Seorang wanita berkulit putih bagaikan susu dengan gaun malam berwarna hitam yang membuat dirinya Nampak sangat bersinar malam ini. Rambut lurus nan panjang yang di gerai, di lengkapi dengan bando bunga yang mengitari kepalanya.
Matanya bulat dengan bibirnya yang berwarna merah jambu. Dia bagaikan dewi yang tengah memainkan jemarinya di atas not piano beserta suara merdunya yang begitu lembut menenangkan jiwa. Terlebih ada lampu sorot yang hanya terfokus pada dirinya seorang. Tak ayal jika seluruh penonton begitu kagum dengan penampilan yang sangat memukau ini.
Janji terakhir kali, sekarang aku hanya bias mengatakannya sebagai kenangan
Saat senyum manis itu pergi jauh dariku
Aroma mawar menyebar bersama angin.
Napas sedih yang tersebar di udara
Aku tidak bisa memelukmu
Dirimu yang menghilang dariku, aku tidak bisa memelukmu lagi
Namun diantara ratusan orang yang hadir dalam festival musik tersebut, ada satu pria tersenyum lega dengan lubang yang amat dalam di sebelah pipinya. Air mukanya menggambarkan betapa bahagia sekaligus bangganya, Park Chan pada sosok Bae Ailin yang berhasil debut sebagai pianis di bawah naungan label besar milik sang ayah. Ailin memang sudah selayaknya debut, karena tak ada alasan lain atas kepiawaiannya dalam memainkan piano.
Buk!
Senyuman Park Chan tak bertahan lama. Bahkan hanya lima detik. Kemudian seluruh teriakan penonton menyeruak mendapati Ailin yang terjatuh dari kursinya secara tiba-tiba. Bahkan cairan merah itu telah mengalir deras dari bagian kepala gadis itu. Seluruh staf dan beberapa orang berhamburan menuju atas panggung.
Chan berlari dan membelah barisan para penonton yang memenuhi panggung, pria tampan dengan tinggi semampai itu membelalakkan kedua matanya saat ia telah berdiri sempurna di depan Ailin yang telah tak bernayawa lagi akibat kepalanya yang terbentur lantai secara mendadak.
"Tidak! Tidaaak!!!" Chan berteriak histeris seraya menggeleng kepalanya.
***
"Tidaaak!" Chan terperanjat saat ia telah membuka matanya sembari memegangi dadanya yang naik turun tak karuan.
Tetapi ada lega saat ia menerawang kesegala arah, ini kamarnya, bahkan ia masih berada di atas ranjangnya. Chan menarik satu nafas panjang, ternyata hanya mimpi. Untuk beberapa saat ia menerka beberapa fikiran yang membelenggunya belakangan ini, hingga ia bergumam satu nama. Ailin.
Chan meraih ponselnya di atas nakas. Ia mencari sebuah kontak yang kini sangat perlu untuk di hubunginya.
Steave Jo.
Chan mengusap tombol hijau di sana untuk menghubungi pria tersebut yang tidak lain adalah koleganya sendiri dalam membangun perusahaan yang menaungi para musisi kenamaan warisan sang ayah.
Steave jo, ia menjabat sebagai produser musik. LEYO Studio salah satu label musik terbesar di Negeri Ginseng yang menaungi banyak musisi ternama di sana. Ayah Chan, Park Hee Chul meninggal setahun lalu. Kini posisi sang ayah telah bergeser dengan Park Hee Chan sang putra tunggalnya sebagai Chief Executive Officer di usianya yang ke 28 tahun.
"Aku tidak bisa hadir untuk rapat hari ini. Maaf."
Belum sempat Steave membuka mulutnya, Chan sudah terlanjur mematikannya terlebih dahulu. Kemudian ia memilih beranjak dari ranjangnya untuk segera membersihkan diri dan mengganti pakainannya dengan penuh kegusaran. Entah apa yang ada dalam benaknya saat ini, pikirannya sedang kalang kabut. Rasanya kepala Chan ingin pecah saat ini. Apa mimpi itu sebuah petunjuk?
Ia meraih kunci mobil yang berada di atas meja makan dan berlari menuju halamannya, membuka mobil sedan hitam metalliknya.
Sesorang tengah berlari kecil memposisikan tubuhnya di belakang Chan, "Biar saya yang mengantar anda, Tuan."
Chan menghentikan pergerakannya sesaat sebelum seluruh tubuhnya masuk ke dalam mobil dengan sempurna. tidak perlu, aku buru-buru. Ia berucap dengan air muka yang sangat dingin seakan tidak mengindahkan kalimat supir pribadinya, lalu berlalu dengan kecepatan tinggi, membuat Pak Choi terkesiap sambil menggeleng kepalanya.
Egois, dingin dan kasar. Itulah deskripsi yang tepat untuk direktur besar seperti Chan. Sejatinya ia tak memiliki sikap buruk seperti itu, namun semua berubah saat sang ibu telah meninggal tujuh tahun silam mendahului sang ayah. Sebelum ia menjadi pemilik saham terbesar di dunia entertainment seperti sekarang, chan adalah seorang musisi sekaligus penyanyi yang memiliki nama besar di Korea Selatan. Tak ayal jika LEYO Studio menjadi semakin melambung di dunianya sebagi agensi terbaik.
"Choi Si-Woo!" Panggil Nara, asisten rumah Chan kepada supir pribadinya, "Kenapa kau tidak mengantarkannya, sepertinya ini akan sangat buruk."
"Apa maksudmu? dia tidak ingin diantar." sarkas Pak Choi tidak ingin kalah.
"Sepertinya ada yang tidak beres, bagaimana jik---."
"Jika apa? kenyataannya bos kita memang tidak beres, kan?" Sambung Pak Choi memotong kalimat nara seraya meneguk air mineral dari gelasnya.
"Aissh, aku tau dia memang gila. Tapi Bibi Park meminta agar Tuan Chan tidak pergi sendirian saat ini, apa kau tidak mendengarnya ketika kita berkumpul kemarin, hah?!" tutur Nara mengingatkan Choi akan pesan bibi park saat mengadakan perkumpulan antar pekerja pribadi di kediaman Park Chan.
"Sejak perginya Ailin di hari debutnya sebagai pianis tiga bulan lalu, Chan menjadi sangat kacau. Aku tidak tau seberapa berharganya gadis itu dimatanya. Aku hanya ingin chan menjalani kehidupannya sebagai seorang CEO, tolong jaga Chan, ya! kemanapun di pergi, aku minta kalian semua menjaga keponakanku, jangan sampai dia mencari Bae Ailin."
Mata Pak Choi membulat sempurna setelah berhasil mengumpulkan ingatannya kemarin. Wajar saja, ketika perkumpulan tersebut, Choi sedang berusaha memerangi rasa kantuknya yang tak tertahankan akibat kelelahan mengantar Chan keluar kota. Saat ini, Choi Si-Woo hanya bisa memijat keningnya. Semua terlambat. Chan sudah berlalu dengan sendirinya. Karena hanya Ailin satu-satunya nama yang terekam dalam pikirannya.
***
Masih melaju dengan kecepatan tinggi, Chan memainkan stirnya seraya mengingat semua detik terakhirnya saat Ailin masih ada di sampingnya. Semua ingatan itu sangat berantakan dan tak karuan, karena hati dan fikirannya tengah beradu. Semua kacau.
Sesekali ia memijak rem saat lampu lalu lintas menunjukkan warna merah, menggigit sebelah jari tangannya. Matanya menerawang kesegala arah, dengan nafas yang terasa berat. Mimpi itu membawa pikiran buruk bagi Chan. Itulah alasan terkuatnya untuk menemukan Ailin saat ini juga. Ia mengorbankan waktunya yang sejatinya sangat padat. Meninggalkan rapat penting hanya untuk pergi ke Daegu mencari Ailin. Karena di situlah asal gadis tersebut.
Jarak antara Seoul menuju Daegu memakan waktu kurang lebih tiga jam. Di tengah lampu lalu lintas yang masih setia dengan warna merahnya, Chan tak hentinya mengklakson kendaraan di depannya, namun nihil, tak ada satupun yang bergerak, karena belum ada lampu hijau disana, di tambah guyuran hujan yang semakin deras. semua itu membuatnya semakin berteriak frustasi sambil memukulkan tangannya ke stir mobil. emosinya semakin menjadi akibat perubahan suhu.
Ketika lampu hijau telah bersinar, seketika ia bersiap untuk melaju lebih cepat dari sebelumya, bahkan ia lupa jika sekarang bukan di jalan tol, melainkan ini jalan utama kota daegu. banyak puluhan kendaraan yang berlalu lalang di sana harus memijak remnya dengan sangat mendadak. Bahkan banyak dari mereka yang mengumpat akibat ulah CEO satu ini.
"Siapa dia?".
"Apa dia mabuk?"
"Gila!"
Chan memang tak dengar. Tapi, dia juga tidak peduli seberapa tinggi kecepatan yang diambilnya dalam berkendara.
Ia terus menancap gasnya, hingga bertemu lagi dengan lampu lalu lintas yang baru saja menyala dengan warna kuning, dan sekarang telah berubah menjadi merah, tepat saat chan sudah berada di sana, namun ia justru melewatinya dengan kecepatan mobil balap yang membuatnya memutus jalan kendaraan lain.
DARRR!!!
@ddablue_
Seketika mobil mewah Chan harus terpental akibat dorongan truk tronton dari arah berlawanan akibat kesalahannya sendiri karena menerobos lampu lalu lintas.Suara benturan antar dua kendaraan tersebut mengejutkan ratusan warga yang berada di pusat kota tersebut. Seluruhnya terpaku melihat keadaan lalu lintas yang semakin kacau akibat kejadian ini, ditambah hujan yang masih deras.Terlebih ada asap dari kap mobil masih tetap mengepul meski terguyur hujan, menjadikan langit siang itu menjadi semakin gelap keabu-abuan. Tak perlu menunggu waktu yang lama, sirine mobil patroli dan ambulans menyeruak ke seluruh penjuru kota.Seluruh petugas turun tangan untuk mengevakuasi para korban dan meminta agar para warga yang berpartisipasi untuk segera menepi karena keadaan di sekitar kejadian perkara belum kondusif, masih bisa berpotensi kebakaran akibat benturan dua kendaraan ini. sejauh ini, korban yang telah berhasil di evakuasi telah tewas. supir truk dan koleganya. Hanya tinggal satu korban di
Steave menarik napasnya sedalam yang ia bisa, kemudian menghembuskannya perlahan, embun yang di hasilkannya menggambarkan betapa abstrak pikirannya saat ini, terlebih melihat koleganya sendiri yang terkapar tak berdaya di atas ranjang di sebuah ruangan mewah yang terdapat di rumah sakit tersebut.Pria tinggi berparas menggemaskan itu terduduk di samping ranjang Chan, "Hal konyol apa lagi yang kau perbuat?"Steave menggeleng kepalanya samar. Ia telah bertahun-tahun berada di samping Chan, bahkan sejak mereka masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, tak ayal jika steave memahami betul sikap keras kepala Chan."Permisi."Seorang perawat wanita dengan setelan seragam berwarna ungu mua datang dengan membawa pirantinya, membuat Steave mengalihkan pandangan tepat pada sosoknya."Saya akan mengganti infus Tuan Park Chan." sambung perawat yang di ketahui dari nametagnya bernama Song Min-Ah."Ah, ya.. silakan." Steave mempersilakan sang perawat untuk masuk menyelesaikan tugasnya.Perawat
"Untuk itu saya akan pikirkan lagi dan perlu juga untuk dibicarakan oleh dokter pembimbing proposal saya. Lagipula untuk pasca operasi ini, Tuan Chan masih harus menetap disini." Ada bimbang dalam benak Rose. Disisi lain ia ingin menghabiskan waktunya di rumah sakit ini demi fokus menyelesaikan ujian terakhirnya."Aku kebetulan mengenal Direktur Kang dengan baik. Aku juga sempat berbicara dengannya. Tenang saja. Pasti akan ada keringanan. Kau juga sangat cerdas. Aku harap kau akan menerimanya, karena Chan butuh bimbingan ekstra untuk mental dan kesehatannya dan hanya Chan satu-satunya penerus perusahaan, aku tidak mau perusahaan mendiang ayahnya jatuh pada tangan orang lain. Aku yakin, kau bisa melakukannya." Tambah Bibi Park banyak menaruh harapan, mengingat banyak kerabat yang menginginkan LEYO Studio.Namun Rose masih butuh waktu untuk memikirkan itu. Menjadi seorang dokter pribadi? Sepertinya sangat sulit untuk Rose, meskipun akan ada keringangan dan kemudahan.Terlebih jika ia ha
"Chan-ah, Bibi disini, Nak." Bibi Park berucap seraya berkedip yang menjatuhkan bulir air matanya. Chan menggeleng kencang, entah apalagi yang ada di dalam benaknya. Dengan segala kekacauan yang tengah melandanya, ia melepas infus yang bersarang di punggung tangannya dengan sangat kasar. Bibi Park menejrit histeris seraya memegangi dadanya yang sangat pengap dan terus berusaha menarik nafas sekuat tenaga meski terasa berat. Rose dan residen juniornya yang baru saja membuka pintu ruangan tersebut terperanjat menyaksikan Bibi Park yang begitu lemah, sontak keduanya menghampiri wanita itu yang ditemukan kejang-kejang tersungkur di lantai. Dokter residen muda itu menyandarkan tubuh Bibi Park ke bahunya, sementara Rose menghubungi dokter spesialis paru-paru untuk segera datang ke ruangan tersebut. Tapi Chan tidak peduli dengan keadaan bibinya yang memiliki penyakit astma itu. Sekarang ia justru menurunkan kakinya untuk beranjak dari ranjangnya. Bahkan ia memaksa kakinya yang belum bisa
"A-apa Ailin yang dimaksud adalah kekasih Tuan Chan?" Selidik Rose dengan kemungkinan lain."Dia lebih dari kekasih. Chan bisa menganggapnya sebagai ibu ataupun kakak." Bibi Park menghembuskan napasnya perlahan sebelum melanjutkan kalimatnya lagi."Mereka sudah saling mengenal sejak Chan duduk di bangku SMA. Tepatnya Ailin satu tahun lebih tua darinya. Sampai pada Ailin yang masuk menjadi trainer musisi di LEYO Studio. Tepat di hari debutnya, tiga bulan lalu, dia menghilang. Semua bagai cambuk bagi Chan."Rose mendengus kencang. "Aku yakin itu sangat berat bagi Tuan Chan" Ia bisa membayangkan betapa rapuhnya pria tersebut. Sebab, Rose juga memiliki sosok yang sama berartinya seperti posisi Ailin pada Chan."Untuk membuatnya lupa tentang masa lalu.. itu diluar kuasaku. Tapi aku akan berusaha untuk membuatnya lebih baik." Sambung Rose lebih bersemangat. Karena memang itu tujuannya menjadi seorang dokter. Menyelamatkan orang-orang dari penyakitnya.Ada lega dari air muka bibi park yang te
Rose sempat memejamkan matanya sebelum cairan bening tersebut melucur dengan liar. Tapi semua itu jauh dari usahanya. Air mata mengalir dengan sangat cepat melintasi pipinya.Di saat lagu telah berakhir, keduanya melepas jemari dari tuts piano. Tapi Chan mengulangi lagi lirik terakhir lagu tersebut tanpa dentingan piano. Hanya ada suara bass yang mampu menyayat hati Rose.Pria itu benar-benar membuat suasana menjadi sangat sendu dengan kemampuan bernyanyi dan bermusiknya.Mata Chan terbelalak saat menemukan ada air yang menetes dari pelupuk mata Rose, "Kau menangis?""Ah.. benarkah?" Rose buru-buru menyeka air matanya, "Mungkin aku terlalu menghayati."Rose berusaha keras agar Chan tidak menanyainya lebih jauh seputar masa lalunya. Jika ia mengetahui apa yang tersembunyi, pasti Chan akan menggila dan merasa bersalah. Lalu, akan semakin sakit.Rose tidak ingin membuat orang lain menyalahkan dirinya sendiri. Karena itu adalah tipikal seorang Park Chan."Permainanmu sangat indah, Noona."
Chan memandangi danau buatan yang ada di pinggir taman rumah sakit tersebut. Angin yang berhembus terasa begitu sejuk. Air yang tenang dengan udara yang segar. Semua ini menjadi pemandangan yang ia cari selama ini. Selama hidupnya, ia tak pernah merasakan makna dari ketenangan yang sesungguhnya.Sejak kecil, ia telah menggeluti dunia hiburan sebagai artis dan model cilik. Semakin bertambah usia, semakin meraup kepopuleran yang luar biasa.Terlebih saat ia berkarir sebagai penyanyi dan musisi. Meskipun saat ini, ia tidak lagi aktif dalam dunia hiburan, bukan berarti ia harus berhenti dari sorotan media.Justru sekarang namanya jauh melambung dengan menggandeng selebriti ternama korea selatan sebagai pemegang saham terbesar dalam bidang entertainment. Rasanya, tak ada kesempatan untuk bisa duduk tenang menikmati hidupnya.Apa iya hidupnya akan secepat itu? Bahkan Chan belum sempat memaknai apa itu kehidupan. Rasanya seperti sebuah mimpi. Terbangun dalam keadaan sakit dengan penyakit yang
"Apa?! D-dokter Pribadi untuk Park Chan?!" Rose cukup tersentak mendengar penuturan Dokter Gyeon. "T-tapi.. kenapa harus saya? Saya masih harus menyelesaikan tahun terakhir masa residensi ini dengan baik." "Bagaimana dengan dokter lain?" Rose masih terus mencari kemungkinan lain. "Dokter lain siapa? Sejak awal yang ikut menangani Park Chan adalah Aku dan Kau. Juga ada beberapa dokter ortopedi yang membantu menangani patah tulang setelah operasi." Dokter Gyeon berusaha menjelaskan, "Dan penyakit yang diderita Park Chan baru ketahuan setelah kejadian nahas itu." "Hanya kita yang menangani Glioblastomanya sejak awal." tambahnya lagi, "Kau tau kan, banyak pasien lain yang menungguku? Aku tidak bisa merangkap sebagai dokter pribadi yang setidaknya harus fokus pada satu pasien." Rose mendengus bertenaga, "Saya ini masih residen! Lalu, apa saya harus menunda ujian proposal saya?" "Kita sudah bahas ini. Direktur, juga aku sebagai pembimbingmu... habiskanlah masa residenmu dengan mearwat P
Penerbangan menuju Osaka tinggal setengah jam lagi. Rombongan medis dari Rumah Sakit Wooridul sedang berkumpul bersama untuk segera mengemas barang setelah hampir satu jam boarding. Rose membuka-buka tas-nya. Ia mencari ponselnya tapi tidak ada. Seketika rose mengutuk dirinya sendiri."Ya! Kau kenapa, sih?" tanya Hyo-Joo yang mersa terganggu dengan keributan yang dibuat kawannya."Aissh! Ponselku tertinggal," rengek Rose."Ya! Sepenting apa ponselmu? Kau punya banyak uang, kan? Beli lagi saja nanti," balas Hyo-Joo seadanya."Memangnya aku ke Osaka untuk belanja? Lagipula aku harus menghubungi Chan!""Bukannya kau akan bercerai, kenapa masih menghubunginya?" Hyo-Joo mengerutkan keningnya"Tentu saja aku harus menghubunginya untuk menayakan kabar setelah si caplang itu mengumpulkan dokumen ke pengadilan!" tegas Rose.Hyo-Joo berkacak pinggang sembari mendecak. "Ya sudah, semoga saja lancar. Kau bisa menggunakan ponselku dulu, jika kau butuh."Bukannya ingin mengelak, tapi rose tidak men
Dengan tangan bergetar dan mata yang memandang datar, Chan mengusap pintu etalase yang didalamnya terdapat sebuah guci penyimpanan abu. Pun tertera jelas beberapa foto disana.R.I.P. Bae Ailin.Alih-alih menangis, Chan justru tidak bisa beraksi apapun saat melihat orang yang dicintai dan dicarinya selama ini telah berubah menjadi abu. Mungkin jika Chan mengetahui kematian Ailin sejak dulu, ia akan menjerit, memaki dirinya sendiri serta menyalahkan keadaan dan segala tingkah konyol lainnya. Sekarang, Chan sudah merelakannya pergi sejak Rose ada dihidupnya. Meski sesekali teringat Ailin dari wajah Han Na-Na yang sangat menyerupainya."Maafkan aku, Ailin. Aku belum bisa menjagamu. Kenapa kau tidak pernah mengatakan padaku jika kau sakit?"Chan sempat memutar memorinya saat di bangku kuliah. Saat itulah, ia mulai sering melihat Ailin muntah-muntah hampir di setiap jam. Tapi, Chan selalu mengikuti ucapan Ailin agar tidak usah menghiraukannya dan menganggap hal tersebut hanyalah akibat dari
Suasana kantor LEYO Studio begitu ramai. Banyak aparat kepolisian yang datang. Para karyawan juga sibuk berlalu lalang. Bagian dalam kantor tersebut juga terlihat sangat berantakan. Park Chan sudah menduga jika mimpinya menjadi kenyataan, meski sebagian. Semalam benar-benar terjadi perampokan. Anehnya, perampok tersebut tidak mengincar alat elektronik, melainkan berkas-berkas berharga dari perusahaan besar tersebut."Oh, Chan?!" Steave berbalik saat mendengar suara sepatu yang menghentak di belakangnya."Apa ada yang mencuri buku besar?" tanya Chan memastikan."Iya. Semalam Na-Na datang kemari dan melihat ada rombongan penyusup datang. Dia menelpon polisi, tapi pelaku masih belum tertangkap. Bahkan kamera pengawas juga tidak beroperasi," tutur Steave. "Kurasa mereka mengendalikannya.""Mimpiku benar-benar nyata," ceplos Chan asal."Apa??" Kening Steave mengerut."Aku memimpikan ini. Tapi pelakunya satu orang." Chan berkacak pinggang sembari menerka banyak hal dan detik selanjutnya men
Selepas pulang dari rumah sakit untuk mencari keberadaan sang istri, Chan sedang menikmati malam terburuknya tanpa Rose di sebuah kedai. Kembali pada soju. Minuman yang sebenarnya sudah tak lama ia nikmati selagi dalam pengawasan Rose demi menunjang kesehatan.Namun kali ini ia tak bisa melewatkannya. Puncak frustrasinya sudah diambang batas. Ia butuh sesuatu untuk setidaknya menenangkan pikirannya. Pun kedai yang disambangi hanya dipenuhi oleh pria-pria tua yang kemungkinan tidak mengenalnya."Rose... Noona." Chan terus memanggil-manggil nama sang istri di bawah angin malam sungai Han. "Ji-Hyun Noona... kenapa kau meninggalkanku tanpa sepatah kata? Aku tau aku jahat.""Tapi, setidaknya berikan aku kesemp..." Chan menggeleng bersama pikriannya yang sudah melayang. "Tidak! Kau bahkan sudah memberikanku banyak kesempatan yang bodohnya selalu kulewati.""Aku tidak tau!" Chan merengek. "Kenapa Han Na-Na membuatku melihat Ailin? Tapi aku tidak ingin melakukan apapun. Aku tidak ingin mencint
Chan memasuki ruangan dokter Ko Tae-Song tanpa permisi, membuat pria berambut silver itu terkejut akan kedatangannya."Apa kau tau dimana istriku?" Chan bertanya seraya mengatur tempo napasnya yang berantakan "Tidak... Maksudku, Dokter Rose. Kekasihku.""Ah... Dokter Rose sudah mengakhiri kontrak kerjanya dengan kami sejak sore tadi."Chan tercenung. Matanya membulat. Ia seolah berada di atmosfer yang berbeda. Semakin lemas mendengar kalimat Dokter Ko."Tidak mungkin!" Chan menggeleng.Dokter Ko lantas mengeluarkan surat pengunduran diri Rose dari Rumah Sakit Haesung-Seoul yang telah disetujui sore tadi. Dokter Rose sudah mengurus semua ini sejak seminggu yang lalu. Tapi kami baru menyutujuinya.Chan membaca seluruh surat yang Rose buat dengan seksama. Di detik selanjutnya, Chan berteriak frustasi. Sepertinya Rose benar-benar ingin bercerai dengannya dan kembali ke Daegu. Dada pria itu tampak naik turun penuh dengan emosi yang ingin meledak. Tidak pada tempatnya.^^^Na-Na mengambil be
Namun ada satu keganjalan di hatinya. Chan buru-buru meminta para staf dan karyawan dari seluruh divisi berkumpul di aula besar tanpa ada yang absen satu orangpun. Hal seperti ini menimbulkan banyak tanya bagi mereka. Jika Chan mengumpulkan seluruhnya, maka akan ada hal yang sangat penting. Brukk! Chan melempar beberapa majalah ke lantai. Menimbulkan suara yang menggema ke seluruh sudut ruangan. Semua penghuni aula terperanjat dengan situasi horor macam ini. Seketika kesunyian begitu terasa. Benar saja, jika Chan murka, maka ia akan lebih seram dari hantu valak. "Kalian sudah melihat berita tentangku?" tanya Chan dengan napasnya yang masih tersengal-sengal akibat menahan emosi. "Ini pencemaran nama baik! Ini tidak benar!" Ia memekik. Wajahnya sangat menyeramkan. "Aku bahkan tidak memiliki hubungan apapun dengan Han Na-Na! Aku tidak akan pernah marah dengan segala pemberitaan buruk tentangku. Tapi jika berita tersebut membawa dampak buruk untuk Rose, maka aku tidak akan diam saja!!!
"Apa kau mengingatku, Park Chan-ssi?" tanya Hyo-Joo memastikan. Ketiganya telah berada di ruangan chan. Duduk saling berhadapan satu sama lain.Chan seperti mengingat sesuatu. "Entahlah. Sepertinya aku pernah melihatmu dengan Rose Noona saat di Daegu.""Ingatanmu bagus juga." Hyo-Joo tersenyum tipis. "Aku teman dekat Rose.""Apa kita perlu berkenalan lagi, Tuan Chan?" Giliran Min-Jae angkat bicara."Uhmm... Kau Yook Min Jae?" Chan memastikan lagi."Aku adalah pria yang kau hajar waktu itu. Tapi aku berbaik hati untuk tidak melaporkanmu karena ternyata kau punya hubungan yang spesial dengan Ji-Hyun Noona," terang Min-Jae samar-samar. Sempat membuat kening Chan berkerut. Apalagi saat mendengar pemuda itu memanggil istrinya dengan nama aslinya. " Sayangnya kita belum berkenalan dengan benar. Kau hanya tau namaku saja, tapi kau belum tau siapa aku sebenarnya." Min-Jae semakin membuat Chan penasaran."Ya! Tujuan kalian datang kesini untuk apa? Sebenarnya aku juga tidak punya banyak waktu un
Suasana di Poli Onkologi salah satu rumah sakit elit di Seoul itu begitu ramainya. Pasien tengah mengantre untuk rawat jalan maupun konslutasi pada dokter di bidangnya. Salah satu dokter yang memiliki cukup pasien hari itu adalah dr. Seo Ji-Hyun.Dua orang telah keluar dari ruangannya bersamaan dengan seorang perawat yang kemudian memeriksa data pasien antrean selanjutnya."Ok, selanjutnya nomor pedaftar...."Belum sempat menamatkan kalimatnya, seorang berbalut jaket hoodie hitam itu hendak memasuki ruangan praktik Dokter Seo Ji-Hyun atau yang lebih dikenal sebagai Dokte Rose."Oh?! Tuan?!" perawat perempuan tersebut menahan pergerakannya. "Anda siapa? Saya bahkan belum menyebutkan nomor pendaftarannya!"Sosok dalam balutan topi yang sedang menyembunyikan wajahnya itu hanya melirik sinis dengan tatapan tajam, lalu menghempaskan tangan perempuan tersebut dan menerobos masuk. Namun, perawat itu terus berusaha menahan pergerakan sosok misterius itu yang pada akhirnya berhasil membuka pin
Chan tampak segar. Ia selalu berpenampilan santai jika pergi ke kantor. Berkaos putih tipis dibalut kemeja denim tebal diluarnya. Langkahnya terhenti saat mendapati keramaian di sudut dapur. Chan mengerutkan keningya, melihat rose tengah membantu nara menyiapkan sarapan pagi seraya bercengkrama. Menebarkan senyumnya dengan mudah, seolah tidak ada hal apapun yang terjadi padanya."Oh, Chan?!" sorak Rose riang sambil membawakannya makanan. Menarik satu kursi untuk pria yang sedang mengamati pergerakannya. "Makanlah, kau perlu banyak energi. Kau sibuk, kan?"Chan mematung sambil memikirkan beberapa asumsi. Ia semakin dibuat pening oleh sang istri. Semalam, ia melihat perempuan itu hancur sejadi-jadinya seperti tidak ada waktu lagi untuk hidup. Pagi ini, Rose justru terlihat berbinar."Kenapa?" Rose menemukan Chan yang masih saja berdiri. Keningnya pria itu berkerut. "Tugasku menjadi istrimu selesai hari ini, kan?" Pertanyaan itu terucap begitu saja melalui bibirnya.Detik itu juga, jantu