Amira merasa sangat khawatir, Gemilang tengah sakit dari semalam. Badannya panas, suhu tubuhnya mencapai 39°C. Obat penurun panas sudah diberikan, badannya juga sudah dikompres. Namun, hingga pagi menjelang suhu tubuh putra semata wayangnya tersebut masih belum turun."Del, kita bawa Gemilang ke rumah sakit, sekarang!" Amira berujar dengan panik, sembari membangunkan Delia dari tidur lelapnya. Delia mengucek kedua matanya, ia pun bangun setelah beberapa kali tubuhnya digoyang Amira."Masih belum turun panasnya, Mir?""Belum, Del. Makanya lebih baik kita ke rumah sakit sekarang," jawab Amira sembari bersiap-siap."Gue cuci muka dulu." Delia beranjak dari tidurnya dan langsung menuju ke kamar mandi.Setelah semuanya siap, mereka segera memesan taksi online. Sepuluh menit kemudian, taksi online yang dipesan mereka telah datang. Gegas mereka naik taksi online tersebut dan langsung melaju menuju rumah sakit terdekat.Mereka langsung ke resepsionis untuk melakukan pendaftaran. Hari masih pa
Delia segera berdiri, ia merapikan bajunya yang sedikit berantakan. Beberapa orang mulai memperhatikan mereka. Delia tak menjawab pertanyaan Bu Retno, ia mengangguk pelan, kemudian segera berlalu dari hadapan Bu Retno menuju pintu keluar rumah sakit.Bu Retno ternyata mengikutinya dari belakang, ia pun meraih pundak Delia dan menghentikan langkahnya."Hei, kamu belum jawab pertanyaanku. Benar kan, kamu teman Amira yang waktu itu di restoran?" tanya Bu Retno penuh selidik. Ia merasa yakin jika wanita yang telah ditabraknya tadi adalah teman mantan menantunya.Delia berbalik, ia sempat merasa menyesal telah menyebut nama mantan mertua Amira saat jatuh tadi. Tak menyangka, ternyata Bu Retno masih mengingatnya dan menghentikan langkahnya."Iya, Bu. Saya teman Amira," jawab Delia, ia mengukir senyum terpaksa karena beberapa orang di rumah sakit mulai memperhatikan mereka."Tuh kan, bener. Ngapain kamu di sini? Pasti kamu sama Amira kan?""Saya ada urusan, Bu." Delia masih menjawab dengan s
"Papa Radit, adalah nama dari Papanya Gemilang," jelas Bu Retno."Mama gak penah celita, kalo Emiyang puna Papa ( Mama gak pernah cerita, kalo Gemilang punya Papa)." Gemilang berujar polos.Bu Retno menatap dalam cucunya, ia tak mengira Amira benar-benar tak menceritakan apa pun tentang Radit pada cucunya. Sepertinya memang Amira ingin menghapus jejak Radit dalam hidupnya. Tetapi, bagaimanapun juga, Radit tetaplah ayah kandung Gemilang."Bu, lebih baik tak bahas apa pun di sini. Saya mohon dengan sangat, Ibu keluar dari sini." Amira berucap sopan, ia tak ingin Gemilang terganggu karena kehadiran Bu Retno."Kamu ngusir Ibu, Mir? Ibu cuma ingin liat cucuku!" sentak Bu Retno dengan nada yang mulai meninggi.Hal itu membuat Gemilang menjadi takut melihat Bu Retno. Ia berpikir orang ini jahat karena berucap dengan nada keras. Balita empat tahun itu pun, menangis.Melihat putranya menangis, membuat Amira merasa gusar."Bu, tolong jangan berteriak. Anak saya ketakutan. Lebih baik Ibu keluar,
Bu Retno masih duduk menemani Rania yang terbaring dia atas bed. Kondisi Rania sudah mulai membaik setelah beberapa hari dirawat. "Bu, apa belum ada kabar apa pun dari Bang Radit?" tanya Rania.Bu Retno menggeleng pelan, ia sendiri tak tahu Radit berada di mana. Terakhir kali pesannya berbunyi jika ada urusan pekerjaan. Tetapi, saat Bu Retno hendak membalas dan menjawab pesannya, nomornya sudah tidak aktif lagi.Pintu kamar Rania diketuk, seorang lelaki muda menggunakan kemeja kotak dan celana jeans masuk ke dalam bangsal Rania. Lelaki tersenyum, ia membawa seikat bunga untuk wanita yang telah menjadi kekasihnya satu bulan ini."Zaki?" Rania terkejut melihat kedatangan Zaki, ia melirik Ibunya yang tengah menatap tajam Zaki yang kini mulai mendekat."Apa kabar Ran? Kenapa kamu gak bilang kalau kamu sakit?" tanya Zaki sejurus kemudian sembari memberikan bunga pada Rania. Ia pun melihat ke Bu Retno, disalaminya wanita yang kini duduk di samping bed. Bu Retno menerima uluran tangan Zaki
"Aku hanya ingin tahu kabarmu, setelah beberapa hari menghilang," jawab Amira.Radit tersenyum sinis, "Untuk apa? Bukankah kau sudah tak peduli lagi padaku?""Kamu jangan Ge-er dulu, Bang. Aku mencarimu, bukan berarti peduli padamu.""Lantas? Bukankah kau sendiri yang tak ingin bertemu denganku?" Radit tak percaya begitu saja ucapan Amira. Ia berpikir, mungkin saja Amira mulai membuka hatinya kembali."Kau masih sama, Bang. Tak pernah berubah, kau begitu naif, sehingga sikapmu itu perlahan menghancurkan hidupmu." "Maksud kamu?" Radit masih tak mengerti dengan ucapan Amira."Kau memukuli seseorang tanpa mencari tahu kebenarannya dahulu. Mungkin tujuanmu benar, demi membela harga diri keluargamu. Tapi, kau begitu ceroboh mengedepankan emosi, sehingga sekarang berada di sini. Sementara Ibu dan adikmu kini kelabakan mencarimu."Radit tertegun mendengar perkataan Amira. Ia tak menyangka jika Amira tahu tentang masalah yang menimpanya. Memang apa yang diucapkan Amira benar adanya. Radit te
Syahla dan Yudha datang menjenguk Gemilang. Seulas senyum terukir dari bibir mereka."Syahla, Kak Yudha," sapa Amira."Maaf ya, Mir. Kita baru sempat jenguk Gemilang," ucap Syahla, ia lalu mengambil buah-buahan di tangan Yudha dan memberikannya pada Amira."Ya, La. Tak apa, terima kasih ya." Amira mengambil buah tangan yang diberikan Syahla.Syahla melihat Pak Gun berdiri tak jauh dari Amira. Ia kenal dengan lelaki paruh baya itu, Syahla pun menyapa Pak Gun dan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan."Pak Gun, apa kabar?" tanya Syahla."Alhamdulillah baik, Nona. Lama tak bertemu," jawab Pak Gun, ia pun menerima uluran tangan Syahla. Setelah berbasa-basi sebentar, Pak Gun dan Dokter Gani pun memilih keluar dari bangsal Gemilang. Mereka berdua merasa sudah cukup menjenguk Gemilang dan bertemu Amira."Kalau begitu, kami pamit dulu ya, Nona Amira," pamit Pak Gun."Gemilang cepet sembuh, ya." Dokter Gani mengelus kepala Gemilang pelan sebelum pergi meninggalkan bangsal."Bagaimana ko
Pesawat Tuan Abimanyu baru saja mendarat di Bandara Soekarno Hatta siang ini setelah menempuh perjalanan hampir dua jam di udara. Tuan Abimanyu baru menginjakkan kembali kakinya di ibu kota, terakhir enam bulan yang lalu karena urusan pekerjaan.Pak Gun sudah dihubungi oleh Tuan Abimanyu sebelumnya. Lelaki paruh baya kepercayaan Tuan Abimanyu itu pun sudah menunggu di lobby Bandara.Tak berapa lama, Tuan Abimanyu dan Bu Syahnaz mendekat saat melihat Pak Gun tengah duduk di kursi tunggu bersama sang sopir.Pak Gun melihat Tuan Abimanyu dan Bu Syahnaz tengah berjalan menghampirinya. Gegas ia bangun dari duduknya kemudian menyalami Tuan Abimanyu dan Bu Syahnaz dengan hormat."Apa kabar Pak Abimanyu, Bu Syahnaz?"ucap Pak Gun, menyapa bosnya tersebut. "Yah, seperti yang Anda lihat, Pak Gun. Bagaimana, Amira aman?" tanya Tuan Abimanyu kemudian."Aman Pak. Mari ikut saya, saya akan langsung antar ke tempat tinggal Amira." Pak Gun kemudian menyuruh sang sopir membawakan barang bawaan Tuan Ab
Rania menoleh sekilas, melihat kakaknya masuk, tangisannya semakin deras. "A-abang," lirih Rania.Radit duduk di bibir kasur, dielusnya pucuk kepala adik semata wayangnya. Meskipun Rania telah menghancurkan rumah tangganya dulu, tetapi melihat kondisinya seperti ini, tetap saja membuat hatinya sakit.Selepas kepergian Ayahnya dulu dengan wanita lain, Radit menjadi pengganti Ayahnya. Menjadi sosok yang selalu jadi tumpuan Ibu dan adiknya. Mungkin semua yang terjadi, juga karena kesalahannya dulu yang terlalu berlebihan mencintai Amira, sehingga membuat kecemburuan pada Ibu dan adiknya."Bang, maafin Rania. Aku sudah ngecewain Abang sama Ibu. Rania mau mati saja, Bang," ujar Rania putus asa."Ssst ... Jangan bicara seperti itu. Semua sudah terjadi, Abang ada untuk kamu, Rania." Radit mencoba memberikan kekuatan pada adiknya, meskipun ia sendiri juga merasa kecewa."Masa depanku hancur, Bang. Semua teman di kampus membicarakanku di media sosial. Belum tetangga yang selalu menggunjing pa