******
"Felix!"
Panggilan itu membuatnya tersentak kaget dan mengurungkan niatnya untuk membuka pintu lemari, dia menyembunyikan diri di bawah meja usang yang berada di samping lemari, meja itu tertutupi tumpukkan barang lama yang cukup tinggi sehingga tidak akan terlihat orang. Tindakan refleks itu membuat kepalanya terbentur sisi meja hingga berbunyi cukup keras, bayangkan betapa sakitnya.
Tangannya yang tidak memegang kertas bergerak untuk mengelus kepalanya yang terbentur. Dia mengintip kearah pintu gudang yang masih tertutup, sungguh, dia panik sekali saat mendengar namanya dipanggil oleh bibi tadi. Saat hendak berdiri karena dirasa tidak ada orang yang mengetahuinya masuk kesini, dia berniat untuk berdiri. Sebelum—
'Klek'
Dia kembali ke tempat persembunyianya dengan cepat karena terdengar suara pintu gudang dibuka.
"Felix, apakah itu kau?" tanya seseorang yang berada di ambang pintu, itu suara bibinya. Jangan bilang karena suara kepalanya terbentur tadi terdengar sampai ruang tamu, ah,sial. Sekeras itu, kah? Dia memeriksa kepalanya sekali lagi apakah berdarah atau tidak, ternyata tidak. Tapi terasa sedikit sakit. Dia mengintip dari samping meja, terlihat bibinya yang masih celingukan mencari sumber suara.
"Tidak ada siapa-siapa, mungkin hanya tikus," ucap bibi lalu menutup pintu dan pergi dari gudang.
Felix bernapas lega, dia keluar dari kolong meja. Untung saja bibi tidak menyadari jika kain yang menyelimuti lemari sudah tersingkirkan, bisa mati dia jika nenek dan bibi mengetahui dia masuk gudang ini. Tapi ada yang aneh, jika gudang ini sangat rahasia dan tidak ada yang boleh masuk, lantas kenapa saat ia masuk kemari pintunya tidak dikunci?
Netranya bergerak untuk melihat kertas yang dia dapatkan dari kotak pemberian kakek, apakah itu bantuan sihir? Karena tadi dia melihat gemboknya tergantung di sana namun dalam keadaan terbuka. Felix menggeleng-gelengkan kepalanya berkali-kali dengan cepat, sadar akan pikirannya yang mulai ngawur.
Lebih baik dia keluar dari sini sebelum nenek melihatnya. Mungkin lebih baik dia tidak membuka lemari itu sekarang.
*******
Sosok anak laki-laki dengan kacamata yang bertengger di hidungnya itu tampak sedang berkutat dengan beberapa tumpukkan buku yang berada di meja belajarnya dengan penerangan hanya dari lampu belajar.
Dia membolak-balikan lembar demi lembar buku tebal yang berisi materi sekolahnya itu. Sekali lagi dia mengacak-acak rambutnya frustasi sendiri, bagaimana tidak? Sedari tadi dia mencoba fokus memahami materi yang dia dapatkannya dari sekolah tadi agar pikirannya teralihkan, namun tidak berhasil.
Anak laki-laki itu menyandarkan tubuhnya di kursi belajarnya sembari menghela napas panjang, dia terus memikirkan tentang surat, bintang, dan lemari aneh itu.
Tiga benda yang berhubungan dengan ibunya itu terus menerus menghantui pikirannya, dia mengambil kotak tadi, mengambil sebuah bentuk bintang tiruan minimalis yang menurutnya sangat indah, setiap 1 cm dari sudut bintang itu terdapat batu berlian biru yang menghiasinya.
Dia meletakkan benda itu di meja, lalu beralih membuka gulungan surat kecil yang menurutnya bisa menjawab pertanyaan yang dilontarkannya tadi siang.
Haruskah dia mencoba bertanya? Sepertinya tidak buruk jika mencobanya sekali lagi.
Dia berdehem sebentar, memandang surat itu serius,
"Hei surat usang, apakah kau tahu sesuatu tentang lemari itu?" tanyanya pelan.
Nihil.
Tidak muncul apapun di sana, tidak seperti siang tadi. Bahkan setelah beberapa menit setelahnya pun tidak ada tulisan apapun di sana. Huh, sudahlah mungkin tadi memang hanya perasaannya saja.
Dia memejamkan matanya lelah. Lihatlah, bahkan dia sudah seperti orang gila karena berbicara dengan kertas kosong. Ah, sudahlah.
Matanya terbuka, melihat jam weker yang berada di nakas yang menunjukkan pukul sepuluh malam. Waktu berlalu begitu cepat sekali, bahkan sekarang sudah tidak ada suara gaduh Scarlett dan bibi lagi di bawah.
Tunggu, dia melupakan sesuatu.
"Bodoh, mengapa aku tidak datang lagi ke sana sekarang saja? Malah bertanya dengan kertas seperti orang gila!" ucapnya sambil menepuk pucuk kepalanya.
Dia memasukkan surat serta bentuk bintang tiruan tadi ke dalam kotak dan membawanya, ia membuka pintu kamarnya pelan, mengintip luar sisi kanan dan kiri bergantian, barangkali ada orang.
Saat dirasa tidak ada, Felix keluar dari kamar menuju lantai bawah tanpa menimbulkan suara gaduh apapun, tak lupa dengan senter kecil yang berada di tangan kanannya.
Penerangan di sana sudah padam sedari tadi—mungkin. Saat sampai di ujung tangga dia menyalakan senternya hingga dia bisa melihat jalan walau hanya remang-remang.
Anak laki-laki dengan balutan kemeja kotak-kotak dan celana jeans itu melanjutkan langkahnya hingga sampai di gudang tempat lemari itu berada.
Dia meneguk ludahnya saat sudah berada tepat di depan lemari putih itu. Dia takut, entah kenapa. Padahal hanya sekedar memeriksa ada apa di dalam lemari itu.
Dengan satu kali hembusan napas, dia meyakinkan diri untuk membuka lemari itu. Dan, terbuka.
Namun.... Kosong.
Dia masuk dan memeriksa bagian dalam lemari itu namun juga tidak ada sesuatu yang aneh.
Kepalan tangannya mengetuk kayu bagian tengah lemari itu. "Tidak ada apa-apa disini..."
"Jadi ini maksudnya aku dibohongi oleh surat?" gumamnya tak percaya dengan mata yang menelusuri sekeliling bagian lemari sempit itu.
Hingga netra birunya terfokus pada satu titik, di sela-sela kayu bagian tengah agak keatas ternyata ada sebuah lubang kecil.
Instingnya mengatakan jika mungkin ada sesuatu di belakang lemari, tapi kelihatannya konyol, mana mungkin, aneh-aneh saja. Dia berbalik, ingin beranjak pergi dari sana. Namun diurungkannya, karena tiba-tiba suatu hal terlintas di benaknya, lebih baik memeriksa dahulu bukan?
Felix memutar tubuhnya lagi, berjinjit agar bisa melihat jelas lubang itu. Matanya membulat kala melihat sesuatu yang tidak pernah diduganya sebelumnya di sana.
Dengan cepat, dia keluar dari dalam lemari dan mendorong lemari itu dari sisi samping agar sedikit bergeser.
Dan... Benar.
Ada sebuah pintu yang mempunyai ukiran yang sama di setiap sisinya seperti ukiran yang ada pada lemari dan kotak pemberian kakek.
Anak laki-laki itu berjalan mendekat dan meraba pintu itu, satu hal yang menarik perhatiannya, bentuk bintang tiruan tadi ternyata sebagiannya ada di pintu itu.
Felix membuka kotak itu dan mengambil bentuk bintang tiruan yang ada di dalamnya. Mencocokannya sekali lagi, dan memang sama.
"Apakah bintang ini adalah kunci?" ucapnya pelan.
Felix memasangkan bintang itu pada bagian yang kosong pada tengah pintu itu. Iya, mungkin inilah yang dimaksud oleh surat tadi, kedua bintang yang terpisah itu adalah sebuah kunci, jika disatukan maka pintu ini akan terbuka.
Tak lama, sebuah cahaya putih terlihat keluar dari balik pintu itu membuat matanya silau. Tapi perlahan cahaya itu hilang, dia membuka matanya dan hal pertama yang dia lihat adalah pintu tadi yang sudah terbuka dan sebuah tempat yang menurutnya begitu aneh namun—indah sekali,sungguh.
Pohon-pohon tampak berdiri kokoh di sekeliling tempat itu serta bunga-bunga indah yang mengeluarkan serbuk kuning bercahaya seperti yang dikeluarkan oleh surat tadi. Dia melangkahkan kakinya mendekat kearah tempat itu membuat pintunya kembali tertutup.
Kupu-kupu berwarna-warni terbang kesana kemari bersamaan dengan ribuan kunang-kunang yang pembawa warna hijau mengelilingi kumpulan bunga tersebut. Sayapnya nampak bercahaya dan terlihat makin indah karena pantulan dari serbuk bercahaya yang dikeluarkan oleh bunga-bunga. Tempat ini hutan namun keadaan dalamnya saat masuk seperti taman bunga.
Felix menghampiri salah satu bunga yang dihinggapi oleh kupu-kupu berwana hitam bercampur ungu. Kupu-kupu itu terbang dan mendekat kearahnya, dia mengangkat tangannya di depan dada membuat hewan dengan sayap cantik itu hinggap di jari telunjuknya.
Senyumnya merekah hingga gigi-gigi rapinya terlihat.
"Siapa kau?" tanya seseorang dari belakangnya.
Dia refleks menoleh kearah sumber suara, terdapat tiga orang tanpa busana dengan sayap hitam di punggung mereka tampak melotot kearahnya. Ketiga orang itu membawa tongkat di tangan kanan mereka.
"Siapa kalian?" tanyanya, bukanya takut pada pelototan mereka, dia malah membalas tatapan mereka dengan tatapan tajam.
"Kami penjaga disini, ini adalah daerah kekuasaan peri hitam, tidak ada yang boleh melintasi perbatasan ini," ucap orang yang berada di tengah.
Dia menautkan alisnya bingung mendengar perkataan mereka, peri hitam? Daerah kekuasaan? Apa maksudnya?
"Apakah kau mata mata yang diutus Ratu Freya?" tanya orang yang di sebelah kiri.
"Ratu Freya? Apa maksudmu? Aku baru datang dari dunia manusia, siapa Ratu Freya?" tanyanya kebingungan. Tapi sebenarnya dia hanya pura-pura saja.
Tiga makhluk itu saling berpandangan beberapa saat, lalu menyeringai kearahnya. Dua orang diantara mereka mendekat kearahnya dan memegang kedua lengannya kuat seperti akan menahan seseorang.
"Mau apa kalian?" tanyanya sambil berusaha melepaskan tautan tangan mereka dari tangannya.
Mereka berdua makin mengeratkan pegangannya, sambil tertawa menyeramkan. Tapi tidak membuat Felix takut.
"Kami akan membawamu ke hadapan raja kami."
******* "Aku akan membawamu ke hadapan raja kami," ucap salah satu orang yang berada di depannya. Felix mendongak, menatap orang itu dengan pandangan tak suka, "raja kalian? Kenapa harus? Aku tidak ada urusan dengannya," ujarnya. Orang bertelinga runcing itu terkekeh pelan, melangkah mendekat kearahnya dan berjongkok di hadapannya. "Jangan sombong anak muda. Kau tahu, jika setiap manusia yang masuk di dunia kami tidak akan dibiarkan hidup?" bisiknya. Dia membelalakkan matanya, "lepaskan!" Anak lelaki itu memberontak, berusaha melepaskan cekalan kuat kedua orang itu pada lengannya. Dilihat dari penampilannya, sepertinya mereka bukan orang baik. Ditambah dengan sayap mereka berwarna hitam, kita semua tentu tahu, bahwa warna hitam identik dengan kejahatan. Tapi apakah iya? Tidak semuanya seperti itu bukan? Kedua orang itu bersiap untuk membawanya terbang membuat dia makin panik dan memberontak a
******* "Ratu Freyaaa!!!" Anak laki-laki berambut hitam legam dengan netra hijau itu berteriak dengan keras membuat wanita yang sedang duduk memandangi bintang di tanah tinggi dekat kolam ajaib itu sontak berdiri dan menghampirinya dengan panik. "Ada apa Frank, kenapa kamu berteriak seperti itu?" Tanyanya. "I-itu..." Frank menunjuk kearah belakangnya panik. "Iya, itu apa?" Tanya Freya sekali lagi. "Frank, bisakah kau pelan sedikit, aku sudah lelah..." Mereka mengalihkan pandangan kearah sosok berambut pirang platina yang sedang menyenderkan tubuhnya di bawah pohon mapple. "D-dia—" "Felix," ucap Freya terkejut karena tidak menyangka jika Felix bisa secepat itu menemukan jalan menuju ke sini. Dia berjalan mendekat kearah anak laki-laki yang memejamkan matanya itu diikuti oleh Frank, entah tak sadarkan diri atau memang hanya memejamkan mata saja. "Anda mengenalnya?" Tanya F
*****"Jangan aku..."Anak laki-laki yang baru saja masuk ke dalam kamar tempat Felix tidur itu terkejut melihat anak itu mengigau tak jelas sambil bergerak-gerak gusar."J-jangan..." Frank menghampiri ranjang dan menggoyang-goyangkan tubuh anak itu pelan."Hei," ujarnya, namun tak membuat Felix bangun juga."Temannn bangunn!" Teriakan anak laki-laki dengan sayap putih itu membuat Felix seketika terlonjak kaget dan terbangun dari tidur dengan napas memburu.Setelah sadar sepenuhnya, dia menoleh kearah Frank dengan raut kesal. Frank sudah menahan tawanya karena melihat reaksi berlebihan dari Felix, ya, siapa suruh dibangunkan secara halus tidak mempan, jadinya dia memilih cara yang sedikit jahat."Kau mimpi buruk?" Tanya Frank kepadanya membuatnya terdiam dan mengingat apa yang baru saja terjadi padanya.Mimpi buruk itu lagi.Kenapa itu harus terjadi saat Frank
******"Frank, ayolah jelaskan sedikit padaku," Anak laki-laki itu mondar-mandir karena mengikuti Frank yang entah kenapa sejak tadi terus menghindar saat dia bertanya kenapa anak itu tak melanjutkan ceritanya tentang seluk-beluk Negeri Wynstelle.Salahkan saja Frank, kenapa dia menyebutkan jika tidak mau menjelaskan? Membuat orang penasaran saja!Sedangkan Frank sudah risau setengah mati karena dia keceplosan dan berakhir memberitahu Felix tadi, bagaimana tidak? Menurut rumor dari teman-teman bermainnya, orang yang membocorkan rahasia ini tanpa izin Ratu akan ditahan di penjara besi emas yang mana di dalam penjara tersebut suhunya sangat panas seperti kau masuk neraka ditambah lagi dengan wajah penjaganya yang sangat mengerikan. Ah, membayangkan saja sudah membuat Frank ngeri."Biar aku saja yang jelaskan." Kedua anak laki-laki itu menoleh kearah belakang dan mendapati Edward di sana."Ayah?"&nbs
******Prangg!Pria bertanduk hitam serta sayap hitam itu membanting kotak berukiran bunga dandelion tepat di depan wanita bersayap putih yang tengah menatapnya datar."Kenapa? Kenapa kau biarkan dia kemari?!" Teriaknya marah membuat wanita di depannya itu terkekeh pelan."Kau takut?" Tandasnya dengan sisa-sisa tawa lirih.Rahang pria itu mengeras dan giginya bergemelutuk menandakan dia kesal dengan wanita di depannya itu."Kau bilang kutukan itu hanya bualan semata, tapi lihatlah kali ini kau pun takut sendiri." Wanita itu tersenyum kiri membuat pria yang merupakan bagian dari keluarganya itu makin merasa dipermalukan.Wanita itu adalah Freya dengan Orazio yang berada di depannya."Kau ingin membuat kakakmu sendiri menemui ajalnya?" Ujar Orazio menurunkan nada bicaranya.Seketika wanita itu merubah rautnya, mata Freya menajam kearah pria itu. "Kau bukan saudaraku lagi sejak kau
*******"Semua yang ada di sini tidak akan mati kecuali dimatikan."Itu bukan suara mereka. Melainkan suara seseorang dari belakang mereka.Kedua anak laki-laki itu menoleh kebelakang kala suara berat terdengar menyahut dari sana. Terlihat sosok laki-laki berambut orange dengan netra yang sama seperti rambutnya sedang menyembunyikan kedua tangannya di belakang tubuhnya sambil menatap kearah Felix dan Gazza. "Paman James?" Ucap Gazza."James?" Tanya Felix menatap Gazza kebingungan.Gazza mengalihkan pandangannya kearah Felix, baru ingat jika anak itu baru tiba di tempat ini. "Ah, dia teman ayahku," jawabnya membuat Felix mengangguk-angguk mengerti.Pria itu meliriknya sekilas lalu kembali menatap Gazza, "ayahmu mencarimu.""Iya paman, setelah ini aku akan pulang," balas Gazza dibalas senyuman dan usapan pelan di kepala oleh pria itu."Hati-hati saat melewati hutan cahaya," ucapnya lagi dengan seseka
*******Jlebb!"Felix!" Keempatnya berteriak secara bersamaan ketika anak panah itu mengenai bahu kanan Felix bagian atas.Felix meringis melihat darah yang mulai mengucur deras dari bahu bagian depannya. Dia menatap penuh emosi kearah ketiga peri penjaga perbatasan yang kini menatapnya puas. Dengan menahan mati-matian sakit yang ada di bahunya, dia memunculkan cahaya biru pada kedua tangannya yang masih baik-baik saja dan mengarahkannya pada ketiga peri tersebut.Frank, Dean, Hardwin dan Gazza sukses terkejut dengan yang dilakukan Felix kepada ketiga peri hitam itu.Mereka diselimuti bongkahan es sekarang.Bruk!Kelimanya menoleh kearah sumber suara, tampak seorang peri bersayap hitam tengah turun dari pohon. Dengan sigap tangan Frank bergerak memunculkan akar dari tanah yang mengikat kaki peri tersebut hingga tersungkur.Sudah dapat ditebak, itu pasti orang yang mencoba memanah mereka
******"Dari mana kau tahu?" Tanya James kepada Felix yang tengah duduk di ruang tamu rumahnya bersama anak-anak lainnya.James meletakkan teh buatannya di hadapan mereka berlima. Tampak Gazza, Frank, Hardwin dan Dean mengernyit menatap teh yang kini berada di hadapan mereka. Felix mengabaikan reaksi mereka yang ia rasa seperti sedang jijik dengan minuman itu, dia kembali melihat James yang duduk di hadapannya, terlihat sedang menunggu jawaban darinya."Dari mimpi," ucapnya serius.Frank yang sedang meminum teh sontak menyemburkannya kearah Gazza yang kini berada di depannya."Hei, kau bercanda?" Ucapnya dengan mata melotot.Sudah terpaksa minum teh yang rasanya seperti air comberan, ditambah kaget karena pengakuan Felix yang tidak masuk akal. Oh, ayolah, dia meminumnya hanya untuk menjaga kesopanan, karena tidak mau bermasalah dengan peri bermata orange. Dan jika Felix hanya bercanda seperti ini, sia-sia saja d
****"Paman Edward?"Keenam anak peri itu terlonjak kaget kala tak sengaja mendapati Edward yang tengah berdiri tepat di depan Goa Dua Pintu.Frank menelan salivanya susah payah lalu membalikkan badannya, namun ditahan oleh Gazza dengan cara ditarik ujung kerah lehernya. Lagi? Astaga, dia lelah terus yang terkena omelan Ayahnya karena ketahuan melakukan hal mencurigakan. Padahal Ratu Freya biasa-biasa saja, tapi respon Ayahnya sangat berlebihan menurutnya."Frank?" panggil Edward ke arah putranya yang kini tengah menundukkan kepala.Frank yang sangat tahu apa maksud dari Sang Ayah pun memejamkan matanya sebentar, mendongakkan kepalanya dan menghalau semua rasa gugup bercampur takut yang ada. "Kami ingin mengambil Batu Permata Bintang," ucapnya.Edward menaikkan sebelah alisnya bingung. "Batu Permata Bintang? Mengapa di sini?" tanyanya ke arah ketujuh anak itu.Frank menyerahkan peta yang sedari tadi berada di tangannya kepada Edward.Dengan ragu, Edward menerima peta itu. Dia cukup t
***** "AAAAAA!" "TIDAKKK!" Kaki Edward melemas melihat kedua sahabatnya yang kini telah tak sadarkan diri akibat diserang Habis-habisan oleh Raja Peri Hitam. Dia terlambat. Netra hijau emeraldnya mengamati anak laki-laki bersurai pirang platina yang kini tengah mengarahkan tatapan membunuh ke arah pria yang menjadi biang keladi dari kerusuhan yang terjadi malam ini. "BERANI SEKALI KAU MENGHENTIKAN MANTRAKU, BOCAH!!" Pria bertanduk hitam itu menatap tajam Felix yang baru saja menghalau mantranya, sehingga mantra itu tidak mengenai Andrio sepenuhnya. Tapi, bagaimana anak itu bisa bangun lebih cepat dari dugaanya? "Kau mencariku, bukan? Lalu untuk apa kau membunuhnya? Melakukan hal yang sia-sia?" ucap Felix tak berekspresi sambil menaikkan sebelah alisnya. Rahang Orazio mengeras melihat ekspresi anak laki-laki di depannya. "Kau tidak tahu apapun!" Felix terkekeh pelan, "ken
***** "Hahaha, apakah kau akan terus melindunginya, Andrio?" Suara tawa terdengar menggema di sebuah rumah yang hanya di terangi oleh cahaya lilin dan pantulan cahaya dari sang bulan. Anak bersurai pirang platina itu perlahan membuka matanya, merasakan tubuhnya tengah terbaring di atas lantai marmer berwarna hitam yang terasa begitu dingin menusuk tulangnya. Dia mengubah posisinya menjadi duduk. Di depannya terlihat kedua pria yang mungkin seumuran Paman Edward tengah saling bertarung mengeluarkan kekuatan mereka masing-masing. Salah satu diantara mereka bertanduk hitam serta bersayap hitam sedangkan yang satunya tidak mempunyai sayap maupun tanduk. Peri bersayap hitam itu tampak sedang membelakangi seseorang yang sedang disekap pada sebuah kursi dengan sihir merah yang mengelilingi tubuhnya. Dia mengucek-ucek matanya yang masih buram karena mungkin sudah terlelap entah berapa lama. Tapi, kenapa dia berada
***** "Paman, Ibu tidak bernapas. Aku harus bagaimana?" Ucapnya lirih, bahkan mungkin tak terdengar oleh yang lain selain mereka. Suara putus asa itu membuat jantung Andrio serasa berhenti berdetak detik itu juga. Kepalanya menoleh cepat kearah perempuan bersurai pirang platina tergerai bebas yang sedari tadi masih dalam keadaan memejamkan mata. Dia menggeleng pelan. Itu tidak mungkin. Dia belum menyalurkan mantra itu sepenuhnya. Seharusnya tidak secepat itu. Andrio berlari cepat ke arah wanita yang masih berstatus pasangan hidupnya tersebut. "Freya... Itu tidak benar, kan?" Ucapnya lirih di hadapan Freya. Telunjuknya bergerak untuk dia taruh di depan lubang hidung Freya agar ia bisa merasakan deru napas wanitanya. Oh, masihkah kata itu berlaku? Tepat sebelum hal itu terjadi, Felix lebih dahulu menyambarkan petir yang berasal dari Berlian Biru yang tengah ia hadapkan ke arah pria itu. A
***** Felix berlari tergesa-gesa diantara beberapa pohon yang tumbuh tinggi menjulang di sekitar Hutan Cahaya. Ibunya ditangkap. Berita sampah macam apa itu? Awas saja jika dia dibohongi. Tidak mungkin ada yang menyakiti Ibunya. "Kau punya sayap, bodoh! Kenapa malah berlari?!" Ujar Frank yang kini sedang terbang di atasnya bersama dengan keenam temannya yang lain. Anak laki-laki bersurai pirang platina itu mendongak. Seketika timbul keinginan menempeleng kepala anak itu karena cara mengingatkannya yang amat menyebalkan. Tapi...benar juga kata Frank. Kenapa dia seketika melupakan fungsi sayapnya? Ah, entahlah. Pikirannya campur aduk sekarang. Entah itu tentang keberadaan Batu Permata Bintang maupun tentang ibunya yang katanya ditangkap entah oleh siapa. Dia mengepakkan sayapnya, ikut terbang bersama dengan teman-temannya. Namun diantara ketujuhnya, Felix lah yang terbang dengan sangat cepat da
***** "Vancy dan Lavender sedang ditugaskan Paman James untuk meneliti sesuatu, jadi mungkin mereka tidak akan datang malam ini," ucap Gazza yang tengah merebahkan dirinya di kursi empuk di ruang tengah. Tunggu, kursi empuk? Anak laki-laki itu kembali duduk, menoleh ke belakang untuk mengamati kursi kayu yang biasanya selalu ia duduki sekarang sudah berubah menjadi kursi empuk berwarna biru. Dia melirik keempat temannya yang sedang sibuk bermain membentuk kunang-kunang menjadi sebuah bentuk hewan sesuai yang diperintah oleh pemain lain. "Siapa yang mengubah kursi ini?" Tepat saat giliran Hardwin yang akan membentuk kunang-kunang, Gazza bertanya kepada mereka mereka. Mendengar itu, keempatnya menoleh ke arah sofa tempat Gazza duduk. "Siapa lagi kalau bukan temanmu yang berasal dari dunia manusia ini," ujar Dean sambil melirik Felix. Anak laki-laki bersurai pirang platina
***** Frank, Gazza, Dean, dan Hardwin memandang aneh makanan yang kini tersaji di depan mereka. "Kenapa?" Tanya Felix yang tengah menatap keempat temannya sambil melingkarkan tangannya di depan dadanya yang terlapisi oleh apron tersebut. "Ini apa?" Tanya Dean sambil menoel-noel pelan kue yang berbentuk bulat dan mempunyai lubang pada bagian tengah itu. "Itu makanan," balas Felix lalu ikut mendudukkan dirinya di depan teman-temannya. "Benarkah? Kurasa ini terlalu lucu untuk ukuran makanan," ucap Hardwin yang dibalas anggukan oleh Gazza dan Frank. Felix memutar bola matanya malas. Iya, dia tadi membuat beberapa donat yang dengan sengaja dia buat dengan bentuk beberapa hewan. Seperti koala, panda, hamster, rubah, dan beruang. Bentuk mereka sangat lucu, oleh karena itu mereka sampai terheran-heran. Karena di Wynstelle tidak ada makanan semacam itu. Jangan tanya kenapa Felix bisa membuatnya, nenek
***** Frank menepuk pundak Gazza kala melihat hal aneh yang dilakukan oleh pria bertudung yang berada di tribun sebelah mereka. "Lihat itu," ucap anak laki-laki bersurai hijau apel itu membuat Gazza serta Si Kembar Tak Bersaudara mengikuti arah pandangnya. Pria bertudung hitam yang hanya terlihat mulutnya saja itu menggerakkan bibirnya seperti sedang memantrai sesuatu. Gazza beralih menatap Black Dragon yang mulai mengendus-endus, padahal semula tidak. "Naga itu," ujarnya sambil menunjuk Black Dragon. Frank, Dean, dan Hardwin menoleh ke arah anak laki-laki bernetra abu-abu itu. "Dia telah memantrainya," sambungnya. Frank, Dean, dan Hardwin menatap khawatir Felix kala Black Dragon mulai bisa mencium kehadiran anak itu. Sedangkan Gazza mencoba berkomunikasi dengan Felix, siapa tahu kali ini akan berhasil. Dia bernapas lega saat Felix menatap pria bertudung itu. "Perasaanku sungguh tak
🐲🐲🐲🐲 Ssssshhhh! Dak! Byurrr! Felix menepuk pelan tanah di depannya, mencoba melindungi dirinya dengan mencoba mengeluarkan air asin dari tanah tempat Black Dragon berpijak menggunakan kekuatan airnya. Naga bersisik hitam itu terangkat ke atas udara karena semburan air dari tanah ulah Felix tadi yang begitu kuat dan banyak. Anak itu dengan cepat terbang menjauh dari sana untuk kembali ke stadion sebelum naga itu berhasil lolos. Ketika hampir sampai di stadion, matanya tak sengaja menangkap sebuah objek yang menurutnya sekarang sangat ia butuhkan sekarang ini. Senyumnya merekah kala menyadari apa itu. Itu apel dari pohon kembar. Kata Frank, jika ada yang memakan buah itu, orang yang memakannya akan menjadi tak kasat mata hanya pada orang yang dia ingin dirinya tak terlihat di mata orang itu, sedangkan untuk orang lain dia tetap terlihat. Atau dalam kata lain, te