Pagi yang sedang tidak begitu cerah tengah menyapa. Mendung bergelayut manja pada awan yang menjadikan warnanya kian menghitam. Suasana syahdu di pagi hari ini, membuat sebagian orang enggan membuka matanya dan kembali melanjutkan mimpinya. Namun, tak jarang ada yang sudah bergelut dengan aktivitas karena tuntutan mencari nafkah untuk keluarga.Seorang lelaki bertubuh atletis dan berjambang tipis tengah duduk di balkon kamarnya dengan segelas kopi hangat ditangannya. Pandangannya jauh ke depan melihat gerimis yang sudah mulai turun membasahi bumi.Radit, tengah termenung di pagi hari yang mendung ini. Rangkaian-rangkaian peristiwa yang telah dilaluinya kini terputar kembali dalam benaknya.Rasa bersalah dan penyesalan kian menelusup dalam hatinya, setelah mengetahui fakta yang terjadi pada pernikahannya dahulu. Lontaran fitnah keji yang ditujukan pada wanita yang sangat dicintainya, kembali bergema di telinganya. Lelaki itu tak menyangka, jika keluarganya tega berbuat hal yang merusak
"Bagaimana kondisi adik saya, Dokter?" tanya Radit saat melihat Dokter keluar dari ruang IGD. "Mari, ikut ke ruangan saya. Saya akan jelaskan di sana," ucap Dokter yang bernama Dokter Gani. Ia kemudian berjalan masuk ke ruangannya yang tak jauh dari ruang IGD. Radit pun mengekor sang Dokter ke ruangannya setelah melihat Ibunya segera masuk ke ruangan IGD untuk melihat kondisi Rania.Radit masuk ke dalam ruangan. Terlihat sang Dokter sudah duduk di tempatnya dan sedang menulis sesuatu di meja kerjanya. "Silahkan duduk, Pak," ucap Dokter Gani, saat melihat Radit masuk ke ruangannya.Radit pun mengangguk, ia kemudian duduk tepat di depan Dokter Gani yang terhalang meja kerja berbentuk persegi panjang itu."Kalau boleh tahu, Anda siapanya pasien?" tanya Dokter Gani."Saya kakaknya, Dok. Nama saya Radit.""Suaminya, Apakah tidak ada di sini?" Dokter bertanya dengan hati-hati."Suami?" Radit merasa bingung dengan pertanyaan sang Dokter. "Adik saya belum menikah, Dok," ucap Radit.Dokter G
Bu Retno masih menunggu Rania sadar dari pingsannya. Sudah hampir dua jam semenjak Rania tiba di rumah sakit, ia masih belum sadarkan diri. Bu Retno mengelus lengan putrinya dengan lembut, menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi pada putri semata wayangnya ini.Tangan Rania bergerak, seolah merespon sentuhan lembut Ibunya. Menyadari hal itu, Bu Retno kemudian menggoyangkan tangan Rania dan mulai membangunkannya."Ran, Rania ... Bangun, Nak. Ibu di sini," ucap Bu Retno.Rania membuka kedua matanya, setelah mendengar suara lembut milik sang Ibu. Ia mengerjapkan matanya sejenak, untuk memperjelas penglihatannya yang sempat merasa buram. Ia pun menoleh ke arah sang Ibu."Ibu," lirih Rania."Syukurlah kamu sudah sadar, Ran." Bu Retno kemudian memencet bel khusus yang sudah disediakan rumah sakit untuk memanggil suster atau petugas rumah sakit.Rania memegang kepalanya yang terasa nyeri. Ia merasa pusing yang teramat sangat. Ia mengingat-ingat kenapa bisa berada di rumah sakit dan napasny
Amira merasa sangat khawatir, Gemilang tengah sakit dari semalam. Badannya panas, suhu tubuhnya mencapai 39°C. Obat penurun panas sudah diberikan, badannya juga sudah dikompres. Namun, hingga pagi menjelang suhu tubuh putra semata wayangnya tersebut masih belum turun."Del, kita bawa Gemilang ke rumah sakit, sekarang!" Amira berujar dengan panik, sembari membangunkan Delia dari tidur lelapnya. Delia mengucek kedua matanya, ia pun bangun setelah beberapa kali tubuhnya digoyang Amira."Masih belum turun panasnya, Mir?""Belum, Del. Makanya lebih baik kita ke rumah sakit sekarang," jawab Amira sembari bersiap-siap."Gue cuci muka dulu." Delia beranjak dari tidurnya dan langsung menuju ke kamar mandi.Setelah semuanya siap, mereka segera memesan taksi online. Sepuluh menit kemudian, taksi online yang dipesan mereka telah datang. Gegas mereka naik taksi online tersebut dan langsung melaju menuju rumah sakit terdekat.Mereka langsung ke resepsionis untuk melakukan pendaftaran. Hari masih pa
Delia segera berdiri, ia merapikan bajunya yang sedikit berantakan. Beberapa orang mulai memperhatikan mereka. Delia tak menjawab pertanyaan Bu Retno, ia mengangguk pelan, kemudian segera berlalu dari hadapan Bu Retno menuju pintu keluar rumah sakit.Bu Retno ternyata mengikutinya dari belakang, ia pun meraih pundak Delia dan menghentikan langkahnya."Hei, kamu belum jawab pertanyaanku. Benar kan, kamu teman Amira yang waktu itu di restoran?" tanya Bu Retno penuh selidik. Ia merasa yakin jika wanita yang telah ditabraknya tadi adalah teman mantan menantunya.Delia berbalik, ia sempat merasa menyesal telah menyebut nama mantan mertua Amira saat jatuh tadi. Tak menyangka, ternyata Bu Retno masih mengingatnya dan menghentikan langkahnya."Iya, Bu. Saya teman Amira," jawab Delia, ia mengukir senyum terpaksa karena beberapa orang di rumah sakit mulai memperhatikan mereka."Tuh kan, bener. Ngapain kamu di sini? Pasti kamu sama Amira kan?""Saya ada urusan, Bu." Delia masih menjawab dengan s
"Papa Radit, adalah nama dari Papanya Gemilang," jelas Bu Retno."Mama gak penah celita, kalo Emiyang puna Papa ( Mama gak pernah cerita, kalo Gemilang punya Papa)." Gemilang berujar polos.Bu Retno menatap dalam cucunya, ia tak mengira Amira benar-benar tak menceritakan apa pun tentang Radit pada cucunya. Sepertinya memang Amira ingin menghapus jejak Radit dalam hidupnya. Tetapi, bagaimanapun juga, Radit tetaplah ayah kandung Gemilang."Bu, lebih baik tak bahas apa pun di sini. Saya mohon dengan sangat, Ibu keluar dari sini." Amira berucap sopan, ia tak ingin Gemilang terganggu karena kehadiran Bu Retno."Kamu ngusir Ibu, Mir? Ibu cuma ingin liat cucuku!" sentak Bu Retno dengan nada yang mulai meninggi.Hal itu membuat Gemilang menjadi takut melihat Bu Retno. Ia berpikir orang ini jahat karena berucap dengan nada keras. Balita empat tahun itu pun, menangis.Melihat putranya menangis, membuat Amira merasa gusar."Bu, tolong jangan berteriak. Anak saya ketakutan. Lebih baik Ibu keluar,
Bu Retno masih duduk menemani Rania yang terbaring dia atas bed. Kondisi Rania sudah mulai membaik setelah beberapa hari dirawat. "Bu, apa belum ada kabar apa pun dari Bang Radit?" tanya Rania.Bu Retno menggeleng pelan, ia sendiri tak tahu Radit berada di mana. Terakhir kali pesannya berbunyi jika ada urusan pekerjaan. Tetapi, saat Bu Retno hendak membalas dan menjawab pesannya, nomornya sudah tidak aktif lagi.Pintu kamar Rania diketuk, seorang lelaki muda menggunakan kemeja kotak dan celana jeans masuk ke dalam bangsal Rania. Lelaki tersenyum, ia membawa seikat bunga untuk wanita yang telah menjadi kekasihnya satu bulan ini."Zaki?" Rania terkejut melihat kedatangan Zaki, ia melirik Ibunya yang tengah menatap tajam Zaki yang kini mulai mendekat."Apa kabar Ran? Kenapa kamu gak bilang kalau kamu sakit?" tanya Zaki sejurus kemudian sembari memberikan bunga pada Rania. Ia pun melihat ke Bu Retno, disalaminya wanita yang kini duduk di samping bed. Bu Retno menerima uluran tangan Zaki
"Aku hanya ingin tahu kabarmu, setelah beberapa hari menghilang," jawab Amira.Radit tersenyum sinis, "Untuk apa? Bukankah kau sudah tak peduli lagi padaku?""Kamu jangan Ge-er dulu, Bang. Aku mencarimu, bukan berarti peduli padamu.""Lantas? Bukankah kau sendiri yang tak ingin bertemu denganku?" Radit tak percaya begitu saja ucapan Amira. Ia berpikir, mungkin saja Amira mulai membuka hatinya kembali."Kau masih sama, Bang. Tak pernah berubah, kau begitu naif, sehingga sikapmu itu perlahan menghancurkan hidupmu." "Maksud kamu?" Radit masih tak mengerti dengan ucapan Amira."Kau memukuli seseorang tanpa mencari tahu kebenarannya dahulu. Mungkin tujuanmu benar, demi membela harga diri keluargamu. Tapi, kau begitu ceroboh mengedepankan emosi, sehingga sekarang berada di sini. Sementara Ibu dan adikmu kini kelabakan mencarimu."Radit tertegun mendengar perkataan Amira. Ia tak menyangka jika Amira tahu tentang masalah yang menimpanya. Memang apa yang diucapkan Amira benar adanya. Radit te
"Ayo, cerita, ada apa?" tanya Nisa kemudian setelah mereka duduk."Nis, apa keputusanku ini salah ya? Apa aku telah egois?" Syahla mulai bercerita."Keputusan buat nikah dengan Pak Yudha? Bukankah itu mimpi kamu?" Nisa merasa tak mengerti dengan ucapan Syahla."Maksud aku gini, aku pikir, aku akan bahagia mendapatkan Mas Yudha. Namun, hati kecilku merasa hampa karena aku tahu, Mas Yudha tak mencintaiku. Aku merasa Mas Yudha tak bahagia jika menikah denganku. Ia selalu bersikap dingin meskipun kami akan menikah. Aku pikir, Mas Yudha masih mencintai Amira," ujar Syahla."Terus, mau kamu apa, La? Apa kamu berpikir untuk melepaskan Yudha dan Amira untuk bersama? Bukankah, kau membenci Amira?" seloroh Nisa."Iya, sih. Namun, aku kembali merenung akhir-akhir ini. Semua yang terjadi bukan sepenuhnya salah Amira. Ini hanya keegoisanku semata karena cemburu padanya. Aku bingung, Nis. Namun, untuk mundur dan melepas Mas Yudha, aku sudah terlanjur malu dengan foto-foto itu.""Hati kecilku juga me
Syahla baru saja sadar dari pingsannya. Setelah semalaman tak sadarkan diri. Terlihat Nisa yang sedang menjaganya. "Nisa," ucap Syahla lirih."Syahla, kamu udah sadar? Alhamdulillah ..." Nisa menangis haru, ia sangat takut kehilangan sahabatnya tersebut."Nis, aku masih hidup kan?" tanya Syahla."Iya, bod*h. Kau masih hidup, janji jangan kau ulangi perbuatan bod*hmu itu, La," ujar Nisa."Buat apa aku hidup, Nis. Semua kebahagiaanku sudah direnggut oleh Amira. Aku bahkan sudah tidak punya muka lagi sekarang. Hanya karena cinta, aku bertindak bod*h." Syahla menyesali perbuatannya."Aku benci Amira, Nis! Aku benci dia, karena dia hidup aku hancur seperti ini," sambungnya."Syahla, kamu yang tenang ya. Pak Yudha pasti akan menikahimu," ucap Nisa."Nggak mungkin, Nis. Mas Yudha tak akan menikahiku, ia pasti sangat membenciku saat ini.""A-aku akan menikahimu, Syahla." Suara seorang lelaki yang tak begitu asing di telinga Syahla.Syahla pun menoleh, mencari lelaki itu. Terlihat Yudha sudah
Malam hari.Syahla tengah melihat foto-foto di galeri ponselnya di dalam kamar. Foto-foto mesra yang ia ambil dengan dibantu Nisa, ketika Yudha tengah tak sadarkan diri di kamarnya. Ia sedang berpikir untuk mengirim foto-foto itu di media sosial miliknya. Juga, ia akan mengirim di grup pekerjaannya di kantor. Meskipun, hal itu akan sangat memalukan, tetapi Syahla sudah tak punya cara lain lagi.Ia kemudian mengirim foto-foto itu di grup kerjaanya. Tak lama, grup kerjaanya itu heboh dengan banyaknya komentar dari rekan-rekan karyawan di kantornya. Semua komentar hampir menanyakan apa maksud dari Syahla mengirimkan foto-foto ini. Serta, menanyakan apakah benar foto-foto itu adalah foto Yudha dan Syahla?Syahla hanya membaca kehebohan di grup kantor, ia tak berniat membalasnya. Deretan pesan pribadi pun memenuhi ponselnya. Rata-rata dari teman kantornya."La, kamu benar-benar gila ya? Kamu serius kirim foto itu di grup kantor?" Nisa menghampiri Syahla, ia tak percaya dengan tindakan nek
Amira begitu kecewa mendengar penuturan dari Yudha yang mengatakan, jika lelaki itu mengakui tidur di kamar yang sama dengan Syahla saat terbangun. Namun, Yudha sendiri merasa tak yakin jika melakukan hal itu, ia tak ingat apa pun."Aku tak begitu ingat, kenapa aku berada di kamar yang sama dengan Syahla. Aku juga merasa tak yakin jika aku melakukan hal itu. Hanya saja, aku merasa kecewa dengan diriku sendiri, Mir. Aku sudah menyakitimu, maafkan aku," sesal Yudha."Terus, apa yang akan kau lakukan, Kak? Apa kau akan menikahi Syahla?" tanya Amira datar.Yudha terdiam, entahlah dia tak tahu apa yang akan dia lakukan. Sebagai seorang lelaki yang dididik baik oleh keluarganya, ia tak ingin menjadi lelaki pengecut yang lepas dari tanggung jawab. Namun, ia tak yakin dengan apa yang terjadi antara dirinya dan Syahla di kamar itu.Yudha kembali mengingat saat baru saja bangun dari pingsannya malam tadi. Ia memijit pelipisnya, merasa kepalanya begitu sakit. Pelan-pelan ia membuka matanya, terl
Syahla sedang pisisi tidur di samping Yudha. Meskipun tidak berpakaian seksi, Syahla melepas hijab yang menutup kepalanya."Nisa!" Syahla menoleh saat mendengar suara pintu terbuka dan Nisa masuk ke kamarnya."Syahla, aku berubah pikiran!" "Maksud kamu?"Nisa ke sisi Syahla kemudian menarik lengan wanita itu untuk segera bangun dari kasur."La, sadar, bukan seperti ini cara untuk mendapatkan Yudha! Kamu hanya akan mempermalukan dirimu sendiri!" ujar Nisa memperingatkan."Aku tak peduli, Nis! Bagiku mendapatkan Mas Yudha adalah hal yang lebih penting. Aku bahkan rela jika harus tidur dengannya!" seloroh Syahla."Tapi aku tak bisa membantumu dalam hal ini. Aku seperti ini karena peduli padamu, La. Aku tak ingin kamu mempermalukan dirimu sendiri." Nisa berusaha menyadarkan Syahla dari ide konyolnya."Oke, tak masalah. Aku sudah punya rencana lain kalau kau tak mau membantuku. Tapi, untuk kali ini kau jangan ikut campur Nisa. Berhenti menasehatiku, kau cukup melihat saja dan jangan berit
"Gemilang? Itu ... Bukan apa-apa," jawab Syahla gugup. Ia khawatir Gemilang melihat aksinya memberikan beberapa tetes cairan ke dalam kopi milik Yudha."Tapi, aku pernah lihat itu di rumah Oma." Gemilang menunjuk sesuatu di tangan kiri Syahla.Syahla pun mengikuti pandangan Gemilang, ternyata yang dimaksud anak kecil itu adalah gelang yang dipake Syahla."Gelang ini?" tanya Syahla memastikan dengan menunjukkan gelang itu pada Gemilang.Gemilang mengangguk. "Gelangnya sama kaya punya Oma. Apa itu gelang punya Oma, Tan?"Syahla sedikit lega mendengar ucapan Gemilang. Ternyata benar, Gemilang menanyakan gelangnya."Ini gelang punya Tante. Oma membelikannya untuk Tante. Gelang Oma sama Tante samaan," jelas Syahla."Emang kenapa, kok Gemilang tanya gelang ini?" tanya Syahla kemudian karena penasaran."Dulu waktu di rumah Oma, aku ambil gelang Oma buat mainan. Habis itu, gelang Oma rusak. Oma marah sama aku, katanya itu gelang berharga punya Oma. Aku nggak boleh pegang gelang itu lagi." Gem
Yudha mendatangi apartemen Amira. Kali ini, ia datang bersama Syahla karena saat hendak pulang dari kantor, Syahla memaksa ikut bersama Yudha.Awalnya, Yudha enggan mengajak Syahla. Ia takut Amira akan salah paham padanya nanti."Aku hanya ingin meminta maaf pada Amira, Mas. Izinkan aku ikut denganmu. Bukankah, kau sudah tak marah denganku lagi? Aku janji tak akan mengganggu hubungan kalian," rengek Syahla saat Yudha hendak masuk ke dalam mobilnya.Yudha pun merasa tak enak. Ia akhirnya mengizinkan Syahla ikut dengannya datang ke apartemen Amira."Baiklah, ayo masuk!" perintah Yudha.Syahla pun tersenyum, gegas ia masuk ke dalam mobil Yudha dan duduk di samping lelaki itu.Sesampainya di apartemen, Yudha segera memarkirkan mobilnya. Berjalan beriringan dengan Syahla, menuju apartemen Amira. Yudha masih bersikap agak dingin pada Syahla, meskipun wanita itu mencoba mencairkan suasana dengan mengajak Yudha mengobrol.Sementara itu, di dalam apartemen, sudah ada Radit yang juga baru saja
****Yudha tengah dilanda rasa bahagia karena hubungannya dengan Amira sudah jelas. Ia dan Amira sudah berencana untuk melakukan lamaran secara resmi dua minggu lagi dan selanjutnya menikah satu bulan setelahnya.Yudha teramat bahagia, ia selalu semangat dalam bekerja. Hari-harinya terasa indah dan rasanya sudah tak sabar untuk menuju hari itu. Namun, hal itu juga membuatnya sedikit posesif pada Amira karena takut kehilangan wanita itu.Seperti pagi ini, saat Amira menceritakan jika ia tak ke kantor karena akan mengurusi bayi Rania yang dititipkan oleh Radit padanya, seketika membuat hati Yudha merasa cemburu. Ia tak suka jika Amira masih berhubungan dengan Radit, karena takut cinta diantara mereka berdua bersemi kembali. Namun, Yudha menyembunyikan rasa cemburunya, ia mencoba bersikap tenang. Yudha tak mau gegabah karena takut Amira menjauh darinya."Maaf, Kak. Aku hari ini nggak ke kantor. Bang Radit menitipkan bayi Rania padaku. Aku tak tega jika tak membantunya," ucap Amira di tel
"Mengalami apa, Sus? Apa yang terjadi?" tanya Radit semakin merasa cemas."Sebelumnya, saya mohon maaf jika harus menyampaikan ini. Bayi pasien tidak sempurna, dia cac*t, anggota tubuhnya tak lengkap. Kedua tangannya tak ada. Tapi, bayinya sangat cantik, sama seperti ibunya," jawab suster itu menjelaskan."Ya Allah .... " Radit merasa lemas mendengar penjelasan dari suster."Boleh saya lihat keponakan saya, Sus? Saya ingin mengadzaninya," pinta Radit."Mari silahkan." Suster itu mempersilahkan Radit masuk ke dalam kamar bersalin.Terlihat Rania yang masih ditangani oleh bidan dan beberapa suster yang membantu. Radit melirik sekilas, ia tak tega melihat Rania.Suster kemudian menggendong bayi yang sudah dibersihkan itu, dan diberikannya pada Radit.Benar kata suster, bayi itu cantik, mirip dengan Rania. Hanya saja, anggota tubuhnya tak lengkap. Radit menerima bayi itu, dipeluknya bayi Rania dan dikecup keningnya. Radit teringat kembali momen di mana ia pernah mengadzani Gemilang saat