"Mahira men--"Pada Alex yang barusan datang, Riga melirik penuh isyarat. "Jangan bicarakan apa pun tentangnya," katanya memperingatkan.Hubungan Alex dan Riga membaik. Albert yang saat ini masih dalam sekapan Riga sudah mengakui bahwa memang bukan Alex yang memberi biji buah jarak itu pada Mahira.Nyaris saja Riga melenyapkan kerabatnya sendiri karena sebuah kesalahpaham. Dan ... cemburu."Siapa di rumah sakit?" tanya Riga tanpa menatap sepupunya. Pria itu sibuk menikmati sigaret."Ayahmu. Kau tentu tak akan membiarkanku di sini, kalau aku tak meminta bantuan seseorang yang andal."Riga tak bersuara. Pria itu tampak melamun. Ia sedang memikirkan sang istri.Semenjak kejadian penembakan oleh Albert, setelah mengantar Mahira ke rumah sakit, Riga tak lagi pernah menemui istrinya itu. Riga sudah memutuskan. Ia dan Mahira memang tidak cocok.Sebagai ganti, Riga meminta Alex menggantikan tugasnya. Sepupunya itu harus siap siaga di rumah sakit 24 jam setiap hari. Mengurusi semua hal soal M
"Kau ingin menonton?" tanya Alex pada Mahira yang baru saja selesai makan malam.Perempuan itu menggeleng tak bersemangat. Sejak tadi, matanya terus memaku tatapan ke arah pintu. Berharap seseorang datang."Ingin kubacakan buku?" Alex menawari lagi.Mahira menolak, masih dengan gelengan kepala. "Kau tidak pulang? Seminggu menemaniku, kau tidak lelah?"Alex pura-pura tersenyum. "Terdengar seperti seseorang sedang mengusirku."Mahira menarik segaris senyum. Ia menyerah. "Ini tidak masuk akal, 'kan? Aku istrinya, aku sakit dan dia sama sekali tak datang untuk menjenguk?"Alex duduk di tepian ranjang Mahira. "Dia banyak pikiran. Mungkin, patah hati karena Albert." Ia berusaha membuat alasan yang terdengar masuk akal."Apa kau tahu kenapa Albert melakukan itu?" Sampai saat ini, Mahira juga belum bisa mengerti mengapa Albert sampai mengkhianati bos sendiri.Padahal, selama ini, Mahira menganggap Albert sangat baik. Laki-laki itu bahkan yang pertama menjadi temannya, menolongnya sewaktu masi
"Dia tidur sejak tadi. Mungkin bosan."Sudah setengah terjaga, Mahira mendengar suara Alex. Penasaran dengan siapa lelaki itu bicara, ia mengangkat kelopak mata. Senyum perempuan itu langsung merekah saat menemukan seorang pria memunggunginya.Mahira hapal benar bentuk punggung itu. Pun kaus abu-abu yang dikenakan orang itu. Matanya berbinar."Riga?" panggil Mahira bersemangat.Riga berbalik. Hanya menatap Mahira sebentar, kemudian berpura mengamati kantung infus."Kau datang?" Mahira menarik ujung kaus suaminya. Membawa pria itu lebih dekat. "Kau datang untuk melihatku? Akhirnya, bajingan?" Senyumnya lesap, Mahira memukul perut Riga kesal.Alex tertawa, Riga bergeming dan memandangi wajah Mahira.Hanya dipandangi, Mahira menyatukan alis. Rasa dongkolnya bertambah."Kau mau diam saja?" Mahira mengulurkan lengan, menarik bagian depan kaus Riga. Ia buat pria itu setengah membungkuk di samping ranjang rawatnya. .Mahira menyipitkan mata. Membuat Riga paham kalau ia sedang marah dan butuh
Pembicaraan mereka yang sampai dini hari hanya membuahkan ini. Mahira gagal membujuk Riga. Pria itu bersikeras kalau mereka harus berpisah. Bercerai.Bukan Mahira namanya kalau menyerah dengan mudah. Perempuan itu menurut, terpaksa setuju, dengan beberapa syarat. Pertama, Riga harus memberikan satu hari, sebelum perpisahan, untuk Mahira melakukan apa saja yang ia inginkan bersama sang suami. Yang kedua, perempuan itu tak mau melepas statusnya sebagai istri Riga.Mahira sudah ditipu habis-habisan untuk gelar itu. Ia nyaris meregang nyawa beberapa kali karena menjadi istri Riga. Belum mendapat kompensasi setimpal, mana Mahira sudi dicerai begitu saja.Mahira setuju dikirim pulang. Berpisah dari Riga yang katanya akan menetap di negara ini. Namun, tanpa ada perceraian. Nanti, kalau dirinya sudah merasa ingin melepas gelar istri, barulah Mahira sendiri akan menyudahi pernikahan mereka secara hukum, meski sebenarnya pernikahan itu tak begitu resmi.Demi memuluskan niatnya, Riga terpaksa me
ENAM TAHUN KEMUDIANMahira melepas wig warna hitam dari kepala. Perempuan itu menyimpannya dalam tas, sembari membuka gulungan rambut aslinya. Merapikannya sedikit dengan sisiran jemari, Mahira memutar kenop pintu di hadapan."Righa?"Hal pertama yang Mahira lihat di dalam toilet pria itu adalah seorang pria. Yang tampaknya keheranan kenapa ada perempuan yang masuk ke sana. Lelaki itu melebarkan kelopak mata, seolah bola matanya itu akan segera melompat keluar."Righa?" panggil Mahira lagi. Ia posisikan diri dua langkah dari wastafel yang lelaki di sana huni.Tak ada yang menyahut, Mahira berkacak pinggang. Menyadari kalau penghuni toilet itu masih memandangnya dengan mata melebar, Mahira melempar senyum tipis ke sana."Righa? Kalau kau tidak keluar, aku akan menarik telingamu, sampai kau menangis."Satu detik. Dua detik. Lima detik. Suara pintu bilik yang dibuka terdengar. Dari bilik yang paling ujung, seorang bocah dengan kemeja warna hitam berjalan keluar menuju Mahira."Ibu menyeb
Riga duduk berhadapan dengan Mahira di ruangannya. Berdua saja. Riga tak bisa menghitung sudah berapa kali rambut di tengkuknya berdiri.Tatapan mata Mahira masih sama. Berani, tetapi tenang. Tak ada ketakutan atau keraguan. Wajah perempuan itu juga tak banyak berubah. Hanya saja, Mahira yang ini tampil dengan riasan yang berhasil membuat jantung Riga makin berdebar.Saling bertatapan, Riga sengaja belum mengatakan apa-apa, meski waktu sudah berlalu setengah jam. Ia ingin lihat apa yang akan Mahira lakukan.Riga yakin Mahira hanya berlakon seolah tak mengenalinya. Bagaimana bisa perempuan itu lupa padanya? Kalau ada dua Mahira di dunia ini, mungkin Riga bisa percaya sedikit."Maaf, Pak. Apa Bapak sedang bicara dengan telepati?" tanya Mahira dengan senyum kikuk.Alis Riga menukik runcing. Ia merasa seperti dipermainkan. Mengapa Mahira bersikap seolah mereka orang asing? Perempuan itu masih mau melanjutkan ini?Menyandarkan punggung, tatapan tajam Riga tak berpindah dari si perempuan."
Riga menarik pintu ruangannya yang nyaris tertutup. Pria itu berlari melewati pintu itu, sembari mengumpati perempuan yang berlari di depannya. Ujung kemeja Mahira yang melambai terkena angin karena perempuan itu terus bergerak membuat amarahnya mendidih.Siapa sangka? Mahira masih saja sama. Kalau bukan karena suka rela atau obat bius, mustahil bisa membawa perempuan satu itu ke ranjang.Riga harus mengakui kekalahan. Niat ingin melampiaskan rindu sekaligus membawa kembali ingatan Mahira tentangnya--kalau benar perempuan itu lupa--harus berakhir dengan rasa berdenyut di selangkangan akibat tendangan."Mahira!"Mahira berhenti berlari. Ia menengok pada Riga. Alis perempuan itu menyatu.Tiap sudut ruangan yang diisi kubikel para karyawan membeku mendengar teriakan Riga. Semua menatap ke arah Mahira yang kini berhadapan dengan bos besar mereka.Dua tahun sudah Myhira Hotel berdiri. Hotel itu berkembang pesat dan cukup bisa diperhitungkan di bawah kepemimpinan seorang pria berusia 41 tah
"Pencuri. Kau mengambilnya dariku malam itu, 'kan?"Mengambil kesempatan di tengah terkesiapnya Mahira, Riga mendorong perempuan itu hingga pintu terbuka lebih lebar dan ia bisa masuk. Tepat saat itu, bocah yang tadi sedang mereka bicarakan tampak keluar dari toilet."Hai." Riga menyenggol bahu Mahira yang sengaja ingin mengadang langkahnya dan lebih memilih menyapa si bocah.Riga menghampiri anak itu. Mengambil sejumput helai rambutnya dengan telunjuk dan ibu jari, kemudian merasai rambut itu di kulit jemari.Rambut yang sehat. Satu persen kemungkinan dia benihku. Ia menilai dalam hati."Siapa namamu?" Riga mengabaikan tarikan lemah Mahira pada lengannya. Melotot sebentar pada perempuan itu, lalu menengok penuh antisipasi pada anak kecil di hadapan."Righa," sahut anak itu. "R-I-G-H-A. Righa dengan huruf H di tengah."Memalingkan wajah pada Mahira di sampingnya, Riga memutar bola mata. "Sangat tidak kreatif. Huruh H-nya untuk bisa membedakan kami?"Mahira menggaruk kening. Ia melempa
Ini sudah tidak benar. Riga harus dihentikan, atau pria itu akan membuat semua orang babak belur, seperti Alex.Dengan langkah tergesa dan mata dipenuhi sorot kesal, Mahira keluar dari kamar. Perempuan itu menemukan suaminya ada di lantai bawah, ruang tamu. Bersama Alex dan keluarga mereka yang hari ini berkunjung.Mahira baru saja selesai mandi. Dan selama mandi tadi, ia terus terpikirkan sikap Riga yang sudah kelewat batas. Hari ini Alex, besok, pria itu bisa saja memukul ayah mertuanya atau suaminya Leoni."Riga!" panggil Mahira. "Berikan Mahaya pada Ibuku."Lelaki yang Mahira panggil mengaitkan alis, dengan bibir rapat dan berkerut. Dekapannya pada bayi di gendongan mengerat, tetapi tetap lembut."Kenapa?" tanya lelaki itu dengan suara tenang, tetapi tak rela. Lihat, belum apa-apa, Riga sudah seperti akan menghajar seseorang. Mahira tak habis pikir."Aku harus bicara padamu. Biarkan Ibu menggendong Mahaya."Menyipitkan mata pada istrinya, Riga memalingkan pandang pada wajah bayi
Mahira terperanjat saat merasakan tubuhnya dipeluk dari belakang. Perempuan itu berbalik, lalu menemukan jika pelakunya adalah sang suami."Kenapa kau bangun pagi sekali?" ucap Riga sembari menyandarkan dagu di bahu Mahira."Aku tak ingin tidur dulu, hingga lupa membuat sarapan untuk Righa. Dia harus sekolah pagi ini.""Tapi kau baru tidur satu jam lalu."Menyungging senyum mengejek, Mahira berkata, "Dan itu karena ulah siapa?" Mahira menyentak sedikit kuat pisaunya yang sedang mengiris daun bawang.Dahi Riga berlipat. "Ulahmu tentu saja," balas pria itu dengan nada menuduh."Aku?" Mahira berbalik. Ia angkat pisau di tangan setinggi dada. "Sebutkan di mana salahku, saat kau yang tak bisa mengendalikan nafsu?"Riga melirik ujung pisau di tangan Mahira, lalu wajah perempuan itu bergantian. "Sedang berusaha menakutiku?"Mahira menggeleng dan memberikan ekspresi polos. "Aku bertanya.""Itu salahmu. Siapa suruh kau terasa enak sekali?" Tersenyum nakal, Riga menyangga dua lengannya di masin
"Apa yang bagus dari wajah Ayah, Ibu?"Pertanyaan dari anaknya itu membuat Mahira menegakkan kepala yang semula rebah di samping suaminya yang tertidur. Pada sang anak, ia melempar senyum heran."Kenapa bertanya begitu?"Righa mengangkat bahu. Raut wajahnya terlihat sedikit murung."Ayah dirawat sejak lima hari lalu. Paman Alex bilang, dia akan segera membaik. Tapi, kenapa ibu terus menatapi wajah Ayah seperti itu? Memang apa yang menarik dari wajah Ayah?"Mendengar penuturan panjang sarat nada cemburu itu, Mahira beranjak dari kursi. Dengan senang hati ia berpindah ke sisi kanan ranjang Riga, duduk di samping putranya."Kau marah aku memandangi ayahmu?" Mahira memeluk anaknya dari samping.Righa menatap ibunya, kemudian memamerkan senyum malu. "Ibu seperti lupa padaku. Sejak Ayah masuk rumah sakit, Ibu selalu menemani dan menatapi wajah Ayah seperti tadi."Mahira mengangguk saja. Ia eratkan dekapan pada Righa, memberi kecupan ke kepala bocah itu."Tidak ada yang menarik, ya?"Mahira
Riga tumbuh di keluarga yang bisa disebut berbahaya. Ayahnya menjalankan bisnis judi pada awalnya, sebelum bergerak ke ranah perdagangan organ. Meski punya ibu yang sering mengekpresikan kasih sayang secara verbal atau lewat tindakan, tetapi sejak kecil, Riga kesulitan melakukan itu.Pria itu tak tertawa saat teman-temannya terbahak akan sebuah lelucon. Riga tak tersenyum dan malah menaikkan alis saat ada gadis yang mengucapkan terima kasih atau terang-terangan mengaku perasaan padanya. Karena itulah ia memilih Sandra sebagai istri.Sandra yang hidup di lingkungan yang sama dengannya membuat Riga yakin perempuan itu akan bisa mengimbanginya. Riga tak perlu repot menjadi peka atau memberi servis menggelikan seperti pelukan, kecupan, atau kata-kata manis pada perempuan itu.Pemikiran Riga soal itu nyatanya benar. Lima tahun berumahtangga, ia dan Sandra baik-baik saja. Setidaknya, sampai kebohongan Sandra terkuak dan mereka berpisah.Urusan perempuan, sebenarnya Riga tak terlalu peduli.
"Ibu, bisa aku pergi main bola dengan ayah?""Besok saja, Righa.""Ibu, boleh aku meminta ayah untuk membuatkanku layangan?""Besok saja, Righa. Ayahmu banyak pekerjaan.""Ibu, apa hari ini Ayah akan mengantar dan menjemputku ke sekolah?""Ibu saja yang mengantar dan menjemput. Ayahmu sibuk, besok saja, ya."Beberapa hari belakangan, Riga selalu memergoki istrinya memberi jawaban demikian pada anak mereka. Besok, besok, besok. Perempuan itu seolah menjauhkan ia dari sang anak. Membuat si bocah murung dan ia bingung.Namun, malam ini, ia tak bingung lagi. Pria itu sudah mendapatkan jawaban mengapa istrinya bersikap demikian.Barusan, Mahira menolaknya. Dengan alasan yang kurang lebih mirip dengan yang perempuan itu berikan pada anak mereka.Besok.Riga tidak memaksa. Pria itu berbaring telentang, membiarkan Mahira memunggunginya. Sedari tadi istrinya diam, tetapi ia yakin Mahira belum tidur."Riga?"Panggilan itu membuat Riga tersenyum sinis. Dasar perempuan banyak drama. Ia yakin, Mah
Bersandar di depan meja kerjanya, Riga menatap tajam pada Alex yang duduk di depannya. Hari ini, pria itu meminta sang sepupu untuk datang. Riga menuntut banyak penjelasan.Pertanyaan pertama sudah disuarakan tadi. Soal mengapa bisa Righa tahu soal Renzo dan Lena. Riga sudah menunggu selama dua menit, tetapi sepupunya masih saja diam."Alex?"Alex berdecak kesal. "Menurutmu karena apa? Hanya kau yang otaknya mirip babi busuk. Bukannya menjaga istrimu, kau malah menyuruhnya pergi."Riga menendang kaki kursi Alex, hingga sepupunya itu nyaris terjungkal. "Aku tidak meminta pendapatmu. Jelaskan, sejak kapan Ayah berhubungan dengan Mahira."Menghela napas, Alex memilih membuat ini mudah. Riga tak akan membiarkan lepas, seelum mendapatkan apa yang diinginkan. Maka itu, si lelaki pun mulai menjelaskan."Aku memberitahu mereka saat aku tahu Mahira hamil. Sejak itu, mereka sering menghubungi Mahira. Saat Righa lahir, mereka datang menjenguk.""Diam-diam?"Alis Alex mengait. "Kau melarang siapa
"Kau mendapatkan alamatnya?"Alex menatap Mahira dengan gurat cemas. Pria itu memberikan secarik kertas berisi apa yang perempuan itu minta. Menghela napas, sepupunya Riga itu mengusapi kepalanya berkali-kali.Mahira melakukan sesuatu di belakang Riga. Sehari setelah pertemuannya dengan Albert, perempuan itu menghubungi Alex untuk meminta bantuan.Ia merasa perlu melakukan sesuatu. Karena Albert sudah mulai menyatakan perang, maka Mahira juga harus mengambil tindakan. Mahira ingin mengusahakan sesuatu, agar Riga tak sampai harus berhadapan dengan Albert.Maka, jalan inilah yang Mahira pilih. Seingatnya, Albert pernah bercerita kalau lelaki itu punya seorang paman. Jadi, Mahira meminta Alex mencari tahu alamat pamannya Albert dan akan mendatanginya."Kau yakin ini akan berhasil, Mahira?" tanya Alex dengan wajah sangsi."Aku perlu melakukan sesuatu, 'kan? Kau juga pasti paham kalau aku tak mungkin menuruti kemauan Albert." Mahira naik ke motornya.Demi keamanan semuanya, Mahira putuskan
Riga melirik pada anak lelaki di kursi penumpang mobilnya. Pria itu mengurungkan niat untuk segera menyalakan mesin mobil. Ia tertarik dengan penjelasan sang anak soal ciri-ciri kakeknya.Sore ini Riga mengantar anaknya jalan-jalan. Sekadar berkeliling taman, lalu membeli es krim. Mahira tak ikut, sebab Riga bersikeras mereka harus naik mobil, bukan sepeda motor si perempuan.Barusan, Riga iseng bertanya bagaimana karakter kakeknya Righa, ayahnya Mahira. Namun, ciri yang anaknya sebutkan malah lebih mirip Renzo daripada Adi.Rambutnya sudah memutih seluruhnya. Kalau bicara dengan suara pelan dan lembut. Suka membelikan mainan pistol air. Namun, jarang tersenyum atau tertawa."Kau yakin kakekmu seperti yang kau sebutkan tadi?"Righa mengangguk."Kapan terakhir kau bertemu dia?"Righa berusaha mengingat. "Satu bulan lalu sepertinya. Tapi, Kakek datang sendirian, Nenek tidak ikut. Katanya, Nenek sedang tidak sehat, jadi tidak kuat naik pesawat."Firasat Riga makin kuat. Setahunya, orang
Mahira mengulum senyum untuk yang kesekian kali, saat rambutnya pelan-pelan dibasahi. Perempuan itu masih tak percaya kalau sekarang Riga sedang berdiri di depannya, tengah mencuci rambutnya.Sebenarnya, ia bisa mengerjakan ini sendiri. Namun, permintaan asal yang ia suarakan beberapa saat lalu malah ditanggapi serius oleh Riga. Pria itu bilang mau mencucikan rambut Mahira, kemudian pergi keluar kamar untuk mengambil kursi.Terlalu bodoh untuk menolak, 'kan? Kapan lagi ia dapat perlakukan manis dari preman satu ini?"Apa Alex harus ikut dengan kita?"Protes itu Mahira tanggapi dengan memutar bola mata. Lagi. Ini sudah ketiga kalinya Riga bertanya. Kentara sekali pria itu tak setuju Alex ikut makan bersama mereka malam nanti di sini."Kerjakan saja tugasmu. Jangan mengulang pertanyaan yang sudah kau ketahui jawabannya."Riga melirik kesal. Namun, pria itu kembali fokus mengerjakan rambut Mahira. Setelah seluruh bagian rambut perempuan itu basah, ia mulai menuangkan sampo."Rambutmu aka