Haruskah? Wanita berkacamata hitam itu bergeming. Tatapannya tidak lepas dari Baskara. Rasa penasarann mengusik hatinya. Benarkah yang dikatakan oleh Merry? Sedingin itukah? "Aku akan mencoba menyapanya." Gadis bernama Merry yang duduk di atas kursi roda terkejut. "Apa katamu?" "Aku akan mencoba menyapanya," ulang wanita itu penuh percaya diri. Merry menggelengkan kepalanya. "Jangan salahkan aku jika dirimu ditolak mentah-mentah." Wanita berkacamata itu menyunggingkan senyum di sudut bibirnya. "Kita lihat saja nanti." "Terserah kamu saja, Cin." Merry memutarbalik kursi rodanya, berniat kembali ke kamarnya. Seperti sebuah kebetulan yang direncanakan, lorong yang dipilih Merry ternyata sama dengan yang dilewati Baskara. Wajah Cindy merekah bahagia, melihat sosok Baskara berjalan beberapa langkah di depan mereka. Wanita yang baru saja bercerai itu, dengan cepat mendorong kursi roda Merry hingga jarak mereka tinggal satu meter. Cindy berpikir keras mencari bahan obrolan yang bis
Memiliki Aku Seutuhnya Lily dan Juna mendadak diliputi kegugupan. Kamar itu seketika menjadi hening, tidak ada suara sama sekali dari keduanya. Jantung masing-masing berdegup tidak beraturan. Sama-sama merenungi pertanyaan yang selama ini mengganggu pikiran mereka. Lama terdiam, akhirnya Juna membuka suaranya. "Aku rasa jawabannya ada padamu. Dan untuk menjawab hal itu, kau harus segera bertemu dengan Baskara untuk menjelaskan semua hal ini padanya." Lily mengangkat kepalanya. Betul juga. Lily belum sempat bertemu dengan Baskara untuk menjelaskan statusnya saat ini. Ia perlu melakukan ini sesegera mungkin. Ia takut jika hal ini tidak diperjelas, maka perasaan Baskara kepadanya, begitu juga sebaliknya, akan sulit untuk dikendalikan dan tidak akan jelas bagaimana ke depannya. "Betul. Aku harus bertemu dengan Baskara lebih dulu sebelum menjawab pertanyaanmu tadi." Lily melihat ke arah jam tangannya. Hari belum begitu sore. Mungkin ini waktu yang tepat untuknya mendatangi Baskara, menj
Baskara duduk terpengkur menatap punggung Lily yang semakin menjauh darinya. Perkataan Lily terekam jelas dalam ingatannya. Ia tidak tahu dengan rasa yang sedang melandanya, antara kecewa, sedih dan merana. Juna akan memiliki Lily seutuhnya. Baskara memejamkan matanya, mencoba meralat kalimat yang diucapkan Lily beberapa menit yang lalu. Lidahnya berulang kali berdecak, menyayangkan dirinya yang harus menjadi pecundang saat ini. Mengapa takdir tidak berpihak padanya? Mengapa harus seperti ini jalan hidup yang harus ia lalui? Tepukan kecil di pundak kirinya membuat pria itu segera membuka matanya yang terpejam. "Apakah kamu sedang sibuk?" Sebuah pertanyaan yang singkat yang mampu membuat Baskara merasa kesal namun harus ia tendang jauh-jauh emosi yang tiba-tiba menyergap dirinya. "Tidak. Apakah kakek membutuhkan sesuatu?" Baskara menatap sekilas Pak Broto, lalu menatap lantai di bawahnya. "Bisa kamu membantu Kakek? Kakek ingin buah mangga di sana." Telunjuk kanan Pak Broto menun
Lily melepas kepergian Juna pagi itu. Entah perasaan apa yang menyelimutinya pagi itu. Kebersamaan mereka yang baru saja dimulai, harus dipisahkan karena urusan pekerjaan. Rasa bahagia atau sedih, Lily sendiri tidak tahu pasti. Yang ia tahu sekarang adalah bahwa dirinya sudah benar-benar menjadi istri Juna. Lily membereskan meja makan dibantu oleh para art rumah Pak Broto. Tiba-tiba ponselnya berdering, memaksa dirinya berlari kecil mengambil ponsel yang ia letakkan di ruang tamu. "Ada apa?" Lily melirik sekilas layar ponselnya sebelum menggeser tombol hijau di layar ponselnya. *Aku akan menjemputmu jam sepuluh nanti. Bersiaplah mulai dari sekarang. "Memangnya kita mau kemana?" *Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan padamu. "Baiklah. Aku akan bersiap-siap sekarang." Kini, Lily menjadi begitu patuh terhadap Juna. Ia cenderung menerima apa pun perlakuan dan perkataan Juna. Lily dengan cepat menggeleng-gelengkan kepalanya, mengusir bayangan Juna yang tiba-tiba sudah terbentuk di b
Suara ketukan terdengar, disusul dengan pintu yang terbuka perlahan. Sontak wajah Lily memerah. Ia langsung berdiri dari pangkuan Juna dan menjauhi Juna yang justru tersenyum lebar. "Kau membuatku malu," omel Lily, berjalan mendekati jendela besar di belakang Juna. "Apakah semua sudah siap?" Juna menerima sebuah amplop dari asistennya. "Sudah. Semua sudah siap semua, Pak." Dibukanya amplop putih itu, melihat isinya. Ia kembali meletakkan amplop itu di meja, kemudian melirik jam tangannya. Masih ada waktu dua jam sebelum mereka berangkat ke bandara. "Lily..."panggil Juna dengan suara begitu lembut, seakan takut akan membuat kaget wanitanya itu. Dipanggil sedemikian lembut oleh Juna, membuat Lily tetap saja terkejut. Ia belum pernah dipanggil selembut itu, kecuali oleh Baskara. Ditatapnya Juna yang saat ini sedang menatap lembut dirinya. 'Tsk. Aku benci kalau ditatap seperti ini. Mengapa dirinya bisa tahu jika aku tidak sanggup menerima tatapan seperti itu? Tatapan yang membuatku
Lily menarik koper kecilnya yang berwarna merah marun dengan tangan kanannya. Pikirannya masih dipenuhi dengan peristiwa yang baru saja terjadi dalam mimpinya. Ia menerka-nerka arti mimpi itu sendiri. Perasaannya menjadi tidak tenang. Apakah akan terjadi sesuatu pada seseorang yang hadir dalam mimpinya barusan? Asisten Juna mendadak berdiri di depan Lily. "Maaf, Bu. Biar saya saja yang membawa kopernya." "Tidak perlu. Aku masih kuat untuk menariknya sendiri," sahut Lily dingin. Entah mengapa dirinya justru merasa galau. Mimpi itu terus membuat dirinya berpikir keras, akankah sesuatu terjadi pada salah satu dari mereka? Juna menyusul Lily dari belakang, memberi kode kepada asistennya untuk berjalan di belakang mereka. "Lily..." Panggil Juna dengan suara yang tidak biasa. "Ada apa?" Lily sibuk membetulkan tas selempang mungilnya, tanpa menatap ke arah Juna. "Ehmmm, Maaf. Andaikata rencana kita untuk berbulan madu diundur minggu depan, apakah kau akan keberatan?" Juna tidak berani
"Ada... Siapa?" Lily bergeming di tempatnya berdiri. Perasaannya mulai berkecamuk. Akhirnya, ia bisa bertemu dengan Juna, suaminya. Akhirnya ia bisa melihat suaminya setelah hampir enam jam ia tidak bertemu pria itu sejak mereka berpisah di bandara. Apa yang sedang mereka lakukan? Makan malam berdua? Hanya Juna dan wanita itu? Hati Lily menciut. Pikirnya sudah tidak lagi mampu membayangkan hal yang tidak-tidak. Gumpalan air mata mulai terbentuk di kedua sudut matanya. "Ada Pak Juna di restoran ini." Iwan merasakan perubahan yang terjadi atas istri atasannya itu. Ia merasa bersalah. Seharusnya ia tidak mengatakan kebenaran yang ia lihat barusan. Melihat wanita di depannya terdiam, Iwan langsung berinisiatif untuk mencari restoran lain. 'Lebih baik kita mencari restoran lain , ya Bu"? "Tidak perlu. Kita makan di sini saja. Lily berusaha meredam gejolak dalam hatinya. Lebih baik begini. Mungkin ia akan mendapat jawaban dari keraguan sesaatnya. Lily melangkah masuk ke restoran diikut
Juna melangkah begitu cepat, tanpa diikuti Iwan di belakangnya. Sekretarisnya itu duduk menunggu di lobi hotel. Persoalan yang dihadapi atasannya sekarang bukan termasuk pekerjaannya. Ia mencari tempat aman agar tidak terkena dampak dari keributan mereka. Keributan? Akankah Juna akan ribut dengan Lily? Ponselnya tidak beralih dari telinganya. Juna terus saja menghubungi Lily, meski panggilan yang ia buat diabaikan oleh wanita itu. Langkah yang dibuat Juna lebih lebar dari sebelumnya. Ia seperti berpacu dengan waktu, seakan sebuah bom akan segera meledak di kamar yang ditempati Lily. Tangan kanannya mengeluarkan kartu akses cadangan yang ia dapat dari petugas hotel. Jika Lily tidak juga mengangkat telpon darinya, maka ia akan memaksa masuk ke kamar itu dengan kartu akses cadangan itu. Enam kali adalah batas maksimal dirinya mencoba menghubungi Lily. Juna memasukkan kartu akses cadangan yang diberikan petugas hotel padanya. Ia berusaha sepelan mungkin membuka pintu kamar, seperti seor
Suara itu begitu mengejutkan Juna dan Baskara. Mereka sama sekali tidak mengira sosok yang sedang mereka bicarakan, tiba-tiba muncul di tengah-tengah mereka. "Lily...!" seru kakak beradik itu bersamaan, menatap wanita muda yang menggendong seorang bayi mungil. "Kebetulan sekali kita bertemu di sini." Lily tersenyum sangat manis. Sangat bertolak belakang dengan apa yang ia rasakan saat ini. Juna terngaga. Apakah ini semua rencana Tuhan? Mendatangkan Lily ditengah-tengah mereka yang sedang bersiteru tentang dirinya? "Lily! Kamu mau kemana?" Baskara segera bangkit dari duduknya. Ia lantas menghampiri Lily. Rasa sayang terlihat jelas dari sikap dan tutur kata Baskara, memaksa Juna kembali merasa bersalah. "Tidak kemana-mana." Lily masih tersenyum. Namun, perubahan di kedua manik cokelatnya, segera diketahui Baskara. Mata yang mulai berair itu, membuat Baskara secara tidak sadar menarik Lily ke dalam dekapannya. Ia thu jika wanita itu sedang berpura-pura tegar. "Aku tidak apa-apa,
Juna bergeming, kembali menatap langit biru yang membentang bersih tanpa sedikit pun awan. Ia mengabaikan pertanyaan Baskara, yang menuntut penjelasan lebih atas pernyataan yang baru saja ia ucapkan. Bukan hal yang mudah bagi seorang Juna, untuk mengambil keputusan itu. Ia sudah menimbang jauh hari sebelumnya. Ya. Sebelum ia dan Lily, pada akhirnya menyepakati untuk melakukan gencatan senjata, membuat kesepakatan untuk menjalankan peran mereka masing-masing, sebagai pasangan suami-istri, selama satu tahun. Dan kini, sudah tiba waktunya untuk mereka berdua, duduk bersama kembali, membicarakan hubungan mereka untuk ke depan. Membayangkan perpisahannya dengan Lily, dan juga Arka, membuat Juna tersiksa. Tidak pernah ia merasakan kebimbangan yang sangat seperti sekarang ini. "Aku sudah berjanji, akan menceraikannya setelah satu tahun pernikahan kami." Sontak Baskara mengangkat kepalanya. Ia tidak mengira jika Juna masih mengingat hal itu. "Kak?" Juna menganggukkan kepalanya dengan t
Tangan kiri Juna bergerak sebentar lalu kembali diam. Ia mendengar beberapa orang sedang berbicara di dekatnya tapi ia tidak bisa memahami apa yang mereka bicarakan. Pria itu sibuk mencari-cari sumber cahaya. Ia tidak bisa melihat apa pun di sekitarnya. Gerakan ini tanpa ia sadari, membuat kepalanya secara otomatis bergerak ke kanan dan ke kiri. Sayangnya, di ruangan itu sedang tidak ada seorang pun. Gelap. Juna tidak bisa melihat apa-apa. Ia mencoba mengangkat tangan kanannya, tapi mengapa terasa begitu berat. Digantinya dengan tangan kiri. Berhasil. Tangannya terangkat sempurna, tapi ia tidak bisa meraih apa pun. Dikerjapkannya berulang kali, namun kedua matanya tetap tidak bisa melihat apa pun. 'Apa yang terjadi?' batin Juna mulai panik. 'Buta. Apakah aku sekarang buta?' Kini, Juna menjadi benar-benar panik. Tiba-tiba perutnya terasa begitu lapar. Ia ingin memakan sesuatu. Apa saja yang bisa mengganjal perutnya sekarang ini. Bayangan semur daging melayang-layang di benakn
Baskara tenggelam dalam tumpukan map-map yang nyaris menutupi dirinya. Ia tidak punya banyak waktu untuk menyelesaikan semua dokumen-dokumen itu. Tiga jam berlalu sejak kedatangannya ke ruangan Juna. Karena kondisi Juna, maka ia terpaksa mengambil alih semua pekerjaan sang kakak,untuk sementara waktu. Untung saja ia pernah memimpin anak cabang perusahaan itu, jadi ia tidak perlu belajar terlalu lama untuk melanjutkan pekerjaan yang sudah dikerjakan Juna sebelumnya. Ketukan yang sebenarnya tidak terlalu keras, membuyarkan konsentrasi Baskara. Ia nyaris terjungkal dari kursinya. Begitu wajah asisten Juna muncul dari balik pintu, Baskara sontak saja melayangkan satu pensil dan nyaris mengenai pelipis pria muda itu. "Aisssh, Kau ini! Tidak tahukah jika aku sedang sangat serius dengan pekerjaanku..." Tatapan kesal mengiringi langkah sang asisten. Ditutupnya dengan kasar, berkas yang berada di hadapannya "Maafkan saya, Pak. Tapi, ada telpon dari rumah sakit mengabarkan..." Belum juga kali
Lily bergeming. Ia tidak lagi berani membalas tatapan Baskara. Ia merasa seperti seorang pencuri yang tertangkap basah oleh pemilik rumah. Otaknya dipaksa berputar, mencari alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan Baskara yang dirasa menyudutkan dirinya. "Ak-Akuu... Aku hanya... Yaaah, hanya... Kebetulan...Ya, aku hanya kebetulan berada di sini..." Entah apa yang dipikirkan Lily. Jawabannya justru memicing pertanyaan lanjutan Baskara. "Kamu di sini sendiri?" Tanpa bisa dicegahnya, kepala Lily dengan pasrah mengangguk. "Sendiri? Lalu di mana Arka? Kamu meninggalkannya sendirian?" Suara Baskara tanpa sadar meninggi, membuat Lily sontak membulatkan matanya. "Suaramu!" seru Lily tertahan. Baskara segera menarik tangan Lily, membawa wanita muda itu keluar dari ruang serba putih itu. Lily meringis kesakitan. Baru kali ini, ia merasakan kemarahan Baskara. Apakah yang ia lakukan sangat salah? "Bas. Sssa-kiit," keluh Lily berusaha melepaskan cengkeraman Baskara di pergelangan tangann
Pak Yono berjalan cepat keluar dari kamarnya, meraih kontak mobil yang tergeletak di atas nakasnya. Langkahnya terkesan buru-buru, sambil berbicara dengan seseorang dengan ponselnya. "Baik, Mbak. Saya segera berangkat. Perlukah saya menghubungi Mas Baskara?" *Tidak perlu. Biar aku sendiri saja yang memberitahunya. "Baik. Saya berangkat ke sana sekarang." Mobil sedan hitam Juna meluncur mulus meninggalkan pekarangan luas milik Pak Broto. Lily menelpon Pak Yono untuk menjemputnya pulang, karena hari ini adalah hari terakhirnya dan bayi mungil Arka berada di rumah sakit. -0- Lily baru saja selesai membereskan semua barang bawaannya, tanpa bantuan siapa pun. Baskara masih menyelesaikan urusan administrasi persalinan dan perawatannya. Ia berjalan keluar, melihat apakah Pak Yono, orang kepercayaan Pak Broto sudah tiba di sini atau belum. Ia sangat membutuhkan Pak Yono saat ini. Ada sesuatu yang harus ia lakukan, sebelum dirinya dan bayi mungil Arka meninggalkan tempat ini. Lima bela
Baskara langsung berdiri dan kembali ke loket tempat pembayaran. Telpon dari Lily membuat dirinya melupakan sejenak tentang nama pasien yang mirip dengan Juna. Untungnya, antrian tidak lagi sebanyak tadi. Hanya tinggal dua orang. *Apakah begitu banyak yang mengantri hingga kau membutuhkan waktu begitu lama menyelesaikan pembayarannya, Bas? Suara Lily terdengar seperti seseorang yang sedang merajuk. "Antri, Sayang. Banyak orang yang sedang mengantri melakukan pembayaran di sini." Baskara berbohong. Ia sendiri sedang berjalan, kembali menuju loket pembayaran. *Bukankah hari masih pagi, mengapa orang-orang sudah mengantri? Baskara menghela nafas panjang. Beginikah perubahan seorang wanita yang baru saja melahirkan? Begitu cerewet, mengomentari semuanya dengan sangat detil? "Kamu tidak percaya padaku?" Baskara menjauhkan ponsel dari telinganya. Ia bersiap-siap dengan lengkingan suara Lily, tapi itu tidak terjadi. *Bukan begitu. Hanya saja, aku sudah bosan di sini. Pengen cepet-cepe
Juna duduk di sebuah kursi panjang berwarna putih, Ia menghisap sebuah cerutu yang anehnya, cerutu itu juga berwarna putih. Kepulan asap hanya terlihat bak garis tepi yang membentuk bulatan-bulatan tembus pandang, terbang hingga satu meter lalu menghilang tanpa jejak. Juna terus menghisap cerutu tanpa henti. Ia seakan sedang melepaskan semua beban yang ada di pundaknya. Pikiran Juna melanglang buana, entah kemana. Hanya saja, saat itu Juna sedang menghitung dalam hati usia pernikahannya dengan Lily. Jarinya mulai melambat kemudian berhenti berhitung. Ia menatap ke semua jari tangannya. Kurang satu bulan lagi, usia pernikahannya dengan Lily akan genap berusia satu tahun. "Sudah hampir satu tahun. Apakah aku sudah siap untuk melepasnya?" gumam Juna lirih. "Apa yang akan dilakukan Lily setelah perceraian ini? Akankah ia menikah dengan Baskara?" Juna kembali mengulang hitungannya dan tak lama kemudian dirinya berhenti . Berapa kalipun ia menghitung, ia akan berhenti di tempat yang sama
Juna berlari mengejar taksi yang baru saja berhenti di halaman depan bandara. Ia tidak menghiraukan hujan deras yang mengguyur kota Jakarta setibanya ia dari Singapura. Yang ada dalam benaknya hanyalah Lily dan kandungannya. Ia sangat ingin menemani istrinya melewati masa-masa kritisnya saat melahirkan buah cinta mereka. Saat ia berhasil mencapai pintu taksi, mendadak sebuah sedan hitam menghantamnya dari samping kanan, membuat Juna terlempar ke udara setinggi satu meter sebelum jatuh ke sebelah kiri, berjarak sepuluh meter dari tempatnya berhenti semula. Ia tidak merasakan apa-apa lagi. Yang ia ucapkan saat dirinya menyentuh tanah hanya satu kalimat. "Maafkan aku, Lily." Juna mendengar teriakan orang-orang di sekitarnya hingga kemudian kehilangan kesadarannya. Juna memimpikan Baskara dalam alam bawah sadarnya. Tiba-tiba ia sudah berada dalam satu bangku panjang dengan adiknya. "Apakah dia sudah tidur?" tanyanya pada Baskara yang baru saja menjatuhkan tubuhnya di kursi yang sama