“Gue nggak ngelarang kalo lo mau ngedarin tuh barang, tapi jangan sampe nyeret anak-anak lain dalam masalah. Apalagi tadi, tindakan lo udah keterlaluan!” Semua menundukkan kepalanya kecuali Ali, lelaki itu terlihat menggeretakan giginya menahan kesal.
“Gue lebih senior dari lo Shen, sama aja lo ngehina gue kalo begini!” berang Ali.
“Gue ketua di sini, dan lo kalo masih mau masuk jadi anggota harus nurut kata gue! Dan kalian semua sama kalau buat masalah dan nyeret anak lainnya yang gak bersalah berurusan langsung sama gue.” Tatapan Shena terasa dingin dan membunuh.
Kalah telak, peringatan Shena tidak main-main. Jika Shena sudah mengeluarkan aura dingin mematikan seperti ini dia tidak akan segan menghabisi bahkan membunuh siapapun yang membuat masalah padanya. Ali diam dia tidak mungkin bisa mengalahkan Shena terlebih lagi pendukung Shena dalam geng ini lebih banyak. Ali memilih pergi tanpa sepatah katapun meninggalkan teman-temannya di sana.
“Sial, gara-gara Shena gue kehilangan tuh cewek,” geram Ali marah sembari meninju kuat dinding di sampingnya. Selesai mereka berbicara di markas bersama Shena, Ali langsung bergegas kembali ke bar tadi untuk menemui Laura yang berani mencari masalah dengannya. Sayangnya Ali tidak dapat menemui keberadaan gadis itu, Ali terlambat dia kehilangan jejak.
“Awas aja kalo lo muncul di hadapan gue lagi cewek sialan, gue pastiin lo bakal menyesal cari masalah sama gue,” gumamnya sebelum melangkah pergi dari sana.
***
Anasthusa Laura Banuska merapatkan jaket yang dia kenakan, dia berdiri di depan jalan besar tak jauh dari rumahnya. Ketika dia menunggu angkot datang, sebuah motor besar berhenti tepat di hadapannya.
“Morning neng Naura, butuh tumpangan?” sapa Abi, ketika telah melepas helm full facenya.
Laura tersenyum kecil mendengar dia dipanggil Naura, sudah setahun ini gadis itu menggunakan nama kembarannya dan memutuskan untuk menjalankan kehidupan sebagai Naura di lingkungan sekolah agar saudaranya itu tetap tercatat telah mengenyam pendidikan di SMA Nirwana. Sebagai penebusan dosa pada Naura, gadis itu memalsukan identitas dan tidak diketahui oleh siapapun termasuk kedua orang tuanya, ini murni keinginan Laura sendiri.
Tentu saja walaupun kembar Laura dan Naura sangatlah berbeda, Naura menampilkan kesan feminism, anggun, halus, pintar dan penurut sedangkan Laura cenderung berantakan sering mengupat, tomboy dan lebih suka menggunakan celana robek-robek dibandingkan rok menampilkan kesan galak dan pemberontak serta sebuah tahi lalat yang begitu mencolok di dekat bibirnya menjadi satu pembeda diantara keduanya, sehingga setiap hari Laura harus memakai conclear untuk menutupi tahi lalatnya.
“Loh Abi, kok bisa lewat sini?” Tatapan aneh Laura layangkan pada Abi, ini tidak wajar dia bisa bertemu dengan Abi di sini karena arah rumahnya dan lelaki itu tentu saja rutenya sangat berbeda dan jauh.
“Sengaja, biar bisa bareng lo,” guraunya dengan riang. Laura tersipu malu, kalau laki-laki lain yang menggombalinya mungkin gadis itu akan memancarkan tatapan permusuhan tetapi Abi berbeda. Dari mereka kelas sepuluh hanya Abi yang tidak pernah menyerah mendekatinya dan Laura suka dengan cara lelaki itu memperlakukannya sebaik mungkin, tidak bisa dipungkiri Laura telah menjatuhkan hatinya kepada Abimanyu pancasheno.
“Yuk, jangan lama-lama tuh diliatin sama abang angkot belakang,” lanjut Abi cepat, lelaki itu sudah turun dari motornya dan mengambil helm cadangan di belakang. Dengan senang hati Laura menerima helm itu, lalu naik ke motor di bantu oleh Abi. Setelahnya Abi melajukan motornya dengan kecepatan ringan, sengaja biar bisa berlama-lama dengan sang gadis pujaan hatinya.
“Hari ini lo kerja lagi?” tanya Abi sedikit berteriak agar Laura bisa mendengar suaranya dengan jelas.
“Iya, kenapa? Mau mampir lagi?”
“Selesai latihan basket gue mampir,” teriak Abi lagi, dia melihat di kaca spion Laura mengangguk. Lalu lelaki itu tersenyum dan mulai menaikan kecepatan motornya agar mereka berdua tidak telat.
Selain pekerjaan rahasianya sebagai pelayan bar malam, ingat ya RAHASIA karena di sana Laura menggunakan identitas aslinya dan Laura harus menampilkan kesan wanita dewasa jika mau bekerja di sana agar tidak ketahuan bahwa dia masih siswi SMA, hanya di sana Laura bisa menjadi dirinya sendiri. Laura memiliki satu pekerjaan lain dimulai dari siang sepulang sekolah hingga sore di sebuah restaurant cepat saji. Dan hanya Abi dan Nala—sahabatnya yang tahu Laura bekerja di sana sebagai Naura.
“Makasih Bi, nih helmnya.” Laura memberikan helm itu kepada Abi ketika mereka sudah berada di area parkiran.
“Jangan sungkan, semangat ya belajarnya hari ini,” ucap Abi lalu mengacak pelan rambut panjang Laura. Gadis itu tersipu malu dan salah tingkah karena sikap manis Abi.
“Gue duluan Ra, mau ke ruang osis dulu.” Laura mengangguk, lalu Abi berlalu.
Abi menjabat sebagai wakil ketua osis, setiap pagi Abi yang memback up kegiatan osis dan akan bergantian dengan Angga sang ketua ketika siang. Alasannya karena Angga tidak bisa datang pagi, dia selalu terlambat untung saja Abi tidak keberatan dengan tugasnya.
Laura memutuskan berjalan ke kelasnya. Hari ini adalah hari senin, sebentar lagi bel sekolah berbunyi dan tandanya semua siswa harus berkumpul di lapangan untuk melakukan upacara bendera.
***
“Eyo, pagi Naura” sapa Nala ketika Laura memasuki kelas, walaupun Nala adalah sahabatnya. Laura tidak pernah menceritakan tentang kehidupannya pada Nala, dia belum yakin untuk mengungkap identitas sebenarnya pada orang lain suatu hari nanti beresiko akan menjadi boomerang bagi Laura sendiri.
“Tumben nggak telat,” ejek Laura dengan kekehan kecil, Nala mencebikkan bibirnya kesal.
“Lo tahu, Geri udah pulang ke rumah, pagi-pagi dia udah buat gue stress. Jadilah gue memutuskan dateng pagi biar migraine gue nggak bertambah parah,” keluh Nala panjang lebar.
“Sabar La.” Nala tersenyum paksa.
“Eh btw, selamat ya lo udah kepilih sebagai perwakilan sekolah olimpiade nasional. Gue bangga banget sama lo’” seru Nala kencang sembari memeluk erat Laura dan menggoyangkan tubuh mereka berdua.
“Hah emang udah ada pengumuman?” tanya Laura tak percaya, memang beberapa minggu lalu pak Adi—guru fisikanya memasukkan nama Anasthasa Naura Banuska sebagai calon kadidat siswa yang berhak mengikuti olimpiade nasional yang akan berlangsung dua bulan lagi. Dan Laura baru tahu hari ini jika namanya terpilih sebagai perwakilan sekolah.
“Yaampun Ra, nama lo udah terpampang di berita sekolah. Mangkanya rajin-rajin cek hp dong. Chat gue kemaren aja nggak dibales,” gerutu Nala, dia tidak menyangka jika sahabatnya itu melewatkan berita besar seperti ini.
“Maaf, gue ketiduran.” Bohong, itu hanya alasan Laura agar Nala tidak banyak bertanya.
“Kebiasaan deh, oh ya lo tebak siapa partner lo untuk olimpiade kali ini. Keren loh dia Shen….” Perkataan Nala terhenti ketika speaker sekolah berdenging, semua anak diam menunggu pengumuman apa yang akan disampaikan.
“Perhatian, Anasthusa Laura Banuska kelas XI IPA 1 segera ke kantor sekarang.” Panggilan di speaker sekolah menggema di kelas Laura. Setelah pamitan pada Nala, Laura berjalan perlahan menuju ke kantor guru. Langkahnya terhenti ketika mendengar suara aneh dari arah lorong laboratirum biologi, rasa penasarannya yang besar berhasil menghasut Laura untuk mendekati sumber suara yang mengganggu pendengarannya.
Gadis itu mengendap-endap kemudian mengintip dari jendela ke dalam ruang laboratorium biologi yang tertutup. Matanya membelalak lebar tak menyangka dengan apa yang baru saja dia lihat. Sepasang kekasih sedang bercumbu mesra di sana, mengalirkan rasa jijik tersendiri bagi Laura yang pertama kali melihat adegan itu dengan mata kepalanya sendiri.
“Loh kak Anya? Gila, gue kira dia polos.” Laura tampak sedikit terkejut melihat wajah Anya yang terlihat jelas. Laura kira Anya adalah kakak senior cantik, populer dan polos ternyata benar kata orang don’t judge a book by cover semua tampak di luar bukan 100% benar.
“Sayang kalo ada yang liat gimana?” rengek Anya karena Ali mulai membuka kancing seragamnya satu persatu.
“Ya kamu diem beb, di sini nggak ada siapa-siapa jadi aman.” Ali tidak memperdulikan keadaan sekitar, pikirannya hanya terfokus pada apa yang sedang dia lakukan pada pacarnya sekarang.
“Tutup mata, trus nikmatin aja sayang,” bisiknya menggoda sembari mengecup kembali bibir kenyal Anya.
Laura menyipitkan matanya melihat lebih seksama siapa pacar Anya yang berani melakukan hal mesum di sekolah, gadis itu terpaku sejenak menyadari siapa lelaki di dalam sana. Lelaki yang sama terlibat perkelahian dengannya tadi malam, Laura tidak tahu jika lelaki itu satu sekolah dengannya dan berpacaran dengan Anya—kakak tingkatnya kelas XII IPS 3.
“Mampus, jangan sampai gue ketemu sama dia.” Laura melangkah secepat yang dia bisa untuk pergi dari sana.
“Loh, Naura kenapa kamu lama sekali jalan ke sini?” tanya pak Adi heran, pasalnya Naura datang lebih lambat dari yang lain padahal namanya yang dipanggil lebih dulu. Naura memperlihatkan deretan gigi rapinya, lalu segera meminta maaf, dia beralasan ke toilet sebentar atas keterlambatannya. “Yasudah, berhubung semua peserta sudah berkumpul bapak ada beberapa pengumuman untuk kalian.” “Pertama-tama selamat kepada kalian yang terpilih, sejauh ini kalian pasti sudah tahu partner masing-masing dalam setiap mata pelajaran yang akan kalian ikuti dalam olimpiade. Dan bapak akan membuka kelas tambahan di setiap jam istirahat kedua hingga pelajaran terakhir selesai, kalian tidak di wajibkan ikut serta dalam pelajaran di kelas. Sebagai gantinya kalian akan diberikan tugas pengganti setiap minggunya, bagaimana apa ada yang merasa keberatan? Silahkan sampaikan pendapat kalian sekarang.” Pak Adi mengakhiri penjelasannya, lelaki berumur 45 tahun itu memandangi murid
To Nala: Nala, punya nomer Shena nggak? From Nala: Punya Sent contact Akashena Cie Naura udah mau chatingan aja sama Shena To Nala: Dih apaan sih Nala, nakal deh. Cuma mau jadwal belajar kok, dua hari ini dia nggak dateng terus di kelas tambahan. From Nala: Iya deh, semangat belajar ya To Nala: Iya. Laura menatap ponselnya dengan senyum, lalu jemarinya bergerak menyimpan nomer Shena dan menuliskan sebuah pesan. To Shena: Hi, gue Naura. Partner lo untuk olimpiade Jadwal belajar gue sampein di sini aja yah. Gue free sabtu sama minggu dari siang, terserah lo sih tinggal pilih mau hari apa kita belajarnya. Dan tempatnya gue ngikut aja sih di mana aja nggak masalah. Sorry kalo gue ganggu. “Bodo amat, males banget nyamperin dia ke kelas. Lagi tuh bocah gak ada pikiran apa yak, nih olimpiade bentar lagi masih aja keluyuran,” g
“Lo ikut gue.” Tanpa persetujuan Laura, Shena menarik paksa gadis itu agar mengikutinya menuju halaman belakang sekolah yang selalu sepi. Sepanjang perjalanan mereka menjadi pusat perhatian, banyak siswa yang berbisik dan mengambil gambar secara diam-diam demi mengabdikan moment langka itu. Sontak saja kejadian penarikan paksa Laura oleh Shena menjadi perbincangan hangat antar siswa pagi ini. Pasalnya semenjak nama mereka berdua dipasangkan menjadi partner untuk olimpiade saja sudah menghebohkan sekolah apalagi ini tumben sekali seorang Raden Akashena Kavi rela datang pagi-pagi hanya untuk menemui Laura di kelas. Jelas saja di grup sekolah telah gempar, dipenuhi dengan berita rumor dating antara Shena dan Laura menjadi tranding topik. “Sakit Shen. Lepas, gue bisa jalan sendiri nggak perlu lo tarik begini,” keluh Laura, namun tidak ada balasan dari Shena. “Shena.” Laura menghempaskan paksa tangannya hingga genggaman Shena terlepas, memar kemera
“Woi Shen, sinilah join.” teriakan Ali membuat Shena berserta Dido dan Adit melangkah mendekat. “Akhirnya lo dateng juga Shen, gini dong sering-sering nongkrong bareng kita,” seru Ali, kemudian memeluk Shena beserta Dido dan Adit secara bergantian. Dari geng mereka ketiganya yang paling susah di ajak untuk nongkrong di tempat ramai, walaupun begitu hubungan mereka tetap akur dan erat. “Ada acara apa nih bang? Tumben lo ngajak ke sini,” tanya Dido penasaran. “Biasalah party kita.” Ali mengeluarkan plastik kecil berisikan serbuk berwarna putih. Semua yang duduk di meja itu bersorak senang melihat barang yang ada di tangan Ali, kecuali Shena. Dia memutar matanya malas lalu beranjak dari kursi memilih pergi meninggalkan mereka. “Kalau gue liat lo berdua ikut-ikutan konsumsi barang itu habis lo berdua di tangan gue.” Peringatan tegas dari Shena membuat Adit dan Dido terdiam, tidak berani melanggar titah sang ketua mereka memilih untuk minum d