Tidak lama setelah Pak kepala menyuruh Adit dan Bu Pur memanggil orang-orang dewasa, Para orang dewasa di tempat ini seperti guru, pegawai, dan tenaga kerja segera berkumpul di depan ruang UKS. Sama seperti ketika Pak kepala dan Bu Purwanti pertama kali melihat keadaan pemuda itu, semua yang hadir di tempat itu juga terkejut.Sebenarnya sudah bukan pertama kali mereka menyaksikan ini. Sebelumnya, ketika kelompok pencari bahan makan baru saja terbentuk, beberapa dari mereka juga mati saat menjalankan tugasnya. Mereka juga pernah melakukan proses pemakaman untuk mereka yang telah mati. Meski begitu, para guru yang telah mengajari murid-muridnya, juga membentuk sebuah ikatan yang secara tidak langsung mendekatkan mereka.Sebagai guru, orang tua kedua, dan sebagai manusia, melihat orang yang dekat dengan mereka terbaring lemas bermandikan darah, tentu membuat siapa saja sedih. Di balik kesedihan para orang dewasa, mereka juga tahu betapa tidak berdayanya mereka. Pada Shelt
Matahari telah tenggelam. Perlahan, udara dingin mulai terasa di Shelter. Setelah selesainya proses pemakaman. Hampir semua murid masuk ke dalam kelas masing-masing ditemani wali kelas mereka. Setelah berita kematian pemuda yang telah diselamatkan itu tersebar. Ketakutan, kehilangan, dan kesedihan meliputi setiap orang di Shelter. Meski tidak saling mengenal, para penghuni Shelter ini tetap merasa kehilangan.Pada langit malam yang cerah hari ini. Bintang terlihat gemerlapan, sinar bulan yang hampir mencapai fase purnama tampak menerangi langit malam. Disaat langit sedang dalam kondisi yang baik ini, seorang perempuan justru terlihat sedih. Dibawah kilauan sinar rembulan, Luna berlari ke arah gerbang utamaDengan raut wajah yang tampak mengkhawatirkan sesuatu. Luna tampak tergesa-gesa untuk keluar dari Shelter. Di balik keheningan malam hari, suara pintu gerbang utama yang terbuat dari besi, berderit ketika terbuka. Suara itu terdengar cukup keras hingga dapat memancin
Luna yang tiba-tiba berteriak histeris membuatku panik. Aku tidak tahu apa yang membuatnya berteriak. Tetapi yang jelas aku perlu menenangkannya terlebih dahulu. Secara perlahan, aku menekan bahunya, kemudian mengguncangkannya dengan harapan itu membuatnya tersadar. Sekilas, terpikir untuk menyumpal mulutnya dengan kain agar dia diam. Tapi rasanya itu terlalu kejam untuk dilakukan.Sambil memikirkan cara lain untuk membuatnya sadar. Aku mengamati kedua matanya yang melotot. Tetapi ketika aku mengedipkan mata…***Ketika Nossal membuka mata. Pandangan yang tampak berbeda dengan sebelumnya muncul dalam penglihatannya. Pandangannya mengarah pada langit-langit ruangan yang tidak dia kenal. Sebuah ruangan yang dicat dengan warna biru muda, pernak-pernik dan foto yang menempel di dinding, serta berbagai barang-barang seperti meja, kursi, lemari, dan lain-lain juga terlihat menghiasi ruangan ini“Di mana ini? Kenapa aku ada di sini?”Di
Beberapa jam telah berlalu sejak anggota keluarga Luna berangkat. Waktu sudah menunjukan pukul 10 lebih. Bibi Ani yang katanya akan segera kembali masih belum datang juga. Luna yang sedang menjalani libur panjang setelah melewati ujian nasional jenjang sekolah dasar merasa cukup bosan. Dia hanya bisa melihat acara televisi sejak selesai mencuci piring tadi, sambil sesekali chattingan dengan teman-teman sekelasnya. Sejak waktu telah menunjukan pukul setengah sepuluh, rentetan acara kartun yang disiarkan sejak pagi telah selesai, digantikan oleh acara berita. Luna yang sedang terduduk di sofa, di depan televisi merasa bosan. “Bibi Ani kok lama banget sih” keluhnya Luna yang sedikit cemberut merebahkan badannya. Dalam posisi telungkup, Luna menempelkan wajahnya ke bantal berbentuk persegi yang berwarna merah muda sambil mengayunkan kakinya maju mundur di udara. “Ya sudahlah, langsung ke rumah Vanessa sajalah” Merasa sudah terlalu bosan menunggu kedatangan Bibi Ani. Luna bangun dari s
Seorang wanita yang terlihat sudah cukup berumur terlihat sedang duduk di kursi penumpang sebuah bis. Pandangannya mengarah pada hitungan mundur pada lampu persimpangan yang masih berwarna merah. Dengan menggenggam erat plastik berisikan beberapa macam sayuran. Dia terlihat sedang mengkhawatirkan sesuatu.“Aduh bagaimana nih. Gara-gara ketinggalan bis sebelumnya, aku jadi terlambat kembali. Neng Luna sudah makan apa belum ya?”Wanita itu adalah Bibi Ani, pembantu keluarga Luna. Sudah sekitar 4 tahun dia bekerja sebagai pembantu. Kebetulan karena adanya suatu masalah, dia mengambil cuti lalu kembali ke kampung halamannya selama beberapa hari belakangan. Karena sekarang masalahnya telah selesai, dia dapat kembali ke rumah Luna. Dia tahu bahwa hari ini Luna sedang berada dirumah sendirian karena sedang libur setelah menjalani ujian nasional.Satu demi satu persimpangan dilewati oleh bis yang ditumpanginya. Hingga akhirnya dia turun tepat di mulut gang. Dengan cepat dia berlari kecil menu
Setelah menceritakan semua yang aku alami pada Pak kepala yang merupakan Ayah Luna. Beliau mengatakan bahwa kejadian itu memang benar terjadi. Itu terjadi sekitar satu setengah tahun yang lalu. Mendengar secara detail kebenaran mengenai kejadian itu membuat beliau terlihat sedih. Luna tidak pernah bersedia untuk bercerita pada siapapun bahkan pada keluarganya sendiri mengenai insiden itu. Setelah mendapatkan pesan dari tetangga tentang insiden yang dialami putri dan pembantunya di rumah. Mereka berdua meninggalkan pekerjaan mereka dan langsung pulang ke rumah. Luna yang menolak untuk memberikan kesaksian karena masih trauma, membuat kedua orang tuanya hanya mengetahui sebagian cerita dibalik insiden itu dari kesaksian tetangga.Akibat dari peristiwa itu. Luna kehilangan keceriaannya dan menjadi sering melamun. Dia juga menjadi pribadi yang cukup tertutup, serta memiliki ketakutan yang berlebih ketika berduaan dengan laki-laki. Dengan tujuan agar dapat mengawasinya lebih ketat, kedua o
“Cukup sampai disini dulu, kita lanjutkan besok”Nossal yang sedang menciptakan sebuah benda yang diinginkan mentornya merasa heran dengan ucapan mentornya itu.“Eh!? Bukannya bel makan siang belum berbunyi?” TanyanyaSambil meminum air dari sebuah botol plastik diatas meja. Pak Husein menunjuk ke arah belakang Nossal.“Tampaknya teman-temanmu ingin mengajakmu makan bersama”Melihat ke arah telunjuk mentornya menunjuk, dia melihat Leon, Ryan, dan Rudy sedang mengintip dari balik jendela. Ketika Pak Husein Menyadari keberadaan mereka. Mereka segera menundukkan kepalanya seakan untuk bersembunyi dari pandangannya.“Waktu makan siang juga sebentar lagi tiba. Kita tidak sedang ada dalam pelajaran yang memaku murid untuk terus belajar sampai waktu yang telah ditentukan. Dan juga aku perlu membawa ini ke lab untuk mengeceknya”Sambil membawa beberapa bubuk yang telah aku ciptakan ke sebuah cawan kecil, Pak Husein segera berdiri dari tempat duduknya, lalu segera pergi ke laboratorium. Ketika
“Fiuhh~ akhirnya kita mendapatkan makanan kita…” Dengan membawa menu makanan yang seperti kemarin. Mangkuk kecil yang berisikan sup dengan beberapa sayuran berbeda, piring dengan 3 butir donat dari ubi, dan segelas teh hangat. Kami segera pergi dari kantin dan bergegas menuju ruang UKS yang dipilih sebagai tempat makan. Masing-masing dari kami membawa makanannya sendiri yang diletakkan di atas nampan plastik. Sedangkan Leon dengan tangannya yang masih patah, dia hanya membawa segelas teh ditangannya, dan meminta tolong pada Ryan unuk membawakan sisanya “… Parah, banyak banget adik kelas yang mengantri. Aku pikir kalau kita antri di barisan yang dilayani Venda bakal lebih cepat. Ternyata malah sebaliknya” “Tentu sajalah. Ryan, kamu terlalu naif kalau berharap Venda akan mendahulukan kita. Kamu tahu sendiri sifat dia gimana kan? dia akan menyuruh kita yang lebih tua mengalah dan mendahulukan yang muda.” Ketika sampai di lapangan, kami melihat lapangan yang dalam kondisi basah meski t
“Dia adalah Nossal… Nossal Kalamithi.”“Nossal? Hmm… Maksudmu dia? Mengapa kamu berpikir demikian?”“Dia—”Sebelum Luna lanjut bercerita mengenai Nossal, Venda menghentikannya. “Luna, sebaiknya kamu jangan menceritakan hal tersebut kepadaku. Nossal berusaha menyembunyikan masa lalunya dan tidak ingin diketahui oleh siapa pun. Seandainya aku mengetahui masa lalunya, aku harap dia sendiri yang menceritakannya.Mendengar nasihat temannya, Luna tidak jadi menceritakan masa lalu Nossal. Tetapi tampaknya Venda tidak menyangkal bahwa masa lalu Nossal lebih buruk dari apa yang ia alami.“Mari kita kembali; anak laki-laki pasti sudah bosan menunggu.”“Kamu benar; sebaiknya kita bergegas.”Mereka berdua segera beranjak dari tempat itu dan kembali. Venda, yang berjalan di belakang Luna, menatap bagian belakang Luna.“Padahal kamu selalu menyuruhku
Di malam hari yang gelap, hanya ada cahaya bulan redup yang menyinari jalan setapak, sementara suara angin yang lembut menyelusup reruntuhan kota menciptakan suasana yang tenang dan damai. Venda, Ryan, dan Rudy menunggu Nossal yang berjuang untuk meyakinkan Luna untuk kembali.“Kira-kira Nossal berhasil tidak ya membawa Luna kembali?”“Aku percaya padanya”“Sepertinya kamu benar. Kita harus percaya padanya, bukankah begitu, Ven?”Menggosok matanya yang masih terlihat lembap, Venda setuju dengan kedua temannya.“Ya, mereka pasti kembali. Di sinilah kita, menunggu dan akan menyambut mereka.”Tidak berselang lama, dari kejauhan tampak sosok Nossal dan Luna yang berjalan pelan mendekati mereka bertiga. Mereka berdua berjalan seolah mereka sedang dalam perjalanan sepulang sekolah. Melihat Nossal berhasil membawa kembali Luna bersamanya, Ryan melompat dan mengayunkan tangannya ke atas, kemudian berse
Di dalam Akademi Tunas Harapan, di area tempat penahanan anak kelas 6 SD Tunas Harapan.Di antara anak-anak kecil yang sedang meringkuk dalam ketakutan dan rasa lapar, seorang perempuan mencoba keluar dari jendela ruangan yang mengurungnya. Melihat dari balik jendela, anak itu memastikan keadaan di luar. Setelah memastikan kalau keadaannya telah aman, dia melompat keluar lewat jendela.“Seperti biasa, tidak ada seorang pun penjaga yang mengawasi setelah matahari tenggelam,” pikirnya. Akan sangat gawat jika dia sampai ketahuan anggota patroli.Dengan hati-hati, dia berjalan perlahan ke bangunan di sampingnya.“Seharusnya dia sudah kembali ke ruangannya.”Tangisan lirih terdengar dari balik pintu ruangan yang dituju perempuan itu. Perempuan itu mengintip dari luar jendela, memastikan tidak ada orang di dalam, kemudian berusaha membuka pintu ruangan tersebut tanpa menimbulkan suara. Namun ketika hendak masuk ke dalam, seseorang
Nossal yang masih sedikit terhuyung-huyung akibat diapit dua dinding yang dibuat Luna, berlutut di hadapan Luna.“Apa-apaan itu. Kau ingin aku membantu? Sepertinya kau sendiri paham jika sebenarnya tindakan yang kau lakukan ini berbahaya,” Ejek Nossal.Luna sedikit menundukkan kepalanya. Mata mereka berdua bertemu, akan tetapi tatapan matanya berubah. Tekad yang kuat masih terasa dari sorot matanya yang tajam. Dia menutup matanya sejenak, kemudian menjawab,“Itu benar. Aku masih memiliki keraguan dalam menggunakan kekuatan ini. Dalam pikiranku, aku merasa kalau kekuatan ini tidak layak aku terima.”Membuka mata, Luna kembali melanjutkan perkataannya,“Dengan adanya kekuatan, harus disertai tanggung jawab yang besar. Semakin besar kekuatan itu, semakin besar pula tanggung jawab yang harus dipikul, dan aku baru saja menyadarinya.”“Ya. Aku juga sering mendengar perkataan seperti itu. Memangnya kenapa? Pada akhirnya, keputusan untuk memenuhi tanggung jawab itu kembali pada diri sendiri.”
Berdiri di depan jalan masuk ke dalam gedung, aku hampir tidak dapat melihat apa pun. Berjalan masuk perlahan sambil meraba-raba sekitar membuatku sedikit demi sedikit mulai paham bagian dalam mall ini. Pada lantai 1 bagian lobby, berbagai jenis pakaian dipajang pada beberapa rak pakaian, meskipun semua telah hancur dan berserakan dimana-mana. Dengan jumlah yang tidak terlalu banyak dan telah rusak, pakaian-pakaian itu telah berserakan di lantai yang kotor dan lembap dikarenakan kebocoran di beberapa sisi bangunan. Selain itu, lantai 1 juga terdapat supermarket dan beberapa konter reparasi handphone dan jam. Setelah menyusuri area lantai 1, aku berdiri di tengah bangunan, di depan tangga yang menghubungkan lantai 1 dan 2. Sebenarnya dari tengah bangunan mall ini aku sudah dapat melihat area lantai 3 yang sepertinya merupakan area food court.Aku beberapa kali menoleh ke pintu masuk dan area sekitar untuk memastikan apakah ada monster di dalam ataupun di luar bangunan, tidak l
“Itu Luna.” Ujar Venda menghela nafas lega. Dia yang tidak mendengar percakapan dari awal membuatnya tidak tahu lokasi Luna. Meski dia penasaran, Venda segera memberikan beberapa karak dan air putih gelasan pada masing-masing orang. Tidak dapat menyembunyikan rasa penasarannya, Venda bertanya, “Di mana Luna berada?”Menerima makanan dari Venda, perempuan yang sedari tadi berbisik, memberanikan diri untuk berbicara dengan ragu-ragu,“A-aku melihatnya di gedung yang ada di sana. Di lantai 3 di sana, kalian dapat melihat orang sedang berdiri sambil menatap tempat kita berada.”Mengalihkan pandangan setelah mendengar jawaban perempuan itu, Adit bertanya kepada laki-laki yang ada di depannya,“Apakah itu kekuatannya? Melihat jarak jauh? Tapi dalam kondisi gelap gulita seperti ini memangnya kelihatan?” tanyanya penasaranLaki-laki itu menggigit karak yang dibagikan Venda. Hanya dalam 3 kali gigitan, karak itu lenyap, masuk ke dalam mulutnya. Setelah meminum air, dia menjawab,“Kalau tidak s
“Dengan ini selesai...” “Terima kasih,” ucap laki-laki itu. Perawat itu menjawabnya dengan tersenyum lalu menyimpan kembali alat-alat dan obat merah yang telah digunakan ke dalam tas kecil di pinggangnya. “Linda! Apa kamu masih punya sisa perban? Milikku sudah habis ini.” “Ada. Tapi punyaku juga tinggal sedikit. Nih, kamu pake saja.” Perawat bernama Linda itu melemparkan gulungan perban yang sudah terlihat tipis pada rekannya. Menangkapnya, perawat itu mengerutkan alisnya. “Tinggal ini?” “Iya, tinggal segitu doang.” “Yah... Segini mah kurang,” ucapnya sambil menatap gulungan perban yang barusan dia terima. Serbuan kera biru sebelumnya menyebabkan Nossal, Ryan, dan orang-orang yang mereka coba selamatkan mendapatkan luka yang cukup serius. Selain cairan anti septic untuk membersihkan luka, perban yang telah sediakan dengan cepat habis. “Simpan saja sisa perban itu untuk yang lain. Aku tidak memerlukannya.”
Selepas kami kembali, semua masalah tampaknya telah selesai. Wajah Tia masih terlihat marah, alisnya menjadi tegang dan sedikit menurun, nada bicaranya ketika berkoordinasi dengan anggota kelompoknya yang lain juga terdengar meninggi. Di sisi lain, si anak pembuat onar dari kelas 7 hanya berdiri dengan beberapa teman laki-laki kelas 7-nya. Karena suasana tegang akibat kejadian sebelumnya, hal itu membuat semua orang tidak banyak bicara. Mereka hanya fokus dengan masing-masing anggota kelompoknya saja. Dalam kelompok kami, aku menyerahkan urusan koordinasi pada Ryan. lagipula, sepertinya aku jadi dibenci oleh semua anggota kelompokku. Tatapan mereka terasa seperti terpaan angin dingin di musim panas. Terlebih lagi di antara mereka, si pembuat onar yang menerima pukulanku tadi melirikku seolah menyiratkan niat jahat yang tak terungkapkan. Bagaimanapun, aku tidak berniat untuk menanggapinya. *** Kembali, Nossal dan yang lainnya melanjutkan perjalanan dengan formasi yang sama seperti s
Clara meninggalkan Nossal. Dia berlari sesenggukan kembali ke tempat teman-teman yang lain berkumpul. Setiap tetesan air mata yang mengalir dari matanya dia seka dengan punggung tangannya. Berlari, pikirannya tidak dapat melupakan yang barusan Nossal ucapkan. Dadanya sesak setiap kali dia mengingatnya, membuat air mata tidak dapat berhenti menetes. Tanpa Clara sadari, seekor monster mengintainya dari balik bayangan. Seekor kalong yang sedang bergelantungan di bawah atap sebuah bangunan yang tidak jauh darinya. Hendak menjadikannya santapan malam, Kalong itu terbang dengan cepat sambil mengarahkan cakarnya pada Clara yang sedang lengah. Mata Clara terbuka lebar melihat sosok monster itu terbang mendekatinya. Perasaan takut yang luar biasa seperti mencekik dirinya. “Aku harus segera menyingkir” ucapnya dalam hati. Dia mencoba menggerakkan kakinya untuk pergi dari tempat itu tetapi tidak bisa. Rasanya seperti kedua kakinya terpaku di atas tempatnya berpijak. Tidak kuat lagi menahan beba