Pembicaraan mereka yang sampai dini hari hanya membuahkan ini. Mahira gagal membujuk Riga. Pria itu bersikeras kalau mereka harus berpisah. Bercerai.Bukan Mahira namanya kalau menyerah dengan mudah. Perempuan itu menurut, terpaksa setuju, dengan beberapa syarat. Pertama, Riga harus memberikan satu hari, sebelum perpisahan, untuk Mahira melakukan apa saja yang ia inginkan bersama sang suami. Yang kedua, perempuan itu tak mau melepas statusnya sebagai istri Riga.Mahira sudah ditipu habis-habisan untuk gelar itu. Ia nyaris meregang nyawa beberapa kali karena menjadi istri Riga. Belum mendapat kompensasi setimpal, mana Mahira sudi dicerai begitu saja.Mahira setuju dikirim pulang. Berpisah dari Riga yang katanya akan menetap di negara ini. Namun, tanpa ada perceraian. Nanti, kalau dirinya sudah merasa ingin melepas gelar istri, barulah Mahira sendiri akan menyudahi pernikahan mereka secara hukum, meski sebenarnya pernikahan itu tak begitu resmi.Demi memuluskan niatnya, Riga terpaksa me
ENAM TAHUN KEMUDIANMahira melepas wig warna hitam dari kepala. Perempuan itu menyimpannya dalam tas, sembari membuka gulungan rambut aslinya. Merapikannya sedikit dengan sisiran jemari, Mahira memutar kenop pintu di hadapan."Righa?"Hal pertama yang Mahira lihat di dalam toilet pria itu adalah seorang pria. Yang tampaknya keheranan kenapa ada perempuan yang masuk ke sana. Lelaki itu melebarkan kelopak mata, seolah bola matanya itu akan segera melompat keluar."Righa?" panggil Mahira lagi. Ia posisikan diri dua langkah dari wastafel yang lelaki di sana huni.Tak ada yang menyahut, Mahira berkacak pinggang. Menyadari kalau penghuni toilet itu masih memandangnya dengan mata melebar, Mahira melempar senyum tipis ke sana."Righa? Kalau kau tidak keluar, aku akan menarik telingamu, sampai kau menangis."Satu detik. Dua detik. Lima detik. Suara pintu bilik yang dibuka terdengar. Dari bilik yang paling ujung, seorang bocah dengan kemeja warna hitam berjalan keluar menuju Mahira."Ibu menyeb
Riga duduk berhadapan dengan Mahira di ruangannya. Berdua saja. Riga tak bisa menghitung sudah berapa kali rambut di tengkuknya berdiri.Tatapan mata Mahira masih sama. Berani, tetapi tenang. Tak ada ketakutan atau keraguan. Wajah perempuan itu juga tak banyak berubah. Hanya saja, Mahira yang ini tampil dengan riasan yang berhasil membuat jantung Riga makin berdebar.Saling bertatapan, Riga sengaja belum mengatakan apa-apa, meski waktu sudah berlalu setengah jam. Ia ingin lihat apa yang akan Mahira lakukan.Riga yakin Mahira hanya berlakon seolah tak mengenalinya. Bagaimana bisa perempuan itu lupa padanya? Kalau ada dua Mahira di dunia ini, mungkin Riga bisa percaya sedikit."Maaf, Pak. Apa Bapak sedang bicara dengan telepati?" tanya Mahira dengan senyum kikuk.Alis Riga menukik runcing. Ia merasa seperti dipermainkan. Mengapa Mahira bersikap seolah mereka orang asing? Perempuan itu masih mau melanjutkan ini?Menyandarkan punggung, tatapan tajam Riga tak berpindah dari si perempuan."
Riga menarik pintu ruangannya yang nyaris tertutup. Pria itu berlari melewati pintu itu, sembari mengumpati perempuan yang berlari di depannya. Ujung kemeja Mahira yang melambai terkena angin karena perempuan itu terus bergerak membuat amarahnya mendidih.Siapa sangka? Mahira masih saja sama. Kalau bukan karena suka rela atau obat bius, mustahil bisa membawa perempuan satu itu ke ranjang.Riga harus mengakui kekalahan. Niat ingin melampiaskan rindu sekaligus membawa kembali ingatan Mahira tentangnya--kalau benar perempuan itu lupa--harus berakhir dengan rasa berdenyut di selangkangan akibat tendangan."Mahira!"Mahira berhenti berlari. Ia menengok pada Riga. Alis perempuan itu menyatu.Tiap sudut ruangan yang diisi kubikel para karyawan membeku mendengar teriakan Riga. Semua menatap ke arah Mahira yang kini berhadapan dengan bos besar mereka.Dua tahun sudah Myhira Hotel berdiri. Hotel itu berkembang pesat dan cukup bisa diperhitungkan di bawah kepemimpinan seorang pria berusia 41 tah
"Pencuri. Kau mengambilnya dariku malam itu, 'kan?"Mengambil kesempatan di tengah terkesiapnya Mahira, Riga mendorong perempuan itu hingga pintu terbuka lebih lebar dan ia bisa masuk. Tepat saat itu, bocah yang tadi sedang mereka bicarakan tampak keluar dari toilet."Hai." Riga menyenggol bahu Mahira yang sengaja ingin mengadang langkahnya dan lebih memilih menyapa si bocah.Riga menghampiri anak itu. Mengambil sejumput helai rambutnya dengan telunjuk dan ibu jari, kemudian merasai rambut itu di kulit jemari.Rambut yang sehat. Satu persen kemungkinan dia benihku. Ia menilai dalam hati."Siapa namamu?" Riga mengabaikan tarikan lemah Mahira pada lengannya. Melotot sebentar pada perempuan itu, lalu menengok penuh antisipasi pada anak kecil di hadapan."Righa," sahut anak itu. "R-I-G-H-A. Righa dengan huruf H di tengah."Memalingkan wajah pada Mahira di sampingnya, Riga memutar bola mata. "Sangat tidak kreatif. Huruh H-nya untuk bisa membedakan kami?"Mahira menggaruk kening. Ia melempa
Riga berkedip cepat tiga kali, kemudian memalingkan wajah. Detik kemudian, ia kembali menatap ke depan. Pada dua orang yang tertidur menghuni ranjang.Mengabaikan usiran si bocah sok dewasa Righa, ia tidak pulang. Setelah dokter datang dan memeriksa Mahira, ia masih di sana. Menontoni Righa mengurusi dirinya sendiri, lalu bocah itu ikut tidur bersama ibunya.Riga tak bisa jelaskan apa yang kini ia rasakan. Sedikit tidak nyaman? Kecewa? Marah? Yang jelas, pemandangan Righa dan Mahira yang tidur saling berpelukan membuat dirinya merasa ... tidak berdaya?Keyakinan Riga seratus persen kurang satu. Benar Mahira si rambut abu-abu ini adalah Mahiranya. Dan bukan masalah kalau anak kecil di pelukan Mahira sekarang adalah putranya. Meski bermulut tajam dan selalu menguarkan aura permusuhan, bocah itu cukup pintar dan sepertinya bisa diandalkan.Untuk anak umur 6 tahun, tidak menangis saat melihat ibunya pingsan lumayan membuat Riga takjub. Terlebih, anak itu menyiapkan makanan untuknya sendir
Dering dari ponsel membuat Riga terpaksa terjaga dari tidur. Pria itu memanjangkan lengan, alih-alih bangkit untuk mengambil benda sumber suara berisik itu.Nomor tanpa nama yang ia kenali muncul di layar, Riga yang setengah menyipit mengulum senyum. Ia jawab panggilan itu."Kenapa? Sudah rindu padaku?""Kau baru bangun?" tanya Mahira di ujung telepon."Sudah bangun. Barusan. Kau seperti tidak tahu kebiasaanku saja. A--""Aku tidak sedang membicarakan kayumu, Bajingan! Jam berapa ini? Kau baru bangun? Apa Righa tidak sekolah?"Mata Riga mengerjap. Pria itu membawa tubuhnya duduk, kemudian tersadar. Benar. Kemarin, ia tak pulang sendiri ke sini.Seperti yang Mahira inginkan, enam hari ke depan ia harus hidup bersama anaknya Mahira. Kemarin malam, ia pulang ke sini tidak sendirian. Dan ya, Riga ingat kalau Mahira menyebut sesuatu seperti sekolah."Dia sekolah?" Dengan ponsel tertempel di telinga, lelaki itu keluar dari kamar.Riga pergi ke kamar satunya. Kamar yang sejak kemarin tidak
Tak dipedulikannya laptop yang sudah mati. Riga fokus menghunus tatapan tajamnya pada si bocah yang masih memegangi gelas yang tadinya berisi susu. Ubun-ubun lelaki itu terasa akan meledak.Riga kembali pulang sore hari ini. Sengaja, ia memilih mengerjakan sebagian tugas di rumah, mengingat ada bocah enam tahun yang selama beberapa hari ke depan masih hidup seatap dengannya.Lelaki itu bahkan membuatkan susu tadi. Dengan bayang-bayang bahwa bocah itu pernah diberikan susu oleh Mahira, Riga berhasil menahan diri untuk tak mencampurkan detergen ke susu bubuk yang ia buat.Dan apa? Si anak malah menumpahkan susu itu ke atas laptop. Membuat peralatan bekerja Riga harus mati mendadak.Pantaskah Riga marah? Jelas. Pantas.Ia sudah akan membuka mulut, menyuarakan beberapa kalimat, sampai si bocah lebih dulu mengaitkan alis."Kau mau menyalahkanku?" Anaknya Mahira itu mengangkat dagu. Menantang."Jadi? Ini bukan salahmu, Anaknya Mahira?"Righa tampak menelan ludah satu kali. "Ibu tak pernah m