Steave menarik napasnya sedalam yang ia bisa, kemudian menghembuskannya perlahan, embun yang di hasilkannya menggambarkan betapa abstrak pikirannya saat ini, terlebih melihat koleganya sendiri yang terkapar tak berdaya di atas ranjang di sebuah ruangan mewah yang terdapat di rumah sakit tersebut.
Pria tinggi berparas menggemaskan itu terduduk di samping ranjang Chan, "Hal konyol apa lagi yang kau perbuat?"
Steave menggeleng kepalanya samar. Ia telah bertahun-tahun berada di samping Chan, bahkan sejak mereka masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, tak ayal jika steave memahami betul sikap keras kepala Chan.
"Permisi."
Seorang perawat wanita dengan setelan seragam berwarna ungu mua datang dengan membawa pirantinya, membuat Steave mengalihkan pandangan tepat pada sosoknya.
"Saya akan mengganti infus Tuan Park Chan." sambung perawat yang di ketahui dari nametagnya bernama Song Min-Ah.
"Ah, ya.. silakan." Steave mempersilakan sang perawat untuk masuk menyelesaikan tugasnya.
Perawat Song menarik selang yang sudah sejak tadi bersarang di punggung tangan Chan, lalu meraih selang yang baru. menggantungkan infus di tiang khusus.
"Kapan Chan akan sadarkan diri?" Tanya Steave di tengah kesibukan Perawat Song.
Ia berbalik tepat setelah menyelesaikan tugasnya, "Yang saya tau Tuan Chan memerlukan tindak lanjut dari pengobatannya."
"Jadi dia masih butuh rangkaian perawatan lagi?" tanya Steave melebarkan matanya.
Karena jika masih ada rangkaian pengobatan lain, ini mungkin akan berlangsung lama yang membuat Steave harus super ekstra dalam mengatur perusahaannya. Jangankan Chan sakit, bahkan ketika dia waraspun, Steave juga harus mengeluarkan banyak tenaga dan pikirannya.
Perawat Song mengiyakan, "Untuk selanjutnya sudah diatur Dokter Gyeon dan Dokter Rose, juga tim lainnya." kemudian ia membungkuk, tanda ia harus segera mengerjakan tugas yang lain dan berakhir pada pintu yang ditutupnya pelan.
Steave berkacak pinggang menatap Chan yang terbaring lemah di atas bangkar, "Aiish.. kau ini menyusahkan saja."
***
"Sepertinya penyakit ini di sebabkan oleh trauma dan konsumsi obat penenang yang berlebih dan genetik." ungkap Rose sembari memeriksa hasil scan yang ia lakukan tadi. "Jadi, sebelum adanya kejadian ini, Tuan Park Chan sudah menderita penyakit ini."
Bibi park menarik satu nafasnya panjang. Menyadari satu yang pasti bahwa ayahnya Chan juga menderita penyakit yang sama, "Iya. Tapi apa harus sampai dioperasi? Separah itu?"
Chan memang sering sekali mengkonsumsi obat penenang melebihi dosis, jika terbelunggu suatu masalah.
"Glioblastoma salah satu jenis kanker ganas yang tumbuh di otak atau sumsum tulang belakang. Kanker ini dapat dialami siapa saja, tetapi lebih sering terjadi pada orang dewasa dan lansia." Rose berusaha menjelaskan dengan baik. Meski belum mendapat gelar spesialis, ia sudah sangat handal, karena kecerdasannya di atas rata-rata.
"Dan apa yang dialami Tuan Chan belum terlalu parah, alangkah lebih baik untuk melakukan operasi, demi mencegah penyebarannya." tukas Rose.
"Apa dengan dioperasi, Chan bias sembuh total?" Bibi park masih sangat mempertimbangkannya.
"Belum nyonya. Selama masa penyembuhan, Tuan Chan harus rajin kontrol ataupun rawat jalan agar bisa mendapatkan perawatan intensif di rumah." ucapan Rose membuat Bibi Park semakin pening.
Bagaimana bisa sesorang seperti Chan bisa menjalani kontrol rutin? terlebih dia sangat keras kepala. Bibi Park masih terus menimbang pikirannya hingga menciptakan detik-detik yang hening diantara keduanya.
Selang bebrapa detik, Bibi Park menatap bola mata Rose, "Lakukan operasi dulu, untuk selanjutnya aku akan pikirkan lagi".
***
Rose bersiap dengan baju dan celana senada dengan warna ungu terong. Menjadi asisten Dokter Gyeon.
Operasi akan diadakan 15 menit lagi, kemudian, ia merogoh lokernya untuk mencari maskernya, namun yang ia sentuh justru benda pipih yang menyala-nyala. Rose membulatkan matanya, melihat ada panggilan dengan nomor yang tidak di kenal sebanyak 18 kali.
Siapa itu? Ia mengusap layar ponselnya sembari membuka beberapa pesan yang masuk, salah satunya dengan nomor si penelpon itu.
Ji-Hyun Noona, aku sangat ingin berbicara denganmu, tapi aku tau kau sangat sibuk. Jadi aku hanya meninggalkan kotak di recepcionist, dan jika ada kesempatan, aku janji akan menemuimu pada waktu yang tepat.
Yook Min-Jae.
"Yook Min-Jae?" Rose seperti tidak asing mendengar nama itu. lalu ia menaruh ponselnya dan beralih untuk mencari lagi maskernya. Karena ia harus bersiap sebelum operasi dimulai
***
Selama proses operasi berlangsung, Bibi Park begitu harap-harap cemas seraya berjalan kesana kemari dengan mengepalkan tangannya ke dada.
"Bibi!"
Teriakan itu menghentikan pergerakan wanita yang masih menawan di usia yang lebih dari setengah abad. Steave berlari menghampirinya seraya menggenggam sesuatu.
"Apa yang kau bawa?" Tanya Bibi Park melihat ada benda yang terampit di antara jemarinya.
Steave menyodorkan sebuah majalah, "Bukan kah itu Dokter Rose yang menangani Chan?" selidik Steave memastikan sambil menunjukkan seseorang yang terpamapang di bagian cover majalah tersebut.
Dokter residen bedah saraf tahun ketiga dengan IQ superior, dr. Rose akan menjadi perwakilan dokter residen Korea Selatan dalam perkumpulan ikatan dokter dunia yang akan di selenggarakan di Den Haag, Belanda dalam periode dua tahun ke depan.
Seketika Bibi Park beradu pandang dengan Steave yang sekarang justru mengerutkan keningnya setelah membaca artikel tersebut. Steave berusaha menerka apa yang ada di pikiran wanita setengah abad berambut pendek tersebut.
"Mungkin ini yang terbaik." Gumam Bibi Park seraya mengais beberapa Pikirannya.
***
Chan sudah bisa di bawa ke ruangannya. Ia di bawa oleh beberapa perawat menuju kamar VIP yang di pilih Steave untuknya. Sementara Rose melepas masker dan sarung tangannya di kamar mandi seraya membersihkannya, lalu sesekali menatap wajahnya sendiri ke cermin, sambal mendengus kasar.
Hari ini ia berhasil dalam operasinya dan rasanya terlalu lelah untuk melakukan aktifitas apapun stelah berkutat melawan alat-alat tajam di sana.
"Rose" panggil Dokter Gyeon. Tanpa ini itu, Rose segera membungkukkan setengah badannya.
"Sepertinya wali dari Tuan Chan ingin berbicara denganmu. Mereka menunggu di depan ruang kerjamu."
"Baik, Dok." Rose menunduk lagi dan berlalu untuk kembali ke ruang kerjanya.
Nampak Bibi Park dan juga Steave telah menunggu di depan ruangan. Seketika Rose mempersilakan keduanya untuk masuk.
"Aku sudah memutuskan untuk kedepannya." Ucap Bibi Park mantap, membuat Rose melebarkan kedua matanya.
"Aku akan mengambil rawat jalan." Sambung Bibi Park lagi, karena tidak memungkinkan bagi seorang Chan untuk kontrol secara rutin ke rumah sakit, itu akan sangat menyulitkan dia dan pekerjaannya.
"Baiklah, berar---."
"Aku mau Dokter Rose yang menangani Chan selama rawat jalan." Timpa Bibi Park memututskan kalimat Rose. dalam artian sebagai dokter pribadi. Bibi Park telah mempertimbangkan seluruhnya, terlebih ada dorongan dari artikel yang membahas tentang biografi seorang Dokter Rose. Dia bukan sembarang dokter, dia dokter luar biasa. Semua itu membuat Bibi Park yakin jika Rose bisa menangani Chan.
"Y-ya?" Permintaan Bibi Park berhasil membuat Rose kehilangan akal.
Dokter pribadi? Ia bahkan masih harus menyelesaikan tesis dan segala kewajiban lain sampai mendapatkan gelar dokter spesialis. Dan tahun ini adalah tahunnya Rose berjuang lebih keras. Apa ia harus menundanya?
Drrrt drrt..
Steave merogoh kantung celananya untuk meraih ponsel yang singgah di sana. Membuka pesan yang baru saja masuk. "Jweseong haeyo. Saya harus kembali sekarang, ada rekaman hari ini" .
Bibi Park mengindahkannya, lalu memandangi punggung steave hingga ia benar-benar keluar dari ruangan. Rose menarik satu nafas panjang.
"Bagaimana Dokter Rose?" Tanya Bibi Park meminta kepastian.
@ddablue_
"Untuk itu saya akan pikirkan lagi dan perlu juga untuk dibicarakan oleh dokter pembimbing proposal saya. Lagipula untuk pasca operasi ini, Tuan Chan masih harus menetap disini." Ada bimbang dalam benak Rose. Disisi lain ia ingin menghabiskan waktunya di rumah sakit ini demi fokus menyelesaikan ujian terakhirnya."Aku kebetulan mengenal Direktur Kang dengan baik. Aku juga sempat berbicara dengannya. Tenang saja. Pasti akan ada keringanan. Kau juga sangat cerdas. Aku harap kau akan menerimanya, karena Chan butuh bimbingan ekstra untuk mental dan kesehatannya dan hanya Chan satu-satunya penerus perusahaan, aku tidak mau perusahaan mendiang ayahnya jatuh pada tangan orang lain. Aku yakin, kau bisa melakukannya." Tambah Bibi Park banyak menaruh harapan, mengingat banyak kerabat yang menginginkan LEYO Studio.Namun Rose masih butuh waktu untuk memikirkan itu. Menjadi seorang dokter pribadi? Sepertinya sangat sulit untuk Rose, meskipun akan ada keringangan dan kemudahan.Terlebih jika ia ha
"Chan-ah, Bibi disini, Nak." Bibi Park berucap seraya berkedip yang menjatuhkan bulir air matanya. Chan menggeleng kencang, entah apalagi yang ada di dalam benaknya. Dengan segala kekacauan yang tengah melandanya, ia melepas infus yang bersarang di punggung tangannya dengan sangat kasar. Bibi Park menejrit histeris seraya memegangi dadanya yang sangat pengap dan terus berusaha menarik nafas sekuat tenaga meski terasa berat. Rose dan residen juniornya yang baru saja membuka pintu ruangan tersebut terperanjat menyaksikan Bibi Park yang begitu lemah, sontak keduanya menghampiri wanita itu yang ditemukan kejang-kejang tersungkur di lantai. Dokter residen muda itu menyandarkan tubuh Bibi Park ke bahunya, sementara Rose menghubungi dokter spesialis paru-paru untuk segera datang ke ruangan tersebut. Tapi Chan tidak peduli dengan keadaan bibinya yang memiliki penyakit astma itu. Sekarang ia justru menurunkan kakinya untuk beranjak dari ranjangnya. Bahkan ia memaksa kakinya yang belum bisa
"A-apa Ailin yang dimaksud adalah kekasih Tuan Chan?" Selidik Rose dengan kemungkinan lain."Dia lebih dari kekasih. Chan bisa menganggapnya sebagai ibu ataupun kakak." Bibi Park menghembuskan napasnya perlahan sebelum melanjutkan kalimatnya lagi."Mereka sudah saling mengenal sejak Chan duduk di bangku SMA. Tepatnya Ailin satu tahun lebih tua darinya. Sampai pada Ailin yang masuk menjadi trainer musisi di LEYO Studio. Tepat di hari debutnya, tiga bulan lalu, dia menghilang. Semua bagai cambuk bagi Chan."Rose mendengus kencang. "Aku yakin itu sangat berat bagi Tuan Chan" Ia bisa membayangkan betapa rapuhnya pria tersebut. Sebab, Rose juga memiliki sosok yang sama berartinya seperti posisi Ailin pada Chan."Untuk membuatnya lupa tentang masa lalu.. itu diluar kuasaku. Tapi aku akan berusaha untuk membuatnya lebih baik." Sambung Rose lebih bersemangat. Karena memang itu tujuannya menjadi seorang dokter. Menyelamatkan orang-orang dari penyakitnya.Ada lega dari air muka bibi park yang te
Rose sempat memejamkan matanya sebelum cairan bening tersebut melucur dengan liar. Tapi semua itu jauh dari usahanya. Air mata mengalir dengan sangat cepat melintasi pipinya.Di saat lagu telah berakhir, keduanya melepas jemari dari tuts piano. Tapi Chan mengulangi lagi lirik terakhir lagu tersebut tanpa dentingan piano. Hanya ada suara bass yang mampu menyayat hati Rose.Pria itu benar-benar membuat suasana menjadi sangat sendu dengan kemampuan bernyanyi dan bermusiknya.Mata Chan terbelalak saat menemukan ada air yang menetes dari pelupuk mata Rose, "Kau menangis?""Ah.. benarkah?" Rose buru-buru menyeka air matanya, "Mungkin aku terlalu menghayati."Rose berusaha keras agar Chan tidak menanyainya lebih jauh seputar masa lalunya. Jika ia mengetahui apa yang tersembunyi, pasti Chan akan menggila dan merasa bersalah. Lalu, akan semakin sakit.Rose tidak ingin membuat orang lain menyalahkan dirinya sendiri. Karena itu adalah tipikal seorang Park Chan."Permainanmu sangat indah, Noona."
Chan memandangi danau buatan yang ada di pinggir taman rumah sakit tersebut. Angin yang berhembus terasa begitu sejuk. Air yang tenang dengan udara yang segar. Semua ini menjadi pemandangan yang ia cari selama ini. Selama hidupnya, ia tak pernah merasakan makna dari ketenangan yang sesungguhnya.Sejak kecil, ia telah menggeluti dunia hiburan sebagai artis dan model cilik. Semakin bertambah usia, semakin meraup kepopuleran yang luar biasa.Terlebih saat ia berkarir sebagai penyanyi dan musisi. Meskipun saat ini, ia tidak lagi aktif dalam dunia hiburan, bukan berarti ia harus berhenti dari sorotan media.Justru sekarang namanya jauh melambung dengan menggandeng selebriti ternama korea selatan sebagai pemegang saham terbesar dalam bidang entertainment. Rasanya, tak ada kesempatan untuk bisa duduk tenang menikmati hidupnya.Apa iya hidupnya akan secepat itu? Bahkan Chan belum sempat memaknai apa itu kehidupan. Rasanya seperti sebuah mimpi. Terbangun dalam keadaan sakit dengan penyakit yang
"Apa?! D-dokter Pribadi untuk Park Chan?!" Rose cukup tersentak mendengar penuturan Dokter Gyeon. "T-tapi.. kenapa harus saya? Saya masih harus menyelesaikan tahun terakhir masa residensi ini dengan baik." "Bagaimana dengan dokter lain?" Rose masih terus mencari kemungkinan lain. "Dokter lain siapa? Sejak awal yang ikut menangani Park Chan adalah Aku dan Kau. Juga ada beberapa dokter ortopedi yang membantu menangani patah tulang setelah operasi." Dokter Gyeon berusaha menjelaskan, "Dan penyakit yang diderita Park Chan baru ketahuan setelah kejadian nahas itu." "Hanya kita yang menangani Glioblastomanya sejak awal." tambahnya lagi, "Kau tau kan, banyak pasien lain yang menungguku? Aku tidak bisa merangkap sebagai dokter pribadi yang setidaknya harus fokus pada satu pasien." Rose mendengus bertenaga, "Saya ini masih residen! Lalu, apa saya harus menunda ujian proposal saya?" "Kita sudah bahas ini. Direktur, juga aku sebagai pembimbingmu... habiskanlah masa residenmu dengan mearwat P
Bibi Park sudah bisa kembali beraktifitas. Sesekali ia menghubungi Steave yang berkutat menggeluti perusahaan seorang diri. Namun, rupanya LEYO Studio masih tetap eksis dengan para artisnya yang semakin menguasai dunia hiburan Korea Selatan meski tanpa kepemimpinan CEO Chan.Semua staf memahami itu. Kini Steave tengah mempersiapkan lomba festival musik.Bibi Park melangkah menuju ruang rawat Chan. Membuka pintu dan mendapati keponakannya yang tengah melamun menatap dinding-dinding putih ruangannya."Chan." panggil Bibi Park sambil menarik satu kursi di samping keponakannya itu, lalu terduduk disana."Bibi? Apa kau baik-baik saja. Bagiamana dengan Bibi? Aku mengkhawatirkanmu." balas Chan yang telah terbangun dari lamunannya sambil berusaha untuk duduk."Tidak apa-apa." Bibi Park menahan pergerakan Chan agar ia tidak perlu bangkit, "Aku hanya kelelahan.""Maafkan Aku." kata Chan lirih. "Aku membuatmu kacau."Bibi Park merekahkan senyumnya. Mengusap kepala keponakannya itu lembut, "Sangat
Mendadak seluruh sendi dalam tubuh Rose melemah kehilangan fungsi mereka. Jantungnya juga berdetak tak karuan. Bibirnya bergetar dengan tatapan yang tak menentu dunianya serasa hancur berkeping-keping mendengar tiap kalimat yang disematkan adik kandung Min-Joon ini."Bagaimana bisa aku tidak hadir di upacara pemakamannya? Bagaimana bisa aku tidak berada disampingnya di detik terakhir? Bagaimana bisa Min-Joon pergi meninggalkanku?" Rose bertanya-tanya pada dirinya sendiri dengan suara yang terasa begitu berat untuk didengar.Perlahan Min-Jae berusaha menenangkan Rose dengan mengusap punggung tangannya lembut, "Tenanglah, Noona. Kau punya alasan untuk itu.""Hari rabu, jenazah Min-Joon Hyung baru tiba dari Urk, lalu keluarga segera melangsungkan upacara itu. Mereka mengabariku untuk menjemputmu sekalian karena aku sedang ada pelatihan di Daegu." Min-Jae membasahi bibir bawahnya sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya lagi."Tapi ketika aku datang kesini, kau sedang ada operasi, Noona. Itu
Penerbangan menuju Osaka tinggal setengah jam lagi. Rombongan medis dari Rumah Sakit Wooridul sedang berkumpul bersama untuk segera mengemas barang setelah hampir satu jam boarding. Rose membuka-buka tas-nya. Ia mencari ponselnya tapi tidak ada. Seketika rose mengutuk dirinya sendiri."Ya! Kau kenapa, sih?" tanya Hyo-Joo yang mersa terganggu dengan keributan yang dibuat kawannya."Aissh! Ponselku tertinggal," rengek Rose."Ya! Sepenting apa ponselmu? Kau punya banyak uang, kan? Beli lagi saja nanti," balas Hyo-Joo seadanya."Memangnya aku ke Osaka untuk belanja? Lagipula aku harus menghubungi Chan!""Bukannya kau akan bercerai, kenapa masih menghubunginya?" Hyo-Joo mengerutkan keningnya"Tentu saja aku harus menghubunginya untuk menayakan kabar setelah si caplang itu mengumpulkan dokumen ke pengadilan!" tegas Rose.Hyo-Joo berkacak pinggang sembari mendecak. "Ya sudah, semoga saja lancar. Kau bisa menggunakan ponselku dulu, jika kau butuh."Bukannya ingin mengelak, tapi rose tidak men
Dengan tangan bergetar dan mata yang memandang datar, Chan mengusap pintu etalase yang didalamnya terdapat sebuah guci penyimpanan abu. Pun tertera jelas beberapa foto disana.R.I.P. Bae Ailin.Alih-alih menangis, Chan justru tidak bisa beraksi apapun saat melihat orang yang dicintai dan dicarinya selama ini telah berubah menjadi abu. Mungkin jika Chan mengetahui kematian Ailin sejak dulu, ia akan menjerit, memaki dirinya sendiri serta menyalahkan keadaan dan segala tingkah konyol lainnya. Sekarang, Chan sudah merelakannya pergi sejak Rose ada dihidupnya. Meski sesekali teringat Ailin dari wajah Han Na-Na yang sangat menyerupainya."Maafkan aku, Ailin. Aku belum bisa menjagamu. Kenapa kau tidak pernah mengatakan padaku jika kau sakit?"Chan sempat memutar memorinya saat di bangku kuliah. Saat itulah, ia mulai sering melihat Ailin muntah-muntah hampir di setiap jam. Tapi, Chan selalu mengikuti ucapan Ailin agar tidak usah menghiraukannya dan menganggap hal tersebut hanyalah akibat dari
Suasana kantor LEYO Studio begitu ramai. Banyak aparat kepolisian yang datang. Para karyawan juga sibuk berlalu lalang. Bagian dalam kantor tersebut juga terlihat sangat berantakan. Park Chan sudah menduga jika mimpinya menjadi kenyataan, meski sebagian. Semalam benar-benar terjadi perampokan. Anehnya, perampok tersebut tidak mengincar alat elektronik, melainkan berkas-berkas berharga dari perusahaan besar tersebut."Oh, Chan?!" Steave berbalik saat mendengar suara sepatu yang menghentak di belakangnya."Apa ada yang mencuri buku besar?" tanya Chan memastikan."Iya. Semalam Na-Na datang kemari dan melihat ada rombongan penyusup datang. Dia menelpon polisi, tapi pelaku masih belum tertangkap. Bahkan kamera pengawas juga tidak beroperasi," tutur Steave. "Kurasa mereka mengendalikannya.""Mimpiku benar-benar nyata," ceplos Chan asal."Apa??" Kening Steave mengerut."Aku memimpikan ini. Tapi pelakunya satu orang." Chan berkacak pinggang sembari menerka banyak hal dan detik selanjutnya men
Selepas pulang dari rumah sakit untuk mencari keberadaan sang istri, Chan sedang menikmati malam terburuknya tanpa Rose di sebuah kedai. Kembali pada soju. Minuman yang sebenarnya sudah tak lama ia nikmati selagi dalam pengawasan Rose demi menunjang kesehatan.Namun kali ini ia tak bisa melewatkannya. Puncak frustrasinya sudah diambang batas. Ia butuh sesuatu untuk setidaknya menenangkan pikirannya. Pun kedai yang disambangi hanya dipenuhi oleh pria-pria tua yang kemungkinan tidak mengenalnya."Rose... Noona." Chan terus memanggil-manggil nama sang istri di bawah angin malam sungai Han. "Ji-Hyun Noona... kenapa kau meninggalkanku tanpa sepatah kata? Aku tau aku jahat.""Tapi, setidaknya berikan aku kesemp..." Chan menggeleng bersama pikriannya yang sudah melayang. "Tidak! Kau bahkan sudah memberikanku banyak kesempatan yang bodohnya selalu kulewati.""Aku tidak tau!" Chan merengek. "Kenapa Han Na-Na membuatku melihat Ailin? Tapi aku tidak ingin melakukan apapun. Aku tidak ingin mencint
Chan memasuki ruangan dokter Ko Tae-Song tanpa permisi, membuat pria berambut silver itu terkejut akan kedatangannya."Apa kau tau dimana istriku?" Chan bertanya seraya mengatur tempo napasnya yang berantakan "Tidak... Maksudku, Dokter Rose. Kekasihku.""Ah... Dokter Rose sudah mengakhiri kontrak kerjanya dengan kami sejak sore tadi."Chan tercenung. Matanya membulat. Ia seolah berada di atmosfer yang berbeda. Semakin lemas mendengar kalimat Dokter Ko."Tidak mungkin!" Chan menggeleng.Dokter Ko lantas mengeluarkan surat pengunduran diri Rose dari Rumah Sakit Haesung-Seoul yang telah disetujui sore tadi. Dokter Rose sudah mengurus semua ini sejak seminggu yang lalu. Tapi kami baru menyutujuinya.Chan membaca seluruh surat yang Rose buat dengan seksama. Di detik selanjutnya, Chan berteriak frustasi. Sepertinya Rose benar-benar ingin bercerai dengannya dan kembali ke Daegu. Dada pria itu tampak naik turun penuh dengan emosi yang ingin meledak. Tidak pada tempatnya.^^^Na-Na mengambil be
Namun ada satu keganjalan di hatinya. Chan buru-buru meminta para staf dan karyawan dari seluruh divisi berkumpul di aula besar tanpa ada yang absen satu orangpun. Hal seperti ini menimbulkan banyak tanya bagi mereka. Jika Chan mengumpulkan seluruhnya, maka akan ada hal yang sangat penting. Brukk! Chan melempar beberapa majalah ke lantai. Menimbulkan suara yang menggema ke seluruh sudut ruangan. Semua penghuni aula terperanjat dengan situasi horor macam ini. Seketika kesunyian begitu terasa. Benar saja, jika Chan murka, maka ia akan lebih seram dari hantu valak. "Kalian sudah melihat berita tentangku?" tanya Chan dengan napasnya yang masih tersengal-sengal akibat menahan emosi. "Ini pencemaran nama baik! Ini tidak benar!" Ia memekik. Wajahnya sangat menyeramkan. "Aku bahkan tidak memiliki hubungan apapun dengan Han Na-Na! Aku tidak akan pernah marah dengan segala pemberitaan buruk tentangku. Tapi jika berita tersebut membawa dampak buruk untuk Rose, maka aku tidak akan diam saja!!!
"Apa kau mengingatku, Park Chan-ssi?" tanya Hyo-Joo memastikan. Ketiganya telah berada di ruangan chan. Duduk saling berhadapan satu sama lain.Chan seperti mengingat sesuatu. "Entahlah. Sepertinya aku pernah melihatmu dengan Rose Noona saat di Daegu.""Ingatanmu bagus juga." Hyo-Joo tersenyum tipis. "Aku teman dekat Rose.""Apa kita perlu berkenalan lagi, Tuan Chan?" Giliran Min-Jae angkat bicara."Uhmm... Kau Yook Min Jae?" Chan memastikan lagi."Aku adalah pria yang kau hajar waktu itu. Tapi aku berbaik hati untuk tidak melaporkanmu karena ternyata kau punya hubungan yang spesial dengan Ji-Hyun Noona," terang Min-Jae samar-samar. Sempat membuat kening Chan berkerut. Apalagi saat mendengar pemuda itu memanggil istrinya dengan nama aslinya. " Sayangnya kita belum berkenalan dengan benar. Kau hanya tau namaku saja, tapi kau belum tau siapa aku sebenarnya." Min-Jae semakin membuat Chan penasaran."Ya! Tujuan kalian datang kesini untuk apa? Sebenarnya aku juga tidak punya banyak waktu un
Suasana di Poli Onkologi salah satu rumah sakit elit di Seoul itu begitu ramainya. Pasien tengah mengantre untuk rawat jalan maupun konslutasi pada dokter di bidangnya. Salah satu dokter yang memiliki cukup pasien hari itu adalah dr. Seo Ji-Hyun.Dua orang telah keluar dari ruangannya bersamaan dengan seorang perawat yang kemudian memeriksa data pasien antrean selanjutnya."Ok, selanjutnya nomor pedaftar...."Belum sempat menamatkan kalimatnya, seorang berbalut jaket hoodie hitam itu hendak memasuki ruangan praktik Dokter Seo Ji-Hyun atau yang lebih dikenal sebagai Dokte Rose."Oh?! Tuan?!" perawat perempuan tersebut menahan pergerakannya. "Anda siapa? Saya bahkan belum menyebutkan nomor pendaftarannya!"Sosok dalam balutan topi yang sedang menyembunyikan wajahnya itu hanya melirik sinis dengan tatapan tajam, lalu menghempaskan tangan perempuan tersebut dan menerobos masuk. Namun, perawat itu terus berusaha menahan pergerakan sosok misterius itu yang pada akhirnya berhasil membuka pin
Chan tampak segar. Ia selalu berpenampilan santai jika pergi ke kantor. Berkaos putih tipis dibalut kemeja denim tebal diluarnya. Langkahnya terhenti saat mendapati keramaian di sudut dapur. Chan mengerutkan keningya, melihat rose tengah membantu nara menyiapkan sarapan pagi seraya bercengkrama. Menebarkan senyumnya dengan mudah, seolah tidak ada hal apapun yang terjadi padanya."Oh, Chan?!" sorak Rose riang sambil membawakannya makanan. Menarik satu kursi untuk pria yang sedang mengamati pergerakannya. "Makanlah, kau perlu banyak energi. Kau sibuk, kan?"Chan mematung sambil memikirkan beberapa asumsi. Ia semakin dibuat pening oleh sang istri. Semalam, ia melihat perempuan itu hancur sejadi-jadinya seperti tidak ada waktu lagi untuk hidup. Pagi ini, Rose justru terlihat berbinar."Kenapa?" Rose menemukan Chan yang masih saja berdiri. Keningnya pria itu berkerut. "Tugasku menjadi istrimu selesai hari ini, kan?" Pertanyaan itu terucap begitu saja melalui bibirnya.Detik itu juga, jantu