Ibram dan Rena bersamaan langsung menatapku tak percaya. Mereka pasti tidak menyangka aku akan meminta Ibram melakukan ini.
Rena terus menggeleng sembari berkata, "Enggak! Enggak! Jangan, Mas! Jangan ceraikan aku!"Dalam hati aku tertawa puas melihat ketakutan mereka. Ini belum apa-apa dibanding hukuman yang nanti akan kalian terima. Sudah berani menipuku tanpa berpikir panjang. Kalian sama saja telah memasukan diri ke kandang harimau.Aku menatap Ibram dengan tatapan menantangnya. Sementara laki-laki itu tampak kebingungan."Gimana? Ayo, lakukan! Buktikan kalau memang kamu benar-benar cinta sama aku. Aku enggak suka omong kosong," ucapku. "Jatuhkan talak tiga kepadanya!""Enggak!" Rena berteriak histeris. "Jangan lakukan itu, Mas! Jangan!"Wanita itu gemetaran dengan wajah sepucat mayat. Kepalanya terus menggeleng dengan mimik ketakutan."Ma, kita bisa bicarakan ini baik-baik!" bujuk Ibram.Aku tersenyum sinis.Papa termenung di ruang tamu. Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk tangan sofa. Wajahnya masih merah padam. Kuletakkan secangkir teh melati di meja, persis di depan Papa."Tehnya, Pa!" tawarku kemudian duduk di sofa yang berada di samping Papa."Kapan kamu laporkan dia?" tanya Papa."Tadi pagi, Pa. Karena buktinya sudah cukup maka polisi langsung bertindak.""Papa minta maaf!" Lelaki yang biasanya sangat tegas dan tak mau dibantah itu menunduk. Sepertinya Papi sangat menyesal kemarin sempat membela Ibram."Iya, Pa. Enggak masalah. Viona sudah cukup dewasa untuk mengatasi masalah Viona sendiri.""Maaf karena kemarin tidak mendengarkan penjelasanmu!" Wajah tua Papa tampak bersalah. Mata yang kelopaknya sudah keriput itu memerah."Viona juga sebenarnya takut untuk cerita sama Papa. Viona takut kesehatan Papa terganggu." Kirain jemari Papa dan menggenggamnya dengan erat. Papa pun balas menggenggam jemariku."Papa cukup
Kami berjalan bersama menyusuri koridor rumah sakit."Sekalian makan malam, yuk!" ajak Tania."Boleh. Dimana?" sahutku."Horison aja, gimana?" usul Tania lagi."Oke. Kamu, gimana, Wil?" tanyaku."Kalian berdua aja, aku harus ke kantor polisi sama siapin semuanya buat kamu," jawab Wildan."Oke, makasih, ya," ucapku.Lelaki berbibir tipis itu tersenyum manis. Kenapa Tania tak menikah dengan Wildan saja? Mereka sama-sama singgel dan sudah cukup dekat? Nanti harus aku bahas saat berdua dengan Tania.Kami terus mengobrol panjang lebar sembari berjalan. Saat melewati koridor bagian informasi, langkahku terhenti. Aku melihat wajah yang sudah tidak asing. "Rian?" lirihku.Lelaki itu pun sama. Langkahnya terhenti. Rasanya bumi seperti berhenti berputar saat aku melihat kembali wajah orang yang dulu sangat aku cintai. Susah payah aku yakinkan Papa agar setuju aku bersamanya, tetapi dia malah m
Tak terasa kami sudah berdiri di halaman parkir rumah sakit. Wildan masih saja berdiri di samping mobil Tania yang dipakai bersamaku."Oh, ya, kalian mau makan malam dimana tadi?" tanya Wildan.Aku mengernyit. Bukannya tadi laki-laki itu tak tertarik untuk makan malam bersama kami?"Horison," jawab Tania. "Kenapa? Berubah pikiran? Mau ikut?""Iya, boleh, kan? Aku udah lapar juga. Daripada nanti makan sendirian. Mending makan dulu baru ke kantor polisi," jelasnya."Hm, bilang aja masih betah sama kita. Iya, enggak, Tan?" candaku."Ember!" sahut Tania."Pasti, lah. Siapa yang enggak betah bareng gadis-gadis cantik gini," balasnya."Bukan gadis lagi. Tapi jandis!" sahut Tania."Apaan tuh?" tanyaku."Janda rupa gadis," jawab Tania sambil terbahak."Bisa aja kamu, Tan. Tapi bener, kok. Biar janda enggak kalah sama yang masih gadis," can
Aku melangkah ke kamar dengan kepala sedikit ringan. Aku memang tak ingin Ibram menjadi seorang penjahat di mata Cahaya. Karena itu pasti akan membuatnya rendah diri memiliki Papa seorang penjahat. Penjelasan Mbak Susi tepat untuk Cahaya. Nanti ketika anak itu dewasa, ia bisa mengerti kejadian yang sebenarnya. Saat itu dia bisa menentukan, mana yang benar dan mana yang salah.Setelah membersihkan diri, aku merebahkan badan. Kubuka ponsel yang sejak tadi berada di tas. Kulihat banyak sekali pesan dari Rena. Intinya seperti yang ia bilang tadi. Ia mau diceraikan asal Ibram tak dipenjara. Dia pikir aku sebaik hati itu?Kemudian pesan dari Rian. Lelaki itu mengirim beberapa foto kebersamaan Ibram dengan Rena. Bahkan sejak beberapa bulan lalu sebelum aku mengetahuinya.Segera saja kukirim pesan padanya. [Kenapa kamu baru bilang padaku sekarang?][Besok kita sarapan di caffe Sehati, ya!] balasnya.
"Gimana, Vi?" tanya Rian saat aku terdiam cukup lama."Ngaco, kamu, Yan! Aku istri orang," sanggahku."Tapi sebentar lagi bukan," elaknya."Kamu mau jadi saksi buat dipersidangan nanti?" tanyaku mengalihkan pembicaraan."Pasti, Vi. Apa, sih, yang enggak buat kamu," godanya sembari tersenyum manis. Kenapa dengan bertambahnya usia senyum itu tak juga berubah? Bibir tipisnya melengkung seperti bulan sabit. Lalu diikuti lesung pipi yang menawan. Dulu, aku sangat menyukainya. Namun, sekarang aku merasa biasa saja."Kenapa kemarin kamu pura-pura enggak tahu kalau Wildan bukan Ibram?" tanyaku. Aku jadi teringat untuk mengajak Wildan saat bertemu dengan Rian. Saking semangatnya, aku sampai terlupa."Sengaja. Buat ngetes kamu."Aku menaikkan kedua alis. "Ngetes apa?""Kalau kondisimu sedang tidak baik, pasti kamu akan berbohong. Benar, kan? Kamu mengiyakan laki-laki
"Biarin aja, Pak. Enggak usah didengerin, enggak usah diladenin! Yang penting jangan biarkan dia masuk!" titahku."Baik, Bu."Pagi hari, aku mengantar Cahaya ke sekolahnya setelah mengganti seragam di rumah. Aku meminta tolong Pak Harno-supir Mama-untuk mengantar kami ke sekolah Cahaya. Aku takut, Ibram menemui kami.Tiba di sekolah Cahaya, aku segera berpesan pada sekuriti dan wali kelas Cahaya, agar tidak mengizinkan siapapun menjemput Cahaya, kecuali aku. Setelahnya, aku meminta Pak Harno mengantarku ke kantor Ibram.Meskipun semua masih atas nama Ibram, tetapi aku harus mengontrolnya. Jangan sampai gonjang-ganjing rumah tangga kami membuat usaha ini ikut hancur.Tiba di kantor, semua sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Alvin langsung memberikan laporan keuangan beberapa hari terakhir. Aku juga minta laporan keseluruhan. Aku ingin tahu, apakah ada simpanan lain yang Ibram rahasiakan dariku.
"Kamu benar-benar tidak mau mengizinkan aku ambil mobil?" serunya ketika aku hendak berbalik menuju mobil.Aku hanya menjawabnya dengan tersenyum simpul. Lalu berlalu menuju mobil setelah melihat Pak Hasim datang. Sekuriti tersebut aku minta memantau Ibram. Jangan sampai lelaki itu nekat mengambil uang di mini market.Hari terus berlalu, hampir setiap hari Ibram selalu datang ke rumah. Entah itu ke rumahku atau rumah Papa. Lelaki itu terus memohon untuk masuk ke rumah dan mengambil mobilnya.Rena pun pernah datang. Mereka seperti pengemis yang ingin mengambil hasil jarahannya. Mereka membujuk mulai dari cara memohon belas kasihan sampai dengan umpatan kasar.Dari itu aku tahu kalau Ibram selama ini sama sekali tak mencintaiku. Lelaki itu terlihat sangat mencintai Rena. Melihatnya aku jadi percaya bahwa cinta itu benar-benar buta. Syukurnya aku tak sebucin itu pada Ibram. Otakku masih waras untuk memilih mana yang pantas dan man
"Pasti Rian," tebakku sembari masih terpaku di depan cermin. Padahal aku tak memakai make up. Aku hanya duduk memandangi wajahku saja."Ma! Dipanggil Kakek!" seru Cahaya dari depan pintu kamarku.Aku pun segera keluar. Kemudian berjalan berdua dengan Cahaya ke meja makan. Tampak di meja makan sudah ada Mama, Papa, dan Rian.Lelaki itu tersenyum manis pada Cahaya. Kemudian mengajak Cahaya duduk di sampingnya."Sini, Ya, dekat Om!" pintanya.Cahaya menatapku meminta persetujuan. Aku mengangguk, kemudian anak itu berlari kecil mendekat ke Rian dan duduk di sampingnya."Nih, Om bawa coklat buat Aya," ucap Rian sembari menyerahkan dua bungkus coklat pada Cahaya."Makasih, Om!" ucap Cahaya."Buatku mana?" candaku."Kamu mau?" tanya Rian serius."Iya, dong. Emang Aya doang yang suka coklat!" Aku pura-pura merajuk."Ya, yang satu kasihkan
Lututku seketika melemas mendengar apa yang Fabian katakan. "Jambret itu Ibram?" gumamku.Suara teriakan, makian, hujatan, bahkan umpatan kotor seperti dengungan yang membuat pikiranku melayang-layang. Aku benar-benar tak menyangka, lelaki yang menjadi ayah dari ketiga anak yang kini berdiri di sisiku adalah jambret yang sedang dihajar massa.Apa Ibram tak berusaha memperbaiki hidupnya? Setidaknya berusaha untuk menjadi sosok Ayah yang bisa dibanggakan oleh anak-anaknya.Setelah keluar dari penjara, setidaknya bertaubat dan memperbaiki hidupnya. Bukan malah menjadi penjahat seperti ini.Kini satu per satu warga mulai mundur dari kerumunan. Entah siapa yang melerai mereka. Sosok tubuh Ibram yang sudah babak belur tampak dari kejauhan.Wajahnya sudah tak seperti wajah Ibram. Darah segar menghiasi wajahnya. Kaki dan tangannya tampak gemetar. Dadanya kembang kempis tak beraturan. Terdengar racauan tak jelas dari mulutnya.Beberapa pe
Cahaya tumbuh menjadi gadis yang ceria. Apalagi sejak masalah itu, aku memang memutuskan untuk kembali tinggal di rumah Papa. Jadi Cahaya tidak merasa kesepian karena sehari-hari ada nenek dan kakeknya.Rumahku dengan Ibram dulu, telah aku jual dan hasilnya aku sumbangkan ke panti asuhan tempat Fabian dan Sabrina dititipkan. Tiap bulan aku masih memberi mereka uang jajan. Bagaimanapun mereka hanyalah korban. Dan aku tidak tega jika anak-anak tak berdosa itu harus ikut menanggung dosa orang tuanya yang tidak mereka ketahui.Aku menikmati hari-hariku dengan menjalankan usaha yang Ibram tinggalkan. Kini mini marketku telah menjamur di berbagai daerah. Papa, orang yang dulu seperti tak percaya kepadaku, kini menjadi orang yang paling bangga atas pencapaianku. Aku bersyukur untuk itu. Kini aku bisa mengangkat dagu dengan percaya diri di depan Papa.Dua tahun setelah Rena ditahan, aku mendapat kabar kalau wanita itu mengalami gangguan mental. Aku
"Bagi seorang wanita, melihat orang yang dicintai mencintai wanita lain, sama saja membangunkan serigala dalam dirinya," ucap Tania dengan wajah datar. Sorot matanya tajam dan terlihat tidak ada keraguan sama sekali dalam ucapannya.Aku menggeleng tak percaya mendengar itu. Tania benar-benar tidak seperti Tania yang aku kenal selama ini.Aku memang menangkap sinyal-sinyal cinta dari Wildan, tetapi sampai saat ini aku masih berpikir untuk menjodohkan pengacara itu dengan Tania. Karena aku memang belum tertarik untuk memulai hubungan baru. Perceraianku dengan Ibram saja masih belum beres, bagaimana mungkin aku bisa memulai hubungan baru."Kamu bisa bayangin gimana rasanya jadi aku, Vi?" tanya Tania sembari tersenyum miris. "Bertahun-tahun aku memendam rasa ini. Lalu kamu pura-pura buta, dan di depan mataku seolah kamu ingin menunjukkan bahwa kamulah pemenangnya. Kamulah yang bisa mencairkan hati bekunya!" Terlihat ada luka dari kilat mata Tania. Ha
"Kita tunggu saja penyidikan polisi," ujar Wildan."Benar," sahut Papa. "Kita fokus ke sidang saja."Setelah sarapan dan membicarakan teknik-teknik untuk menghadapi persidangan nanti, pukul sembilan kami berangkat ke pengadilan negeri bersama. Wildan juga sudah mengonfirmasi orang KUA dan juga Rian. Mereka sudah bersiap juga.Pukul sepuluh, persidangan dimulai. Hakim memulai dengan membacakan agenda sidang hari ini dan menanyakan kehadiran pihak-pihak terkait. Ibram hadir dengan pengacaranya. Lelaki itu tampak mengibarkan bendera perang kepadaku.Kesaksian Papa, bisa dibantah oleh pihak Ibram, karena tidak didukung bukti. Namun, kesaksian orang KUA dan Rian, ditambah percakapan Ibram dengan Rena di ponsel Ibram, menjadi bukti tak terbantahkan. Sehingga pihak Ibram tidak bisa mengelak lagi. Sidang dilanjutkan dua minggu yang akan datang.Saat kami berjalan menuju tempat
"Ada apa, Vi?" tanya Papa.Sementara Wildan tak jadi memasuki mobilnya. Lelaki itu kembali ke teras rumah, kemudian memungut ponselku yang jatuh di lantai."Ada apa?" tanya Wildan sembari menyerahkan ponsel itu padaku.Aku masih mematung dengan tatapan kosong. Aku benar-benar shock. Di saat besok persidangan dengan agenda penting, hal besar terjadi kepada kami. Seolah, ini dirancang untuk membuyarkan konsentrasi kami ke persidangan."Ada apa?" tanya Papa lagi. Kali ini lelaki itu mengguncang sebelah bahuku.Aku pun menoleh padanya. "Mini market kita kebakaran, Pa.""Apa?" Mendengar itu, kedua bola mata Papa seperti hendak keluar dari kelopaknya.Mama pun tak kalah shock. Wajah wanita berusia senja itu terlihat sangat tegang."Gimana ini, Pa?" tanya Mama."Tenang, Tante!" Kali ini Wildan yang bicara. "Aku akan pastikan pelakunya tertangkap. Aku akan segera ke
"Aya di depan sama Nyonya, Bu," ucap Mbak Susi yang sedang membereskan kamar Cahaya. Padahal aku belum sempat bertanya kepadanya. Aku terlalu takut melihat Cahaya tidak ada di tempat yang seharusnya.Segera aku ke depan. Ternyata mereka masih bercengkrama dengan Rian. Lelaki itu bahkan melawak di depan Cahaya. Hal yang dulu sangat aku suka dari Rian. Dia lelaki yang pintar sekali mencairkan suasana. Dulu, aku tak bisa berlama-lama marah dengannya."Tuh, Vionanya datang," ucap Mama.Rian menatapku lekat. Kemudian berkata, "Maaf, ya, aku telat."Aku tersenyum simpul sembari duduk di sofa dekat Mama. Kemudian menjawab, "Enggak apa-apa. Aya sama papanya, kok.""Ya, udah. Silahkan kalian ngobrol dulu!" ucap Mama sembari beranjak dari duduknya. Kemudian wanita berdaster kelelawar itu masuk ke dalam bersama Cahaya."Tadi kamu sama pengacara itu?" tanya Rian."Ya," jawa
"Kamu benar-benar harus hati-hati, Vi!" pesan Wildan. "Kita enggak tau pasti, Rena dan Ibram itu seperti apa. Jangan sekali-kali sepelekan mereka!" Wildan menatapku serius. Lelaki itu tampak begitu peduli kepadaku.Aku menghela napas berat. Rasanya kepalaku pusing menghadapi permasalahan ini. Ini benar-benar seperti mimpi. Beberapa waktu lalu semua baik-baik saja. Ibram sosok suami dan lelaki terbaik yang pernah aku miliki, tetapi ternyata itu hanya topeng. Dan setelah semua terbuka, ternyata laki-laki itu semengerikan itu."Bantu aku, Wil. Aku benar-benar ...." Aku menggantung kalimatku. Memijit pelipis yang berdenyut karena memikirkan ini. Aku bahkan sampai tidak tahu harus berkata apa."Pasti." Wildan menoleh beberapa saat kepadaku sembari tersenyum. Lalu kembali fokus pada jalanan. "Kamu pasti bisa melalui ini. Aku yakin, kamu wanita tangguh!"Aku tersenyum merespon support dari Wildan. Aku bersyukur Tuhan mempertemukan aku
Wildan memacu mobil dengan kecepatan cukup tinggi. Sehingga tak sampai setengah jam, kami sudah tiba di area parkir mall.Segera aku menelepon Papa menanyakan keberadaannya. Kemudian aku dan Wildan bergegas menemuinya.Lelaki yang telah memasuki usia senja itu dari kejauhan tampak duduk dengan gelisah. Berkali-kali ia tampak mengedarkan pandangan. "Pa!" panggilku saat jarak kami sudah cukup dekat.Lelaki yang selama ini mendidikku dengan keras itu menoleh."Gimana?" tanyanya. "Kita langsung ke kantor polisi sekarang?"Aku menghela napas. Teringat kembali kondisi Fabian. Kalau Ibram dipenjara, bagaimana dengan mereka. Mereka tak punya siapa-siapa selain Ibram.Namun, lelaki itu sudah sangat jahat padaku."Gimana ya, Pa, baiknya?" Aku meminta pendapat Papa. "Kenapa?" tanya Papa."Anak Ibram, kan, sakit."Pa
Mendengar kabar Cahaya menghilang aku langsung menghubungi Wildan. Entah kenapa, yang terpikir di kepalaku pengacara itu. Aku yakin ini ulah Ibram. Siapa lagi yang mencari masalah denganku kalau bukan laki-laki itu."Wil, Aya menghilang," ucapku setelah terdengar sapaan dari Wildan di ujung ponsel."Gimana bisa, Vi?" Suara Wildan terdengar terkejut."Enggak tahu, barusan Papa telepon." Aku berusaha menjelaskan dengan tenang meski sebenarnya aku sangat panik. Aku takut Ibram nekat melakukan hal yang tidak-tidak."Kamu dimana sekarang?" tanya Wildan. Sepertinya laki-laki itu mau langsung menemuiku."Aku ...." Aku menoleh ke arah Rena. Aku bahkan sampai lupa kini ada di mana dan sedang bersama siapa saking paniknya. "Aku di rumah sakit permata, Wil. Kamu ke sini?""Oke. Tunggu jangan kemana-mana!" Tanpa berkata-kata lagi, Wildan mematikan sambungan teleponnya."Aya menghilang, Mbak?" tanya Rena setelah aku menurunkan ponsel dari telinga. Raut wajahnya terlihat cemas. Sepertinya pikiran