Aku tidak dapat menyangkal perkataan Adit yang menganggap kami bodoh karena terlalu terpaku untuk menghilangkan dinding batu yang dibuat Luna, tanpa memikirkan alternatif lain. Entah kami, memang sedang kalang kabut karena Luna yang tiba-tiba meninggalkan Shelter, atau kami memang tidak ingin melihat dari sisi lain saja.Tetapi berkatnya, kami mendapat alternatif lain. Dengan tidak terbuangnya waktu kami hanya untuk mengurusi sebuah dinding, kami dapat mengejar Luna dengan lebih cepat. Hanya saja, setidaknya kami perlu menjelaskan situasinya pada Adit, sebagai orang yang dekat dengan Pak kepala sekolah. Kami yang dari tadi berdiri di dekat gerbang utama, berjalan mendekati Adit dan yang lain.“Pfft... Indra, Faiz, Deni; kalian juga tidak terpikirkan cara lain untuk keluar kah?”“Tia hentikan, Jangan mengolok-olok anggota kelompokmu sendiri—”Tia yang kesulitan menahan tawa, mengejek ketiga laki-laki yang sedang berjalan bersama kami. Tetapi Adit langsung menegurnya lalu mengalihkan pa
Siang itu, di bawah rindangnya pohon besar di depan lobby, di dekat gerbang utama. Kami semua yang mendengar ucapan Pak kepala sungguh terkejut. Mendengar beliau ingin menyerahkan posisi pemimpin Shelter pada Adit begitu saja terkesan bercanda. Tetapi sebenarnya tidak begitu, Pak kepala sudah memikirkan hal ini baik-baik. Menurut pemikirannya, Adit lebih cocok memimpin dalam posisi dunia yang seperti ini. Banyak hal yang dia ketahui dari pada yang diketahui Pak kepala. Selain itu, menurut Pak kepala, kaum tua atau para guru hanya menjadi beban bagi kaum muda yang mendapatkan kekuatan. Meski disebut pemimpin, Pak kepala hampir tidak melakukan apapun semenjak dunia ini berubah, berbeda dengan Adit, Tia dan Luna yang mencoba mencari cara agar kami tetap hidup dengan mencari bahan makanan di luar Shelter.Meski tidak sadar bahwa dirinya sudah cukup pantas menjadi pemimpin. Adit hanya memiliki pengalaman sebagai ketua OSIS. Bahkan dia baru saja resmi menjabat beberapa minggu lalu. Dia buka
Berusaha untuk mengejar dan menghentikan Luna yang berbuat ceroboh, Nossal dan kawan-kawan bergegas mengejar Luna yang sedang menuju akademi Tunas Harapan untuk menyelamatkan adiknya. Jalanan kota yang dipenuhi kendaraan yang terbengkalai dimana-mana, beberapa bangunan yang terlihat hancur akibat benturan dari mobil serta kendaraan lain, hembusan angin yang menerpa dedaunan terbang mengotori lingkungan sekitar. Sunyinya kota meski masih siang hari menyebabkan perasaan tidak nyaman bagi mereka yang baru pertama kali menginjakkan kaki di luar setelah dunia berubah. Kota yang awalnya merupakan salah satu kota terpadat di Nusantara, telah berubah menjadi kota mati yang dipenuhi monster.Di tengah suasana kota seperti itu, mereka berkali-kali bertemu dengan sejumlah monster. Tetapi dengan penuh semangat, mereka menghadapinya,“Tia, dibelakangmu!”Sebuah peringatan ditujukan Adit kepada Tia yang sedang di dekati oleh serigala dari arah belakang. Tia yang sedang fokus dengan 2 kalong yang te
Selain dari Adit yang langsung memarahi Tia karena tindakan ceroboh yang dilakukannya. Kedua teman perempuan yang satu kelompok dengannya juga melakukan hal yang sama. Mereka berdua juga ikut menasehati Tia. Tanpa bisa menghindari ceramah dari ketiga orang itu, Tia hanya dapat duduk bersimpuh mendengarkan mereka. Indra yang melihat ketua kelompoknya sedang sibuk, memutuskan untuk memeriksa kondisi ketiga Parasyte Cow tadi. Dapat dilihat, seekor Parasyte Cow yang menyerang Tia tadi terkapar di tanah tidak jauh dari tempat mereka sekarang. Sedangkan dua yang lain sempat kabur setelah menerima serangan Tia. Karena tidak dapat memeriksa dua tempat sekaligus, Indra meminta bantuan kedua rekannya, “Faiz, Deni. Bisa kalian cek jasad Parasyte Cow yang ada di sana. Pastikan sudah benar-benar tidak dapat bergerak. Kita tidak ingin mereka tiba-tiba kembali menyerang ketika lengah. Aku akan pergi mencari dua ekor lain” “Sendirian saja? kalau begitu bukannya lebih baik jika salah satu dari kami
Adit terkejut ketika melihat Tia terkena serangan dari si anak kelas 7. Dalam hatinya, dia menyesal tidak segera menghentikan pertarungan mereka. Dia justru memposisikan dirinya sebagai penonton yang sedang menonton pertunjukan. Di saat Tia mengeluarkan teriakan yang merupakan respon dari rasa sakit akibat menerima serangan dari si anak kelas 7, barulah dia bergerak, berlari mengkhawatirkan keadaan Tia. Tanpa dapat menyembunyikan rasa sakitnya, Tia berlutut, meringkuk dengan menjepit kedua jarinya yang terluka dengan bajunya. Meski wajah Tia terlihat menderita, Adit tetap mencoba berpikir, “Semoga hanya luka ringan” sembari berlari mendekatinya. Belum dapat memastikan keadaan Tia, sebuah cahaya berwarna kuning kemerahan bersinar dari arah si anak kelas 7. Dia terlihat tidak berniat berhenti sampai di situ. Harga dirinya sebagai laki-laki tidak terima direndahkan oleh seorang perempuan. Senyuman puas terpancar dari wajahnya ketika serangannya yang sebelumnya berhasil melukai lawannya.
Tia yang awalnya hendak melancarkan serangan pada si anak kelas 7 tiba-tiba saja kehilangan penglihatan. Dia tidak dapat melihat apa-apa, serta nafasnya menjadi sedikit sesak. Dia tahu dirinya masih sadar karena dia masih dapat merasakan rasa perih pada kedua jarinya yang terluka, dirinya pun masih dapat menggerakkan seluruh tubuhnya dengan bebas. Hanya saja pandangannya yang sebelumnya melihat si anak kelas 7 tiba-tiba berubah menjadi gelap. Ketika menyadari ada sesuatu yang bersentuhan dengan kulit wajahnya. Dia tahu bahwa sesuatu sedang menutupi kepalanya. Dengan nada tinggi, Tia berusaha melepaskan benda yang menutupi kepalanya itu sambil berteriak“Singkirkan benda ini dari kepalaku! Dia! Dia tidak akan aku ampuni!”Bukannya meredakan amarahnya, rencana Nossal justru membuat amarah Tia semakin memuncak. Dia merasa dirinya sedang dipermainkan.Dia menggenggam kantong yang menutupi kepalanya, dan berkali-kali mencoba menyingkirkannya tetapi tidak berhasil. Itu karena Ryan dan Indra
Clara meninggalkan Nossal. Dia berlari sesenggukan kembali ke tempat teman-teman yang lain berkumpul. Setiap tetesan air mata yang mengalir dari matanya dia seka dengan punggung tangannya. Berlari, pikirannya tidak dapat melupakan yang barusan Nossal ucapkan. Dadanya sesak setiap kali dia mengingatnya, membuat air mata tidak dapat berhenti menetes. Tanpa Clara sadari, seekor monster mengintainya dari balik bayangan. Seekor kalong yang sedang bergelantungan di bawah atap sebuah bangunan yang tidak jauh darinya. Hendak menjadikannya santapan malam, Kalong itu terbang dengan cepat sambil mengarahkan cakarnya pada Clara yang sedang lengah. Mata Clara terbuka lebar melihat sosok monster itu terbang mendekatinya. Perasaan takut yang luar biasa seperti mencekik dirinya. “Aku harus segera menyingkir” ucapnya dalam hati. Dia mencoba menggerakkan kakinya untuk pergi dari tempat itu tetapi tidak bisa. Rasanya seperti kedua kakinya terpaku di atas tempatnya berpijak. Tidak kuat lagi menahan beba
Selepas kami kembali, semua masalah tampaknya telah selesai. Wajah Tia masih terlihat marah, alisnya menjadi tegang dan sedikit menurun, nada bicaranya ketika berkoordinasi dengan anggota kelompoknya yang lain juga terdengar meninggi. Di sisi lain, si anak pembuat onar dari kelas 7 hanya berdiri dengan beberapa teman laki-laki kelas 7-nya. Karena suasana tegang akibat kejadian sebelumnya, hal itu membuat semua orang tidak banyak bicara. Mereka hanya fokus dengan masing-masing anggota kelompoknya saja. Dalam kelompok kami, aku menyerahkan urusan koordinasi pada Ryan. lagipula, sepertinya aku jadi dibenci oleh semua anggota kelompokku. Tatapan mereka terasa seperti terpaan angin dingin di musim panas. Terlebih lagi di antara mereka, si pembuat onar yang menerima pukulanku tadi melirikku seolah menyiratkan niat jahat yang tak terungkapkan. Bagaimanapun, aku tidak berniat untuk menanggapinya. *** Kembali, Nossal dan yang lainnya melanjutkan perjalanan dengan formasi yang sama seperti s
“Dia adalah Nossal… Nossal Kalamithi.”“Nossal? Hmm… Maksudmu dia? Mengapa kamu berpikir demikian?”“Dia—”Sebelum Luna lanjut bercerita mengenai Nossal, Venda menghentikannya. “Luna, sebaiknya kamu jangan menceritakan hal tersebut kepadaku. Nossal berusaha menyembunyikan masa lalunya dan tidak ingin diketahui oleh siapa pun. Seandainya aku mengetahui masa lalunya, aku harap dia sendiri yang menceritakannya.Mendengar nasihat temannya, Luna tidak jadi menceritakan masa lalu Nossal. Tetapi tampaknya Venda tidak menyangkal bahwa masa lalu Nossal lebih buruk dari apa yang ia alami.“Mari kita kembali; anak laki-laki pasti sudah bosan menunggu.”“Kamu benar; sebaiknya kita bergegas.”Mereka berdua segera beranjak dari tempat itu dan kembali. Venda, yang berjalan di belakang Luna, menatap bagian belakang Luna.“Padahal kamu selalu menyuruhku
Di malam hari yang gelap, hanya ada cahaya bulan redup yang menyinari jalan setapak, sementara suara angin yang lembut menyelusup reruntuhan kota menciptakan suasana yang tenang dan damai. Venda, Ryan, dan Rudy menunggu Nossal yang berjuang untuk meyakinkan Luna untuk kembali.“Kira-kira Nossal berhasil tidak ya membawa Luna kembali?”“Aku percaya padanya”“Sepertinya kamu benar. Kita harus percaya padanya, bukankah begitu, Ven?”Menggosok matanya yang masih terlihat lembap, Venda setuju dengan kedua temannya.“Ya, mereka pasti kembali. Di sinilah kita, menunggu dan akan menyambut mereka.”Tidak berselang lama, dari kejauhan tampak sosok Nossal dan Luna yang berjalan pelan mendekati mereka bertiga. Mereka berdua berjalan seolah mereka sedang dalam perjalanan sepulang sekolah. Melihat Nossal berhasil membawa kembali Luna bersamanya, Ryan melompat dan mengayunkan tangannya ke atas, kemudian berse
Di dalam Akademi Tunas Harapan, di area tempat penahanan anak kelas 6 SD Tunas Harapan.Di antara anak-anak kecil yang sedang meringkuk dalam ketakutan dan rasa lapar, seorang perempuan mencoba keluar dari jendela ruangan yang mengurungnya. Melihat dari balik jendela, anak itu memastikan keadaan di luar. Setelah memastikan kalau keadaannya telah aman, dia melompat keluar lewat jendela.“Seperti biasa, tidak ada seorang pun penjaga yang mengawasi setelah matahari tenggelam,” pikirnya. Akan sangat gawat jika dia sampai ketahuan anggota patroli.Dengan hati-hati, dia berjalan perlahan ke bangunan di sampingnya.“Seharusnya dia sudah kembali ke ruangannya.”Tangisan lirih terdengar dari balik pintu ruangan yang dituju perempuan itu. Perempuan itu mengintip dari luar jendela, memastikan tidak ada orang di dalam, kemudian berusaha membuka pintu ruangan tersebut tanpa menimbulkan suara. Namun ketika hendak masuk ke dalam, seseorang
Nossal yang masih sedikit terhuyung-huyung akibat diapit dua dinding yang dibuat Luna, berlutut di hadapan Luna.“Apa-apaan itu. Kau ingin aku membantu? Sepertinya kau sendiri paham jika sebenarnya tindakan yang kau lakukan ini berbahaya,” Ejek Nossal.Luna sedikit menundukkan kepalanya. Mata mereka berdua bertemu, akan tetapi tatapan matanya berubah. Tekad yang kuat masih terasa dari sorot matanya yang tajam. Dia menutup matanya sejenak, kemudian menjawab,“Itu benar. Aku masih memiliki keraguan dalam menggunakan kekuatan ini. Dalam pikiranku, aku merasa kalau kekuatan ini tidak layak aku terima.”Membuka mata, Luna kembali melanjutkan perkataannya,“Dengan adanya kekuatan, harus disertai tanggung jawab yang besar. Semakin besar kekuatan itu, semakin besar pula tanggung jawab yang harus dipikul, dan aku baru saja menyadarinya.”“Ya. Aku juga sering mendengar perkataan seperti itu. Memangnya kenapa? Pada akhirnya, keputusan untuk memenuhi tanggung jawab itu kembali pada diri sendiri.”
Berdiri di depan jalan masuk ke dalam gedung, aku hampir tidak dapat melihat apa pun. Berjalan masuk perlahan sambil meraba-raba sekitar membuatku sedikit demi sedikit mulai paham bagian dalam mall ini. Pada lantai 1 bagian lobby, berbagai jenis pakaian dipajang pada beberapa rak pakaian, meskipun semua telah hancur dan berserakan dimana-mana. Dengan jumlah yang tidak terlalu banyak dan telah rusak, pakaian-pakaian itu telah berserakan di lantai yang kotor dan lembap dikarenakan kebocoran di beberapa sisi bangunan. Selain itu, lantai 1 juga terdapat supermarket dan beberapa konter reparasi handphone dan jam. Setelah menyusuri area lantai 1, aku berdiri di tengah bangunan, di depan tangga yang menghubungkan lantai 1 dan 2. Sebenarnya dari tengah bangunan mall ini aku sudah dapat melihat area lantai 3 yang sepertinya merupakan area food court.Aku beberapa kali menoleh ke pintu masuk dan area sekitar untuk memastikan apakah ada monster di dalam ataupun di luar bangunan, tidak l
“Itu Luna.” Ujar Venda menghela nafas lega. Dia yang tidak mendengar percakapan dari awal membuatnya tidak tahu lokasi Luna. Meski dia penasaran, Venda segera memberikan beberapa karak dan air putih gelasan pada masing-masing orang. Tidak dapat menyembunyikan rasa penasarannya, Venda bertanya, “Di mana Luna berada?”Menerima makanan dari Venda, perempuan yang sedari tadi berbisik, memberanikan diri untuk berbicara dengan ragu-ragu,“A-aku melihatnya di gedung yang ada di sana. Di lantai 3 di sana, kalian dapat melihat orang sedang berdiri sambil menatap tempat kita berada.”Mengalihkan pandangan setelah mendengar jawaban perempuan itu, Adit bertanya kepada laki-laki yang ada di depannya,“Apakah itu kekuatannya? Melihat jarak jauh? Tapi dalam kondisi gelap gulita seperti ini memangnya kelihatan?” tanyanya penasaranLaki-laki itu menggigit karak yang dibagikan Venda. Hanya dalam 3 kali gigitan, karak itu lenyap, masuk ke dalam mulutnya. Setelah meminum air, dia menjawab,“Kalau tidak s
“Dengan ini selesai...” “Terima kasih,” ucap laki-laki itu. Perawat itu menjawabnya dengan tersenyum lalu menyimpan kembali alat-alat dan obat merah yang telah digunakan ke dalam tas kecil di pinggangnya. “Linda! Apa kamu masih punya sisa perban? Milikku sudah habis ini.” “Ada. Tapi punyaku juga tinggal sedikit. Nih, kamu pake saja.” Perawat bernama Linda itu melemparkan gulungan perban yang sudah terlihat tipis pada rekannya. Menangkapnya, perawat itu mengerutkan alisnya. “Tinggal ini?” “Iya, tinggal segitu doang.” “Yah... Segini mah kurang,” ucapnya sambil menatap gulungan perban yang barusan dia terima. Serbuan kera biru sebelumnya menyebabkan Nossal, Ryan, dan orang-orang yang mereka coba selamatkan mendapatkan luka yang cukup serius. Selain cairan anti septic untuk membersihkan luka, perban yang telah sediakan dengan cepat habis. “Simpan saja sisa perban itu untuk yang lain. Aku tidak memerlukannya.”
Selepas kami kembali, semua masalah tampaknya telah selesai. Wajah Tia masih terlihat marah, alisnya menjadi tegang dan sedikit menurun, nada bicaranya ketika berkoordinasi dengan anggota kelompoknya yang lain juga terdengar meninggi. Di sisi lain, si anak pembuat onar dari kelas 7 hanya berdiri dengan beberapa teman laki-laki kelas 7-nya. Karena suasana tegang akibat kejadian sebelumnya, hal itu membuat semua orang tidak banyak bicara. Mereka hanya fokus dengan masing-masing anggota kelompoknya saja. Dalam kelompok kami, aku menyerahkan urusan koordinasi pada Ryan. lagipula, sepertinya aku jadi dibenci oleh semua anggota kelompokku. Tatapan mereka terasa seperti terpaan angin dingin di musim panas. Terlebih lagi di antara mereka, si pembuat onar yang menerima pukulanku tadi melirikku seolah menyiratkan niat jahat yang tak terungkapkan. Bagaimanapun, aku tidak berniat untuk menanggapinya. *** Kembali, Nossal dan yang lainnya melanjutkan perjalanan dengan formasi yang sama seperti s
Clara meninggalkan Nossal. Dia berlari sesenggukan kembali ke tempat teman-teman yang lain berkumpul. Setiap tetesan air mata yang mengalir dari matanya dia seka dengan punggung tangannya. Berlari, pikirannya tidak dapat melupakan yang barusan Nossal ucapkan. Dadanya sesak setiap kali dia mengingatnya, membuat air mata tidak dapat berhenti menetes. Tanpa Clara sadari, seekor monster mengintainya dari balik bayangan. Seekor kalong yang sedang bergelantungan di bawah atap sebuah bangunan yang tidak jauh darinya. Hendak menjadikannya santapan malam, Kalong itu terbang dengan cepat sambil mengarahkan cakarnya pada Clara yang sedang lengah. Mata Clara terbuka lebar melihat sosok monster itu terbang mendekatinya. Perasaan takut yang luar biasa seperti mencekik dirinya. “Aku harus segera menyingkir” ucapnya dalam hati. Dia mencoba menggerakkan kakinya untuk pergi dari tempat itu tetapi tidak bisa. Rasanya seperti kedua kakinya terpaku di atas tempatnya berpijak. Tidak kuat lagi menahan beba