Share

Tak Mau Berurusan

Author: Srirama Adafi
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Gimana, Vi?" tanya Rian saat aku terdiam cukup lama.

"Ngaco, kamu, Yan! Aku istri orang," sanggahku.

"Tapi sebentar lagi bukan," elaknya.

"Kamu mau jadi saksi buat dipersidangan nanti?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Pasti, Vi. Apa, sih, yang enggak buat kamu," godanya sembari tersenyum manis.

Kenapa dengan bertambahnya usia senyum itu tak juga berubah? Bibir tipisnya melengkung seperti bulan sabit. Lalu diikuti lesung pipi yang menawan. Dulu, aku sangat menyukainya. Namun, sekarang aku merasa biasa saja.

"Kenapa kemarin kamu pura-pura enggak tahu kalau Wildan bukan Ibram?" tanyaku. Aku jadi teringat untuk mengajak Wildan saat bertemu dengan Rian. Saking semangatnya, aku sampai terlupa.

"Sengaja. Buat ngetes kamu."

Aku menaikkan kedua alis. "Ngetes apa?"

"Kalau kondisimu sedang tidak baik, pasti kamu akan berbohong. Benar, kan? Kamu mengiyakan laki-laki
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku   Menantang

    "Biarin aja, Pak. Enggak usah didengerin, enggak usah diladenin! Yang penting jangan biarkan dia masuk!" titahku."Baik, Bu."Pagi hari, aku mengantar Cahaya ke sekolahnya setelah mengganti seragam di rumah. Aku meminta tolong Pak Harno-supir Mama-untuk mengantar kami ke sekolah Cahaya. Aku takut, Ibram menemui kami.Tiba di sekolah Cahaya, aku segera berpesan pada sekuriti dan wali kelas Cahaya, agar tidak mengizinkan siapapun menjemput Cahaya, kecuali aku. Setelahnya, aku meminta Pak Harno mengantarku ke kantor Ibram.Meskipun semua masih atas nama Ibram, tetapi aku harus mengontrolnya. Jangan sampai gonjang-ganjing rumah tangga kami membuat usaha ini ikut hancur.Tiba di kantor, semua sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Alvin langsung memberikan laporan keuangan beberapa hari terakhir. Aku juga minta laporan keseluruhan. Aku ingin tahu, apakah ada simpanan lain yang Ibram rahasiakan dariku.

  • Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku   Tamu

    "Kamu benar-benar tidak mau mengizinkan aku ambil mobil?" serunya ketika aku hendak berbalik menuju mobil.Aku hanya menjawabnya dengan tersenyum simpul. Lalu berlalu menuju mobil setelah melihat Pak Hasim datang. Sekuriti tersebut aku minta memantau Ibram. Jangan sampai lelaki itu nekat mengambil uang di mini market.Hari terus berlalu, hampir setiap hari Ibram selalu datang ke rumah. Entah itu ke rumahku atau rumah Papa. Lelaki itu terus memohon untuk masuk ke rumah dan mengambil mobilnya.Rena pun pernah datang. Mereka seperti pengemis yang ingin mengambil hasil jarahannya. Mereka membujuk mulai dari cara memohon belas kasihan sampai dengan umpatan kasar.Dari itu aku tahu kalau Ibram selama ini sama sekali tak mencintaiku. Lelaki itu terlihat sangat mencintai Rena. Melihatnya aku jadi percaya bahwa cinta itu benar-benar buta. Syukurnya aku tak sebucin itu pada Ibram. Otakku masih waras untuk memilih mana yang pantas dan man

  • Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku   Bertemu

    "Pasti Rian," tebakku sembari masih terpaku di depan cermin. Padahal aku tak memakai make up. Aku hanya duduk memandangi wajahku saja."Ma! Dipanggil Kakek!" seru Cahaya dari depan pintu kamarku.Aku pun segera keluar. Kemudian berjalan berdua dengan Cahaya ke meja makan. Tampak di meja makan sudah ada Mama, Papa, dan Rian.Lelaki itu tersenyum manis pada Cahaya. Kemudian mengajak Cahaya duduk di sampingnya."Sini, Ya, dekat Om!" pintanya.Cahaya menatapku meminta persetujuan. Aku mengangguk, kemudian anak itu berlari kecil mendekat ke Rian dan duduk di sampingnya."Nih, Om bawa coklat buat Aya," ucap Rian sembari menyerahkan dua bungkus coklat pada Cahaya."Makasih, Om!" ucap Cahaya."Buatku mana?" candaku."Kamu mau?" tanya Rian serius."Iya, dong. Emang Aya doang yang suka coklat!" Aku pura-pura merajuk."Ya, yang satu kasihkan

  • Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku   Rumah Rena

    Ibram menatapku menghiba. Seolah berharap aku akan mengizinkannya menginjakkan kaki kembali di rumah kami. Aku memilih kembali membuang muka. "Nanti kalau masalah Papa sudah selesai, insya Allah Papa akan pulang, ya. Aya sabar dan doain Papa biar Papa bisa segera pulang, ya!" ucap Ibram."Benar, Pa? Papa enggak akan dipenjara, kan?" tanya Aya bersemangat.Ibram mengangguk sembari tersenyum simpul. "Aya doain Papa, ya!""Iya, Pa. Aya setiap solat pasti berdoa biar Papa dimaafin terus polisi itu izinin Papa pulang. Aya kangen sama Papa."Cahaya kembali menangis dan memeluk Ibram. Tampak anak itu benar-benar merindukan papanya.Kamu harus kuat, Nak! Cobaan kamu memang sangat berat untuk usiamu yang masih sekecil ini. Mama saja tidak pernah mengalami apa yang kamu alami saat ini."Aya sayang sama Papa. Aya kangen sama Papa.""Papa juga sayang sekali sama Aya. Aya sabar dulu, ya!"Bel sekolah berbunyi. Caha

  • Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku   Foto Keluarga

    [Gimana?] Pesan masuk dari Tania.[Hahahahahaha. Keren, Tan!] balasku. [Itu belum apa-apa. Sebentar lagi mereka harus angkat kaki dari rumah itu. Jadi gembel lagi. Hahahahaha.] Kembali kukirim pesan pada Tania.[Hahahahaha. Ember!] balas Tania.[Kamu enggak lihat mereka langsung, Vi. Livenya lebih seru!] Pesan dari Tania lagi.[Sekarang gimana? Masih? Aku mau ke situ kalau mereka masih di situ.] balasku.[Udah bubar, Vi. Tinggal Rena yang sedang meraung-raung di teras.][Lebay banget, deh! Baru aja rumahnya digituin udah kayak gitu.] balasku.[Ember! Bisa mati berdiri dia kalau besok rumahnya dilelang. Hahahahahaha.] balas Tania.[Emang ya, rezeki itu kalau bukan jatahnya, mau jungkir balik kayak gimana buat bisa mendapatkannya, akhirnya bakal hilang juga. Apalagi kalau dapatnya dengan cara jahat. Amblas dah!] Kukirim pesan itu pada Tania.[Ember! Dasar miskin, ya, miskin aja! Mau kaya harusny

  • Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku   Menerobos Rumah

    "Mereka almarhum anak dan istriku," jelas Wildan tanpa kutanya.Aku menaikkan kedua alis mendengar penjelasannya."Sepulang dari Korea, mobil kami kecelakaan. Mereka berdua beserta supirku meninggal di tempat. Hanya aku yang selamat," lanjutnya."Maaf," ucapku merasa tak enak. Seperti mengorek luka Wildan."Enggak apa-apa. Kejadian itu sudah cukup lama," sahutnya sembari tersenyum."Pasti enggak mudah," tebakku.Wildan mengangguk sembari mengangsurkan cup kopi padaku. Kemudian kami kembali duduk di sofa."Sangat. Baru akhir-akhir ini aku bisa merasa ringan saat bangun pagi setelah peristiwa itu."Aku menatapnya penuh tanya. "Kenapa?"Wildan tersenyum hangat. "Sepertinya aku jatuh cinta," jawabnya sembari menatapku dalam. "Syukurlah. Semoga berjodoh dan bahagia," ucapku sembari tersenyum tulus. Di kepalaku terbayang wajah Tania."Aamiin. Semoga." Wildan menatapku."Eh, kita ma

  • Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku   Terlalu Agresif

    Kedua lelaki itu saling menatap tajam. Di antara keduanya seperti berkibar bendera perang. Ibram melangkah angkuh mendekati Wildan. Sementara Wildan tampak tidak gentar sedikit pun."Kamu tahu bagaimana aku selama ini sudah bekerja keras?" tanya Ibram tanpa sedikit pun mengalihkan tatapan tajamnya dari Wildan. "Siang malam aku bekerja agar bisa punya kehidupan yang layak. Lalu, setelah aku berhasil, semudah itu dia merampas semuanya?""Caramu yang salah, Bung," sahut Wildan tenang. "Seandainya kamu merintis usahamu sendiri tanpa menipu orang lain, kerja kerasmu tidak akan sia-sia.""Kamu enggak tahu apa-apa. Enggak usah banyak komentar!" Kini tatapan Ibram beralih kepadaku. "Kalau kamu enggak ngasih aku lima juta, aku pastikan kamu bakal menyesal!" ancamnya kemudian meninggalkan rumah ini."Hubungi guru Aya, Vi!" titah Wildan setelah Ibram keluar dari rumah ini."Iya." Dengan gugup aku mengambil ponsel di tas. Aku khawatir Ibram nekat mengambil Cahaya.Setelah menghubungi wali kelas d

  • Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku   Bukan Drama

    Seperginya Wildan, Mama pamit masuk ke dalam. Sehingga di ruang tamu hanya tinggal aku dan Rian."Dia pengacara atau apa, sih?" ketus Rian."Kenapa?" Aku tak kalah ketus."Bisa dibaca, modus sama kamu," ucapnya."Masalah buat kamu? Akunya aja biasa aja.""Gitu, ya, kamu sekarang?" tanyanya tak suka."Kenapa?" ketusku."Gara-gara pengacara modus itu pesan dan teleponku sampai kamu cuekin?""Tadi pagi aku sibuk ngurus Aya. Lagian kamu kayak anak ABG aja. Geli tahu!" ketusku."Biasanya kamu senang, kan, diperhatiin gitu?""Itu dulu, Yan. Sekarang aku udah tua. Udah punya anak. Masa sifatku masih mau kayak anak-anak?""Bilang aja karena pengacara itu. Udah, ah! Aku balik.""Idih, sewot!""Assalamualaikum!" serunya tanpa mempedulikan aku lagi.

Latest chapter

  • Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku   Ending

    Lututku seketika melemas mendengar apa yang Fabian katakan. "Jambret itu Ibram?" gumamku.Suara teriakan, makian, hujatan, bahkan umpatan kotor seperti dengungan yang membuat pikiranku melayang-layang. Aku benar-benar tak menyangka, lelaki yang menjadi ayah dari ketiga anak yang kini berdiri di sisiku adalah jambret yang sedang dihajar massa.Apa Ibram tak berusaha memperbaiki hidupnya? Setidaknya berusaha untuk menjadi sosok Ayah yang bisa dibanggakan oleh anak-anaknya.Setelah keluar dari penjara, setidaknya bertaubat dan memperbaiki hidupnya. Bukan malah menjadi penjahat seperti ini.Kini satu per satu warga mulai mundur dari kerumunan. Entah siapa yang melerai mereka. Sosok tubuh Ibram yang sudah babak belur tampak dari kejauhan.Wajahnya sudah tak seperti wajah Ibram. Darah segar menghiasi wajahnya. Kaki dan tangannya tampak gemetar. Dadanya kembang kempis tak beraturan. Terdengar racauan tak jelas dari mulutnya.Beberapa pe

  • Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku   Jambret

    Cahaya tumbuh menjadi gadis yang ceria. Apalagi sejak masalah itu, aku memang memutuskan untuk kembali tinggal di rumah Papa. Jadi Cahaya tidak merasa kesepian karena sehari-hari ada nenek dan kakeknya.Rumahku dengan Ibram dulu, telah aku jual dan hasilnya aku sumbangkan ke panti asuhan tempat Fabian dan Sabrina dititipkan. Tiap bulan aku masih memberi mereka uang jajan. Bagaimanapun mereka hanyalah korban. Dan aku tidak tega jika anak-anak tak berdosa itu harus ikut menanggung dosa orang tuanya yang tidak mereka ketahui.Aku menikmati hari-hariku dengan menjalankan usaha yang Ibram tinggalkan. Kini mini marketku telah menjamur di berbagai daerah. Papa, orang yang dulu seperti tak percaya kepadaku, kini menjadi orang yang paling bangga atas pencapaianku. Aku bersyukur untuk itu. Kini aku bisa mengangkat dagu dengan percaya diri di depan Papa.Dua tahun setelah Rena ditahan, aku mendapat kabar kalau wanita itu mengalami gangguan mental. Aku

  • Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku   Hasil Persidangan

    "Bagi seorang wanita, melihat orang yang dicintai mencintai wanita lain, sama saja membangunkan serigala dalam dirinya," ucap Tania dengan wajah datar. Sorot matanya tajam dan terlihat tidak ada keraguan sama sekali dalam ucapannya.Aku menggeleng tak percaya mendengar itu. Tania benar-benar tidak seperti Tania yang aku kenal selama ini.Aku memang menangkap sinyal-sinyal cinta dari Wildan, tetapi sampai saat ini aku masih berpikir untuk menjodohkan pengacara itu dengan Tania. Karena aku memang belum tertarik untuk memulai hubungan baru. Perceraianku dengan Ibram saja masih belum beres, bagaimana mungkin aku bisa memulai hubungan baru."Kamu bisa bayangin gimana rasanya jadi aku, Vi?" tanya Tania sembari tersenyum miris. "Bertahun-tahun aku memendam rasa ini. Lalu kamu pura-pura buta, dan di depan mataku seolah kamu ingin menunjukkan bahwa kamulah pemenangnya. Kamulah yang bisa mencairkan hati bekunya!" Terlihat ada luka dari kilat mata Tania. Ha

  • Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku   Tania

    "Kita tunggu saja penyidikan polisi," ujar Wildan."Benar," sahut Papa. "Kita fokus ke sidang saja."Setelah sarapan dan membicarakan teknik-teknik untuk menghadapi persidangan nanti, pukul sembilan kami berangkat ke pengadilan negeri bersama. Wildan juga sudah mengonfirmasi orang KUA dan juga Rian. Mereka sudah bersiap juga.Pukul sepuluh, persidangan dimulai. Hakim memulai dengan membacakan agenda sidang hari ini dan menanyakan kehadiran pihak-pihak terkait. Ibram hadir dengan pengacaranya. Lelaki itu tampak mengibarkan bendera perang kepadaku.Kesaksian Papa, bisa dibantah oleh pihak Ibram, karena tidak didukung bukti. Namun, kesaksian orang KUA dan Rian, ditambah percakapan Ibram dengan Rena di ponsel Ibram, menjadi bukti tak terbantahkan. Sehingga pihak Ibram tidak bisa mengelak lagi. Sidang dilanjutkan dua minggu yang akan datang.Saat kami berjalan menuju tempat

  • Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku   Perkiraan Pelaku

    "Ada apa, Vi?" tanya Papa.Sementara Wildan tak jadi memasuki mobilnya. Lelaki itu kembali ke teras rumah, kemudian memungut ponselku yang jatuh di lantai."Ada apa?" tanya Wildan sembari menyerahkan ponsel itu padaku.Aku masih mematung dengan tatapan kosong. Aku benar-benar shock. Di saat besok persidangan dengan agenda penting, hal besar terjadi kepada kami. Seolah, ini dirancang untuk membuyarkan konsentrasi kami ke persidangan."Ada apa?" tanya Papa lagi. Kali ini lelaki itu mengguncang sebelah bahuku.Aku pun menoleh padanya. "Mini market kita kebakaran, Pa.""Apa?" Mendengar itu, kedua bola mata Papa seperti hendak keluar dari kelopaknya.Mama pun tak kalah shock. Wajah wanita berusia senja itu terlihat sangat tegang."Gimana ini, Pa?" tanya Mama."Tenang, Tante!" Kali ini Wildan yang bicara. "Aku akan pastikan pelakunya tertangkap. Aku akan segera ke

  • Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku   Kebakaran

    "Aya di depan sama Nyonya, Bu," ucap Mbak Susi yang sedang membereskan kamar Cahaya. Padahal aku belum sempat bertanya kepadanya. Aku terlalu takut melihat Cahaya tidak ada di tempat yang seharusnya.Segera aku ke depan. Ternyata mereka masih bercengkrama dengan Rian. Lelaki itu bahkan melawak di depan Cahaya. Hal yang dulu sangat aku suka dari Rian. Dia lelaki yang pintar sekali mencairkan suasana. Dulu, aku tak bisa berlama-lama marah dengannya."Tuh, Vionanya datang," ucap Mama.Rian menatapku lekat. Kemudian berkata, "Maaf, ya, aku telat."Aku tersenyum simpul sembari duduk di sofa dekat Mama. Kemudian menjawab, "Enggak apa-apa. Aya sama papanya, kok.""Ya, udah. Silahkan kalian ngobrol dulu!" ucap Mama sembari beranjak dari duduknya. Kemudian wanita berdaster kelelawar itu masuk ke dalam bersama Cahaya."Tadi kamu sama pengacara itu?" tanya Rian."Ya," jawa

  • Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku   Berdebar

    "Kamu benar-benar harus hati-hati, Vi!" pesan Wildan. "Kita enggak tau pasti, Rena dan Ibram itu seperti apa. Jangan sekali-kali sepelekan mereka!" Wildan menatapku serius. Lelaki itu tampak begitu peduli kepadaku.Aku menghela napas berat. Rasanya kepalaku pusing menghadapi permasalahan ini. Ini benar-benar seperti mimpi. Beberapa waktu lalu semua baik-baik saja. Ibram sosok suami dan lelaki terbaik yang pernah aku miliki, tetapi ternyata itu hanya topeng. Dan setelah semua terbuka, ternyata laki-laki itu semengerikan itu."Bantu aku, Wil. Aku benar-benar ...." Aku menggantung kalimatku. Memijit pelipis yang berdenyut karena memikirkan ini. Aku bahkan sampai tidak tahu harus berkata apa."Pasti." Wildan menoleh beberapa saat kepadaku sembari tersenyum. Lalu kembali fokus pada jalanan. "Kamu pasti bisa melalui ini. Aku yakin, kamu wanita tangguh!"Aku tersenyum merespon support dari Wildan. Aku bersyukur Tuhan mempertemukan aku

  • Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku   Ancaman

    Wildan memacu mobil dengan kecepatan cukup tinggi. Sehingga tak sampai setengah jam, kami sudah tiba di area parkir mall.Segera aku menelepon Papa menanyakan keberadaannya. Kemudian aku dan Wildan bergegas menemuinya.Lelaki yang telah memasuki usia senja itu dari kejauhan tampak duduk dengan gelisah. Berkali-kali ia tampak mengedarkan pandangan. "Pa!" panggilku saat jarak kami sudah cukup dekat.Lelaki yang selama ini mendidikku dengan keras itu menoleh."Gimana?" tanyanya. "Kita langsung ke kantor polisi sekarang?"Aku menghela napas. Teringat kembali kondisi Fabian. Kalau Ibram dipenjara, bagaimana dengan mereka. Mereka tak punya siapa-siapa selain Ibram.Namun, lelaki itu sudah sangat jahat padaku."Gimana ya, Pa, baiknya?" Aku meminta pendapat Papa. "Kenapa?" tanya Papa."Anak Ibram, kan, sakit."Pa

  • Foto Bayi di Ruang Kerja Suamiku   Tebusan

    Mendengar kabar Cahaya menghilang aku langsung menghubungi Wildan. Entah kenapa, yang terpikir di kepalaku pengacara itu. Aku yakin ini ulah Ibram. Siapa lagi yang mencari masalah denganku kalau bukan laki-laki itu."Wil, Aya menghilang," ucapku setelah terdengar sapaan dari Wildan di ujung ponsel."Gimana bisa, Vi?" Suara Wildan terdengar terkejut."Enggak tahu, barusan Papa telepon." Aku berusaha menjelaskan dengan tenang meski sebenarnya aku sangat panik. Aku takut Ibram nekat melakukan hal yang tidak-tidak."Kamu dimana sekarang?" tanya Wildan. Sepertinya laki-laki itu mau langsung menemuiku."Aku ...." Aku menoleh ke arah Rena. Aku bahkan sampai lupa kini ada di mana dan sedang bersama siapa saking paniknya. "Aku di rumah sakit permata, Wil. Kamu ke sini?""Oke. Tunggu jangan kemana-mana!" Tanpa berkata-kata lagi, Wildan mematikan sambungan teleponnya."Aya menghilang, Mbak?" tanya Rena setelah aku menurunkan ponsel dari telinga. Raut wajahnya terlihat cemas. Sepertinya pikiran

DMCA.com Protection Status