Langkahku tak selebar tadi. Kuseret kakiku mendekati sofa dengan nyali tinggal separuh. Sejak dulu aku memang takut dengan Papa. Aku tak pernah berani melawan laki-laki itu. Papa terlalu keras untuk dijadikan lawan. Ucapannya tak terbantahkan.
"Viona bisa jelasin, Pa!" ucapku masih berusaha tenang."Duduk!" titah Papa.Sembari duduk, aku bertanya-tanya. Ada apa? Kenapa Papa terlihat begitu marah? Tak mungkin hanya karena aku pulang malam Papa semarah itu."Pa, Viona habis ....""Diam!" bentak Papa sembari kedua bola matanya melotot. "Dengar baik-baik! Sampai kapanpun, Papa enggak akan setuju kamu cerai dengan Ibram!"Mataku melebar mendengar itu. Aku menatap tak percaya pada wajah lelaki yang masih berdiri di depanku.Apa maksud Papa berkata begitu? Aku bahkan belum mengatakan apa-apa. Apalagi tentang perceraian."Maksud Papa?" Aku menuntut penjelasan kepada lelaki berkacAku terperangah menatap Ibram tak percaya. Aku benar-benar tidak menyangka, selama delapan tahun ternyata aku hidup dengan penipu licik seperti Ibram. Ya, dia lebih pantas langsung dipanggil nama saja. Tak pantas ia dipanggil dengan sebutan Mas. Terlalu sopan untuk seorang penipu. Lelaki itu tersenyum penuh kemenangan. Dia pikir, aku akan menyerah karena tak berhasil mengusirnya? Aku punya banyak cara, Ibram! Sampai mati aku tak ikhlas manusia rubah sepertimu menjadi parasit di rumah ini."Oke, kalau itu mau kamu, aku akan tempuh jalur hukum," ucapku dengan berusaha tenang pada lelaki tak tahu diri itu.Sebenarnya, aku tak ingin melakukan ini. Mengingat, bagaimanapun dia papa Cahaya. Namun, tak ada pilihan lain. Aku tak akan membiarkan lelaki sepertinya mendapatkan apa yang diinginkan."Silahkan, kalau kamu pikir bisa memperkarakan ini," sahut Mas Ibram sembari tersenyum meremehkanku."Kita lihat saja." Pak Sarno tergopoh memasuki ruang tamu. Lelaki paruh baya berbadan kekar itu ta
Setelah menghubungi Alvin, aku menghubungi Tania. Aku minta rekomendasi pengacara yang bagus darinya. Karena dulu Tania pun pernah menjalani apa yang akan aku jalani. Sesuatu yang dihalalkan, tetapi juga dibenci oleh Allah. Tania merekomendasikan seorang pengacara muda. Dia bernama Pak Wildan. Segera saja kuhubungi nomor telepon yang Tania berikan. Meskipun sudah cukup malam, tetapi pengacara tersebut masih mau membalas pesanku. Dia memintaku menyiapkan segala sesuatu yang besok diserahkan ke kantor polisi.Ibram masih tak tahu malu memintaku untuk mengurungkan niat melapor polisi. Segala bujuk dan rayu ia ucapkan. Dia pikir aku akan luluh?Tidak akan!Keesokan paginya saat aku membuka pintu, kutemukan Ibram tertidur di lantai persis di depan pintu kamar. Memang pantasnya dia tidur di situ.Aku hanya melewatinya begitu saja tanpa berniat membangunkannya. Di ruang makan, sudah ada Cahaya yang bersiap sarapan dengan Mbak Susi. An
Aku pasrah saat merasakan kesakitan luar biasa. Tak hanya di leherku saja, tetapi juga dada, kepala dan bagian tubuh lainnya. Bahkan perutku terasa mulas tiba-tiba.Namun, tak kusangka tiba-tiba Ibram melepas cengkeraman tangannya di leherku. Kedua jemari yang tadi mencekikku dengan kuat terlihat gemetar."Maafin aku, Ma! Maafin aku! Aku ...." Ucapannya terpotong saat melihat tubuhku luruh ke halaman berpaving sembari terus terbatuk-batuk. Dadaku masih sangat sesak. Bahkan aku masih kesulitan bernafas."Ma, maaf ...," ucapnya lagi. "Aku tadi sangat emosi. Tolong, maafin aku!"Aku masih tak merespon ucapannya. Sekedar untuk bernafas saja masih tersengal-sengal bagaimana aku bisa bicara.Diraihnya tubuh lemasku dalam gendongan Ibram. Sorot mata lelaki itu tampak begitu khawatir.Apakah Ibram berkepribadian ganda?Ah, entahlah. Aku tak peduli. Yang jelas aku tak sudi hidup bersama laki-laki ini.Ibram tergopoh membopongku memasuki rumah. Begitu berada di ruang tamu, dia berteriak memangg
Semakin ke bawah, ia mengancam Ibram. Ia akan mengungkap kebenarannya kepadaku kalau sampai tak segera mengirim uang tersebut. Lalu ia juga mengancam akan menghubungi nomor Ibram yang satunya. Berbagai kata kotor dan sumpah serapah Rena kirim untuk Ibram yang dia pikir tak juga mengaktifkan ponselnya.Mungkin karena Rena, tadi Ibram sampai nekat mencekikku. Tuntutan dan Tekanan Rena pada Ibram luar biasa. Lelaki itu pasti kalang kabut karena semua akses keuangan telah aku blokir."Mbok, tolong pijat kakiku!" pintaku saat menyadari Mbok Sar sejak tadi hanya berdiri memandangiku."Oh, iya, Bu."Setelah membaca pesan dari Rena, aku menghubungi Pak Sarno. Aku ingin tahu dia tadi ada dimana. Sekalian aku juga akan memintanya mengamankan rekaman CCTV halaman rumah. Karena tindakan Ibram tadi bisa untuk menambah barang bukti.Aku yakin, Ibram tak akan bisa lolos dari hukuman.Kulepas dahulu jilbab yang masi
Aku, Rena, dan Fabian kompak menoleh ke arahnya. Sorot mata Ibram menatap tak suka pada Rena.Rupanya laki-laki itu ada di rumah. Habis ngapain dia? Kenapa dari tadi baru muncul?"Mas!" Rena langsung berdiri. Bahkan dia melangkah ke arah Ibram. Namun, baru dua langkah kemudian terhenti."Ada apa? Kenapa ke sini?" Kali ini nada suara Ibram kembali normal. Tak seperti tadi yang terdengar terkejut dan tidak suka."Aku ... aku ...." Rena bergantian menatapku dan Ibram. Ia tampak ragu untuk mengatakan sesuatu."Lebih baik kamu pulang dulu!" pinta Ibram."T-tapi, Mas!" protes Rena."Bram, Rena pasti punya alasan datang ke sini. Kenapa diusir?" Aku ingin melihat drama mereka. "Iya, kan, Ren?" tanyaku seolah berpihak padanya. Aku jadi merasa seperti iblis dengan wajah malaikat. "I-iya, Mbak." Rena tampak salah tingkah."Jadi, ada apa? Ini Ibramnya sudah ada," ucapku sembari duduk.Rena pun melakukan h
Ibram langsung berdiri dari posisi berlututnya. Sementara Rena masih menundukkan kepala yang berada persis di depan kakiku."Pa!" Ibram melangkah mendekati Papa. Silahkan, hasut dan cari muka sepuasnya! Kamu pikir aku akan peduli dengan omongan Papa?"Ada apa, Bram? Siapa wanita itu?" tunjuk Papa pada Rena yang tidak juga mengangkat wajahnya.Aku memilih diam. Menyaksikan sandiwara mereka. Aku tak akan bersusah payah menjelaskan sesuatu pada orang yang tidak mempercayaiku. Percuma! Sampai berbusa pun, Papa tidak akan percaya.Toh, pada saatnya nanti kebenaran pasti akan terungkap. Jadi, aku tak khawatir soal fitnah yang Ibram lakukan.Rena mulai beringsut. Perlahan wanita berpenampilan persis ondel-ondel yang mau diarak keliling kampung itu berdiri menunduk menghadap Papa."Perkenalkan, saya Rena. Saya ... sepupu Mas Ibram," akunya pada Papa.Dahi Papa seketika mengernyit
Mbok Sar datang membawa gelas dan juga botol berisi air mineral. Kemudian menyerahkan pada Papa. Lelaki yang tampak kelelahan itu langsung menenggaknya. Sejurus kemudian dahinya tampak basah oleh keringat."Sehat, Om?" sapa Tania pada Papa."Ya. Kamu ada keperluan apa?" ketus Papa. Lelaki itu masih terlihat emosi."Aku mau nemenin Viona visum, Om," jelas Tania.Sementara Ibram dan Rena masih berada di lantai. Rena menangis sembari memandangi wajah suaminya yang babak belur."Bagus!" komentar Papa. "Setelah itu langsung laporkan ke polisi. Nanti Papa akan lobi teman. Agar kasus ini secepatnya diproses," janji Papa.Mendengar itu, Ibram kembali merangkak mendekati kaki Papa. Rupanya dia tak kapok dihajar Papa."Pa, Ibram mohon, jangan laporin Ibram ke polisi! Kasihan Cahaya, Pa!" bujuk Ibram."Aku lebih kasihan pada putriku yang sudah kamu aniaya. Kamu pikir aku pernah menya
Ibram dan Rena bersamaan langsung menatapku tak percaya. Mereka pasti tidak menyangka aku akan meminta Ibram melakukan ini.Rena terus menggeleng sembari berkata, "Enggak! Enggak! Jangan, Mas! Jangan ceraikan aku!"Dalam hati aku tertawa puas melihat ketakutan mereka. Ini belum apa-apa dibanding hukuman yang nanti akan kalian terima. Sudah berani menipuku tanpa berpikir panjang. Kalian sama saja telah memasukan diri ke kandang harimau.Aku menatap Ibram dengan tatapan menantangnya. Sementara laki-laki itu tampak kebingungan."Gimana? Ayo, lakukan! Buktikan kalau memang kamu benar-benar cinta sama aku. Aku enggak suka omong kosong," ucapku. "Jatuhkan talak tiga kepadanya!""Enggak!" Rena berteriak histeris. "Jangan lakukan itu, Mas! Jangan!"Wanita itu gemetaran dengan wajah sepucat mayat. Kepalanya terus menggeleng dengan mimik ketakutan."Ma, kita bisa bicarakan ini baik-baik!" bujuk Ibram.Aku tersenyum sinis.
Lututku seketika melemas mendengar apa yang Fabian katakan. "Jambret itu Ibram?" gumamku.Suara teriakan, makian, hujatan, bahkan umpatan kotor seperti dengungan yang membuat pikiranku melayang-layang. Aku benar-benar tak menyangka, lelaki yang menjadi ayah dari ketiga anak yang kini berdiri di sisiku adalah jambret yang sedang dihajar massa.Apa Ibram tak berusaha memperbaiki hidupnya? Setidaknya berusaha untuk menjadi sosok Ayah yang bisa dibanggakan oleh anak-anaknya.Setelah keluar dari penjara, setidaknya bertaubat dan memperbaiki hidupnya. Bukan malah menjadi penjahat seperti ini.Kini satu per satu warga mulai mundur dari kerumunan. Entah siapa yang melerai mereka. Sosok tubuh Ibram yang sudah babak belur tampak dari kejauhan.Wajahnya sudah tak seperti wajah Ibram. Darah segar menghiasi wajahnya. Kaki dan tangannya tampak gemetar. Dadanya kembang kempis tak beraturan. Terdengar racauan tak jelas dari mulutnya.Beberapa pe
Cahaya tumbuh menjadi gadis yang ceria. Apalagi sejak masalah itu, aku memang memutuskan untuk kembali tinggal di rumah Papa. Jadi Cahaya tidak merasa kesepian karena sehari-hari ada nenek dan kakeknya.Rumahku dengan Ibram dulu, telah aku jual dan hasilnya aku sumbangkan ke panti asuhan tempat Fabian dan Sabrina dititipkan. Tiap bulan aku masih memberi mereka uang jajan. Bagaimanapun mereka hanyalah korban. Dan aku tidak tega jika anak-anak tak berdosa itu harus ikut menanggung dosa orang tuanya yang tidak mereka ketahui.Aku menikmati hari-hariku dengan menjalankan usaha yang Ibram tinggalkan. Kini mini marketku telah menjamur di berbagai daerah. Papa, orang yang dulu seperti tak percaya kepadaku, kini menjadi orang yang paling bangga atas pencapaianku. Aku bersyukur untuk itu. Kini aku bisa mengangkat dagu dengan percaya diri di depan Papa.Dua tahun setelah Rena ditahan, aku mendapat kabar kalau wanita itu mengalami gangguan mental. Aku
"Bagi seorang wanita, melihat orang yang dicintai mencintai wanita lain, sama saja membangunkan serigala dalam dirinya," ucap Tania dengan wajah datar. Sorot matanya tajam dan terlihat tidak ada keraguan sama sekali dalam ucapannya.Aku menggeleng tak percaya mendengar itu. Tania benar-benar tidak seperti Tania yang aku kenal selama ini.Aku memang menangkap sinyal-sinyal cinta dari Wildan, tetapi sampai saat ini aku masih berpikir untuk menjodohkan pengacara itu dengan Tania. Karena aku memang belum tertarik untuk memulai hubungan baru. Perceraianku dengan Ibram saja masih belum beres, bagaimana mungkin aku bisa memulai hubungan baru."Kamu bisa bayangin gimana rasanya jadi aku, Vi?" tanya Tania sembari tersenyum miris. "Bertahun-tahun aku memendam rasa ini. Lalu kamu pura-pura buta, dan di depan mataku seolah kamu ingin menunjukkan bahwa kamulah pemenangnya. Kamulah yang bisa mencairkan hati bekunya!" Terlihat ada luka dari kilat mata Tania. Ha
"Kita tunggu saja penyidikan polisi," ujar Wildan."Benar," sahut Papa. "Kita fokus ke sidang saja."Setelah sarapan dan membicarakan teknik-teknik untuk menghadapi persidangan nanti, pukul sembilan kami berangkat ke pengadilan negeri bersama. Wildan juga sudah mengonfirmasi orang KUA dan juga Rian. Mereka sudah bersiap juga.Pukul sepuluh, persidangan dimulai. Hakim memulai dengan membacakan agenda sidang hari ini dan menanyakan kehadiran pihak-pihak terkait. Ibram hadir dengan pengacaranya. Lelaki itu tampak mengibarkan bendera perang kepadaku.Kesaksian Papa, bisa dibantah oleh pihak Ibram, karena tidak didukung bukti. Namun, kesaksian orang KUA dan Rian, ditambah percakapan Ibram dengan Rena di ponsel Ibram, menjadi bukti tak terbantahkan. Sehingga pihak Ibram tidak bisa mengelak lagi. Sidang dilanjutkan dua minggu yang akan datang.Saat kami berjalan menuju tempat
"Ada apa, Vi?" tanya Papa.Sementara Wildan tak jadi memasuki mobilnya. Lelaki itu kembali ke teras rumah, kemudian memungut ponselku yang jatuh di lantai."Ada apa?" tanya Wildan sembari menyerahkan ponsel itu padaku.Aku masih mematung dengan tatapan kosong. Aku benar-benar shock. Di saat besok persidangan dengan agenda penting, hal besar terjadi kepada kami. Seolah, ini dirancang untuk membuyarkan konsentrasi kami ke persidangan."Ada apa?" tanya Papa lagi. Kali ini lelaki itu mengguncang sebelah bahuku.Aku pun menoleh padanya. "Mini market kita kebakaran, Pa.""Apa?" Mendengar itu, kedua bola mata Papa seperti hendak keluar dari kelopaknya.Mama pun tak kalah shock. Wajah wanita berusia senja itu terlihat sangat tegang."Gimana ini, Pa?" tanya Mama."Tenang, Tante!" Kali ini Wildan yang bicara. "Aku akan pastikan pelakunya tertangkap. Aku akan segera ke
"Aya di depan sama Nyonya, Bu," ucap Mbak Susi yang sedang membereskan kamar Cahaya. Padahal aku belum sempat bertanya kepadanya. Aku terlalu takut melihat Cahaya tidak ada di tempat yang seharusnya.Segera aku ke depan. Ternyata mereka masih bercengkrama dengan Rian. Lelaki itu bahkan melawak di depan Cahaya. Hal yang dulu sangat aku suka dari Rian. Dia lelaki yang pintar sekali mencairkan suasana. Dulu, aku tak bisa berlama-lama marah dengannya."Tuh, Vionanya datang," ucap Mama.Rian menatapku lekat. Kemudian berkata, "Maaf, ya, aku telat."Aku tersenyum simpul sembari duduk di sofa dekat Mama. Kemudian menjawab, "Enggak apa-apa. Aya sama papanya, kok.""Ya, udah. Silahkan kalian ngobrol dulu!" ucap Mama sembari beranjak dari duduknya. Kemudian wanita berdaster kelelawar itu masuk ke dalam bersama Cahaya."Tadi kamu sama pengacara itu?" tanya Rian."Ya," jawa
"Kamu benar-benar harus hati-hati, Vi!" pesan Wildan. "Kita enggak tau pasti, Rena dan Ibram itu seperti apa. Jangan sekali-kali sepelekan mereka!" Wildan menatapku serius. Lelaki itu tampak begitu peduli kepadaku.Aku menghela napas berat. Rasanya kepalaku pusing menghadapi permasalahan ini. Ini benar-benar seperti mimpi. Beberapa waktu lalu semua baik-baik saja. Ibram sosok suami dan lelaki terbaik yang pernah aku miliki, tetapi ternyata itu hanya topeng. Dan setelah semua terbuka, ternyata laki-laki itu semengerikan itu."Bantu aku, Wil. Aku benar-benar ...." Aku menggantung kalimatku. Memijit pelipis yang berdenyut karena memikirkan ini. Aku bahkan sampai tidak tahu harus berkata apa."Pasti." Wildan menoleh beberapa saat kepadaku sembari tersenyum. Lalu kembali fokus pada jalanan. "Kamu pasti bisa melalui ini. Aku yakin, kamu wanita tangguh!"Aku tersenyum merespon support dari Wildan. Aku bersyukur Tuhan mempertemukan aku
Wildan memacu mobil dengan kecepatan cukup tinggi. Sehingga tak sampai setengah jam, kami sudah tiba di area parkir mall.Segera aku menelepon Papa menanyakan keberadaannya. Kemudian aku dan Wildan bergegas menemuinya.Lelaki yang telah memasuki usia senja itu dari kejauhan tampak duduk dengan gelisah. Berkali-kali ia tampak mengedarkan pandangan. "Pa!" panggilku saat jarak kami sudah cukup dekat.Lelaki yang selama ini mendidikku dengan keras itu menoleh."Gimana?" tanyanya. "Kita langsung ke kantor polisi sekarang?"Aku menghela napas. Teringat kembali kondisi Fabian. Kalau Ibram dipenjara, bagaimana dengan mereka. Mereka tak punya siapa-siapa selain Ibram.Namun, lelaki itu sudah sangat jahat padaku."Gimana ya, Pa, baiknya?" Aku meminta pendapat Papa. "Kenapa?" tanya Papa."Anak Ibram, kan, sakit."Pa
Mendengar kabar Cahaya menghilang aku langsung menghubungi Wildan. Entah kenapa, yang terpikir di kepalaku pengacara itu. Aku yakin ini ulah Ibram. Siapa lagi yang mencari masalah denganku kalau bukan laki-laki itu."Wil, Aya menghilang," ucapku setelah terdengar sapaan dari Wildan di ujung ponsel."Gimana bisa, Vi?" Suara Wildan terdengar terkejut."Enggak tahu, barusan Papa telepon." Aku berusaha menjelaskan dengan tenang meski sebenarnya aku sangat panik. Aku takut Ibram nekat melakukan hal yang tidak-tidak."Kamu dimana sekarang?" tanya Wildan. Sepertinya laki-laki itu mau langsung menemuiku."Aku ...." Aku menoleh ke arah Rena. Aku bahkan sampai lupa kini ada di mana dan sedang bersama siapa saking paniknya. "Aku di rumah sakit permata, Wil. Kamu ke sini?""Oke. Tunggu jangan kemana-mana!" Tanpa berkata-kata lagi, Wildan mematikan sambungan teleponnya."Aya menghilang, Mbak?" tanya Rena setelah aku menurunkan ponsel dari telinga. Raut wajahnya terlihat cemas. Sepertinya pikiran