*****
"Paman, Ibu tidak bernapas. Aku harus bagaimana?" Ucapnya lirih, bahkan mungkin tak terdengar oleh yang lain selain mereka.
Suara putus asa itu membuat jantung Andrio serasa berhenti berdetak detik itu juga. Kepalanya menoleh cepat kearah perempuan bersurai pirang platina tergerai bebas yang sedari tadi masih dalam keadaan memejamkan mata. Dia menggeleng pelan.
Itu tidak mungkin. Dia belum menyalurkan mantra itu sepenuhnya. Seharusnya tidak secepat itu.
Andrio berlari cepat ke arah wanita yang masih berstatus pasangan hidupnya tersebut. "Freya... Itu tidak benar, kan?" Ucapnya lirih di hadapan Freya.
Telunjuknya bergerak untuk dia taruh di depan lubang hidung Freya agar ia bisa merasakan deru napas wanitanya. Oh, masihkah kata itu berlaku?
Tepat sebelum hal itu terjadi, Felix lebih dahulu menyambarkan petir yang berasal dari Berlian Biru yang tengah ia hadapkan ke arah pria itu.
A
Hai. Aku nggak tau bakal ada yang baca sampe sini atau nggak, ya, hehe. Ragu bgt ada yang baca cerita aku sampe sejauh ini. Cuma mau nginformasiin, kalo cerita ini bakalan nggak aku update untuk sementara waktu. Maaf banget, ya. Soalnya ada hal yang lebih penting yang harus di kerjain. Thank youu! And, see u.
***** "Hahaha, apakah kau akan terus melindunginya, Andrio?" Suara tawa terdengar menggema di sebuah rumah yang hanya di terangi oleh cahaya lilin dan pantulan cahaya dari sang bulan. Anak bersurai pirang platina itu perlahan membuka matanya, merasakan tubuhnya tengah terbaring di atas lantai marmer berwarna hitam yang terasa begitu dingin menusuk tulangnya. Dia mengubah posisinya menjadi duduk. Di depannya terlihat kedua pria yang mungkin seumuran Paman Edward tengah saling bertarung mengeluarkan kekuatan mereka masing-masing. Salah satu diantara mereka bertanduk hitam serta bersayap hitam sedangkan yang satunya tidak mempunyai sayap maupun tanduk. Peri bersayap hitam itu tampak sedang membelakangi seseorang yang sedang disekap pada sebuah kursi dengan sihir merah yang mengelilingi tubuhnya. Dia mengucek-ucek matanya yang masih buram karena mungkin sudah terlelap entah berapa lama. Tapi, kenapa dia berada
***** "AAAAAA!" "TIDAKKK!" Kaki Edward melemas melihat kedua sahabatnya yang kini telah tak sadarkan diri akibat diserang Habis-habisan oleh Raja Peri Hitam. Dia terlambat. Netra hijau emeraldnya mengamati anak laki-laki bersurai pirang platina yang kini tengah mengarahkan tatapan membunuh ke arah pria yang menjadi biang keladi dari kerusuhan yang terjadi malam ini. "BERANI SEKALI KAU MENGHENTIKAN MANTRAKU, BOCAH!!" Pria bertanduk hitam itu menatap tajam Felix yang baru saja menghalau mantranya, sehingga mantra itu tidak mengenai Andrio sepenuhnya. Tapi, bagaimana anak itu bisa bangun lebih cepat dari dugaanya? "Kau mencariku, bukan? Lalu untuk apa kau membunuhnya? Melakukan hal yang sia-sia?" ucap Felix tak berekspresi sambil menaikkan sebelah alisnya. Rahang Orazio mengeras melihat ekspresi anak laki-laki di depannya. "Kau tidak tahu apapun!" Felix terkekeh pelan, "ken
****"Paman Edward?"Keenam anak peri itu terlonjak kaget kala tak sengaja mendapati Edward yang tengah berdiri tepat di depan Goa Dua Pintu.Frank menelan salivanya susah payah lalu membalikkan badannya, namun ditahan oleh Gazza dengan cara ditarik ujung kerah lehernya. Lagi? Astaga, dia lelah terus yang terkena omelan Ayahnya karena ketahuan melakukan hal mencurigakan. Padahal Ratu Freya biasa-biasa saja, tapi respon Ayahnya sangat berlebihan menurutnya."Frank?" panggil Edward ke arah putranya yang kini tengah menundukkan kepala.Frank yang sangat tahu apa maksud dari Sang Ayah pun memejamkan matanya sebentar, mendongakkan kepalanya dan menghalau semua rasa gugup bercampur takut yang ada. "Kami ingin mengambil Batu Permata Bintang," ucapnya.Edward menaikkan sebelah alisnya bingung. "Batu Permata Bintang? Mengapa di sini?" tanyanya ke arah ketujuh anak itu.Frank menyerahkan peta yang sedari tadi berada di tangannya kepada Edward.Dengan ragu, Edward menerima peta itu. Dia cukup t
*****Sosok anak laki-laki berambut pirang dengan netra biru yang indah tampak sedang memandang luasnya langit malam yang begitu indah dengan ribuan gemerlap bintang menghiasinya.Dia menumpukan tangannya pada pagar minimalis yang berada di balkon kamarnya, enggan untuk beranjak dari sana walaupun udara dingin malam itu terasa semakin menusuk tulang.Suara derap langkah kaki terdengar mendekat kearahnya, namun itu tak membuat dirinya mengalihkan tatapannya dari benda kecil bercahaya di langit yang saat ini menjadi pemandangan paling lebih menarik untuknya."Kenapa belum tidur?" Suara itu terdengar sangat menenangkan di telinganya, apalagi ditambah dengan usapan lembut di rambutnya yang diberikan oleh pemilik suara.Dia menoleh kesamping dan mendapati neneknya sedang menatapnya teduh, dia tersenyum tipis lalu mengalihkan tatapannya kembali kearah langit."Sedang melihat ibu," balasnya, membuat nenek yang berada d
******Felix menekan tombol on off lampu tidurnya yang berada di nakas bergantian, membuat penerangan minim di kamarnya menjadi padam lalu terang lagi, hal itu terjadi secara berulang-ulang hingga beberapa saat. Sampai akhirnya tangannya berhenti dan membiarkan penerangan remang-remang itu menyala.Dia membalikkan badannya, berganti menatap langit-langit kamarnya."Ibu..." ucapnya memecah keheningan."Apakah ibu tidak ingin bertemu denganku?"Suara lirih itu terdengar semakin menyayat ditengah sepinya malam, bahkan suara hewan malam yang biasanya saling menyahut pun sekarang entah kemana perginya. Seakan suasana itu sangat mendukungnya untuk bersedih. Matanya perlahan memanas, menciptakan genangan bening di kantung bawah matanya."A-apakah ibu merindukanku...?" Dia tergagap karena menahan tangisnya mati-matian, sungguh dirinya tidak mau meneteskan air matanya barang sekali saja seumur hidup. Dulu kakek pernah berkata
******"Felix!"Panggilan itu membuatnya tersentak kaget dan mengurungkan niatnya untuk membuka pintu lemari, dia menyembunyikan diri di bawah meja usang yang berada di samping lemari, meja itu tertutupi tumpukkan barang lama yang cukup tinggi sehingga tidak akan terlihat orang. Tindakan refleks itu membuat kepalanya terbentur sisi meja hingga berbunyi cukup keras, bayangkan betapa sakitnya.Tangannya yang tidak memegang kertas bergerak untuk mengelus kepalanya yang terbentur. Dia mengintip kearah pintu gudang yang masih tertutup, sungguh, dia panik sekali saat mendengar namanya dipanggil oleh bibi tadi. Saat hendak berdiri karena dirasa tidak ada orang yang mengetahuinya masuk kesini, dia berniat untuk berdiri. Sebelum—'Klek'Dia kembali ke tempat persembunyianya dengan cepat karena terdengar suara pintu gudang dibuka."Felix, apakah itu kau?" tanya seseorang yang berada di ambang pintu, itu suara bibinya. Jangan bilang k
******* "Aku akan membawamu ke hadapan raja kami," ucap salah satu orang yang berada di depannya. Felix mendongak, menatap orang itu dengan pandangan tak suka, "raja kalian? Kenapa harus? Aku tidak ada urusan dengannya," ujarnya. Orang bertelinga runcing itu terkekeh pelan, melangkah mendekat kearahnya dan berjongkok di hadapannya. "Jangan sombong anak muda. Kau tahu, jika setiap manusia yang masuk di dunia kami tidak akan dibiarkan hidup?" bisiknya. Dia membelalakkan matanya, "lepaskan!" Anak lelaki itu memberontak, berusaha melepaskan cekalan kuat kedua orang itu pada lengannya. Dilihat dari penampilannya, sepertinya mereka bukan orang baik. Ditambah dengan sayap mereka berwarna hitam, kita semua tentu tahu, bahwa warna hitam identik dengan kejahatan. Tapi apakah iya? Tidak semuanya seperti itu bukan? Kedua orang itu bersiap untuk membawanya terbang membuat dia makin panik dan memberontak a
******* "Ratu Freyaaa!!!" Anak laki-laki berambut hitam legam dengan netra hijau itu berteriak dengan keras membuat wanita yang sedang duduk memandangi bintang di tanah tinggi dekat kolam ajaib itu sontak berdiri dan menghampirinya dengan panik. "Ada apa Frank, kenapa kamu berteriak seperti itu?" Tanyanya. "I-itu..." Frank menunjuk kearah belakangnya panik. "Iya, itu apa?" Tanya Freya sekali lagi. "Frank, bisakah kau pelan sedikit, aku sudah lelah..." Mereka mengalihkan pandangan kearah sosok berambut pirang platina yang sedang menyenderkan tubuhnya di bawah pohon mapple. "D-dia—" "Felix," ucap Freya terkejut karena tidak menyangka jika Felix bisa secepat itu menemukan jalan menuju ke sini. Dia berjalan mendekat kearah anak laki-laki yang memejamkan matanya itu diikuti oleh Frank, entah tak sadarkan diri atau memang hanya memejamkan mata saja. "Anda mengenalnya?" Tanya F
****"Paman Edward?"Keenam anak peri itu terlonjak kaget kala tak sengaja mendapati Edward yang tengah berdiri tepat di depan Goa Dua Pintu.Frank menelan salivanya susah payah lalu membalikkan badannya, namun ditahan oleh Gazza dengan cara ditarik ujung kerah lehernya. Lagi? Astaga, dia lelah terus yang terkena omelan Ayahnya karena ketahuan melakukan hal mencurigakan. Padahal Ratu Freya biasa-biasa saja, tapi respon Ayahnya sangat berlebihan menurutnya."Frank?" panggil Edward ke arah putranya yang kini tengah menundukkan kepala.Frank yang sangat tahu apa maksud dari Sang Ayah pun memejamkan matanya sebentar, mendongakkan kepalanya dan menghalau semua rasa gugup bercampur takut yang ada. "Kami ingin mengambil Batu Permata Bintang," ucapnya.Edward menaikkan sebelah alisnya bingung. "Batu Permata Bintang? Mengapa di sini?" tanyanya ke arah ketujuh anak itu.Frank menyerahkan peta yang sedari tadi berada di tangannya kepada Edward.Dengan ragu, Edward menerima peta itu. Dia cukup t
***** "AAAAAA!" "TIDAKKK!" Kaki Edward melemas melihat kedua sahabatnya yang kini telah tak sadarkan diri akibat diserang Habis-habisan oleh Raja Peri Hitam. Dia terlambat. Netra hijau emeraldnya mengamati anak laki-laki bersurai pirang platina yang kini tengah mengarahkan tatapan membunuh ke arah pria yang menjadi biang keladi dari kerusuhan yang terjadi malam ini. "BERANI SEKALI KAU MENGHENTIKAN MANTRAKU, BOCAH!!" Pria bertanduk hitam itu menatap tajam Felix yang baru saja menghalau mantranya, sehingga mantra itu tidak mengenai Andrio sepenuhnya. Tapi, bagaimana anak itu bisa bangun lebih cepat dari dugaanya? "Kau mencariku, bukan? Lalu untuk apa kau membunuhnya? Melakukan hal yang sia-sia?" ucap Felix tak berekspresi sambil menaikkan sebelah alisnya. Rahang Orazio mengeras melihat ekspresi anak laki-laki di depannya. "Kau tidak tahu apapun!" Felix terkekeh pelan, "ken
***** "Hahaha, apakah kau akan terus melindunginya, Andrio?" Suara tawa terdengar menggema di sebuah rumah yang hanya di terangi oleh cahaya lilin dan pantulan cahaya dari sang bulan. Anak bersurai pirang platina itu perlahan membuka matanya, merasakan tubuhnya tengah terbaring di atas lantai marmer berwarna hitam yang terasa begitu dingin menusuk tulangnya. Dia mengubah posisinya menjadi duduk. Di depannya terlihat kedua pria yang mungkin seumuran Paman Edward tengah saling bertarung mengeluarkan kekuatan mereka masing-masing. Salah satu diantara mereka bertanduk hitam serta bersayap hitam sedangkan yang satunya tidak mempunyai sayap maupun tanduk. Peri bersayap hitam itu tampak sedang membelakangi seseorang yang sedang disekap pada sebuah kursi dengan sihir merah yang mengelilingi tubuhnya. Dia mengucek-ucek matanya yang masih buram karena mungkin sudah terlelap entah berapa lama. Tapi, kenapa dia berada
***** "Paman, Ibu tidak bernapas. Aku harus bagaimana?" Ucapnya lirih, bahkan mungkin tak terdengar oleh yang lain selain mereka. Suara putus asa itu membuat jantung Andrio serasa berhenti berdetak detik itu juga. Kepalanya menoleh cepat kearah perempuan bersurai pirang platina tergerai bebas yang sedari tadi masih dalam keadaan memejamkan mata. Dia menggeleng pelan. Itu tidak mungkin. Dia belum menyalurkan mantra itu sepenuhnya. Seharusnya tidak secepat itu. Andrio berlari cepat ke arah wanita yang masih berstatus pasangan hidupnya tersebut. "Freya... Itu tidak benar, kan?" Ucapnya lirih di hadapan Freya. Telunjuknya bergerak untuk dia taruh di depan lubang hidung Freya agar ia bisa merasakan deru napas wanitanya. Oh, masihkah kata itu berlaku? Tepat sebelum hal itu terjadi, Felix lebih dahulu menyambarkan petir yang berasal dari Berlian Biru yang tengah ia hadapkan ke arah pria itu. A
***** Felix berlari tergesa-gesa diantara beberapa pohon yang tumbuh tinggi menjulang di sekitar Hutan Cahaya. Ibunya ditangkap. Berita sampah macam apa itu? Awas saja jika dia dibohongi. Tidak mungkin ada yang menyakiti Ibunya. "Kau punya sayap, bodoh! Kenapa malah berlari?!" Ujar Frank yang kini sedang terbang di atasnya bersama dengan keenam temannya yang lain. Anak laki-laki bersurai pirang platina itu mendongak. Seketika timbul keinginan menempeleng kepala anak itu karena cara mengingatkannya yang amat menyebalkan. Tapi...benar juga kata Frank. Kenapa dia seketika melupakan fungsi sayapnya? Ah, entahlah. Pikirannya campur aduk sekarang. Entah itu tentang keberadaan Batu Permata Bintang maupun tentang ibunya yang katanya ditangkap entah oleh siapa. Dia mengepakkan sayapnya, ikut terbang bersama dengan teman-temannya. Namun diantara ketujuhnya, Felix lah yang terbang dengan sangat cepat da
***** "Vancy dan Lavender sedang ditugaskan Paman James untuk meneliti sesuatu, jadi mungkin mereka tidak akan datang malam ini," ucap Gazza yang tengah merebahkan dirinya di kursi empuk di ruang tengah. Tunggu, kursi empuk? Anak laki-laki itu kembali duduk, menoleh ke belakang untuk mengamati kursi kayu yang biasanya selalu ia duduki sekarang sudah berubah menjadi kursi empuk berwarna biru. Dia melirik keempat temannya yang sedang sibuk bermain membentuk kunang-kunang menjadi sebuah bentuk hewan sesuai yang diperintah oleh pemain lain. "Siapa yang mengubah kursi ini?" Tepat saat giliran Hardwin yang akan membentuk kunang-kunang, Gazza bertanya kepada mereka mereka. Mendengar itu, keempatnya menoleh ke arah sofa tempat Gazza duduk. "Siapa lagi kalau bukan temanmu yang berasal dari dunia manusia ini," ujar Dean sambil melirik Felix. Anak laki-laki bersurai pirang platina
***** Frank, Gazza, Dean, dan Hardwin memandang aneh makanan yang kini tersaji di depan mereka. "Kenapa?" Tanya Felix yang tengah menatap keempat temannya sambil melingkarkan tangannya di depan dadanya yang terlapisi oleh apron tersebut. "Ini apa?" Tanya Dean sambil menoel-noel pelan kue yang berbentuk bulat dan mempunyai lubang pada bagian tengah itu. "Itu makanan," balas Felix lalu ikut mendudukkan dirinya di depan teman-temannya. "Benarkah? Kurasa ini terlalu lucu untuk ukuran makanan," ucap Hardwin yang dibalas anggukan oleh Gazza dan Frank. Felix memutar bola matanya malas. Iya, dia tadi membuat beberapa donat yang dengan sengaja dia buat dengan bentuk beberapa hewan. Seperti koala, panda, hamster, rubah, dan beruang. Bentuk mereka sangat lucu, oleh karena itu mereka sampai terheran-heran. Karena di Wynstelle tidak ada makanan semacam itu. Jangan tanya kenapa Felix bisa membuatnya, nenek
***** Frank menepuk pundak Gazza kala melihat hal aneh yang dilakukan oleh pria bertudung yang berada di tribun sebelah mereka. "Lihat itu," ucap anak laki-laki bersurai hijau apel itu membuat Gazza serta Si Kembar Tak Bersaudara mengikuti arah pandangnya. Pria bertudung hitam yang hanya terlihat mulutnya saja itu menggerakkan bibirnya seperti sedang memantrai sesuatu. Gazza beralih menatap Black Dragon yang mulai mengendus-endus, padahal semula tidak. "Naga itu," ujarnya sambil menunjuk Black Dragon. Frank, Dean, dan Hardwin menoleh ke arah anak laki-laki bernetra abu-abu itu. "Dia telah memantrainya," sambungnya. Frank, Dean, dan Hardwin menatap khawatir Felix kala Black Dragon mulai bisa mencium kehadiran anak itu. Sedangkan Gazza mencoba berkomunikasi dengan Felix, siapa tahu kali ini akan berhasil. Dia bernapas lega saat Felix menatap pria bertudung itu. "Perasaanku sungguh tak
🐲🐲🐲🐲 Ssssshhhh! Dak! Byurrr! Felix menepuk pelan tanah di depannya, mencoba melindungi dirinya dengan mencoba mengeluarkan air asin dari tanah tempat Black Dragon berpijak menggunakan kekuatan airnya. Naga bersisik hitam itu terangkat ke atas udara karena semburan air dari tanah ulah Felix tadi yang begitu kuat dan banyak. Anak itu dengan cepat terbang menjauh dari sana untuk kembali ke stadion sebelum naga itu berhasil lolos. Ketika hampir sampai di stadion, matanya tak sengaja menangkap sebuah objek yang menurutnya sekarang sangat ia butuhkan sekarang ini. Senyumnya merekah kala menyadari apa itu. Itu apel dari pohon kembar. Kata Frank, jika ada yang memakan buah itu, orang yang memakannya akan menjadi tak kasat mata hanya pada orang yang dia ingin dirinya tak terlihat di mata orang itu, sedangkan untuk orang lain dia tetap terlihat. Atau dalam kata lain, te