Riga menarik pintu ruangannya yang nyaris tertutup. Pria itu berlari melewati pintu itu, sembari mengumpati perempuan yang berlari di depannya. Ujung kemeja Mahira yang melambai terkena angin karena perempuan itu terus bergerak membuat amarahnya mendidih.Siapa sangka? Mahira masih saja sama. Kalau bukan karena suka rela atau obat bius, mustahil bisa membawa perempuan satu itu ke ranjang.Riga harus mengakui kekalahan. Niat ingin melampiaskan rindu sekaligus membawa kembali ingatan Mahira tentangnya--kalau benar perempuan itu lupa--harus berakhir dengan rasa berdenyut di selangkangan akibat tendangan."Mahira!"Mahira berhenti berlari. Ia menengok pada Riga. Alis perempuan itu menyatu.Tiap sudut ruangan yang diisi kubikel para karyawan membeku mendengar teriakan Riga. Semua menatap ke arah Mahira yang kini berhadapan dengan bos besar mereka.Dua tahun sudah Myhira Hotel berdiri. Hotel itu berkembang pesat dan cukup bisa diperhitungkan di bawah kepemimpinan seorang pria berusia 41 tah
"Pencuri. Kau mengambilnya dariku malam itu, 'kan?"Mengambil kesempatan di tengah terkesiapnya Mahira, Riga mendorong perempuan itu hingga pintu terbuka lebih lebar dan ia bisa masuk. Tepat saat itu, bocah yang tadi sedang mereka bicarakan tampak keluar dari toilet."Hai." Riga menyenggol bahu Mahira yang sengaja ingin mengadang langkahnya dan lebih memilih menyapa si bocah.Riga menghampiri anak itu. Mengambil sejumput helai rambutnya dengan telunjuk dan ibu jari, kemudian merasai rambut itu di kulit jemari.Rambut yang sehat. Satu persen kemungkinan dia benihku. Ia menilai dalam hati."Siapa namamu?" Riga mengabaikan tarikan lemah Mahira pada lengannya. Melotot sebentar pada perempuan itu, lalu menengok penuh antisipasi pada anak kecil di hadapan."Righa," sahut anak itu. "R-I-G-H-A. Righa dengan huruf H di tengah."Memalingkan wajah pada Mahira di sampingnya, Riga memutar bola mata. "Sangat tidak kreatif. Huruh H-nya untuk bisa membedakan kami?"Mahira menggaruk kening. Ia melempa
Riga berkedip cepat tiga kali, kemudian memalingkan wajah. Detik kemudian, ia kembali menatap ke depan. Pada dua orang yang tertidur menghuni ranjang.Mengabaikan usiran si bocah sok dewasa Righa, ia tidak pulang. Setelah dokter datang dan memeriksa Mahira, ia masih di sana. Menontoni Righa mengurusi dirinya sendiri, lalu bocah itu ikut tidur bersama ibunya.Riga tak bisa jelaskan apa yang kini ia rasakan. Sedikit tidak nyaman? Kecewa? Marah? Yang jelas, pemandangan Righa dan Mahira yang tidur saling berpelukan membuat dirinya merasa ... tidak berdaya?Keyakinan Riga seratus persen kurang satu. Benar Mahira si rambut abu-abu ini adalah Mahiranya. Dan bukan masalah kalau anak kecil di pelukan Mahira sekarang adalah putranya. Meski bermulut tajam dan selalu menguarkan aura permusuhan, bocah itu cukup pintar dan sepertinya bisa diandalkan.Untuk anak umur 6 tahun, tidak menangis saat melihat ibunya pingsan lumayan membuat Riga takjub. Terlebih, anak itu menyiapkan makanan untuknya sendir
Dering dari ponsel membuat Riga terpaksa terjaga dari tidur. Pria itu memanjangkan lengan, alih-alih bangkit untuk mengambil benda sumber suara berisik itu.Nomor tanpa nama yang ia kenali muncul di layar, Riga yang setengah menyipit mengulum senyum. Ia jawab panggilan itu."Kenapa? Sudah rindu padaku?""Kau baru bangun?" tanya Mahira di ujung telepon."Sudah bangun. Barusan. Kau seperti tidak tahu kebiasaanku saja. A--""Aku tidak sedang membicarakan kayumu, Bajingan! Jam berapa ini? Kau baru bangun? Apa Righa tidak sekolah?"Mata Riga mengerjap. Pria itu membawa tubuhnya duduk, kemudian tersadar. Benar. Kemarin, ia tak pulang sendiri ke sini.Seperti yang Mahira inginkan, enam hari ke depan ia harus hidup bersama anaknya Mahira. Kemarin malam, ia pulang ke sini tidak sendirian. Dan ya, Riga ingat kalau Mahira menyebut sesuatu seperti sekolah."Dia sekolah?" Dengan ponsel tertempel di telinga, lelaki itu keluar dari kamar.Riga pergi ke kamar satunya. Kamar yang sejak kemarin tidak
Tak dipedulikannya laptop yang sudah mati. Riga fokus menghunus tatapan tajamnya pada si bocah yang masih memegangi gelas yang tadinya berisi susu. Ubun-ubun lelaki itu terasa akan meledak.Riga kembali pulang sore hari ini. Sengaja, ia memilih mengerjakan sebagian tugas di rumah, mengingat ada bocah enam tahun yang selama beberapa hari ke depan masih hidup seatap dengannya.Lelaki itu bahkan membuatkan susu tadi. Dengan bayang-bayang bahwa bocah itu pernah diberikan susu oleh Mahira, Riga berhasil menahan diri untuk tak mencampurkan detergen ke susu bubuk yang ia buat.Dan apa? Si anak malah menumpahkan susu itu ke atas laptop. Membuat peralatan bekerja Riga harus mati mendadak.Pantaskah Riga marah? Jelas. Pantas.Ia sudah akan membuka mulut, menyuarakan beberapa kalimat, sampai si bocah lebih dulu mengaitkan alis."Kau mau menyalahkanku?" Anaknya Mahira itu mengangkat dagu. Menantang."Jadi? Ini bukan salahmu, Anaknya Mahira?"Righa tampak menelan ludah satu kali. "Ibu tak pernah m
Mengintip dari celah pintu, Righa mendapati ibunya masih di atas ranjang. Menemani Riga yang juga masih tertidur. Anak itu mengetuk dua kali.Mahira menoleh."Boleh aku masuk, Ibu?"Si perempuan memberi izin lewat anggukkan kepala.Mahira menatapi anaknya, sampai bocah itu naik ke ranjang. Menempati sisi kosong di kiri Riga. Anak itu menatapnya, Mahira memberi isyarat bertanya. "Dia masih tidur, Ibu?"Mahira mengangguk. Perempuan itu kembali menumpukan sebelah wajah di atas kening Riga yang tidak ditempeli perban."Apa Ibu marah padaku?"Tanya itu dijawab dengan gelengan kepala. Mahira kembali melempar senyum. Mana mungkin dia bisa marah? Apa yang terjadi bukanlah disengaja.Tadi, pagi-pagi sekali, Mahira dihubungi anaknya. Putranya itu memberitahu kalau Riga mengalami kecelakaan. Saat tiba di sini, barulah perempuan itu tahu kalau mantan bosnya terjatuh.Riga menginjak air yang tak sengaja anak Mahira tumpahkan. Lelaki itu terpeleset, lalu kepalanya membentur ujung meja yang runcin
Warning! 18+ "Bagaimana bisa kau yakin menipuku dengan semua ini?" Riga menyapukan telapak tanganyna di punggung Mahira yang bebas. Lelaki itu menatapi dua bekas luka di sana.Ia sebut si perempuan sesumbar. Bekas peluru itu masih di sana. Mahira tak melakukan operasi plastik rupanya. Dan Mahira berharap Riga yakin soal cerita mereka tak saling mengenal sebelumnya?Mahira yang telungkup di ranjang hanya mengulum senyum. "Jangan mengelak. Kau sempat percaya kalau aku bukan Mahira.""Kenapa kau warnai rambutmu?" Jemari Riga memilin ujung rambut perempuan itu. Pandangannya turun sepanjang tulang belakang si perempuan, sampai ke tulang ekor."Aku sudah mengatakan alasannya, waktu wawancara." Mahira tertawa mengingat momen itu. "Kau benar-benar frustrasi waktu itu, 'kan?"Si perempuan mengubah posisi tidur jadi telentang. Riga dengan berat hati menyelimuti Mahira sampai ke dada. Bisa-bisa ia terus membuat perempuan itu tak tidur hingga subuh nanti kalau pemandangan menggiurkan itu dibiark
"Paman Alex?"Panggilan yang terdengar semringah itu membuat Riga menaikkan pandang dari makanan di piring. Bukan kedatangan Alex yang membuat satu alisnya menukik. Melainkan senyum lebar di wajah anaknya Mahira.Pagi ini, Mahira dan anaknya masih ada di rumah Riga. Namun, yang ikut sarapan di meja sekarang hanya para lelaki. Ditambah Alex yang baru tiba."Halo, Jagoan! Kau sedang sarapan?" Alex menempati kursi di samping Righa. Mengusap puncak kepala anak itu."Paman Alex?" Riga menjauhkan piringnya. Meski di sana ada makanan buatan Mahira yang sudah lama ia rindukan, tetapi ada yang lebih penting untuk saat ini.Righa hanya menatapi ayahnya. Tangan anak itu gesit menyuapkan makanan ke mulut."Kau mengenalnya?" Telunjuk Riga mengarah pada wajah sepupunya.Si bocah lelaki mengangguk. "Paman Alex ke mana saja? Kenapa baru datang sekarang?"Kepalan tangan Riga memukul meja pelan. Ditambahi senyum kuda yang sepupunya lemparkan, pria itu mengeraskan rahang dengan emosi yang membumbung tin