Amira terkejut dengan lamaran Yudha yang menurutnya sangat tiba-tiba. Yudha sepertinya salah paham, Amira hanya ingin mencoba dekat terlebih dahulu. Jika untuk lamaran, ia masih belum siap dan masih trauma dengan pernikahan."Kak Yudha, melamarku?" tanya Amira bingung.Yudha mengangguk, ia hendak menyematkan cincin di jari Amira. Namun, Amira segera menarik tangannya. Seketika, ekspresi wajah Yudha menjadi bingung."Kenapa, Mir? Kau menolakku?" Yudha terlihat kecewa."Kak, A-aku ... Aku belum siap," jawab Amira."Kenapa? Apa kau tak mencintaiku?" tanya Yudha."Kak, lebih baik kau duduk dulu. Jangan berlutut di depanku," ucap Amira, ia merasa tak pantas jika berbicara dan Yudha masih berlutut di depannya."Aku tak peduli, Mir. Aku rela melakukan apa saja, asal kau mau menerimaku," ucap Yudha.Amira menjadi serba salah. Di sisi lain, memang ada desir aneh di hatinya saat melihat Yudha. Meskipun, Amira belum sepenuhnya tahu tentang perasaannya. Sementara di lain sisi, ia masih trauma den
"Kecelakaan?" tanya Amira."Iya, sekarang sedang dirawat di rumah sakit Medika Rosa. Dia mengalami tabrak lari," jelas Nisa di telepon."Oke-oke, aku ke sana sekarang!" Amira menutup teleponnya, ia bergegas keluar untuk memberitahukan keduanya orangtuanya."Pa, Ma. Syahla kecelakaan!" ucap Amira.Kedua orangtuanya yang tengah mengobrol pun menghentikan obrolannya. Mereka kemudian menatap Amira secara bersamaan."Sekarang, dia dirawat di rumah sakit Medika Rosa. Kita ke sana sekarang, Pa, Ma." Amira mengajak mereka untuk menjenguk Syahla.Bu Syahnaz seketika langsung berdiri, raut wajahnya terlihat khawatir."Ya Allah, Syahla kecelakaan? Ayo Pa, kita ke rumah sakit sekarang," ajak Bu Syahnaz tak sabar."Ma, tenang. Biar Papa dan Amira saja yang ke rumah sakit. Mama di rumah saja, ingat kondisi kesehatan Mama. Di rumah juga ada Gemilang, kalau kita pergi semua, tak ada yang jaga dia," ujar Tuan Abimanyu melarang istrinya pergi ke rumah sakit."Tapi, Pa. Syahla kecelakaan, perasaan Mama
"Bang Radit?""Amira?"Ucap Radit dan Amira bersamaan. Tuan Abimanyu dan Nisa pun memperhatikan keduanya, yang terlihat saling mengenal satu sama lain."Amira, kamu kenal dengan dia?" tanya Tuan Abimanyu kemudian.Amira menoleh menatap ayahnya. Ia bingung harus mengenalkan Radit apa pada Tuan Abimanyu. Hal itu lantaran, Tuan Abimanyu pernah bercerita sangat ingin menghajar mantan suami Amira tersebut, setelah mendengar cerita Amira dahulu."Kenal, Pa. Ini Bang Radit, mantan suami Amira. Bang Radit, ini Papa," jawab Amira, memperkenalkan Radit pada Tuan Abimanyu.Tuan Abimanyu terdiam, ia hanya menatap Radit, melihatnya dari ujung kaki ke ujung kepala. Sementara Radit melengkungkan senyum pada Tuan Abimanyu. "Senang berkenalan dengan Anda, Pak."Radit kemudian mengulurkan tangannya, untuk bersalaman dengan Tuan Abimanyu. Namun, lelaki paruh baya itu tak membalas uluran tangan Radit."Radit? Bukankah namanya Bagus?" tanya Nisa heran, karena ia tak mengenal Radit."Bagus Raditya, itu na
Syahla menarik napas dalam, kemudian mengembuskannya perlahan. Ia sudah tidak bisa membohongi hatinya lagi jika ia merasa cemburu pada Amira. Tak hanya karena Yudha, namun sikap Tuan Abimanyu yang condong pada Amira, membuatnya merasa tak adil baginya. Sedikit rasa penyesalan tumbuh di hatinya, karena mengungkap dan mencari tahu identitas Amira. Meskipun ia sadar, bahwa hal itu adalah kesalahan dari Nek Warsih yang merupakan Nenek kandungnya."Apa karena Kak Yudha?" Amira bertanya kembali."Awalnya aku pikir, aku bisa menerima semua ini. Aku bisa ikhlas menerima takdirku, menukar posisi yang dari awalnya menjadi milikku. Aku merantau ke Jakarta, ingin melupakan masa laluku dan memulai hidup baru. Hingga, takdir menemukanku kembali dengan Mas Yudha di sini. Aku dan dia sudah semakin dekat, saat kau belum ke sini. Tetapi sekarang, kau merusak semuanya. Kau tanpa sadar menyakiti perasaanku, Amira." Syahla mengungkapkan isi hatinya. Ia mengusap bulir bening yang mengalir di kedua matanya.
Radit baru saja tiba di rumah sakit, ia sedang berjalan menuju lobi sembari membawa buah untuk menjenguk Syahla. Saat sudah sampai di loby, ia melihat dari jauh Amira sedang berjalan, bersisian dengan seorang Dokter sembari menggendong seorang anak kecil."Bukankah itu, Amira? Apa dia sedang menggendong Gemilang, putraku," gumam Radit. Perasaannya menjadi tak menentu, ketika melihat putranya yang terlihat semakin besar. Rasa rindu tiba-tiba membuncah di hatinya. Haruskah ia menemui Gemilang dan mengatakan padanya jika dia adalah ayahnya? "Amira." Radit memanggil Amira saat mereka sudah sampai di depan pintu lobi rumah sakit.Amira dan Dokter Gani pun menghentikan langkahnya, kemudian menoleh secara bersamaan.Radit pun mendekat, melihat Dokter Gani yang berada di samping Amira membuatnya mau tak mau menyapa dokter itu karena sudah pernah bertemu saat Rania dirawat di rumah sakit ini. "Dokter." Radit melengkungkan senyum pada Dokter Gani dan dibalas anggukan oleh Dokter itu."Saya ke
Amira dan Radit merasa canggung, mereka seperti datang diwaktu yang tidak tepat.Radit sendiri sebenarnya terkejut dengan kedatangan Yudha di rumah sakit ini. Apalagi, melihat dirinya tengah menggenggam tangan Syahla. Amira dan Radit melangkah mendekati mereka. Seulas senyum terukir di bibir keduanya meskipun perasaan canggung begitu mendera."Maaf ya, ganggu. Sudah lama di sini, Kak?" tanya Amira pada Yudha."Aku baru datang. Mir, ini tak seperti yang kamu kira," ucap Yudha. Ia takut Amira akan salah paham padanya.Yudha melirik Radit, ia masih bertanya-tanya dalam hatinya tentang Amira dan mantan suaminya itu yang terlihat bersama."Apa kabar, Yud? Lama tak bertemu." Radit mencoba bersikap biasa, ia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Yudha."Baik," jawab Yudha dingin, tetapi ia tetap menerima uluran tangan Radit."Kalian saling kenal?" tanya Syahla saat melihat Radit dan Yudha berjabat tangan."Ya, kami teman satu kampus, dulu," jawab Yudha."Oh, pantas. Senang dong
"Terima kasih ya, Dok. Sudah mau bantu saya. Kalau begitu, saya turun di depan saja. Takut mengganggu perjalanan Dokter," ucap Amira saat sudah duduk di samping dokter Gani yang hendak mengemudi."Kenapa turun di depan? Biar kuantar saja, gak pa-pa. Aku gak sibuk, kok." Dokter Gani menoleh sembari melengkungkan senyum di bibirnya."Tapi, Dok, saya gak bermaksud--" Amira tak melanjutkan kata-katanya, karena dipotong dokter Gani."Sudah, tak apa. Lagian, aku sudah janji pada anakmu, jika aku akan mampir ke rumahmu. Apa boleh?""Om Doktel, mau main ke lumah aku?" tanya Gemilang, saat mendengar ucapan dokter Gani."Ya, kalau boleh," jawab dokter Gani."Bolehlah, Om Doktel. Aku malah seneng kalo Om Doktel main ke lumah. Ya kan, Ma?"Gemilang berucap polos, ia menoleh pada Amira seakan meminta persetujuan ibunya. Amira pun mengangguk, ia tersenyum sembari berucap, "Boleh, kok.""Yeaay!" Gemilang bersorak kegirangan.Mobil pun mulai melaju membelah jalanan kota Jakarta yang ramai. Sesekali
Keesokan harinya, Syahla sudah diizinkan untuk pulang dari rumah sakit. Kondisinya sudah membaik, Syahla hanya perlu istirahat saja. Ditemani oleh Nisa, yang mengurusi semua keperluan Syahla. Ia sedang bersiap di kamar rawatnya. Sebelum meninggalkan kamar itu, Syahla menunggu perawat datang untuk mengambilkan kursi roda. Ia duduk di bed, bersama Nisa yang sedang memberesi barang-barang milik Syahla. "Nis, makasih ya, sudah bantu aku selama di sini. Maaf, aku sering ngerepotin kamu," ucap Nisa. "Yaelah, La. Kaya sama siapa aja, aku ikhlas lahir batin nolongin kamu. Aku gak ngerasa direpotin, Kok. Kamu udah seperti saudaraku, La." Nisa menatap Syahla, sebuah lengkungan manis terbentuk indah di bibirnya. "Aku beruntung punya sahabat kaya kamu, Nis. Aku jadi merasa tak sendiri lagi." "Syahla, sebenarnya banyak yang sayang sama kamu. Kamu juga dari awal sudah bahagia dan tidak sendiri, hanya saja karena sikapmu yang terlalu baik sama Amira jadi malah merubah kehidupanmu. Aku