ini, alasan Mas Rafi membatalkan acara kita?" Aku langsung memotong pembicaraannya.Tak ingin mendengar alasan apapun yang ingin dia
"Sudah Nay, biarkan saja dulu. Mungkin Alta terlalu kecewa sampai merajuk seperti itu," Ibu mencoba menenangkanku. "Namanya juga Anak kecil. Paling nanti baik sendiri." Ibu menimpali ucapannya. Setengah jam kami menunggu, pintu tak kunjung terbuka. Akhirnya Bapak berinisiatif untuk mendobrak paksa dari luar. Walaupun sudah diusia lanjut, Namun Bapak masih memiliki tenaga yang cukup kuat jika hanya untuk mendobrak sebuah pintu. "Apa Bapak kuat mendobraknya sendiri Bu. Kalau tidak kuat, biar Nay minta tolong sama Dokter Indra saja biar ikut membantu." Aku meminta izin pada Ibu.Siapa lagi yang bisa kami mintai tolong selain Dokter Indra. Sebab, dialah satu-satunya tetangga di sekitar sini yang selalu siap menawari bantuan untuk kami. "Tidak usah nay, Bapak sudah ahli dan banyak tehnik nya juga. Iya kan, Pak?" Ibu memberi semangat kepada Bapak. Mungkin ibu juga segan jika terus menerus minta bantuan kepada Dokter Indra. "Iya, kalau cuma begini, ya kecil, Nay." Bapak terlihat yakin da
Malam ini, Mas Rafi berjanji akan menjemput kami dan membawa kami jalan-jalan keliling kota. Dia melakukan itu mengingat beberapa hari lagi, kami sekeluarga akan pulang ke kampung halaman untuk mempersiapkan acara pesta di sana. Hari dan tanggal sudah kami tentukan. Beberapa surat undanganpun sudah disebar luaskan. Jadi, malam ini kami sekalian ingin mencari pernak-pernik ucapan terimakasih untuk para tamu undangan besok. "Om Rafi kok lama ya, Bunda." Alta terlihat gelisah dan bolak-balik bertanya. "Bukan Om Rafinya yang lama, Tapi Alta yang kecepatan berhiasnya, sayang." Aku menariknya ke dalam dekapan. Sedari tadi Alta sudah sibuk berhias. Dia tak mau kalah dari bundanya agar terlihat cantik di depan mata Mas Rafi. Dia juga memilihkan baju yang pas untuk kupakai. Baju yang senada dengan warna bajunya. Kulirik jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Namun tanda-tanda Mas Rafi datang belum juga terlihat. Ada rasa cemas dan khawatir menghantui. Kenapa gawainya tidak bisa dihubung