"Mahira."Memanggil nama perempuan itu di sini, di ruang rawat rumah sakit, di samping ranjang yang istrinya baringi. Riga terkenang pada hal pertama yang membuatnya sangat penasaran pada seorang gadis asing yang tak sengaja ia lihat saat bertandang ke negara asal ibunya.Mahira namanya gadis dengan mata coklat itu. Selain karena tatapannya yang tak tampak gentar saat bertemu pandang dengan Riga, nama Mahira juga amat mencuri atensi si lelaki.Alih-alih mencari arti nama itu di internet atau buku, Riga malah mengikuti si gadis sore itu. Mahira baru pulang bekerja. Namun, perempuan itu tak langsung menuju rumah.Mahira berhenti di salah satu pertigaan jalan besar. Gadis itu berjongkok di trotoar beberapa saat, hingga mentari sepenuhnya padam.Lalu, dua orang anak kecil dengan pakaian lusuh menghampiri Mahira. Dari dalam mobilnya yang terparkir agak jauh, pemandangan saat Mahira tersenyum lebar pada anak-anak itu bisa Riga saksikan dengan jelas. Menambahi rasa penasaran.Secara penampil
"Riga!"Suara teriakan yang samar itu membuat Riga berhenti menggosok tangan di bawah air keran wastafel. Lelaki itu langsung keluar dari toilet dengan berlari. Dan betapa ia terkejut saat melihat ada dua orang berada di samping ranjang yang Mahira huni.Dua lelaki itu menoleh pada Riga, tetapi tak menghentikan kegiatan mereka. Satu dari mereka memegangi kedua tangan Mahira, satunya lagi membekap wajah si gadis dengan sebuah bantal.Tak buang waktu, Riga menarik senjatanya dari pinggang. Melepas satu peluru pada si pemegang bantal, seraya kakinya bergerak cepat menerjang yang satu lagi.Riga menyeret kepala pria yang tadi memegangi tangan Mahira, hingga menjauh dari ranjang. Penjahat itu berusaha memberi perlawanan, tetapi Riga lebih dulu menendang perutnya hingga tersungkur di lantai.Melihat lawannya terbaring di lantai, Riga berjalan cepat ke sana, lalu menendang dan menginjak-nginjak tubuh penjahat itu dengan seluruh tenaga yang dipunya. Semua bagian yang bisa kakinya jangkau, Rig
"Apa ini akan selesai jika kau membunuh pamanmu?"Di ruang tamu kediamannya, Renzo tengah menatap sang putra dengan kernyitan susah di dahi.Beberapa jam lalu, Riga yang dipenuhi amarah mendatangi rumah Erick. Nyaris anaknya melakukan pembantaian kalau saja Alex tak memberitahu, hingga Renzo bisa tiba tepat waktu untuk mencegah.Membawa paksa anaknya dari sana, kali ini Renzo berusaha membuat Riga paham. Menghabisi Erick hanya akan menambah pelik masalah.Erick memang dalang dari insiden hampir celakanya Mahira di rumah sakit tempo hari. Itu memang perlu diberi ganjaran, tetapi bukan dengan saling menghabisi.Renzo sudah yakin. Jika Riga benar-benar melenyapkan Erick, maka keluarga mereka akan benar-benar habis. Para kerabat sudah terpecah. Ada yang berpihak pada Erick dan siap membantu upaya balas dendam atas kematian Damian. Sementara yang lain siap mendukung Renzo dan Riga."Selain hotel, kakekmu juga mewariskan keluarga ini, Riga. Apa kau mau kita benar-benar saling menghabisi sat
"Duduk dengan benar, Mahira." Riga membuka kotak obat, saat istrinya naik ke atas pangkuan dan membelitkan lengan ke leher."Aku ingin begini saja," tolak Mahira."Bagaimana bisa aku mengganti perbanmu kalau kau menempel seperti koala begini?" Riga berusaha melepas jepitan kedua paha Mahira, tetapi perempuan itu bersikeras tak mau pindah."Aku ingin bercerita soal apa yang terjadi di rumah Agnes. Jadi, biarkan aku di sini."Ucapan itu membuat Riga berhenti protes. Pria itu pasrah dan mulai melepas perban kecil di punggung Mahira."Jangan banyak bergerak. Tahu diri sedikit, kau sama sekali tak mengenakan pakaian."Mahira mengangguk. Ia mulai bercerita. "Kami menemukan buku harian itu di kamar Agnes. Aku menyuruh Damian membacanya.""Rumah itu masih tak berpenghuni?""Iya. Sehabis dia membacanya, Damian hanya diam. Kurasa, setengah jam dia hanya duduk di lantai dengan tatapan kosong.""Dan kau dengan bodohnya malah menunggui dia dan bukannya kabur?" Riga bersuara dengan nada penuh cemo
"Jangan beritahu Riga kalau kita bertemu Alex tadi."Pada Mahira, Albert mengangguk. Pria itu menutup pintu rumah, kemudian ikut duduk bersama Mahira di ruang tamu.Beberapa hari ini Riga sedang ada pekerjaan. Dan untuk memastikan Mahira tetap aman selama di rumah, lelaki itu membiarkan ajudannya tetap tinggal. Kalau saja ada Alex, Riga pasti meminta tolong pada sang sepupu.Seharian ini, Mahira ditemani Albert. Mereka sempat keluar untuk mencari makanan, baru saja kembali dan kini duduk santai di ruang tamu."Albert," panggil Mahira sehabis menilik jam di dinding.Ini baru pukul dua siang. Dan ia bosan. Jalan-jalan tadi hanya sebentar. Karena ditelepon Riga, mereka harus segera pulang."Kau tidak bosan?"Albert menggeleng. "Kau butuh sesuatu, Nona?"Menyipitkan mata pada Albert, Mahira bertanya, "Ceritakan padaku tentang dirimu."Diberi kalimat demikian, Albert terlihat menaikkan alis. "Ceritakan soal apa?"Mahira mengusapi dagu. "Seingatku, aku tak tahu apa-apa soal dirimu. Aku tahu
"Bos, Alex ada di depan."Pemberitahuan dari salah satu anak buahnya membuat Riga beranjak dari kursi di samping tempat tidur. Pria itu akhirnya keluar dari kamar, setelah berjam-jam di sana demi menunggui Mahira yang beristirahat.Seperti yang Riga perintahkan. Tak ada satu pun anak buahnya yang membiarkan Alex masuk ke rumah. Riga memilih untuk tak menemui sepupunya itu dalam waktu dekat. Selain karena masih ingin menjaga Mahira yang ia putuskan untuk rawat di rumah. Juga, ia merasa belum siap mengambil keputusan.Tidak diragukan, Riga yakin kalau Alexlah yang memberi racun itu pada Mahira. Tertuduh Albert agak menyangsingkan sebab ajudannya itu saja ikut-ikutan tumbang dan sampai sekarang masih dirawat di rumah sakit."Pergi dari sini," usir Riga dengan nada dingin dan menusuk saat membuka pintu dan mendapati sepupunya ada di sana.Alex tak gentar membalas tatapan penuh kecewa dan amarah yang Riga berikan."Aku ingin menjenguk Mahira."Riga tersenyun sinis. "Untuk apa? Untuk memast
"Mahira men--"Pada Alex yang barusan datang, Riga melirik penuh isyarat. "Jangan bicarakan apa pun tentangnya," katanya memperingatkan.Hubungan Alex dan Riga membaik. Albert yang saat ini masih dalam sekapan Riga sudah mengakui bahwa memang bukan Alex yang memberi biji buah jarak itu pada Mahira.Nyaris saja Riga melenyapkan kerabatnya sendiri karena sebuah kesalahpaham. Dan ... cemburu."Siapa di rumah sakit?" tanya Riga tanpa menatap sepupunya. Pria itu sibuk menikmati sigaret."Ayahmu. Kau tentu tak akan membiarkanku di sini, kalau aku tak meminta bantuan seseorang yang andal."Riga tak bersuara. Pria itu tampak melamun. Ia sedang memikirkan sang istri.Semenjak kejadian penembakan oleh Albert, setelah mengantar Mahira ke rumah sakit, Riga tak lagi pernah menemui istrinya itu. Riga sudah memutuskan. Ia dan Mahira memang tidak cocok.Sebagai ganti, Riga meminta Alex menggantikan tugasnya. Sepupunya itu harus siap siaga di rumah sakit 24 jam setiap hari. Mengurusi semua hal soal M
"Kau ingin menonton?" tanya Alex pada Mahira yang baru saja selesai makan malam.Perempuan itu menggeleng tak bersemangat. Sejak tadi, matanya terus memaku tatapan ke arah pintu. Berharap seseorang datang."Ingin kubacakan buku?" Alex menawari lagi.Mahira menolak, masih dengan gelengan kepala. "Kau tidak pulang? Seminggu menemaniku, kau tidak lelah?"Alex pura-pura tersenyum. "Terdengar seperti seseorang sedang mengusirku."Mahira menarik segaris senyum. Ia menyerah. "Ini tidak masuk akal, 'kan? Aku istrinya, aku sakit dan dia sama sekali tak datang untuk menjenguk?"Alex duduk di tepian ranjang Mahira. "Dia banyak pikiran. Mungkin, patah hati karena Albert." Ia berusaha membuat alasan yang terdengar masuk akal."Apa kau tahu kenapa Albert melakukan itu?" Sampai saat ini, Mahira juga belum bisa mengerti mengapa Albert sampai mengkhianati bos sendiri.Padahal, selama ini, Mahira menganggap Albert sangat baik. Laki-laki itu bahkan yang pertama menjadi temannya, menolongnya sewaktu masi
Ini sudah tidak benar. Riga harus dihentikan, atau pria itu akan membuat semua orang babak belur, seperti Alex.Dengan langkah tergesa dan mata dipenuhi sorot kesal, Mahira keluar dari kamar. Perempuan itu menemukan suaminya ada di lantai bawah, ruang tamu. Bersama Alex dan keluarga mereka yang hari ini berkunjung.Mahira baru saja selesai mandi. Dan selama mandi tadi, ia terus terpikirkan sikap Riga yang sudah kelewat batas. Hari ini Alex, besok, pria itu bisa saja memukul ayah mertuanya atau suaminya Leoni."Riga!" panggil Mahira. "Berikan Mahaya pada Ibuku."Lelaki yang Mahira panggil mengaitkan alis, dengan bibir rapat dan berkerut. Dekapannya pada bayi di gendongan mengerat, tetapi tetap lembut."Kenapa?" tanya lelaki itu dengan suara tenang, tetapi tak rela. Lihat, belum apa-apa, Riga sudah seperti akan menghajar seseorang. Mahira tak habis pikir."Aku harus bicara padamu. Biarkan Ibu menggendong Mahaya."Menyipitkan mata pada istrinya, Riga memalingkan pandang pada wajah bayi
Mahira terperanjat saat merasakan tubuhnya dipeluk dari belakang. Perempuan itu berbalik, lalu menemukan jika pelakunya adalah sang suami."Kenapa kau bangun pagi sekali?" ucap Riga sembari menyandarkan dagu di bahu Mahira."Aku tak ingin tidur dulu, hingga lupa membuat sarapan untuk Righa. Dia harus sekolah pagi ini.""Tapi kau baru tidur satu jam lalu."Menyungging senyum mengejek, Mahira berkata, "Dan itu karena ulah siapa?" Mahira menyentak sedikit kuat pisaunya yang sedang mengiris daun bawang.Dahi Riga berlipat. "Ulahmu tentu saja," balas pria itu dengan nada menuduh."Aku?" Mahira berbalik. Ia angkat pisau di tangan setinggi dada. "Sebutkan di mana salahku, saat kau yang tak bisa mengendalikan nafsu?"Riga melirik ujung pisau di tangan Mahira, lalu wajah perempuan itu bergantian. "Sedang berusaha menakutiku?"Mahira menggeleng dan memberikan ekspresi polos. "Aku bertanya.""Itu salahmu. Siapa suruh kau terasa enak sekali?" Tersenyum nakal, Riga menyangga dua lengannya di masin
"Apa yang bagus dari wajah Ayah, Ibu?"Pertanyaan dari anaknya itu membuat Mahira menegakkan kepala yang semula rebah di samping suaminya yang tertidur. Pada sang anak, ia melempar senyum heran."Kenapa bertanya begitu?"Righa mengangkat bahu. Raut wajahnya terlihat sedikit murung."Ayah dirawat sejak lima hari lalu. Paman Alex bilang, dia akan segera membaik. Tapi, kenapa ibu terus menatapi wajah Ayah seperti itu? Memang apa yang menarik dari wajah Ayah?"Mendengar penuturan panjang sarat nada cemburu itu, Mahira beranjak dari kursi. Dengan senang hati ia berpindah ke sisi kanan ranjang Riga, duduk di samping putranya."Kau marah aku memandangi ayahmu?" Mahira memeluk anaknya dari samping.Righa menatap ibunya, kemudian memamerkan senyum malu. "Ibu seperti lupa padaku. Sejak Ayah masuk rumah sakit, Ibu selalu menemani dan menatapi wajah Ayah seperti tadi."Mahira mengangguk saja. Ia eratkan dekapan pada Righa, memberi kecupan ke kepala bocah itu."Tidak ada yang menarik, ya?"Mahira
Riga tumbuh di keluarga yang bisa disebut berbahaya. Ayahnya menjalankan bisnis judi pada awalnya, sebelum bergerak ke ranah perdagangan organ. Meski punya ibu yang sering mengekpresikan kasih sayang secara verbal atau lewat tindakan, tetapi sejak kecil, Riga kesulitan melakukan itu.Pria itu tak tertawa saat teman-temannya terbahak akan sebuah lelucon. Riga tak tersenyum dan malah menaikkan alis saat ada gadis yang mengucapkan terima kasih atau terang-terangan mengaku perasaan padanya. Karena itulah ia memilih Sandra sebagai istri.Sandra yang hidup di lingkungan yang sama dengannya membuat Riga yakin perempuan itu akan bisa mengimbanginya. Riga tak perlu repot menjadi peka atau memberi servis menggelikan seperti pelukan, kecupan, atau kata-kata manis pada perempuan itu.Pemikiran Riga soal itu nyatanya benar. Lima tahun berumahtangga, ia dan Sandra baik-baik saja. Setidaknya, sampai kebohongan Sandra terkuak dan mereka berpisah.Urusan perempuan, sebenarnya Riga tak terlalu peduli.
"Ibu, bisa aku pergi main bola dengan ayah?""Besok saja, Righa.""Ibu, boleh aku meminta ayah untuk membuatkanku layangan?""Besok saja, Righa. Ayahmu banyak pekerjaan.""Ibu, apa hari ini Ayah akan mengantar dan menjemputku ke sekolah?""Ibu saja yang mengantar dan menjemput. Ayahmu sibuk, besok saja, ya."Beberapa hari belakangan, Riga selalu memergoki istrinya memberi jawaban demikian pada anak mereka. Besok, besok, besok. Perempuan itu seolah menjauhkan ia dari sang anak. Membuat si bocah murung dan ia bingung.Namun, malam ini, ia tak bingung lagi. Pria itu sudah mendapatkan jawaban mengapa istrinya bersikap demikian.Barusan, Mahira menolaknya. Dengan alasan yang kurang lebih mirip dengan yang perempuan itu berikan pada anak mereka.Besok.Riga tidak memaksa. Pria itu berbaring telentang, membiarkan Mahira memunggunginya. Sedari tadi istrinya diam, tetapi ia yakin Mahira belum tidur."Riga?"Panggilan itu membuat Riga tersenyum sinis. Dasar perempuan banyak drama. Ia yakin, Mah
Bersandar di depan meja kerjanya, Riga menatap tajam pada Alex yang duduk di depannya. Hari ini, pria itu meminta sang sepupu untuk datang. Riga menuntut banyak penjelasan.Pertanyaan pertama sudah disuarakan tadi. Soal mengapa bisa Righa tahu soal Renzo dan Lena. Riga sudah menunggu selama dua menit, tetapi sepupunya masih saja diam."Alex?"Alex berdecak kesal. "Menurutmu karena apa? Hanya kau yang otaknya mirip babi busuk. Bukannya menjaga istrimu, kau malah menyuruhnya pergi."Riga menendang kaki kursi Alex, hingga sepupunya itu nyaris terjungkal. "Aku tidak meminta pendapatmu. Jelaskan, sejak kapan Ayah berhubungan dengan Mahira."Menghela napas, Alex memilih membuat ini mudah. Riga tak akan membiarkan lepas, seelum mendapatkan apa yang diinginkan. Maka itu, si lelaki pun mulai menjelaskan."Aku memberitahu mereka saat aku tahu Mahira hamil. Sejak itu, mereka sering menghubungi Mahira. Saat Righa lahir, mereka datang menjenguk.""Diam-diam?"Alis Alex mengait. "Kau melarang siapa
"Kau mendapatkan alamatnya?"Alex menatap Mahira dengan gurat cemas. Pria itu memberikan secarik kertas berisi apa yang perempuan itu minta. Menghela napas, sepupunya Riga itu mengusapi kepalanya berkali-kali.Mahira melakukan sesuatu di belakang Riga. Sehari setelah pertemuannya dengan Albert, perempuan itu menghubungi Alex untuk meminta bantuan.Ia merasa perlu melakukan sesuatu. Karena Albert sudah mulai menyatakan perang, maka Mahira juga harus mengambil tindakan. Mahira ingin mengusahakan sesuatu, agar Riga tak sampai harus berhadapan dengan Albert.Maka, jalan inilah yang Mahira pilih. Seingatnya, Albert pernah bercerita kalau lelaki itu punya seorang paman. Jadi, Mahira meminta Alex mencari tahu alamat pamannya Albert dan akan mendatanginya."Kau yakin ini akan berhasil, Mahira?" tanya Alex dengan wajah sangsi."Aku perlu melakukan sesuatu, 'kan? Kau juga pasti paham kalau aku tak mungkin menuruti kemauan Albert." Mahira naik ke motornya.Demi keamanan semuanya, Mahira putuskan
Riga melirik pada anak lelaki di kursi penumpang mobilnya. Pria itu mengurungkan niat untuk segera menyalakan mesin mobil. Ia tertarik dengan penjelasan sang anak soal ciri-ciri kakeknya.Sore ini Riga mengantar anaknya jalan-jalan. Sekadar berkeliling taman, lalu membeli es krim. Mahira tak ikut, sebab Riga bersikeras mereka harus naik mobil, bukan sepeda motor si perempuan.Barusan, Riga iseng bertanya bagaimana karakter kakeknya Righa, ayahnya Mahira. Namun, ciri yang anaknya sebutkan malah lebih mirip Renzo daripada Adi.Rambutnya sudah memutih seluruhnya. Kalau bicara dengan suara pelan dan lembut. Suka membelikan mainan pistol air. Namun, jarang tersenyum atau tertawa."Kau yakin kakekmu seperti yang kau sebutkan tadi?"Righa mengangguk."Kapan terakhir kau bertemu dia?"Righa berusaha mengingat. "Satu bulan lalu sepertinya. Tapi, Kakek datang sendirian, Nenek tidak ikut. Katanya, Nenek sedang tidak sehat, jadi tidak kuat naik pesawat."Firasat Riga makin kuat. Setahunya, orang
Mahira mengulum senyum untuk yang kesekian kali, saat rambutnya pelan-pelan dibasahi. Perempuan itu masih tak percaya kalau sekarang Riga sedang berdiri di depannya, tengah mencuci rambutnya.Sebenarnya, ia bisa mengerjakan ini sendiri. Namun, permintaan asal yang ia suarakan beberapa saat lalu malah ditanggapi serius oleh Riga. Pria itu bilang mau mencucikan rambut Mahira, kemudian pergi keluar kamar untuk mengambil kursi.Terlalu bodoh untuk menolak, 'kan? Kapan lagi ia dapat perlakukan manis dari preman satu ini?"Apa Alex harus ikut dengan kita?"Protes itu Mahira tanggapi dengan memutar bola mata. Lagi. Ini sudah ketiga kalinya Riga bertanya. Kentara sekali pria itu tak setuju Alex ikut makan bersama mereka malam nanti di sini."Kerjakan saja tugasmu. Jangan mengulang pertanyaan yang sudah kau ketahui jawabannya."Riga melirik kesal. Namun, pria itu kembali fokus mengerjakan rambut Mahira. Setelah seluruh bagian rambut perempuan itu basah, ia mulai menuangkan sampo."Rambutmu aka