Tak terasa sudah satu bulan semenjak aku mengetahui kehamilanku, hari ini aku sedang berada di rumah sakit untuk memeriksakan kandunganku.Sudah dua minggu ini mual-mualku sudah berangsur membaik, aku sudah bisa memakan apapun, tidak seperti di awal-awal lalu, aku hanya bisa makan sedikit buah dan juga minum susu. Nasi pun tak bisa aku telan, badanku sampai lemas sekali. Tapi aku lega sekarang, paling tidak keadaanku sudah membaik.Aku duduk di sebuah bangku, menunggu namaku dipanggil untuk mengambil obat dan juga vitamin setelah dokter selesai memeriksaku. Alhamdulillah kandunganku tidak ada masalah apapun, janinku tumbuh sehat di dalam rahimku.Tanganku memainkan ponsel sembari menunggu namaku di panggil, aku berbalas pesan dengan Winda tentang rencana kepulanganku.Aku sudah memutuskan untuk pulang ke rumah dua minggu lagi, menunggu usia kehamilanku memasuki trimester kedua. Aku ingin memberi kejutan untuk kedua orangtuaku.Aku mengulum senyum membayangkan bagaimana reaksi mereka k
"Total belanjaannya enam ratus empat puluh ribu, Mbak," ucap kasir minimarket sembari tersenyum dengan ramah.Aku segera membuka dompet lalu mengambil tujuh lembar uang seratus ribuan. Setelahnya aku menyodorkannya pada perempuan muda yang menjadi kasir itu."Uangnya tujuh ratus ribu ya, Mbak," ujarnya setelah menghitung uang yang telah dia terima.Aku hanya mengangguk menanggapi ucapan kasir tersebut. Lalu tanganku meraih kresek yang berisi barang-barang belanjaanku dan menentengnya."Kembaliannya enam puluh ribu ya, Mbak. Terima kasih sudah belanja di minimarket kami, jangan lupa kembali," ucap kasir tersebut sembari tersenyum kembali."Terima kasih kembali, Mbak," sahutku meraih uang kembalian, lalu segera melangkah pergi keluar minimarket."Mbak Laras, aku ingin berbicara sebentar." Sebuah tangan besar mencekal pergelangan tanganku begitu aku sampai di halaman minimarket, secara reflek aku pun langsung menghempaskannya kasar.Namun, tangan tersebut tidak mau lepas dari tanganku. D
"Andai tadi aku sama kamu, Ras. Sudah kutampol itu mulut adik iparmu," ucap Winda melalui sambungan telfon.Aku mengulum senyum, Winda selalu peduli padaku. Dia memang sahabatku yang terbaik. Jika saja tidak ada Winda aku tidak tahu bagaimana menjalani hidupku setelah kepergian Mas Haris.Aku sangat bersyukur bisa mempunyai sahabat sepertinya. Walaupun kadang Winda menjengkelkan tapi dia selalu mendukungku dalam keadaan apapun."Aku juga jengkel padanya, Win. Kasihan Risa, dia tidak tahu jika suaminya ternyata ada main di belakangnya.""Ah, biarkan saja, Ras. Toh nanti jika kamu memberitahu Risa, dia belum tentu percaya padamu. Risa kan bucin banget sama Indra."Benar juga apa yang dikatakan Winda, yang kulihat selama aku menjalin hubungan dengan Mas Haris, Risa terlalu cinta pada Indra, dia tidak mungkin percaya begitu saja pada ucapanku. Bisa-bisa nanti aku dikira menfitnah suaminya itu."Lagian, nanti kamu yang kena getahnya, Ras. Kamu pasti dikira menfitnah Indra, menjelekkan Indr
"Tahu gak Ibu-Ibu, kemarin malam aku melihat ada laki-laki yang datang ke rumah Mbak Laras." Suara Mbak Ranti membuatku menghentikan kegiatanku menyapu halaman samping rumah.Aku mengernyitkan kening ketika mendengar Mbak Ranti membicarakanku dengan ibu-ibu yang sedang berbelanja sayur. Aku melangkah ke arah tembok dan menyandarkan tubuhku ke dinding mencoba mendengarkan apa yang mereka bicarakan."Yang benar, Ran?" tanya salah salah satu dari ibu-ibu tersebut."Iya, beneran. Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Bahkan aku juga mendengar kalau mereka seperti sedang bertengkar," jawab Mbak Ranti.Aku menajamkan indera pendengaranku, ingin tahu apa saja yang dikatakan Mbak Ranti tentangku."Walah, siapa ya laki-laki itu sampai bisa bertengkar dengan Mbak Laras?" Kembali seseorang menimpali ucapan Mbak Ranti."Aku juga tidak tahu. Yang jelas mereka pasti memiliki hubungan yang spesial. Tidak mungkin kalau mereka tidak memiliki hubungan jika mereka bertengkar seperti itu. Suara perteng
Senja sudah mulai menyapa, pertanda matahari telah mulai meninggalkan eksitensinya. Setelah seharian dia menyinari bumi tanpa lelah.Aku masih disibukkan dengan barang-barang di depanku, aku pun belum membersihkan diri sejak tadi. Aku masih ingin menyelesaikan pekerjaanku terlebih dahulu.Sejak menjelang sore tadi, aku sudah sibuk mengemas barang-barangku. Aku putuskan untuk segera pulang ke rumah. Lingkungan di sini sudah mulai tidak nyaman untukku.Aku takut jika tetap berada di sini, nanti bisa mempengaruhi kesehatan mentalku. Sejak mendengar Mbak Ranti menfitnahku dengan keji, aku mulai tidak nyaman tinggal di sini.Bisa saja Mbak Ranti kembali menfitnahku dengan lebih kejam lagi, kan? Aku harus bersiap untuk itu, lebih baik aku segera memutuskan untuk pergi.Adzan Magrib mulai terdengar di telingaku, aku pun segera beranjak meninggalkan pekerjaanku dan menjalankan kewajibanku sebagai muslimah.Selang setengah jam, aku sudah rapi serta sudah selesai melaksanakan ibadah wajibku.Ak
Tak terasa waktu cepat berlalu, aku sudah memarkirkan mobil di halaman rumah orangtuaku yang nampak sepi dan gelap. Karena memang sudah tengah malam aku baru sampai, setelah menempuh perjalanan yang lumayan cukup jauh.Ayah dan ibu pasti sudah terlelap semua, mengingat malam sudah sangat larut. Perlahan aku turun dari mobil, netraku memandang sendu ke arah rumah yang sejak kecil aku tinggali.Rumah dua lantai itu, tidak pernah berubah sejak aku kecil, bangunannya masih tetap sama, hanya warna catnya yang sering kali diganti setiap tahun.Aku melangkahkan kaki menuju pintu, dengan ragu aku pun mengetuk pintu setelah tiba di depan pintu. Sejujurnya aku tidak mau datang di waktu seperti ini, tapi aku juga tidak punya pilihan setelah diusir dari tempat tinggalku.Lama aku mengetuk pintu, tapi tak juga ada yang membukanya. Mungkin semua sudah tertidur dengan lelapnya, sehingga tidak ada yang mendengar pintu diketuk.Aku pun mengambil ponsel di dalam tas, aku memutuskan untuk menelfon ponse
"Hai, Win," sapaku pada Winda melalui sambungan telfon."Hmmm ... ada apa, Ras? Kenapa telfon subuh-subuh begini?" tanya Winda dengan suara serak, sepetinya dia baru saja bangun tidur.Aku memang langsung menelfon Winda begitu selesai ibadah Subuh. Aku tidak sabar mengetahui reaksi Winda begitu mengetahui bahwa aku telah pulang ke rumah."Aku cuma mau memintamu datang ke rumah setelah pulang kerja," jawabku."Rumah? Rumah siapa, Ras?"Aku cekikikan mendengar pertanyaan Winda. Dia pasti bingung dengan permintaanku. Dia pasti juga tidak menyangka kalau aku sudah pulang ke rumahku sekarang."Rumahku, Win. Aku kan sudah pulang ke rumah, Win," jelasku."Apa? Jangan bercanda, Ras. Nggak mungkin kamu sudah pulang ke rumah. Kemarin kita baru saja telfonan dan kamu masih di rumah bibiku kan, Ras?" tanya Winda lagi."Aku serius, mangkanya nanti pulang kerja mampir ke rumah, Win."Aku menahan tawa, terbayang wajah Winda yang pasti sangat lucu. Dengan wajah khas bangun tidurnya itu, dia pasti ter
"Kapan kamu mau kembali bekerja, Ras?" tanya Winda sedang sibuk mengunyah keripik pisang buatan ibu."Mungkin lusa, Win. Aku juga rindu suasana kantor. Apalagi sejak aku menikah dengan Mas Haris, aku belum pernah ke kantor lagi."Aku terdiam sejenak, kembali teringat bagaimana pertama kali aku bisa mengenal Mas Haris. Kami bertemu saat aku masih bekerja, Mas Haris sedang ada pekerjaan dengan perusahaan ayah.Saat pertemuan pertama kami, aku tidak begitu tertarik dengan Mas Haris. Aku hanya melihatnya sama seperti lelaki lainnya. Tapi seiring berjalannya waktu, dan karena orangtua kami, akhirnya aku mulai melihat Mas Haris dengan pandangan lain.Aku kagum dengan kelembutan sikap Mas Haris, dia selalu bisa membuatku nyaman. Akhirnya aku pun aku jatuh hati padanya. Kenangan-kenangan saat aku masih bersama Mas Haris kembali terlintas di benakku."Ras ... Ras ... Laras...."Aku tersentak, tersadar dari lamunanku. Aku langsung menoleh ke arah Winda yang masih duduk di sofa dengan toples di
"Jadi kamu berangkat hari ini, Mas?" Aku sedang berkutat di dapur untuk menyiapkan sarapan. Seperti pagi-pagi biasanya, aku akan sibuk di dapur untuk menyiapkan sarapan tanpa bantuan asisten rumah tangga.Aku lebih suka mengerjakan semua pekerjaan rumah dengan tanganku sendiri. Dari dulu aku sudah berkomitmen untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah tanpa bantuan asisten rumah tangga. Dan sekarang aku telah mewujudkannya. Setelah melahirkan, aku fokus menjadi ibu rumah tangga, tidak lagi kembali bekerja."Jadi, Ras," jawabnya sembari menyesap secangkir kopi."Berapa hari kamu di sana?" tanyaku lagi."Ada apa? Kamu takut jauh-jauh dari aku ya?" tanyanya membuatku menghentikan aktifitasku dan menoleh ke arahnya."Mana mungkin. Putrimu itu yang akan selalu mencarimu. Dia pasti rewel mencari ayahnya," sanggahku."Ah, ternyata cuma Safira yang mencariku, bukan kamu. Istriku memang tidak pernah merindukanku, padahal aku pasti akan sangat merindukanmu," sahutnya sembari mencebikkan bibirnya.
Netraku terus menetes melihat Pandu mengadzani putri kecilku, hatiku terasa bagai disiram air dingin melihatnya. Aku terharu sekaligus sedih, terharu karena Pandu benar-benar menjadi sosok ayah untuk putriku. Tapi aku juga sedih karena seharusnya Mas Haris lah yang mengadzani putri kami. Dialah yang seharusnya berada di posisi itu.Takdir telah membuat putriku harus kehilangan ayah kandungnya untuk selama-lamanya. Air mataku menetes semakin deras, hingga tiba-tiba kurasakan pandangan mataku mulai mengabur. Perlahan aku pun kehilangan kesadaranku. *** Aku mengerjapkan mata pelan, hidungku mencium aroma bunga yang sangat harum. Perlahan aku mencoba kembali membuka mata.Cahaya terang menyilaukan mataku yang mulai terbuka, aku mengernyitkan kening melihat sekelilingku. Banyak bunga-bunga yang berwarna warni tumbuh dengan indahnya.Aku langsung bangun dari posisiku berbaring, aku bingung sedang ada di mana. Tempat ini terasa asing bagiku. Aku memegang kepalaku yang sedikit pening, aku m
"Duduklah, Ras. Sepanjang acara kamu terus berdiri, kamu pasti lelah."Aku menoleh menatap Pandu yang sudah berdiri di sampingku tanpa aku menyadarinya. Dia membawa gelas yang berisi minuman. Lalu dia pun menyodorkan gelas tersebut kepadaku."Aku tidak apa-apa, jangan terlalu khawatir. Dokter malah menyarankan aku untuk banyak bergerak agar mempermudahku melahirkan kelak," sahutku sembari menerima gelas dari Pandu.Kami sedang berada di rumah Winda, dia baru saja melangsungkan akad nikah dengan Wira. Akhirnya Winda memutuskan untuk menerima Wira. Aku turut bahagia melihat Winda akhirnya menemukan tambatan hatinya.Waktu cepat sekali berlalu semenjak terbongkarnya kedok Indra. Aku dan Pandu sepakat untuk mencoba menjalani pernikahan kami. Tapi selama ini Pandu tidak pernah meminta haknya padaku, dia berjanji untuk memulai hubungan kami dengan pertemanan. Tentu aku tidak keberatan, tidak ada ruginya berteman dengan Pandu, sebelum akhirnya kami berpisah kelak."Winda terlihat cantik seka
Sepulang dari rumah Mama, aku berada di dalam mobil Pandu. Ayah memintaku pulang bersama Pandu. Aku langsung masuk ke dalam mobil Pandu tanpa penolakan.Pandanganku tentang Pandu sedikit barubah. Ternyata dia menghilang selama ini untuk mencari bukti, agar namaku bersih dari fitnah-fitnah yang menyebar tentangku.Aku sudah berburuk sangka padanya selama ini, aku pikir dia menghilang karena terluka oleh kata-kataku. Tapi ternyata dia malah membantuku, aku menyesal sekali telah berkata buruk padanya.Suasana di dalam mobil sangat hening, tidak ada yang berbicara di antara kami. Pandu nampak fokus menyetir, melihat lurus ke arah jalanan yang temaram. Tidak sekalipun dia melihat kepadaku, sedang aku sedari tadi mencuri-curi pandang ke arah Pandu.Aku ingin berbicara tapi aku urungkan, aku takut jika Pandu tidak menjawab pertanyaanku. Aku sadar sekali, kalau aku sudah berperilaku buruk padanya. Tapi aku sudah instropeksi diri. Aku ingin berdamai dengan Pandu. Biar nasib yang akan menentuka
"Masih tidak bisa menjelaskan juga?" Risa memandang tajam Indra."A-ku bisa jelaskan, Sayang. Semua yang ada di foto itu tidak benar, mereka mencoba menfitnahku." Indra nampak mencoba mengelak, tangan Indra mencoba meraih tangan Risa. Tapi Risa menepis tangan Indra kasar.Apa aku tidak salah dengar? Bukannya Indra yang mencoba menfitnahku? Apa dia lupa dengan apa yang telah dia lakukan padaku? Aku mengepalkan tangan mendengar ucapan Indra yang masih saja mau melempar fitnah. Aku membuang napas kasar, geram sekali dengan Indra yang pandai bersilat lidah.Ibu memegang tanganku dan mengusapnya lembut. Aku menoleh ke arahnya dan tersenyum tipis, aku meyakinkan Ibu bahwa aku baik-baik saja. Aku tidak terpengaruh oleh pertengkaran Indra dan Risa. Sementara Pandu dan Ayah diam saja dari tadi. Mereka hanya menyaksikan semua yang telah terjadi dalam diam."Jangan coba-coba membohongiku! Jika foto-foto itu tidak benar, pasti wanita di dalam foto itu mempunyai wajah yang sama. Tapi kau lihat sen
Tak terasa waktu cepat sekali berlalu, sudah dua minggu sejak pernikahanku dengan Pandu, tapi dia tidak menampakkan batang hidungnya sama sekali. Setelah mendapat penolakan dariku, dia seperti ditelan bumi. Tidak pernah menemui atau mengirim pesan padaku.Ayah pun hanya diam, tidak membahas apapun tentang Pandu. Beliau kembali seperti biasanya, bahkan bertambah perhatian padaku yang sering mengalami kram perut sejak pernikahanku dengan Pandu.Bukannya aku ingin bertemu dengan Pandu, tapi aku heran saja dengan ketidakhadirannya selama dua minggu ini, tanpa mengatakan apapun. Apa mungkin dia merasa sakit hati karena penolakanku kemarin? Atau dia sudah menyerah untuk menjadi suamiku? Berbagai pertanyaan memenuhi pikiranku.Ah, biar saja. Aku tidak peduli akan kehadirannya di sini. Aku malah tidak mengharap dia kembali lagi ke sini. Mungkin dengan begini hubungan kami akan putus dengan sendirinya."Ras, hari ini kamu punya jadwal apa?" tanya Ayah tiba-tiba sudah ada di sampingku tanpa aku
Aku berjalan mondar mandir dengan perasaan gelisah. Ayah memintaku membawa Pandu ke kamarku untuk beristirahat setelah acara selesai. Aku pun tidak bisa menolaknya, mengingat Pandu sudah menjadi suamiku. Sementara Pandu sekarang sedang berada di dalam kamar mandi.Sejak masuk ke dalam kamar, pikiranku gelisah tak menentu. Tidak pernah ada lelaki lain yang masuk ke dalam kamarku selain Ayah dan juga Mas Haris. Tapi sekarang ada lelaki lain yang sedang berada di dalam kamarku, walaupun statusnya adalah suamiku tapi aku belum bisa menerimanya.Ceklek.Suara pintu terbuka, Pandu muncul dari balik pintu kamar mandi yang telah terbuka. Seketika aku menghentikan langkahku dan menolehkan kepala, melihat ke arahnya. Melihatku berdiri di samping ranjang, Pandu berjalan mendekatiku."Ambillah air wudhu terlebih dahulu, Ras. Ayo kita sholat sunnah bersama," ucap Pandu memintaku untuk berwudhu.Tanpa menjawab Pandu, aku segera melangkahkan kaki ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Jujur aku m
"Kamu harus menikah dengan Pandu, Ras. Kamu tidak punya pilihan lain." Kembali Ayah menegaskan keputusan yang telah beliau ambil.Aku menghela nafas berat, jadi inilah akhir dari keputusan Ayah. Tentunya aku harus mengikutinya bukan? Aku tidak mau menjadi anak durhaka yang melawan perintah dari orangtuanya.Aku kembali terduduk dan menunduk sedih, air mataku rasanya sudah banyak yang keluar hari ini. Tidak pernah aku bayangkan datangnya hari di mana Ayah memaksaku menikah lagi, memaksaku menerima laki-laki lain untuk mengisi posisi Mas Haris."Maafkan aku, Mas. Bukan maksudku untuk mengkhianatimu, tapi aku tidak bisa melawan perintah Ayahku. Aku selalu mencintaimu, selamanya aku selalu mencintaimu. Walaupun Ayah menghadirkan pengganti untukmu, tapi di hatiku hanya kamulah yang paling aku cintai sampai kapanpun," batinku.Pelahan aku mengangkat wajahku, menatap satu persatu wajah orang-orang yang hadir di ruang tamu. Semua yang hadir nampak berwajah sendu kecuali Ayah, beliau masih mem
Aku duduk dengan hati gelisah, sejak melihat Pandu yang sudah duduk manis dengan seorang lelaki paruh baya yang mengenakan sorban di kepalanya. Dari penampilannya, sepertinya beliau adalah seorang ustadz. Dalam hati aku bertanya-tanya ada apa sebenarnya, hingga Pandu datang dengan seorang Ustadz. Tapi aku lebih memilih diam menunggu apa yang akan dibicarakan.Sedari tadi, aku meremas tangan Winda yang duduk di sampingku. Aku mencoba untuk tenang walaupun hatiku terasa tidak enak sejak mendengar berita kedatangan Pandu kemari."Baiklah, sekarang semua sudah berkumpul. Kita mulai saja acaranya," ucap Ayah membuka percakapan.Pandanganku beralih pada Ayah, beliau duduk di samping Ibu. Netraku beralih menatap Ibu, raut wajah Ibu nampak bertambah muram dari sebelumnya. Beliau hanya menundukkan kepala, sesekali tangannya terlihat mengusap air mata yang mengalir di pipinya.Aku mengernyitkan kening melihat Ibu seperti itu, aku juga tidak mengerti dengan acara yang Ayah maksud. "Acara apa, Ya