"Mereka almarhum anak dan istriku," jelas Wildan tanpa kutanya.
Aku menaikkan kedua alis mendengar penjelasannya."Sepulang dari Korea, mobil kami kecelakaan. Mereka berdua beserta supirku meninggal di tempat. Hanya aku yang selamat," lanjutnya."Maaf," ucapku merasa tak enak. Seperti mengorek luka Wildan."Enggak apa-apa. Kejadian itu sudah cukup lama," sahutnya sembari tersenyum."Pasti enggak mudah," tebakku.Wildan mengangguk sembari mengangsurkan cup kopi padaku. Kemudian kami kembali duduk di sofa."Sangat. Baru akhir-akhir ini aku bisa merasa ringan saat bangun pagi setelah peristiwa itu."Aku menatapnya penuh tanya. "Kenapa?"Wildan tersenyum hangat. "Sepertinya aku jatuh cinta," jawabnya sembari menatapku dalam."Syukurlah. Semoga berjodoh dan bahagia," ucapku sembari tersenyum tulus. Di kepalaku terbayang wajah Tania."Aamiin. Semoga." Wildan menatapku."Eh, kita maKedua lelaki itu saling menatap tajam. Di antara keduanya seperti berkibar bendera perang. Ibram melangkah angkuh mendekati Wildan. Sementara Wildan tampak tidak gentar sedikit pun."Kamu tahu bagaimana aku selama ini sudah bekerja keras?" tanya Ibram tanpa sedikit pun mengalihkan tatapan tajamnya dari Wildan. "Siang malam aku bekerja agar bisa punya kehidupan yang layak. Lalu, setelah aku berhasil, semudah itu dia merampas semuanya?""Caramu yang salah, Bung," sahut Wildan tenang. "Seandainya kamu merintis usahamu sendiri tanpa menipu orang lain, kerja kerasmu tidak akan sia-sia.""Kamu enggak tahu apa-apa. Enggak usah banyak komentar!" Kini tatapan Ibram beralih kepadaku. "Kalau kamu enggak ngasih aku lima juta, aku pastikan kamu bakal menyesal!" ancamnya kemudian meninggalkan rumah ini."Hubungi guru Aya, Vi!" titah Wildan setelah Ibram keluar dari rumah ini."Iya." Dengan gugup aku mengambil ponsel di tas. Aku khawatir Ibram nekat mengambil Cahaya.Setelah menghubungi wali kelas d
Seperginya Wildan, Mama pamit masuk ke dalam. Sehingga di ruang tamu hanya tinggal aku dan Rian."Dia pengacara atau apa, sih?" ketus Rian."Kenapa?" Aku tak kalah ketus."Bisa dibaca, modus sama kamu," ucapnya."Masalah buat kamu? Akunya aja biasa aja.""Gitu, ya, kamu sekarang?" tanyanya tak suka."Kenapa?" ketusku."Gara-gara pengacara modus itu pesan dan teleponku sampai kamu cuekin?""Tadi pagi aku sibuk ngurus Aya. Lagian kamu kayak anak ABG aja. Geli tahu!" ketusku."Biasanya kamu senang, kan, diperhatiin gitu?""Itu dulu, Yan. Sekarang aku udah tua. Udah punya anak. Masa sifatku masih mau kayak anak-anak?""Bilang aja karena pengacara itu. Udah, ah! Aku balik.""Idih, sewot!""Assalamualaikum!" serunya tanpa mempedulikan aku lagi.
Ragu-ragu, Rena berdiri. Kemudian mendekati ranjang Fabian. Mengelus kepala putranya. Menatap wajah putranya dengan nelangsa."Dokter bilang, dia harus segera kembali dioperasi," ucap Rena dengan mata berkaca-kaca.Aku terfokus pada kata "kembali". Itu artinya anak itu pernah dioperasi?"Dia pernah dioperasi?" tanyaku akhirnya."Iya, Mbak." Rena menundukkan wajah. Kulihat, air matanya kembali mengalir deras. Berkali-kali ia seka, tetapi buliran itu tetap berjatuhan dari pelupuk matanya."Aku tahu, apapun alasannya, apa yang sudah aku dan Mas Ibram lakukan memang salah," ucapnya sambil terisak.Aku memilih diam. Mendengarkan apa yang ingin dia sampaikan."Awal mula Mas Ibram punya pikiran untuk menikah dengan Mbak Viona, karena kami butuh biaya untuk berobat Fabian," kisahnya.Dadaku berdenyut nyeri mendengar itu.
Mendengar kabar Cahaya menghilang aku langsung menghubungi Wildan. Entah kenapa, yang terpikir di kepalaku pengacara itu. Aku yakin ini ulah Ibram. Siapa lagi yang mencari masalah denganku kalau bukan laki-laki itu."Wil, Aya menghilang," ucapku setelah terdengar sapaan dari Wildan di ujung ponsel."Gimana bisa, Vi?" Suara Wildan terdengar terkejut."Enggak tahu, barusan Papa telepon." Aku berusaha menjelaskan dengan tenang meski sebenarnya aku sangat panik. Aku takut Ibram nekat melakukan hal yang tidak-tidak."Kamu dimana sekarang?" tanya Wildan. Sepertinya laki-laki itu mau langsung menemuiku."Aku ...." Aku menoleh ke arah Rena. Aku bahkan sampai lupa kini ada di mana dan sedang bersama siapa saking paniknya. "Aku di rumah sakit permata, Wil. Kamu ke sini?""Oke. Tunggu jangan kemana-mana!" Tanpa berkata-kata lagi, Wildan mematikan sambungan teleponnya."Aya menghilang, Mbak?" tanya Rena setelah aku menurunkan ponsel dari telinga. Raut wajahnya terlihat cemas. Sepertinya pikiran
Wildan memacu mobil dengan kecepatan cukup tinggi. Sehingga tak sampai setengah jam, kami sudah tiba di area parkir mall.Segera aku menelepon Papa menanyakan keberadaannya. Kemudian aku dan Wildan bergegas menemuinya.Lelaki yang telah memasuki usia senja itu dari kejauhan tampak duduk dengan gelisah. Berkali-kali ia tampak mengedarkan pandangan. "Pa!" panggilku saat jarak kami sudah cukup dekat.Lelaki yang selama ini mendidikku dengan keras itu menoleh."Gimana?" tanyanya. "Kita langsung ke kantor polisi sekarang?"Aku menghela napas. Teringat kembali kondisi Fabian. Kalau Ibram dipenjara, bagaimana dengan mereka. Mereka tak punya siapa-siapa selain Ibram.Namun, lelaki itu sudah sangat jahat padaku."Gimana ya, Pa, baiknya?" Aku meminta pendapat Papa. "Kenapa?" tanya Papa."Anak Ibram, kan, sakit."Pa
"Kamu benar-benar harus hati-hati, Vi!" pesan Wildan. "Kita enggak tau pasti, Rena dan Ibram itu seperti apa. Jangan sekali-kali sepelekan mereka!" Wildan menatapku serius. Lelaki itu tampak begitu peduli kepadaku.Aku menghela napas berat. Rasanya kepalaku pusing menghadapi permasalahan ini. Ini benar-benar seperti mimpi. Beberapa waktu lalu semua baik-baik saja. Ibram sosok suami dan lelaki terbaik yang pernah aku miliki, tetapi ternyata itu hanya topeng. Dan setelah semua terbuka, ternyata laki-laki itu semengerikan itu."Bantu aku, Wil. Aku benar-benar ...." Aku menggantung kalimatku. Memijit pelipis yang berdenyut karena memikirkan ini. Aku bahkan sampai tidak tahu harus berkata apa."Pasti." Wildan menoleh beberapa saat kepadaku sembari tersenyum. Lalu kembali fokus pada jalanan. "Kamu pasti bisa melalui ini. Aku yakin, kamu wanita tangguh!"Aku tersenyum merespon support dari Wildan. Aku bersyukur Tuhan mempertemukan aku
"Aya di depan sama Nyonya, Bu," ucap Mbak Susi yang sedang membereskan kamar Cahaya. Padahal aku belum sempat bertanya kepadanya. Aku terlalu takut melihat Cahaya tidak ada di tempat yang seharusnya.Segera aku ke depan. Ternyata mereka masih bercengkrama dengan Rian. Lelaki itu bahkan melawak di depan Cahaya. Hal yang dulu sangat aku suka dari Rian. Dia lelaki yang pintar sekali mencairkan suasana. Dulu, aku tak bisa berlama-lama marah dengannya."Tuh, Vionanya datang," ucap Mama.Rian menatapku lekat. Kemudian berkata, "Maaf, ya, aku telat."Aku tersenyum simpul sembari duduk di sofa dekat Mama. Kemudian menjawab, "Enggak apa-apa. Aya sama papanya, kok.""Ya, udah. Silahkan kalian ngobrol dulu!" ucap Mama sembari beranjak dari duduknya. Kemudian wanita berdaster kelelawar itu masuk ke dalam bersama Cahaya."Tadi kamu sama pengacara itu?" tanya Rian."Ya," jawa
"Ada apa, Vi?" tanya Papa.Sementara Wildan tak jadi memasuki mobilnya. Lelaki itu kembali ke teras rumah, kemudian memungut ponselku yang jatuh di lantai."Ada apa?" tanya Wildan sembari menyerahkan ponsel itu padaku.Aku masih mematung dengan tatapan kosong. Aku benar-benar shock. Di saat besok persidangan dengan agenda penting, hal besar terjadi kepada kami. Seolah, ini dirancang untuk membuyarkan konsentrasi kami ke persidangan."Ada apa?" tanya Papa lagi. Kali ini lelaki itu mengguncang sebelah bahuku.Aku pun menoleh padanya. "Mini market kita kebakaran, Pa.""Apa?" Mendengar itu, kedua bola mata Papa seperti hendak keluar dari kelopaknya.Mama pun tak kalah shock. Wajah wanita berusia senja itu terlihat sangat tegang."Gimana ini, Pa?" tanya Mama."Tenang, Tante!" Kali ini Wildan yang bicara. "Aku akan pastikan pelakunya tertangkap. Aku akan segera ke
Lututku seketika melemas mendengar apa yang Fabian katakan. "Jambret itu Ibram?" gumamku.Suara teriakan, makian, hujatan, bahkan umpatan kotor seperti dengungan yang membuat pikiranku melayang-layang. Aku benar-benar tak menyangka, lelaki yang menjadi ayah dari ketiga anak yang kini berdiri di sisiku adalah jambret yang sedang dihajar massa.Apa Ibram tak berusaha memperbaiki hidupnya? Setidaknya berusaha untuk menjadi sosok Ayah yang bisa dibanggakan oleh anak-anaknya.Setelah keluar dari penjara, setidaknya bertaubat dan memperbaiki hidupnya. Bukan malah menjadi penjahat seperti ini.Kini satu per satu warga mulai mundur dari kerumunan. Entah siapa yang melerai mereka. Sosok tubuh Ibram yang sudah babak belur tampak dari kejauhan.Wajahnya sudah tak seperti wajah Ibram. Darah segar menghiasi wajahnya. Kaki dan tangannya tampak gemetar. Dadanya kembang kempis tak beraturan. Terdengar racauan tak jelas dari mulutnya.Beberapa pe
Cahaya tumbuh menjadi gadis yang ceria. Apalagi sejak masalah itu, aku memang memutuskan untuk kembali tinggal di rumah Papa. Jadi Cahaya tidak merasa kesepian karena sehari-hari ada nenek dan kakeknya.Rumahku dengan Ibram dulu, telah aku jual dan hasilnya aku sumbangkan ke panti asuhan tempat Fabian dan Sabrina dititipkan. Tiap bulan aku masih memberi mereka uang jajan. Bagaimanapun mereka hanyalah korban. Dan aku tidak tega jika anak-anak tak berdosa itu harus ikut menanggung dosa orang tuanya yang tidak mereka ketahui.Aku menikmati hari-hariku dengan menjalankan usaha yang Ibram tinggalkan. Kini mini marketku telah menjamur di berbagai daerah. Papa, orang yang dulu seperti tak percaya kepadaku, kini menjadi orang yang paling bangga atas pencapaianku. Aku bersyukur untuk itu. Kini aku bisa mengangkat dagu dengan percaya diri di depan Papa.Dua tahun setelah Rena ditahan, aku mendapat kabar kalau wanita itu mengalami gangguan mental. Aku
"Bagi seorang wanita, melihat orang yang dicintai mencintai wanita lain, sama saja membangunkan serigala dalam dirinya," ucap Tania dengan wajah datar. Sorot matanya tajam dan terlihat tidak ada keraguan sama sekali dalam ucapannya.Aku menggeleng tak percaya mendengar itu. Tania benar-benar tidak seperti Tania yang aku kenal selama ini.Aku memang menangkap sinyal-sinyal cinta dari Wildan, tetapi sampai saat ini aku masih berpikir untuk menjodohkan pengacara itu dengan Tania. Karena aku memang belum tertarik untuk memulai hubungan baru. Perceraianku dengan Ibram saja masih belum beres, bagaimana mungkin aku bisa memulai hubungan baru."Kamu bisa bayangin gimana rasanya jadi aku, Vi?" tanya Tania sembari tersenyum miris. "Bertahun-tahun aku memendam rasa ini. Lalu kamu pura-pura buta, dan di depan mataku seolah kamu ingin menunjukkan bahwa kamulah pemenangnya. Kamulah yang bisa mencairkan hati bekunya!" Terlihat ada luka dari kilat mata Tania. Ha
"Kita tunggu saja penyidikan polisi," ujar Wildan."Benar," sahut Papa. "Kita fokus ke sidang saja."Setelah sarapan dan membicarakan teknik-teknik untuk menghadapi persidangan nanti, pukul sembilan kami berangkat ke pengadilan negeri bersama. Wildan juga sudah mengonfirmasi orang KUA dan juga Rian. Mereka sudah bersiap juga.Pukul sepuluh, persidangan dimulai. Hakim memulai dengan membacakan agenda sidang hari ini dan menanyakan kehadiran pihak-pihak terkait. Ibram hadir dengan pengacaranya. Lelaki itu tampak mengibarkan bendera perang kepadaku.Kesaksian Papa, bisa dibantah oleh pihak Ibram, karena tidak didukung bukti. Namun, kesaksian orang KUA dan Rian, ditambah percakapan Ibram dengan Rena di ponsel Ibram, menjadi bukti tak terbantahkan. Sehingga pihak Ibram tidak bisa mengelak lagi. Sidang dilanjutkan dua minggu yang akan datang.Saat kami berjalan menuju tempat
"Ada apa, Vi?" tanya Papa.Sementara Wildan tak jadi memasuki mobilnya. Lelaki itu kembali ke teras rumah, kemudian memungut ponselku yang jatuh di lantai."Ada apa?" tanya Wildan sembari menyerahkan ponsel itu padaku.Aku masih mematung dengan tatapan kosong. Aku benar-benar shock. Di saat besok persidangan dengan agenda penting, hal besar terjadi kepada kami. Seolah, ini dirancang untuk membuyarkan konsentrasi kami ke persidangan."Ada apa?" tanya Papa lagi. Kali ini lelaki itu mengguncang sebelah bahuku.Aku pun menoleh padanya. "Mini market kita kebakaran, Pa.""Apa?" Mendengar itu, kedua bola mata Papa seperti hendak keluar dari kelopaknya.Mama pun tak kalah shock. Wajah wanita berusia senja itu terlihat sangat tegang."Gimana ini, Pa?" tanya Mama."Tenang, Tante!" Kali ini Wildan yang bicara. "Aku akan pastikan pelakunya tertangkap. Aku akan segera ke
"Aya di depan sama Nyonya, Bu," ucap Mbak Susi yang sedang membereskan kamar Cahaya. Padahal aku belum sempat bertanya kepadanya. Aku terlalu takut melihat Cahaya tidak ada di tempat yang seharusnya.Segera aku ke depan. Ternyata mereka masih bercengkrama dengan Rian. Lelaki itu bahkan melawak di depan Cahaya. Hal yang dulu sangat aku suka dari Rian. Dia lelaki yang pintar sekali mencairkan suasana. Dulu, aku tak bisa berlama-lama marah dengannya."Tuh, Vionanya datang," ucap Mama.Rian menatapku lekat. Kemudian berkata, "Maaf, ya, aku telat."Aku tersenyum simpul sembari duduk di sofa dekat Mama. Kemudian menjawab, "Enggak apa-apa. Aya sama papanya, kok.""Ya, udah. Silahkan kalian ngobrol dulu!" ucap Mama sembari beranjak dari duduknya. Kemudian wanita berdaster kelelawar itu masuk ke dalam bersama Cahaya."Tadi kamu sama pengacara itu?" tanya Rian."Ya," jawa
"Kamu benar-benar harus hati-hati, Vi!" pesan Wildan. "Kita enggak tau pasti, Rena dan Ibram itu seperti apa. Jangan sekali-kali sepelekan mereka!" Wildan menatapku serius. Lelaki itu tampak begitu peduli kepadaku.Aku menghela napas berat. Rasanya kepalaku pusing menghadapi permasalahan ini. Ini benar-benar seperti mimpi. Beberapa waktu lalu semua baik-baik saja. Ibram sosok suami dan lelaki terbaik yang pernah aku miliki, tetapi ternyata itu hanya topeng. Dan setelah semua terbuka, ternyata laki-laki itu semengerikan itu."Bantu aku, Wil. Aku benar-benar ...." Aku menggantung kalimatku. Memijit pelipis yang berdenyut karena memikirkan ini. Aku bahkan sampai tidak tahu harus berkata apa."Pasti." Wildan menoleh beberapa saat kepadaku sembari tersenyum. Lalu kembali fokus pada jalanan. "Kamu pasti bisa melalui ini. Aku yakin, kamu wanita tangguh!"Aku tersenyum merespon support dari Wildan. Aku bersyukur Tuhan mempertemukan aku
Wildan memacu mobil dengan kecepatan cukup tinggi. Sehingga tak sampai setengah jam, kami sudah tiba di area parkir mall.Segera aku menelepon Papa menanyakan keberadaannya. Kemudian aku dan Wildan bergegas menemuinya.Lelaki yang telah memasuki usia senja itu dari kejauhan tampak duduk dengan gelisah. Berkali-kali ia tampak mengedarkan pandangan. "Pa!" panggilku saat jarak kami sudah cukup dekat.Lelaki yang selama ini mendidikku dengan keras itu menoleh."Gimana?" tanyanya. "Kita langsung ke kantor polisi sekarang?"Aku menghela napas. Teringat kembali kondisi Fabian. Kalau Ibram dipenjara, bagaimana dengan mereka. Mereka tak punya siapa-siapa selain Ibram.Namun, lelaki itu sudah sangat jahat padaku."Gimana ya, Pa, baiknya?" Aku meminta pendapat Papa. "Kenapa?" tanya Papa."Anak Ibram, kan, sakit."Pa
Mendengar kabar Cahaya menghilang aku langsung menghubungi Wildan. Entah kenapa, yang terpikir di kepalaku pengacara itu. Aku yakin ini ulah Ibram. Siapa lagi yang mencari masalah denganku kalau bukan laki-laki itu."Wil, Aya menghilang," ucapku setelah terdengar sapaan dari Wildan di ujung ponsel."Gimana bisa, Vi?" Suara Wildan terdengar terkejut."Enggak tahu, barusan Papa telepon." Aku berusaha menjelaskan dengan tenang meski sebenarnya aku sangat panik. Aku takut Ibram nekat melakukan hal yang tidak-tidak."Kamu dimana sekarang?" tanya Wildan. Sepertinya laki-laki itu mau langsung menemuiku."Aku ...." Aku menoleh ke arah Rena. Aku bahkan sampai lupa kini ada di mana dan sedang bersama siapa saking paniknya. "Aku di rumah sakit permata, Wil. Kamu ke sini?""Oke. Tunggu jangan kemana-mana!" Tanpa berkata-kata lagi, Wildan mematikan sambungan teleponnya."Aya menghilang, Mbak?" tanya Rena setelah aku menurunkan ponsel dari telinga. Raut wajahnya terlihat cemas. Sepertinya pikiran