Tubuh Fargo membatu melihat sosok wanita yang ada di hadapannya itu. Mata cokelat Fargo memancarkan jelas keterkejutannya. Sosok wanita yang telah lama tak dia lihat, kini ada di depan mata Fargo. Ya, Fargo dan sosok wanita di hadapannya, masih saling diam membisu, tak mengeluarkan sepatah kata pun.
Tampak manik mata wanita biru wanita itu begitu memancarkan kerinduan pada Fargo. Ada hasrat keinginan dalam diri wanita itu, untuk menyentuh wajah Fargo, tapi mati-matian wanita itu mengendalikan diri, agar tak melewati batasan.
Saat mereka saling beradu pandang, Fargo lebih dulu berhasil menyadarkan diri. Fargo pun kini memberikan tatapan dingin dan tegas, serta terselimuti rasa khawatir. Terlebih pria itu melihat kaki wanita yang ditabraknya itu terluka cukup parah.
“Debora, kakimu terluka cukup parah.” Fargo berbicara dengan nada dingin.
“Ah, ini tidak apa-apa, Fargo. Hanya luka kecil,” jawab wanita bernama Debora dengan nada pelan.
“Itu bukan luka kecil. Kakimu mengeluarkan banyak darah. Kita ke rumah sakit sekarang.” Fargo langsung menggendong Debora gaya bridal, melangkah masuk ke dalam mobil. Debora nampak canggung berada digendongan Fargo, tetapi nampaknya wanita itu berusaha untuk tenang. Apalagi posisi gendong ini membuat keintiman di antara Debora dan Fargo.
***
“Aw—” Debora sedikit meringis di kala dokter sudah selesai menjahit luka di kakinya. Rasa sakit Debora bukan timbul dari jahitan, melainkan suntikan jarum bius. Perihnya masih terasa. Memang luka di kaki Debora cukup dalam, membuat dokter akhirnya harus menjahit luka di kaki wanita itu.
“Bagaimana keadaannya? Apa ada luka dalam di kakinya?” tanya Fargo seraya menatap sang dokter serius. Sedari tadi, Fargo ada di ruang tindakan. Fargo menemani Debora, di kala dokter tengah melakukan tindak operasi. Bagaimana pun, Debora adalah tanggung jawabnya. Kecerobohannya dalam mengemudikan mobil, membuat Debora sampai terluka.
“Tuan Jerald, dari hasil rontgen Nyonya Debora Tansy, menunjukan beliau tak mengalami luka dalam. Tulang beliau pun tak ada yang patah. Anda tidak usah khawatir, Tuan Jerald. Luka luar di kaki Nyonya Debora Tansy akan segera membaik. Pesan saya untuk Nona Debora Tansy, tolong habiskan obat yang telah saya resepkan,” jawab sang dokter sopan.
Fargo menganggukan kepalanya. “Thanks.”
“Terima kasih banyak, Dokter,” jawab Debora hangat.
“Sama-sama. Kalau begitu saya permisi, Tuan, Nyonya.” Dokter itu segera pamit undur diri, bersama dengan perawat.
Fargo dan Debora saling melemparkan pandangan, di kala sang dokter sudah pergi. Detik selanjutnya, Fargo mendekat, menatap Debora dengan tatapan lekat dan tegas. Terlihat Debora sedikit takut dan salah tingkah saat Fargo menatapnya.
“F-Fargo, m-maafkan aku karena sudah menyusahkanmu,” ucap Debora dengan suara pelan. Nada bicara Debora tersirat penuh rasa bersalah.
“Kenapa kau bisa ada di sini, Debora?” tanyaa Fargo dingin.
Debora menggigit bibir bawahnya. “A-aku kebetulan sedang berlibur, Fargo. Maaf, tadi aku menyeberang tidak melihat jalan.”
Fargo terdiam sebentar. Sorot mata Fargo, menunjukan jutaan arti terdalam. “Lain kali berhati-hatilah. Lukamu tidak terlalu parah, karena aku mampu rem mendadak. Kalau sampai aku tidak menginjak rem, kau bisa saja terpental dan luka jauh lebih parah lagi.”
Debora mengangguk. “Iya, Fargo. Sekali lagi, maafkan kecerobohanku. Aku berjanji akan jauh lebih berhati-hati lagi.”
“Aku harus pergi. Ada urusan penting yang harus aku kerjakan. Aku akan menghubungi orangku untuk mengantarkanmu pulang,” jawab Fargo datar.
“Fargo, tunggu.” Debora menahan lengan Fargo, tak membiarkan Fargo pergi.
“Ada apa, Debora?” Fargo menatap dingin Debora.
“K-kita harus bicara sebentar tentang masa lalu kita. Dulu—”
“Debora, apa yang terjadi di antara kita sudah berlalu. Itu sudah sangat lama. Aku tidak mau membahas apa pun yang telah berakhir.” Fargo memotong ucapan Debora, dengan nada tegas.
Mata Debora berkaca-kaca, menatap pilu Fargo. “Apa kau sudah tidak sama sekali memikirkan tentangku, Fargo?” tanyanya lirih.
“Aku sudah menikah. Berhenti berbicara omong kosong denganku.” Fargo memejamkan mata singkat, meredam emosinya. “Aku harus pergi sekarang. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan. Aku tidak bisa berlama-lama di sini. Orangku akan datang ke sini, untuk mengantarmu pulang, dan mengurus administrasi rumah sakit.”
Tanpa lagi berkata, Fargo melangkah pergi meninggalkan Debora. Tampak bulir air mata Debora, menetes jatuh membasahi pipinya. Air mata yang menunjukan kepiluan wanita itu. Raut wajah Debora pilu. Debora tak menyangka akan kembali melihat Fargo. Hal yang paling menyakitkan adalah, Fargo mengatakan sudah menikah. Sebuah kata yang begitu menusuk di hati Debora.
“Andai kau tahu tentang segalanya, Fargo. Apa yang terjadi di masa lalu, hanyalah salah paham,” isak Debora dengan penuh luka.
***
Malam kian larut. Langit gelap nampak mendung. Tak ada bulan dan bintang, sebagai penghias di langit yang indah itu. Carol berdiri di kamar, melihat cuaca dari balik jendela. Waktu menunjukan pukul dua belas malam, tapi Fargo tak kunjung pulang. Carol ingin menghubungi nomor Fargo, tetapi Carol takut mengganggu sang suami. Mungkin saja saat ini suami tercintanya itu tengah sibuk, dengan masalah yang datang.
Kebakaran di gudang penyimpanan barang, meninggalkan banyak luka mendalam. Apalagi Carol mendengar banyak korban jiwa yang berjatuhan. Tentu keluarga yang ditinggalkan sangat terpukul. Carol tak bisa membayangkan, betapa terlukanya para keluarga yang ditinggalkan orang yang terkasih.
Ceklek!
Pintu kamar terbuka. Refleks, Carol mengalihkan pandangannya, ke arah pintu. Seketika, senyum di wajah Carol terlukis melihat Fargo masuk ke dalam kamar.
“Sayang, akhirnya kau pulang.” Carol lansung memeluk sang suami.
“Maaf, aku lama. Tadi saat di perjalanan menuju gudang penyimpanan barang, aku menabrak seorang wanita,” ucap Fargo yang sontak membuat Carol terkejut.
“Kau menabrak seorang wanita? Apa kau mengalami luka? Lalu bagaimana keadaan wanita itu?” Carol memegang kedua bahu sang suami, memastikan bahwa sang suami tercinta tak mengalami luka.
“Aku baik-baik saja. Wanita yang aku tabrak terluka sedikit parah, sampai harus dijahit. Tapi dokter mengatakan dari hasil rontgen, tidak ada luka dalam yang diderita wanita itu. Tenanglah. Aku sudah bertanggung jawab atas kesalahan yang aku perbuat,” jawab Fargo seraya membelai pipi Carol.
Carol mendesah lega. “Sayang, hati-hati. Kan aku sudah bilang, jangan mengebut kalau menyetir mobil. Untung wanita yang kau tabrak tidak mengalami luka parah. Kalau sampai mengalami luka parah, bagaimana? Aku dan Arabella selalu membutuhanmu. Kami tidak mau sampai terjadi hal buruk padamu.”
“Maaf membuatmu cemas.” Fargo menangkup kedua pipi Carol, mengecup bibir sang istri.
Carol tersenyum. “Siapa nama wanita yang kau tabrak itu? Apa kau mengingatnya, Sayang?”
“Tidak, aku tidak mengingatnya. Tadi aku tidak sempat menanyakan namanya. Aku hanya langsung membawanya ke rumah sakit,” jawab Fargo berdusta. Fargo memilih tak menyebut nama Debora Tansy di depan Carol. Sekalipun, Carol tak mengenal, tapi Fargo lebih memilih untuk tak memberitahu sang istri. Ada alasan sendiri kenapa sampai Fargo, tak mau bercerita.
Carol mengangguk. “Yasudah, yang paling penting wanita itu baik-baik saja. Lalu bagaimana dengan gudang penyimpanan barang? Apa kau sudah tahu penyebab sampai terjadi kebakaran?”
“Kemungkinan penyebab terjadi kebakaran di gudang penyimpanan barang adalah korsleting listrik. Saat ini orangku masih menyelidiki. Aku pun sudah meminta Gene mengurus asuransi karyawan yang luka dan meninggal. Serta uang santunan untuk para karyawan,” jawab Fargo seraya mengecup bibir Carol. “Bagaimana keadaan putri kita? Apa tadi dia rewel?” tanyanya. Fargo selalu mencemaskan putri kecilnya itu.
“Arabella masih tidur, Sayang. Dia anak yang pintar. Dia tidak rewel.” Carol memeluk suami tercintanya itu.
“Ya, dia memang anak yang pintar.” Fargo membalas pelukan Carol, dan mengecup puncak kepala istrinya itu.
‘Maaf, aku sudah berbohong padamu, Carol,’ batin Fargo dengan raut wajah sedikit bersalah, karena telah berbohong pada sang istri.
“Carol, aku harus berangkat sekarang. Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan, dan tidak bisa ditunda.” Fargo berpamitan pada sang istri, seraya membenarkan posisi arloji di pergelangan tangannya. Tampak jelas Fargo begitu terburu-buru.“Apa kau tidak mau sarapan dulu, Sayang?” Carol mendekat pada sang suami sambil menggendong Arabella. Putri kecilnya itu begitu tenang dan tak rewel. Hanya di keadaan tertentu membuat Arabella rewel. Padahal seaslinya, Arabella adalah anak yang tenang dan juga patuh pada orang tua.“Tidak, Sayang. Aku akan sarapan di kantor. Hari ini banyak sekali yang harus aku urus.” Fargo mencium bibir Carol, dan pipi bulat Arabella. “Nanti aku akan menghubungimu, kalau aku sudah tiba di kantor.” Fargo melanjutkan ucapannya pada sang istri.Carol menghela napas dalam. “Baiklah, tapi jangan sampai tidak sarapan. Aku tidak mau sampai kau sakit.”“Yes, Mrs. Jerald.” Fargo memberikan kecupan di bibir dan hidung Carol. “Jangan khawatir. Aku pasti akan selalu menjaga diri
“Tuan, Anda menerima Nona Debora Tansy sebagai sekretaris baru Anda?” Gene bertanya di kala Debora sudah pulang. Raut wajah Gene bingung sekaligus tak mengerti. Pancaran mata Gene menunjukan jelas keterkejutanya.Fargo melonggarkan dasi yang melingkar di lehernya. Fargo menyandarkan punggungnya di kursi kebesarannya. “Debora membutuhkan pekerjaan. Dia bilang padaku sudah menjauh dari keluarganya. Aku tidak tahu apa yang membuatnya menjauh dari keluarganya. Aku tidak berhak ikut campur akan kehidupan pribadi Debora. Alasan aku menerima Debora, karena Debora mengatakan memiliki anak yang masih sekolah. Aku tidak tega padanya.” “Anak?” Raut wajah Gene berubah mendengar perkataan Fargo. “Maaf, Tuan. Anda bilang kalau Nona Debora memiliki anak?” Gene bertanya memastikan. Gene takut, apa yang didengarnya ini salah.Fargo mengangguk. “Ya, Debora sudah menikah dan memiliki anak. Aku sudah lama tidak mendengar kabarnya. Wajar kalau sekarang Debora sudah menikah dan memiliki anak. Usianya sud
*Carol, aku memiliki meeting pagi. Aku harus berangkat lebih awal. Maaf aku tidak membangunkanmu. Kau tidur terlalu pulas. Aku tidak tega membangunkanmu. Aku akan usahakan pulang lebih awal. Your Husband—Fargo. J.*Carol mengembuskan napas panjang membaca sebuah note yang tertuliskan tulisan tangan sang suami. Carol tak mengira kalau Fargo akan berangkat lebih awal. Tadi malam dirinya dan Fargo terlalu asik menemani Arabella bermain, sampai tak membahas apa pun selain menjaga Arabella. Andai saja Carol tahu Fargo memiliki meeting pagi, pasti Carol akan mengatur alarm lebih pagi lagi, agar bisa membantu sang suami bersiap-siap. “Lebih baik aku ke kamar Arabella saja.” Carol bergumam pelan. Wanita itu memutuskan untuk ke kamar Arabella. Carol berbalik, dan hendak melangkah pergi. Namun, tiba-tiba benak Carol memikirkan sesuatu. Sesuatu di mana memunculkan ide dalam pikirannya. “Nanti siang, aku bawakan saja makan untuk Fargo. Sudah lama aku tidak mengantarkan makanan ke kantor.” Car
Fargo menegak vodka di tangannya, seraya memejamkan mata singkat. Pria itu berdiri di balik kaca besar yang ada di ruang kerja mansionnya. Tampak tatapan mata Fargo menatap lurus ke depan, dengan pikiran yang tengah memikirkan sesuatu. Sesuatu yang telah berhasil mengusik ketenangan hati dan pikirannya.Suara dering ponsel terdengar. Refleks, Fargo mengalihkan pandangannya, pada ponselnya yang ada di atas meja. Fargo mendekat, mengambil ponsel itu—menatap ke layar tertera nomor Gene di sana. Fargo mengembuskan napas kasar. Pria itu enggan untuk menjawab, karena pusing di kepalanya. Tetapi, Fargo khawatir kalau ada hal penting yang ingin Gene katakan padanya. Akhirnya, Fargo memutuskan untuk menjawab panggilan tersebut.“Ada apa, Gene?” jawab Fargo kala panggilan terhubung.“Selamat malam, Tuan. Maaf mengganggu Anda. Saya hanya ingin memastikan minggu ini, Anda terbang ke New York bersama siapa?” tanya Gene penuh sopan dari seberang sana. Fargo terdiam mendengar pertanyaan Gene. Fargo
“Mommy.” Andrew berlari, memeluk Debora dengan begitu erat. Bocah laki-laki itu nampak senang karena ibunya sudah pulang dari kantor. Pun Debora membalas pelukan Andrew tak kalah erat. Debora menundukan tubuhnya, bersejajar pada tubuh Andrew.“Anak Mommy yang tampan, apa kau merindukan Mommy, Sayang?” Dobora mengelus pipi Andrew, dan memberikan kecupan di pipi putranya itu.Andrew menganggukan kepalanya. “Ya, Mommy. Aku sangat merindukanmu.”Debora tersenyum. “Bagaimana dengan sekolahmu, Sayang? Semua lancar, kan?”“Mommy, aku di sekolah mendapatkan nilai A. Mommy tenang saja, aku smart boy,” kata Andrew dengan senyuman riang di wajahnya.“Good, kau memang anak Mommy yang pintar.” Debora mencium pipi Andrew. “Sayang, ada hal yang Mommy ingin katakan padamu.”“Apa, Mommy?” tanya Andrew polos seraya menatap Debora.“Minggu ini, Mommy memiliki perjalanan bisnis ke New York. Tidak akan lama. Hanya dua haru saja. Kau tidak apa-apa, kan ditinggal bersama pengasuhmu?” ujar Debora lembut.“Ja
Awan putih mengumpul menutupi daratan. Keheningan sempat menyelimuti pesawat pribadi yang telah mengudara. Ketinggian puluhan ribu kaki dari daratan, membuat hanya awan putih yang menjadi object pandang.“Fargo, putrimu sangat cantik. Dia mirip sekali denganmu.” Debora memulai sebuah percakapan. Setelah berjam-jam keheningan menyelimuti, akhirnya wanita itu memiliki memberanikan diri untuk mengeluarkan suara. Debora memang sudah sejak tadi menahan diri. Dia ingin sekali menanyakan tentang kehidupan pribadi Fargo.“Thanks,” jawab Fargo singkat dengan tatapan yang masih fokus pada laporan di tangannya.“Siapa nama lengkap putrimu dan berapa usianya, Fargo?”“Arabella Fargo Jerald. Usianya hampir 2 tahun.” “Nama yang indah. Kau beruntung memiliki istri dan putri yang sangat cantik.” Fargo terdiam sebentar. Tatapan pria itu mulai teralih pada Debora. Fargo hendak mengeluarkan pertanyaan yang selama ini ada di pikiran. Akan tetapi, semua pertanyaan itu seakan sulit untuk lolos dari mul
Dua hari sudah Fargo dan Debora berada di New York. Sejak kejadian tempo hari, mereka sudah jarang berbicara kecuali membahas pekerjaan. Lebih tepatnya di kala Debora ingin berusaha membahas tentang di luar pekerjaan, maka Fargo selalu saja memilih menghindar dari Debora. Sepertinya Fargo tak mau membahas apa yang telah terjadi di masa lalu.Hal itu membuat Debora tak bisa mengatakan apa pun di luar pekerjaan. Debora hanya bisa pasrah di kala Fargo mulai bersikap dinginnya. Fargo seakan memasang dinding tinggi, pengahalang agar Debora tak bisa mendekat. Tak menampik tindakan Fargo membuat Debora menunjukan lukanya.“Debora, apa kau sudah siap? Kita harus ke bandara sekarang,” ucap Fargo seraya melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Terlihat jelas Fargo yang begitu tak sabar ingin segera kembali ke Los Angeles.Ya, hari ini adalah hari di mana Fargo dan Debora kembali ke Los Angeles. Sesuai dengan rencana Fargo, bahwa pria itu hanya menginginkan dua hari saja di New Yo
Lidah Fargo kelu tak mampu mengeluarkan sebuah kata. Tubuhnya membeku di kala ada seorang bocah laki-laki memanggilnya dengan sebutan ‘Daddy’. Fargo dilanda kebingungan. Pria itu tak mengerti ada apa dengan semua ini.“Daddy, ayo masuk! Aku sudah merindukanmu.” Andrew tersenyum pada Fargo, meminta Fargo untuk masuk ke dalam. Sedangkan Fargo masih tetap bergeming. Kaki Fargo seakan berat untuk melangkah masuk. Semua yang ada di pikirannya seakan berperang dengan isi hatinya.“Fargo, masuklah. Andrew sangat merindukanmu. Setelah ini aku akan menjelaskan padamu,” jawab Debora pelan dengan senyuman di wajahnya. Tatapan Debora begitu hangat, meminta Fargo untuk masuk ke dalam. Wanita itu berjanji akan menceritakan semuanya pada Fargo, tanpa terkecuali.Fargo mengatur napasnya, berusaha untuk tenang. Sorot mata Fargo seakan menunjukan menuntut penjelasan. Detik selanjutnya, Fargo mendekat ke arah Andrew. Bocah laki-laki itu nampak sangat senang akan kehadirannya, membuat hati Fargo bergetar
“Kita akan berlibur, Dad, Mom?” Arabella menatap penuh binar bahagia pada kedua orang tuanya di kala mendapatkan informasi bahwa kedua orang tuanya akan mengajak berlibur bersama.Fargo dan Carol tersenyum dan mengangguk. “Ya, kita akan pergi berlibur.”“Yeay!” Arabella memekik kegirangan. “Daddy, Mommy.” Axton melangkah menghampiri Fargo dan Carol yang ada di ruang keluarga. Bocah laki-laki itu baru saja selesai bermain sepeda di halaman belakang rumahnya.“Axton, kita akan pergi berlibur.” Arabella yang melihat Axton datang langsung memeluk adiknya itu.Kening Axton mengerut. “Kita akan berlibur?”Arabella mengurai pelukannya, dan menangkup kedua rahang adiknya itu. “Iya, Axton. Kita akan pergi berlibur. Kau senang, kan?”Senyuman sumiringah terlihat di wajah Axton. “Yeay, aku senang sekali, Kak. Aku senang kita akan berlibur.”Arabella dan Axton saling berpegangan tangan. Mereka melompat-lompat dan tersenyum bahagia karena akan berlibur keluarga. Tampak Fargo dan Carol tersenyum m
“Uncle Daddy.” Arabella menghamburkan tubuhnya pada Damian yang baru saja tiba. Refleks, Damian menggendong Arabella dan mengecupi pipi bulat Arabella bertubi-tubi.Fargo dan Carol tersenyum melihat Arabella yang sangat dekat dengan Damian. Ya, harusnya Arabella memanggil Damian dengan sebutan ‘Grandpa’, tapi tentu saja Damian menolak dipanggil ‘Grandpa’. Awalnya Arabella memanggil Damian dengan sebutan Paman seperti Fargo. Akan tetapi semakin bertambah usia Arabella panggilan Paman untuk Damian tergantikan ‘Uncle Daddy’. Panggilan itu membuat semua orang gemas pada Arabella termasuk juga Damian yang gemas.“Little girl, kau semakin hari semakin cantik,” puji Damian yang tak henti menghujani Arabella dengan kecupan.“Uncle Daddy juga semakin tampan,” jawab Arabella sambil melingkarkan tangannya di leher Damian.Kimberly tersenyum melihat sikap manis Arabella.“Hi, Kim.” Carol memeluk Kimberly bergantian dengan Fargo yang juga memeluk Kimberly.“Ah, Diego. Tubuhmu semakin tinggi dan
Carol dan Fargo masih belum mengatakan apa pun setelah mendengar keluhan putri sulung mereka. Baik Carol dan Fargo sama-sama melukiskan senyuman di wajah mereka. Mereka tak mengira alasan yang membuat putri mereka kesal adalah Diego—anak Kimberly dan Damian.Carol yang tadinya kesal, kali ini sudah mulai membaik tak lagi kesal. Bagaimana tidak? Alasan putri kecilnya itu sangat lucu. Memang Arabella itu sangat manja pada Diego. Arabella selalu menyukai setiap kali Diego menjemputnya. Jadi tak heran kalau sekarang Diego tak bisa datang menjemput, pasti Arabella akan merajuk seperti anak kecil. Fargo membawa tangannya membelai pipi Arabella. “Jadi kau kesal karena Diego tidak bisa datang menjemputmu, dan juga kesal karena banyak teman-temanmu mengirimkan surat cinta untuk Diego?” ulangnya memastikan.Arabella mengangguk sambil melipat tangan di depan dada. “Iya, Daddy. Aku kesal sekali.”Fargo mengecupi pipi bulat Arabella. “Oke, nanti besok Daddy akan meminta Diego datang ke sini untu
Tiga tahun berlalu … Suara dering ponsel terdengar membuat Carol yang tengah membuat kue langsung mengalihkan pandangannya ke arah ponselnya yang ada di atas meja. Carol mendecakkan lidahnya pelan di kala ada yang mengganggunya. Padahal dirinya sedang sibuk membuat kue.“Nyonya, biar saya yang menyelesaikan membuat kue ini. Anda bisa menjawab telepon Anda. Mungkin saja itu adalah telepon penting,” ucap sang pelayan sopan. Pelayan itu menawarkan diri, karena dia pun tengah membantu Carol membuat kue.Carol mendesah panjang. Padahal sedikit lagi kue yang dibuatnya akan segera selesai, tapi malah ada saja yang mengganggunya. Dengan wajah sedikit kesal, Carol mencuci tangannya hingga bersih—dan mengambil ponselnya di atas meja—tertera nomor sopir putrinya menghubunginya.Carol terdiam sebentar nampak bingung. Tak biasanya sopir Arabella menghubunginya. Tanpa pikir panjang, Carol memutuskan untuk menjawab panggilan telepon tersebut.“Hallo?” jawab Carol kala panggilan terhubung.“Nyonya,
Beberapa bulan berlalu …“Sayang, kenapa kau membelikanku ice cream cokelat? Aku sedang ingin ice cream vanilla.” Carol merajuk kesal pada Fargo yang membawakannya ice cream cokelat. Wanita itu melipat tangan di depan dada tepatnya di atas perut buncitnya. Bibirnya tertekuk seperti anak kecil yang tak dibelikan mainan.Fargo mengembuskan napas kasar. “Tadi kau hanya bilang ingin ice cream saja. Jadi aku memilih cokelat. Kau biasanya juga suka ice cream cokelat.”Fargo nyaris dibuat sakit kepala oleh keinginan Carol. Tadi istrinya itu ingin dirinya sendiri yang membelikan ice cream, setelah dirinya sudah membeli ice cream, tetap malah disalahkan. Padahal Fargo sudah memilih ice cream yang sering disukai istrinya itu.Bibir Carol kian menekuk. “Aku ingin ice cream vanilla. Aku tidak mau ice cream cokelat.”Fargo mengangguk memilih untuk mengalah. “Oke, aku akan membelikan lagi untukmu. Kau tunggu sebentar.” Lalu Fargo hendak pergi, namun Carol memeluk lengan Fargo, seakan tak membiarkan
“Fargo, ayo kita berangkat sekarang, Sayang. Daddy dan Mommy sudah menunggu kita.” Carol berucap seraya menyisir rambutnya. Pagi menyapa Carol sudah tampil cantik dengan midi dress motif bunga kecil-kecil.Fargo mendekat sambil memakai arlojinya. “Iya, Sayang. Tenanglah. Kita tidak akan terlambat. Pamanku dan Kimberly juga masih di jalan, mereka belum sampai di rumah orang tuaku.”Pagi ini, keluarga Carol dan keluarga Fargo berkumpul bersama. Itu kenapa Carol dan Fargo sibuk ingin bersiap-siap. Pun mereka juga tak sabar ingin bertemu Arabella. Sebelumnya memang Arabella cukup lama tinggal di orang tua Carol atau orang tua Fargo. Alasannya karena waktu itu Carol dan Fargo tengah mengurus proses cerai mereka. Baik Carol ataupun Fargo tak ingin sampai Arabella mengerti bahwa mereka memiliki masalah.Carol merapikan kerah baju sang suami. “Ya sudah kita berangkat sekarang. Aku merindukan putri kecil kita, Sayang.”Fargo menganggukan kepalanya, dan memberikan kecupan di bibir sang istri. D
Carol tak menyangka akan keputusannya. Tepatnya di kala sang hakim hendak ingin mengetuk palu, hati Carol mendorong keras dirinya, seakan memberikan perintah untuk menghentikan semua itu. Ya, pada akhirnya ego dan perasaan yang menang adalah perasaan. Fakta membuktikan bahwa cinta Carol lebih kuat dari apa pun.Mungkin banyak orang di luar sana mengatakan bahwa Carol bodoh, karena tetap mencintai pria yang menorehkan luka padanya amat dalam. Namun, wanita itu sama sekali tak peduli akan pendapat orang tentangnya. Karena hati tak pernah bisa untuk berbohong.Saat ini Carol berada dalam pelukan Fargo. Belum ada kata yang Carol ataupun Faro ucap. Hanya pelukan hangat yang seakan menyalurkan rasa cinta mereka yang amat dalam. Setelah persidangan, Fargo membawa Carol pulang. Seluruh keluarga memberikan ruang untuk Carol dan Fargo berdua. Dua insan itu butuh waktu berdua demi mencairkan gunung es yang telah menyelimuti hubungan mereka.“Fargo, di mana putri kita??” Carol memulai percakapan,
Carol menatap cermin yang ada di hadapannya. Raut wajah Carol menunjukan jelas kemuraman dan kesedihan yang menyelimuti. Riasan di wajahnya sangat tipis bahkan nyaris tak terlihat. Mata sedikit sembab akibat tangis sepanjang malam.Tatapan Carol teralih pada cincin pernikahan yang melingkar di jari manisnya. Cincin yang telah menemaninya bertahun-tahun lamanya. Carol menyentuh cincin pernikahannya itu. Matanya sudah berkaca-kaca hendak ingin meneteskan air mata. Namun, Carol segera menyeka air matanya agar tak berlinang.Ya, hari ini adalah hari di mana Carol akan melepas Fargo selamanya. Hati Carol selalu terluka membayangkan akan melepas Fargo. Akan tetapi, Carol menyadari bahwa tindakan yang diambilnya adalah yang paling terbaik. Bagi Carol, selamanya Fargo tak akan pernah bisa untuk berubah. Fargo tak pernah mau belajar dari kesalahan di masa lalu. Meskipun berat, tapi Carol harus tetap bisa merelakan bahwa memang takdir tak menakdirkan dirinya bersama dengan Fargo.Mata indah Ca
Berita tentang perceraian Fargo dan Carol telah terdengar oleh publik. Lagi dan lagi, Fargo menjadi topik pembahasan utama para media. Kasus perselingkuhan Fargo di masa lalu, masih kerap menjadi pembahasan, dan sekarang ditambah kasus percaian Fargo dengan Carol. Beberapa wartawan kerap mewawancarai pihak keluarga Fargo dan keluarga Carol, namun hingga detik ini keluarga Fargo dan Carol memilih untuk bungkam, tak sama sekali menjawab pertanyaan dari para wartawan. Tentu, keluarga Fargo dan Carol memilih untuk tidak bersuara, karena tak ingin memperkeruh suasana. Tidak ada yang bisa membujuk Carol. Bahkan kemarin, Cadey dan Kimberly sempat berbicara dengan Carol, membahas tentang masalah Carol dan Fargo, namun sayangnya tak berhasil. Carol meminta Cadey, Kimberly, bahkan semua pihak keluarga untuk tak ikut campur dalam keputusan yang telah dia buat.Menjelang sidang perceraian, Carol menitipkan Arabella pada orang tuanya saja. Pun orang tua Fargo juga turut menjaga Arabella bergan