******
"Frank, ayolah jelaskan sedikit padaku," Anak laki-laki itu mondar-mandir karena mengikuti Frank yang entah kenapa sejak tadi terus menghindar saat dia bertanya kenapa anak itu tak melanjutkan ceritanya tentang seluk-beluk Negeri Wynstelle.
Salahkan saja Frank, kenapa dia menyebutkan jika tidak mau menjelaskan? Membuat orang penasaran saja!
Sedangkan Frank sudah risau setengah mati karena dia keceplosan dan berakhir memberitahu Felix tadi, bagaimana tidak? Menurut rumor dari teman-teman bermainnya, orang yang membocorkan rahasia ini tanpa izin Ratu akan ditahan di penjara besi emas yang mana di dalam penjara tersebut suhunya sangat panas seperti kau masuk neraka ditambah lagi dengan wajah penjaganya yang sangat mengerikan. Ah, membayangkan saja sudah membuat Frank ngeri.
"Biar aku saja yang jelaskan." Kedua anak laki-laki itu menoleh kearah belakang dan mendapati Edward di sana.
"Ayah?"
"Paman?"
Kedua anak itu berucap secara bersamaan. Pria itu berjongkok untuk menyamakan tubuhnya dengan anak laki-laki dari sahabatnya itu. Seketika Frank memasang wajah tak tahu apa-apa untuk menghindari bahaya. Namun ayahnya meliriknya sebentar dengan tatapan aneh membuatnya berkali-kali mencoba berpikir positif.
"Hai naga kecil, ngomong-ngomong tadi terbangmu hebat," ucap pria itu sembari tersenyum menatap anak berambut pirang platina tersebut.
Felix tersenyum hingga menampilkan jejeran giginya yang rapi, "terima kasih, paman."
"Kamu ingin tahu tentang rahasia itu, bukan?" Tanya Edward.
"Rahasia?" Ujar Felix bingung, memangnya itu rahasia, ya? Jika memang iya, pantas saja Frank tidak mau menjelaskan kepadanya.
"Iya, itu adalah rahasia besar dalam sejarah Wynstelle."
******
"Dahulu, negeri kita dikutuk oleh para siluman naga," ucap Edward memecah keheningan, dengan kedua anak laki-laki yang saat ini tengah diam dan menatapnya secara serius. Mereka sedang duduk di teras rumah pohon itu sambil memandangi danau berwarna biru yang sangat indah kemarin namun sekarang berubah menjadi warna hitam pekat.
Sesekali Edward melemparkan batu yang diperoleh entah darimana lalu menaikannya kembali dan menangkapnya dengan tangannya, begitu terus-menerus.
"Naga? Memangnya di sini ada?" Tanya Felix penasaran. Pria itu menghentikan aktifitas melempar batunya lalu netra hijaunya mengarah ke depan.
"Mereka ada di sana," balas pria itu sambil menunjuk kearah depan membuat Felix dan Frank mengikuti arah tangan Edward menunjuk.
Disana ada dua bukit yang diselimuti kabut tebal, hal itu membuatnya tampak menyeramkan jika dilihat dari kejauhan.
"Memangnya ada masalah apa sampai siluman naga mengutuk negeri ini?" Tanya anak bernetra biru itu lagi.
"Karena ada orang jahat yang hampir berhasil berkuasa di sini," ucapnya membuat Felix kebingungan dan Frank angkat bicara.
"Tapi apakah ayah tau siapa orang itu?" Edward menghembuskan napasnya pelan lalu mendongak menatap langit, mengingat kembali saat-saat paling menyedihkan bagi para penghuni Wynstelle.
"Beri tahu dimana keberadaannya atau kupenggal kepalamu!" Pria bersayap putih itu mengarahkan pedang tajamnya kearah leher seorang pria tua yang sedang menatapnya dengan raut marah.
"Kau pikir aku takut? Bahkan aku rela mengorbankan nyawaku hanya untuk Batu Permata itu, sialan!" Sentak pria itu sampai urat-urat di lehernya tampak menonjol.
"Sudahlah ayah, kenapa kau tidak memberikan Batu Permata itu kepada penguasa negeri ini selanjutnya?" Pria bersayap putih yang diikat pada sebuah pohon cemara itu menatap putranya sulungnya tak percaya.
Itu adalah Aldric, sang penguasa negeri Wynstelle yang pertama dan terakhir.
"Hanya untuk kekuasaan kau ingin menghabisi ayahmu sendiri?" Tanyanya menurunkan intonasi bicaranya.
Pria bernama Orazio itu tertawa pelan lalu berubah menjadi tawa jahat secara perlahan, "memangnya kenapa? Memangnya kenapa jika aku seperti itu?"
"Kau egois, Orazio," ujarnya dengan pandangan menajam kearah pria di depannya.
Perkataan itu sukses membuat raut marah tergambar jelas di wajah Orazio. Dia menurunkan pedangnya dari leher ayahnya lalu berjongkok dan menatap pria tua yang merupakan ayahnya tersebut.
"Benarkah aku yang egois? INI SEMUA SALAH AYAH, AYAH TAHU? KENAPA AYAH MEMUTUSKAN JIKA NEGERI INI AKAN MENJADI NEGERI BEBAS DISAAT SUDAH JELAS ADA PENERUS YANG PANTAS DISISI AYAH? PENGUASA NEGERI INI SETERUSNYA ADALAH AKU, TIDAK AKAN ADA KATA BEBAS UNTUK NEGERI INI, AYAH MENGERTI?!" Pria itu berteriak di depan ayahnya hingga menggebu-nggebu.
Aldric menggeleng-gelengkan kepalanya pelan, menyayangkan kelakuan baik putra sulungnya yang berubah begitu saja hanya karena dibutakan oleh kekuasaan. Orazio adalah orang yang lemah lembut bahkan adiknya lebih suka membantah daripada laki-laki itu, Orazio yang selalu menyelesaikan masalah dengan kepala dingin dan bahkan laki-laki itu tidak pernah terlihat menunjukkan emosinya kepada siapapun, ia orang yang selalu berkeliling setiap hari hanya untuk memastikan tidak ada rakyat yang kelaparan maupun kesusahan. Namun saat ini semuanya seolah berubah secara perlahan.
Apakah semua itu hanya untuk mendapatkan kekuasaan?
Sedari dulu dia memang tidak pernah memutuskan tentang penerusnya, dan dia sama sekali tidak pernah mau memberikan kekuasaannya kepada putra sulungnya, karena suatu alasan yang tidak bisa dia jabarkan melalui kata-kata. Lalu kenyataan apakah ini?
Orang yang selalu menebarkan kebaikan justru sekarang malah berbalik arah. Apakah memang hukum alamnya begitu? Sifat yang ditunjukkan mungkin baik, tapi kita tak bisa menyimpulkan seseorang baik atau tidaknya hanya melihat dari luarnya saja.
Tapi di dalam lubuk hatinya, dia juga merasa bersalah karena mengambil keputusan sepihak begitu saja tanpa persetujuan dari putra sulungnya itu dahulu.
Dia tidak bisa membantah dan membela diri sama sekali. Karena yang dikatakan Orazio memang benar.
"Silahkan bunuh ayah, namun jangan kau menghancurkan negeri ini hanya karena keegoisanmu itu, anakku." Pria itu mengambil tangan Orazio yang menggenggam pedang dan meletakkan pedang itu pada lehernya. Pandangan Aldric menunduk, melihat tanah basah yang mungkin saja sebentar lagi akan menjadi tempat tinggalnya, memilih pasrah akan apa yang akan terjadi padanya selanjutnya.
Sedangkan kedua insan berbeda jenis kelamin yang sejak tadi menyaksikan sejak tadi dari semak-semak tak jauh dari posisi mereka hanya bisa mematung di tempat.
Mereka tau dan mereka sadar bahwa pemandangan yang terjadi di depan mereka saat ini tidak bisa mereka campuri.
Iya, itu Edward dan Freya.
"Andaikan kakak tahu bahwa ayah melakukan ini untuk keselamatan dia." Gadis berambut pirang platina dengan hiasan bunga di kepalanya itu menatap nanar pemandangan yang disaksikan oleh matanya kali ini.
Srekk!
Freya dan Edward memejamkan matanya kala pedang yang sedari tadi berada di tangan Orazio berhasil menebas kepala Aldric—ayahnya sendiri.
Dia sudah gila!
Batin Freya menjerit karena merasa tak berdaya sebagai seorang anak, dia tidak bisa melakukan apa-apa, ini sudah keputusan dari ayahnya. Dia membuka kelopak matanya yang sedari tadi terpejam, dan kakinya seketika lemas karena melihat tubuh ayahnya yang terikat di pohon tadi sudah dalam keadaan tak berkepala.
Darah sudah menyiprat kemana-mana, termasuk kakaknya yang sekarang sudah berlumuran darah. Pandangan Gadis berkuncir kuda itu menajam saat menatap sang pelaku yang saat ini terduduk kaku sambil menatap kedua tangannya yang berlumuran darah. Nampak seperti menyesal, namun Freya agak ragu jika orang tak berotak seperti dia mempunyai rasa menyesal.
Edward memperhatikan tangan Freya yang sudah mengepal seakan bersiap untuk menghabisi kakak laki-lakinya, tangannya bergerak untuk memegang bahu gadis itu untuk sekedar menenangkan namun berhenti di udara kala objek yang dituju sudah berjalan menghampiri si pelaku yang masih terduduk kaku itu.
"Puas kau sekarang, huh?!" Freya berteriak dengan napas menderu membuat orang yang diteriaki mendongak menatap kearahnya.
"Kau itu sudah tidak waras, ya?! Dia ayahmu, bodoh! DIA AYAHMU!" Bibir gadis itu bergetar karena menahan tangis bercampur amarahnya yang sudah tak dapat ia tahan lagi.
"Kau membunuh ayah kita, kakak..." Dia terduduk di hadapan kakaknya yang masih menatapnya kosong.
Tangisnya tumpah saat itu juga.
Edward kaku di tempat, dia hanya bisa terpaku melihat sahabatnya yang begitu tahan banting dan ceria kali ini menangis tersedu-sedu di hadapan mayat tanpa kepala itu.
Tiba-tiba sebuah kekehan kecil terdengar membuat Edward dan Freya menatap orang yang beberapa bagian dari tubuhnya terciprat darah akibat ulahnya sendiri.
Dia...memang gila.
"Akulah penguasa Wynstelle sekarang," katanya sambil tertawa penuh kemenangan.
"Setelah Raja Aldric meninggal, semuanya berubah seperti ini." Pria itu mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru hutan, entah kapan terakhir kali dia melihat daun-daun berwarna hijau dan danau yang berwarna biru itu.
Mereka semua sangatlah indah, tapi itu dulu.
"Itu semua terkait peringatan dari siluman naga, bahwa jika Batu Permata itu jatuh ke tangan yang salah maka dunia akan menjadi gelap," sambung pria itu.
"Jadi maksud ayah, Raja Aldric memutuskan negeri ini menjadi negeri bebas karena tidak mau peringatan siluman naga menjadi kenyataan?" Tanya Frank yang dibalas anggukan oleh Edward.
"Iya, dan sampai akhirnya semua orang yang mempunyai jiwa yang jahat sayap mereka berubah menjadi hitam. Keputusan Raja Aldric untuk melindungi negeri ini dirusak oleh kerakusan putranya sendiri," balasnya.
Negeri Wynstelle pada masa itu dan sampai saat ini dibagi menjadi dua bagian, bagian Wynstelle timur untuk Freya sebagai penjaga Peri Putih dan untuk daerah kekuasaan Orazio adalah bagian barat, Edward tidak tahu pasti namun informasinya Orazio adalah pemimpin bangsa Peri Hitam.
"Tapi paman, adakah orang yang bisa membebaskan negeri ini?" Tanya Felix membuat Edward menatap kearahnya sembari tersenyum tipis.
"Menurutmu, apakah ibumu tidak mempunyai alasan khusus saat membiarkanmu masuk ke negeri berbahaya ini?"
******
******Prangg!Pria bertanduk hitam serta sayap hitam itu membanting kotak berukiran bunga dandelion tepat di depan wanita bersayap putih yang tengah menatapnya datar."Kenapa? Kenapa kau biarkan dia kemari?!" Teriaknya marah membuat wanita di depannya itu terkekeh pelan."Kau takut?" Tandasnya dengan sisa-sisa tawa lirih.Rahang pria itu mengeras dan giginya bergemelutuk menandakan dia kesal dengan wanita di depannya itu."Kau bilang kutukan itu hanya bualan semata, tapi lihatlah kali ini kau pun takut sendiri." Wanita itu tersenyum kiri membuat pria yang merupakan bagian dari keluarganya itu makin merasa dipermalukan.Wanita itu adalah Freya dengan Orazio yang berada di depannya."Kau ingin membuat kakakmu sendiri menemui ajalnya?" Ujar Orazio menurunkan nada bicaranya.Seketika wanita itu merubah rautnya, mata Freya menajam kearah pria itu. "Kau bukan saudaraku lagi sejak kau
*******"Semua yang ada di sini tidak akan mati kecuali dimatikan."Itu bukan suara mereka. Melainkan suara seseorang dari belakang mereka.Kedua anak laki-laki itu menoleh kebelakang kala suara berat terdengar menyahut dari sana. Terlihat sosok laki-laki berambut orange dengan netra yang sama seperti rambutnya sedang menyembunyikan kedua tangannya di belakang tubuhnya sambil menatap kearah Felix dan Gazza. "Paman James?" Ucap Gazza."James?" Tanya Felix menatap Gazza kebingungan.Gazza mengalihkan pandangannya kearah Felix, baru ingat jika anak itu baru tiba di tempat ini. "Ah, dia teman ayahku," jawabnya membuat Felix mengangguk-angguk mengerti.Pria itu meliriknya sekilas lalu kembali menatap Gazza, "ayahmu mencarimu.""Iya paman, setelah ini aku akan pulang," balas Gazza dibalas senyuman dan usapan pelan di kepala oleh pria itu."Hati-hati saat melewati hutan cahaya," ucapnya lagi dengan seseka
*******Jlebb!"Felix!" Keempatnya berteriak secara bersamaan ketika anak panah itu mengenai bahu kanan Felix bagian atas.Felix meringis melihat darah yang mulai mengucur deras dari bahu bagian depannya. Dia menatap penuh emosi kearah ketiga peri penjaga perbatasan yang kini menatapnya puas. Dengan menahan mati-matian sakit yang ada di bahunya, dia memunculkan cahaya biru pada kedua tangannya yang masih baik-baik saja dan mengarahkannya pada ketiga peri tersebut.Frank, Dean, Hardwin dan Gazza sukses terkejut dengan yang dilakukan Felix kepada ketiga peri hitam itu.Mereka diselimuti bongkahan es sekarang.Bruk!Kelimanya menoleh kearah sumber suara, tampak seorang peri bersayap hitam tengah turun dari pohon. Dengan sigap tangan Frank bergerak memunculkan akar dari tanah yang mengikat kaki peri tersebut hingga tersungkur.Sudah dapat ditebak, itu pasti orang yang mencoba memanah mereka
******"Dari mana kau tahu?" Tanya James kepada Felix yang tengah duduk di ruang tamu rumahnya bersama anak-anak lainnya.James meletakkan teh buatannya di hadapan mereka berlima. Tampak Gazza, Frank, Hardwin dan Dean mengernyit menatap teh yang kini berada di hadapan mereka. Felix mengabaikan reaksi mereka yang ia rasa seperti sedang jijik dengan minuman itu, dia kembali melihat James yang duduk di hadapannya, terlihat sedang menunggu jawaban darinya."Dari mimpi," ucapnya serius.Frank yang sedang meminum teh sontak menyemburkannya kearah Gazza yang kini berada di depannya."Hei, kau bercanda?" Ucapnya dengan mata melotot.Sudah terpaksa minum teh yang rasanya seperti air comberan, ditambah kaget karena pengakuan Felix yang tidak masuk akal. Oh, ayolah, dia meminumnya hanya untuk menjaga kesopanan, karena tidak mau bermasalah dengan peri bermata orange. Dan jika Felix hanya bercanda seperti ini, sia-sia saja d
*****"Akh! Kubun—"Brakk!Keenam peri itu sontak menoleh kearah pintu yang dibuka secara kasar oleh seseorang, bahkan Felix pun menggantungkan teriakannya karena terkejut.Tampak seorang anak yang berambut sama seperti James sedang menatap pria itu panik. Terlihat dari deru napasnya yang tak teratur. "Ayah, mereka menyerang warga lagi!"Mendengar berita itu James langsung berlari kearah luar meninggalkan ruangan itu disusul anak perempuan tadi. Hal itu membuat Felix dan yang ketiga temannya bertanya-tanya, kecuali Gazza tentunya."Haruskah kita mengikuti mereka?" Tanya Hardwin menatap satu persatu temannya."Jangan. Itu diluar kemampuan kita," balas Gazza."Lalu, haruskah kita melanjutkan misi kita?" Ucap Frank yang dibalas anggukan serta senyuman kiri oleh Dean, Gazza dan Hardwin.Sedangkan Felix memiringkan kepalanya sembari menatap mereka berempat, bingung apa yang dibicarakan oleh
***** "Siapa di sana?" Suara berat laki-laki yang menggema di goa itu membuat ketujuh anak peri itu terkesiap dan saling memandang satu sama lain. Seolah mata mereka menjadi pengganti mulut sebagai alat berkomunikasi untuk saat ini. Cahaya dari obor yang mungkin dibawa oleh si pemilik suara itu makin terlihat jelas di depan mereka. Mereka memejamkan matanya kala bayangan orang itu tampak mendekat kearah mereka bertujuh. "Kalian? kenapa di sini?" Suara yang terasa sangat tidak asing di telinga mereka itu terdengar menginterogasi, membuat Felix, Dean, Hardwin, Gazza, Frank, Lavender, dan Vancy membuka mata mereka, terkejut melihat siapa yang kini berada di hadapan mereka. "Ayah?" Frank menatap Edward bingung sekaligus terkejut karena tak mengerti mengapa ayahnya itu berada di sini. Namun tak lama, anak laki-laki bernetra hijau emerald itu menundukkan kepalanya kala mata Edward menatapnya tajam.
***** "Tidakk!" Kelopak mata dengan netra biru itu terbuka lebar, napas anak itu memburu serta keringat dingin yang sudah membanjiri wajahnya. Mimpi buruk lagi. Tapi tunggu, memangnya tadi dia mimpi apa? Aneh, kenapa dia tidak mengingatnya sama sekali kali ini. Biasanya, dia akan selalu mengingatnya. Namun, untuk wajah orangnya dia tidak bisa ingat sama sekali. Dia menoleh ke samping, sedikit terkejut kala melihat ibunya tertidur di sampingnya. Untung saja, teriakannya tidak membangunkan wanita itu. Melihat wajah ibunya, membuat potongan ingatan tentang mimpinya yang sempat ia lupakan kembali. Sekelebat ingatan tentang ibunya yang tak sadarkan diri sedang disandera di sebuah kursi dengan sebuah sihir dan kedua orang pria yang sedang bertarung hebat. Salah satunya tampak sedang melindungi ibunya. Tubuhnya menegak kala melihat itu. Entah kenapa, dia merasa bahwa itu
***** "Kau yakin?" Ucap Frank menatap khawatir kearah anak bersurai pirang platina dengan burung merah di bahunya itu. "Kau mengkhawatirkanku?" Tanyanya sambil menaik-turunkan alisnya menggoda anak laki-laki bernetra hijau emerald itu. Frank menatap datar anak laki-laki di depannya. Membuat yang ditatap tertawa. "Sepertinya kau terlalu banyak bergaul dengan Dean dan Hardwin." Frank menyerahkan semprotan tak kasat mata kepada Felix. Anak laki-laki bernetra biru itu terkekeh pelan, "tidak juga." Begini maksudnya, semprotan tak kasat mata adalah nama sebuah benda. Semprotan ini mengandung sihir yang jika disemprotkan ke tubuh seseorang ataupun benda, maka seseorang maupun benda itu akan menjadi tak terlihat. Semprotan ini tidak ada di kalangan peri bermata manapun selain kalangan peri bermata hijau. Dengan kata lain, hanya peri bermata hijau yang bisa membuatnya. Frank menyerahkan semprotan itu kepada
****"Paman Edward?"Keenam anak peri itu terlonjak kaget kala tak sengaja mendapati Edward yang tengah berdiri tepat di depan Goa Dua Pintu.Frank menelan salivanya susah payah lalu membalikkan badannya, namun ditahan oleh Gazza dengan cara ditarik ujung kerah lehernya. Lagi? Astaga, dia lelah terus yang terkena omelan Ayahnya karena ketahuan melakukan hal mencurigakan. Padahal Ratu Freya biasa-biasa saja, tapi respon Ayahnya sangat berlebihan menurutnya."Frank?" panggil Edward ke arah putranya yang kini tengah menundukkan kepala.Frank yang sangat tahu apa maksud dari Sang Ayah pun memejamkan matanya sebentar, mendongakkan kepalanya dan menghalau semua rasa gugup bercampur takut yang ada. "Kami ingin mengambil Batu Permata Bintang," ucapnya.Edward menaikkan sebelah alisnya bingung. "Batu Permata Bintang? Mengapa di sini?" tanyanya ke arah ketujuh anak itu.Frank menyerahkan peta yang sedari tadi berada di tangannya kepada Edward.Dengan ragu, Edward menerima peta itu. Dia cukup t
***** "AAAAAA!" "TIDAKKK!" Kaki Edward melemas melihat kedua sahabatnya yang kini telah tak sadarkan diri akibat diserang Habis-habisan oleh Raja Peri Hitam. Dia terlambat. Netra hijau emeraldnya mengamati anak laki-laki bersurai pirang platina yang kini tengah mengarahkan tatapan membunuh ke arah pria yang menjadi biang keladi dari kerusuhan yang terjadi malam ini. "BERANI SEKALI KAU MENGHENTIKAN MANTRAKU, BOCAH!!" Pria bertanduk hitam itu menatap tajam Felix yang baru saja menghalau mantranya, sehingga mantra itu tidak mengenai Andrio sepenuhnya. Tapi, bagaimana anak itu bisa bangun lebih cepat dari dugaanya? "Kau mencariku, bukan? Lalu untuk apa kau membunuhnya? Melakukan hal yang sia-sia?" ucap Felix tak berekspresi sambil menaikkan sebelah alisnya. Rahang Orazio mengeras melihat ekspresi anak laki-laki di depannya. "Kau tidak tahu apapun!" Felix terkekeh pelan, "ken
***** "Hahaha, apakah kau akan terus melindunginya, Andrio?" Suara tawa terdengar menggema di sebuah rumah yang hanya di terangi oleh cahaya lilin dan pantulan cahaya dari sang bulan. Anak bersurai pirang platina itu perlahan membuka matanya, merasakan tubuhnya tengah terbaring di atas lantai marmer berwarna hitam yang terasa begitu dingin menusuk tulangnya. Dia mengubah posisinya menjadi duduk. Di depannya terlihat kedua pria yang mungkin seumuran Paman Edward tengah saling bertarung mengeluarkan kekuatan mereka masing-masing. Salah satu diantara mereka bertanduk hitam serta bersayap hitam sedangkan yang satunya tidak mempunyai sayap maupun tanduk. Peri bersayap hitam itu tampak sedang membelakangi seseorang yang sedang disekap pada sebuah kursi dengan sihir merah yang mengelilingi tubuhnya. Dia mengucek-ucek matanya yang masih buram karena mungkin sudah terlelap entah berapa lama. Tapi, kenapa dia berada
***** "Paman, Ibu tidak bernapas. Aku harus bagaimana?" Ucapnya lirih, bahkan mungkin tak terdengar oleh yang lain selain mereka. Suara putus asa itu membuat jantung Andrio serasa berhenti berdetak detik itu juga. Kepalanya menoleh cepat kearah perempuan bersurai pirang platina tergerai bebas yang sedari tadi masih dalam keadaan memejamkan mata. Dia menggeleng pelan. Itu tidak mungkin. Dia belum menyalurkan mantra itu sepenuhnya. Seharusnya tidak secepat itu. Andrio berlari cepat ke arah wanita yang masih berstatus pasangan hidupnya tersebut. "Freya... Itu tidak benar, kan?" Ucapnya lirih di hadapan Freya. Telunjuknya bergerak untuk dia taruh di depan lubang hidung Freya agar ia bisa merasakan deru napas wanitanya. Oh, masihkah kata itu berlaku? Tepat sebelum hal itu terjadi, Felix lebih dahulu menyambarkan petir yang berasal dari Berlian Biru yang tengah ia hadapkan ke arah pria itu. A
***** Felix berlari tergesa-gesa diantara beberapa pohon yang tumbuh tinggi menjulang di sekitar Hutan Cahaya. Ibunya ditangkap. Berita sampah macam apa itu? Awas saja jika dia dibohongi. Tidak mungkin ada yang menyakiti Ibunya. "Kau punya sayap, bodoh! Kenapa malah berlari?!" Ujar Frank yang kini sedang terbang di atasnya bersama dengan keenam temannya yang lain. Anak laki-laki bersurai pirang platina itu mendongak. Seketika timbul keinginan menempeleng kepala anak itu karena cara mengingatkannya yang amat menyebalkan. Tapi...benar juga kata Frank. Kenapa dia seketika melupakan fungsi sayapnya? Ah, entahlah. Pikirannya campur aduk sekarang. Entah itu tentang keberadaan Batu Permata Bintang maupun tentang ibunya yang katanya ditangkap entah oleh siapa. Dia mengepakkan sayapnya, ikut terbang bersama dengan teman-temannya. Namun diantara ketujuhnya, Felix lah yang terbang dengan sangat cepat da
***** "Vancy dan Lavender sedang ditugaskan Paman James untuk meneliti sesuatu, jadi mungkin mereka tidak akan datang malam ini," ucap Gazza yang tengah merebahkan dirinya di kursi empuk di ruang tengah. Tunggu, kursi empuk? Anak laki-laki itu kembali duduk, menoleh ke belakang untuk mengamati kursi kayu yang biasanya selalu ia duduki sekarang sudah berubah menjadi kursi empuk berwarna biru. Dia melirik keempat temannya yang sedang sibuk bermain membentuk kunang-kunang menjadi sebuah bentuk hewan sesuai yang diperintah oleh pemain lain. "Siapa yang mengubah kursi ini?" Tepat saat giliran Hardwin yang akan membentuk kunang-kunang, Gazza bertanya kepada mereka mereka. Mendengar itu, keempatnya menoleh ke arah sofa tempat Gazza duduk. "Siapa lagi kalau bukan temanmu yang berasal dari dunia manusia ini," ujar Dean sambil melirik Felix. Anak laki-laki bersurai pirang platina
***** Frank, Gazza, Dean, dan Hardwin memandang aneh makanan yang kini tersaji di depan mereka. "Kenapa?" Tanya Felix yang tengah menatap keempat temannya sambil melingkarkan tangannya di depan dadanya yang terlapisi oleh apron tersebut. "Ini apa?" Tanya Dean sambil menoel-noel pelan kue yang berbentuk bulat dan mempunyai lubang pada bagian tengah itu. "Itu makanan," balas Felix lalu ikut mendudukkan dirinya di depan teman-temannya. "Benarkah? Kurasa ini terlalu lucu untuk ukuran makanan," ucap Hardwin yang dibalas anggukan oleh Gazza dan Frank. Felix memutar bola matanya malas. Iya, dia tadi membuat beberapa donat yang dengan sengaja dia buat dengan bentuk beberapa hewan. Seperti koala, panda, hamster, rubah, dan beruang. Bentuk mereka sangat lucu, oleh karena itu mereka sampai terheran-heran. Karena di Wynstelle tidak ada makanan semacam itu. Jangan tanya kenapa Felix bisa membuatnya, nenek
***** Frank menepuk pundak Gazza kala melihat hal aneh yang dilakukan oleh pria bertudung yang berada di tribun sebelah mereka. "Lihat itu," ucap anak laki-laki bersurai hijau apel itu membuat Gazza serta Si Kembar Tak Bersaudara mengikuti arah pandangnya. Pria bertudung hitam yang hanya terlihat mulutnya saja itu menggerakkan bibirnya seperti sedang memantrai sesuatu. Gazza beralih menatap Black Dragon yang mulai mengendus-endus, padahal semula tidak. "Naga itu," ujarnya sambil menunjuk Black Dragon. Frank, Dean, dan Hardwin menoleh ke arah anak laki-laki bernetra abu-abu itu. "Dia telah memantrainya," sambungnya. Frank, Dean, dan Hardwin menatap khawatir Felix kala Black Dragon mulai bisa mencium kehadiran anak itu. Sedangkan Gazza mencoba berkomunikasi dengan Felix, siapa tahu kali ini akan berhasil. Dia bernapas lega saat Felix menatap pria bertudung itu. "Perasaanku sungguh tak
🐲🐲🐲🐲 Ssssshhhh! Dak! Byurrr! Felix menepuk pelan tanah di depannya, mencoba melindungi dirinya dengan mencoba mengeluarkan air asin dari tanah tempat Black Dragon berpijak menggunakan kekuatan airnya. Naga bersisik hitam itu terangkat ke atas udara karena semburan air dari tanah ulah Felix tadi yang begitu kuat dan banyak. Anak itu dengan cepat terbang menjauh dari sana untuk kembali ke stadion sebelum naga itu berhasil lolos. Ketika hampir sampai di stadion, matanya tak sengaja menangkap sebuah objek yang menurutnya sekarang sangat ia butuhkan sekarang ini. Senyumnya merekah kala menyadari apa itu. Itu apel dari pohon kembar. Kata Frank, jika ada yang memakan buah itu, orang yang memakannya akan menjadi tak kasat mata hanya pada orang yang dia ingin dirinya tak terlihat di mata orang itu, sedangkan untuk orang lain dia tetap terlihat. Atau dalam kata lain, te