Gugup Lily masih berdiam terpaku di tempatnya berdiri. Apa yang baru saja terjadi? Ia mengerjapkan matanya berkali-kali, tangannya terangkat memegang bibirnya yang masih terasa agak basah. Apa yang barusan dilakukan pria jahat pada dirinya tadi? Sedetik kemudian, Lily berteriak kesal. "Dasar pria egoisssss!!!!!!!!!!" teriaknya kencang. Ia tidak ambil pusing bila seisi rumah mendengar suara teriakannya. Lily berjalan cepat ke kamar mandi. Dibasuhnya bibir yang tadi disentuh Juna dengan gosokan punggung tangannya berkali-kali. Ia merasa jijik mengingat kejadian itu. Sial! Awas, kau! Akan kubalas perbuatanmu nanti! Sambil menatap bibirnya yang setengah membengkak di cermin kamar mandi. Lily berjalan keluar kamar, menuruni anak tangga satu persatu dan akhirnya sampailah ia di meja makan. Lily mengabaikan pandangan Juna yang sedari tadi tak lepas dari dirinya. Ia berjalan mengitari meja makan, lebih memilih
Lepaskanlah Lily merasa dirinya kaku. Tubuhnya sangat sulit untuk digerakkan. Matanya semakin ia pejamkan. Ia tidak ingin melihat Juna yang kini sudah memutar tubuhnya hingga mereka saling berhadapan. Juna terus menelisik setiap bagian wajah Lily. Tangannya pun ikut menjelajah, menyentuh alis, hidung, pipi dan terakhir jatuh pada bibir mungil Lily. Juna memejamkan matanya. Ia masih mengingat rasa yang ia dapatkan dari ciuman paksanya tadi pada Lily. Ia lantas kembali membuka matanya, mulai mendekatkan wajahnya ke wajah Lily, sambil fokus menatap bibir Lily. "Kau adalah milikku. Selamanya milikku. Semua yang ada pada dirimu adalah milikku." Juna mendaratkan bibirnya di bibir Lily yang sejak tadi dikatupkan Lily dengan kencang. Kecupan Juna begitu kuat memaksa Lily melonggarkan katupan pada bibirnya, hingga akhirnya Juna berhasil menyeruak masuk ke dalam mulutnya. Lily berusaha untuk tidak terbawa p
Pergi Menghindar Lily terbangun dari tidurnya. Hari sudah menjelang tengah malam. Ia melihat nanar sekelilingnya. Tiba-tiba emosinya kembali naik ketika bayangan Juna terlintas di benaknya. Ia bangkit. Dengan gerakan cepat, ia mulai mengambil koper yang ada di atas lemari, dan mulai memindahkan pakaiannya dari lemari ke dalam koper miliknya. Ia harus pergi meninggalkan tempat ini secepatnya. Ia tidak ingin bertemu Juna. Entah untuk berapa lama. Andai bisa, selamanya ia tidak ingin lagi bertemu pria itu. Lily mencuci mukanya bergegas berganti pakaian lalu meraih jaketnya yang tergantung di balik pintu kamar. Ia mengangkat kopernya, berjalan perlahan keluar kamar, berusaha sebisa mungkin tidak membuat suara. Keadaan rumah yang memang sudah sepi karena jam sudah menunjukkan jam 10 malam, berhasil membawa Lily pergi dari rumah itu. Lily kini berdiri tidak jauh dari rumah Pak Broto, menunggu taksi online yang baru saja ia pes
Dimana Lily Juna membuka matanya, masih terbaring di sofa ruang kerjanya. Suara ribut di luar memaksanya bangkit dari tidurnya. Belum sempat dirinya melangkah suara mama Amalia menyapa telinganya bersamaan dengan pintu kamar yang terbuka. "Juna! Dimana Lily?" Ekpresi khawatir tercetak jelas di wajahnya. Juna masih berusaha mengumpulkan konsentrasinya. Dimana Lily? Bukannya gadis itu di kamarnya? Ia diam memikirkan jawabannya. Dirinya masih berusaha menangkap maksud pertanyaan sang mama. "Apa maksud Mama?" Juna menghampiri Amalia, namun wanita yang sudah melahirkannya itu mendengus kesal dan membalikkan badannya keluar dari kamar Juna. "Ma! Ada apa sebenarnya? Juna tidak tahu ?" tanya Juna setengah berteriak. "Lily pergi! Sudah jelas??!" jawab Amalia dengan nada ketus meninggalkan Juna yang terkejut. Lily pergi? Pergi kemana? Juna melangkah cepat menuju kamarnya yang kini terbuka le
Bayangan Lily "Maaf, Mbak. Kalau saya boleh tahu, nama mbak siapa, untuk laporan kantor Mbak. Kalau tidak ada nama penerima, bisa-bisa saya dituduh menjual ke orang lain." Pria itu membuat Lily terhenyak dari lamunannya. "Oh, iya. Saya harus tanda tangan di mana?" tanya Lily kepada pemuda itu. "Cukup panggil saya Kevin, Mbak, dan Mbak silakan tanda tangan di sini dan menuliskan nama terang Mbaknya di sini." Kevin menunjukkan tempat kosong untuk ditanda tangani Lily, dan menyerahkan bolpen kepada Lily. Lily menerima bolpen dari Kevin dan mulai menuliskan nama dan membubuhkan tandatangannya. Kevin segera menyobek lembar kertas berwarna pink dan ia serahkan pada Lily. "Terimakasih, Mbak. Mungkin besok saya akan datang lagi." Pamit Kevin pada Lily sambil tersenyum manis meninggalkan Lily kembali seorang diri di apartemen mewah itu. Lily menganggukkan kepala dan kembali menutup pintu apar
Aku Lelah "Lily!!!" Baskara memanggil sosok yang ia duga sebagai gadis yang sedang ia cari. Namun, sosok gadis yang ia panggil terus saja melangkah, menghiraukan panggilan Baskara yang jelas-jelas kalah dengan suara musik yang menggema di pusat perbelanjaan itu. Baskara yang memiliki tinggi badan sekitar 170 sentimeter, kembali mengedarkan pandangannya, karena gadis yang ia incar kembali menghilang. Ayolah, Lily. Berhentilah sejenak supaya aku bisa menemukanmu, gumam Baskara. Entah sebuah kebetulan atau memang doa Baskara sangat manjur, sosok gadis yang ia cari kembali terlihat, kini gadis itu berada hanya beberapa langkah darinya dan sedang asyik memilih roti yang ada di etalase sebuah bakery. Baskara melangkah pelan, takut jika gadis yang disangkanya Lily itu akan kabur lagi dari pandangannya. Baskara mengamati tubuh gadis yang hanya berada beberapa jengkal di hadapannya. Finally i find you, batin Baska
Aku Sudah Gila Lily menganggukkan kepalanya, menjawab pertanyaan Baskara. "Kau akan bercerai dengannya, dan kau akan berpisah dengannya. Itu artinya, kau tidak akan lagi tinggal di rumah itu. Apakah kau paham itu?" Baskara sekali lagi mengajukan pertanyaan pada gadis di hadapannya. Lily kembali menganggukkan kepalanya. "Lalu bagaimana denganku? Aku tidak bisa melihatmu lagi, kita tidak bisa bertemu lagi,"tanya Baskara, menatap Lily sendu. Lily mengangkat wajahnya, memandang wajah Baskara dengan pandangan seribu makna. Ia sendiri tidak tahu harus bagaimana. Baskara menarik nafas panjang. Ia tidak tahu harus berkata apa, tidak tahu harus bersikap seperti apa. Dipandanginya wajah cantik Lily yang polos, tanpa make up sedikit pun. Kelopak mata Lily tampak sedikit bengkak, kentara jika gadis itu sudah menangis semalaman. Apa yang harus aku lakukan, tanya Baskara dalam hatinya, melempar pandangannya ke langit luas. Lily menghapus airmata yang tersisa di sudut kelopak matanya. Ia berde
Apa yang kakek inginkan? "Bagaimana? Apakah ia bersedia mengikuti mu?" tanya Pak Broto, setelah menggeser tombol hijau di ponselnya yang tadi berdering. "Bujuklah dia. Katakan padanya, ada sesuatu yang ingin Kakek sampaikan padanya." Pak Broto menatap layar ponselnya yang kini sudah kembali gelap. Aku harus mencari solusi terbaik untuk Lily. Jika Juna dan Lily langsung bercerai, ini tidak akan baik bagi keduanya, tapi jika tetap bersama, mereka akan semakin saling menyakiti, pikirnya Pak Broto dalam diamnya sambil terus menatap Juna yang masih terduduk di dekat anak tangga. Pria tua itu lantas pergi, meninggalkan Juna yang sedang sibuk menghapus airmatanya, mmenunggu kedatangan Lily dan Baskara di kamarnya. -0- Mobil Baskara keluar dari area parkir apartemen milik Qonita. Ia hanya diam seribu bahasa. Tidak ingin menambah keruh suasana, setelah apa yang ia lakukan pada Lily sebelum
Suara itu begitu mengejutkan Juna dan Baskara. Mereka sama sekali tidak mengira sosok yang sedang mereka bicarakan, tiba-tiba muncul di tengah-tengah mereka. "Lily...!" seru kakak beradik itu bersamaan, menatap wanita muda yang menggendong seorang bayi mungil. "Kebetulan sekali kita bertemu di sini." Lily tersenyum sangat manis. Sangat bertolak belakang dengan apa yang ia rasakan saat ini. Juna terngaga. Apakah ini semua rencana Tuhan? Mendatangkan Lily ditengah-tengah mereka yang sedang bersiteru tentang dirinya? "Lily! Kamu mau kemana?" Baskara segera bangkit dari duduknya. Ia lantas menghampiri Lily. Rasa sayang terlihat jelas dari sikap dan tutur kata Baskara, memaksa Juna kembali merasa bersalah. "Tidak kemana-mana." Lily masih tersenyum. Namun, perubahan di kedua manik cokelatnya, segera diketahui Baskara. Mata yang mulai berair itu, membuat Baskara secara tidak sadar menarik Lily ke dalam dekapannya. Ia thu jika wanita itu sedang berpura-pura tegar. "Aku tidak apa-apa,
Juna bergeming, kembali menatap langit biru yang membentang bersih tanpa sedikit pun awan. Ia mengabaikan pertanyaan Baskara, yang menuntut penjelasan lebih atas pernyataan yang baru saja ia ucapkan. Bukan hal yang mudah bagi seorang Juna, untuk mengambil keputusan itu. Ia sudah menimbang jauh hari sebelumnya. Ya. Sebelum ia dan Lily, pada akhirnya menyepakati untuk melakukan gencatan senjata, membuat kesepakatan untuk menjalankan peran mereka masing-masing, sebagai pasangan suami-istri, selama satu tahun. Dan kini, sudah tiba waktunya untuk mereka berdua, duduk bersama kembali, membicarakan hubungan mereka untuk ke depan. Membayangkan perpisahannya dengan Lily, dan juga Arka, membuat Juna tersiksa. Tidak pernah ia merasakan kebimbangan yang sangat seperti sekarang ini. "Aku sudah berjanji, akan menceraikannya setelah satu tahun pernikahan kami." Sontak Baskara mengangkat kepalanya. Ia tidak mengira jika Juna masih mengingat hal itu. "Kak?" Juna menganggukkan kepalanya dengan t
Tangan kiri Juna bergerak sebentar lalu kembali diam. Ia mendengar beberapa orang sedang berbicara di dekatnya tapi ia tidak bisa memahami apa yang mereka bicarakan. Pria itu sibuk mencari-cari sumber cahaya. Ia tidak bisa melihat apa pun di sekitarnya. Gerakan ini tanpa ia sadari, membuat kepalanya secara otomatis bergerak ke kanan dan ke kiri. Sayangnya, di ruangan itu sedang tidak ada seorang pun. Gelap. Juna tidak bisa melihat apa-apa. Ia mencoba mengangkat tangan kanannya, tapi mengapa terasa begitu berat. Digantinya dengan tangan kiri. Berhasil. Tangannya terangkat sempurna, tapi ia tidak bisa meraih apa pun. Dikerjapkannya berulang kali, namun kedua matanya tetap tidak bisa melihat apa pun. 'Apa yang terjadi?' batin Juna mulai panik. 'Buta. Apakah aku sekarang buta?' Kini, Juna menjadi benar-benar panik. Tiba-tiba perutnya terasa begitu lapar. Ia ingin memakan sesuatu. Apa saja yang bisa mengganjal perutnya sekarang ini. Bayangan semur daging melayang-layang di benakn
Baskara tenggelam dalam tumpukan map-map yang nyaris menutupi dirinya. Ia tidak punya banyak waktu untuk menyelesaikan semua dokumen-dokumen itu. Tiga jam berlalu sejak kedatangannya ke ruangan Juna. Karena kondisi Juna, maka ia terpaksa mengambil alih semua pekerjaan sang kakak,untuk sementara waktu. Untung saja ia pernah memimpin anak cabang perusahaan itu, jadi ia tidak perlu belajar terlalu lama untuk melanjutkan pekerjaan yang sudah dikerjakan Juna sebelumnya. Ketukan yang sebenarnya tidak terlalu keras, membuyarkan konsentrasi Baskara. Ia nyaris terjungkal dari kursinya. Begitu wajah asisten Juna muncul dari balik pintu, Baskara sontak saja melayangkan satu pensil dan nyaris mengenai pelipis pria muda itu. "Aisssh, Kau ini! Tidak tahukah jika aku sedang sangat serius dengan pekerjaanku..." Tatapan kesal mengiringi langkah sang asisten. Ditutupnya dengan kasar, berkas yang berada di hadapannya "Maafkan saya, Pak. Tapi, ada telpon dari rumah sakit mengabarkan..." Belum juga kali
Lily bergeming. Ia tidak lagi berani membalas tatapan Baskara. Ia merasa seperti seorang pencuri yang tertangkap basah oleh pemilik rumah. Otaknya dipaksa berputar, mencari alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan Baskara yang dirasa menyudutkan dirinya. "Ak-Akuu... Aku hanya... Yaaah, hanya... Kebetulan...Ya, aku hanya kebetulan berada di sini..." Entah apa yang dipikirkan Lily. Jawabannya justru memicing pertanyaan lanjutan Baskara. "Kamu di sini sendiri?" Tanpa bisa dicegahnya, kepala Lily dengan pasrah mengangguk. "Sendiri? Lalu di mana Arka? Kamu meninggalkannya sendirian?" Suara Baskara tanpa sadar meninggi, membuat Lily sontak membulatkan matanya. "Suaramu!" seru Lily tertahan. Baskara segera menarik tangan Lily, membawa wanita muda itu keluar dari ruang serba putih itu. Lily meringis kesakitan. Baru kali ini, ia merasakan kemarahan Baskara. Apakah yang ia lakukan sangat salah? "Bas. Sssa-kiit," keluh Lily berusaha melepaskan cengkeraman Baskara di pergelangan tangann
Pak Yono berjalan cepat keluar dari kamarnya, meraih kontak mobil yang tergeletak di atas nakasnya. Langkahnya terkesan buru-buru, sambil berbicara dengan seseorang dengan ponselnya. "Baik, Mbak. Saya segera berangkat. Perlukah saya menghubungi Mas Baskara?" *Tidak perlu. Biar aku sendiri saja yang memberitahunya. "Baik. Saya berangkat ke sana sekarang." Mobil sedan hitam Juna meluncur mulus meninggalkan pekarangan luas milik Pak Broto. Lily menelpon Pak Yono untuk menjemputnya pulang, karena hari ini adalah hari terakhirnya dan bayi mungil Arka berada di rumah sakit. -0- Lily baru saja selesai membereskan semua barang bawaannya, tanpa bantuan siapa pun. Baskara masih menyelesaikan urusan administrasi persalinan dan perawatannya. Ia berjalan keluar, melihat apakah Pak Yono, orang kepercayaan Pak Broto sudah tiba di sini atau belum. Ia sangat membutuhkan Pak Yono saat ini. Ada sesuatu yang harus ia lakukan, sebelum dirinya dan bayi mungil Arka meninggalkan tempat ini. Lima bela
Baskara langsung berdiri dan kembali ke loket tempat pembayaran. Telpon dari Lily membuat dirinya melupakan sejenak tentang nama pasien yang mirip dengan Juna. Untungnya, antrian tidak lagi sebanyak tadi. Hanya tinggal dua orang. *Apakah begitu banyak yang mengantri hingga kau membutuhkan waktu begitu lama menyelesaikan pembayarannya, Bas? Suara Lily terdengar seperti seseorang yang sedang merajuk. "Antri, Sayang. Banyak orang yang sedang mengantri melakukan pembayaran di sini." Baskara berbohong. Ia sendiri sedang berjalan, kembali menuju loket pembayaran. *Bukankah hari masih pagi, mengapa orang-orang sudah mengantri? Baskara menghela nafas panjang. Beginikah perubahan seorang wanita yang baru saja melahirkan? Begitu cerewet, mengomentari semuanya dengan sangat detil? "Kamu tidak percaya padaku?" Baskara menjauhkan ponsel dari telinganya. Ia bersiap-siap dengan lengkingan suara Lily, tapi itu tidak terjadi. *Bukan begitu. Hanya saja, aku sudah bosan di sini. Pengen cepet-cepe
Juna duduk di sebuah kursi panjang berwarna putih, Ia menghisap sebuah cerutu yang anehnya, cerutu itu juga berwarna putih. Kepulan asap hanya terlihat bak garis tepi yang membentuk bulatan-bulatan tembus pandang, terbang hingga satu meter lalu menghilang tanpa jejak. Juna terus menghisap cerutu tanpa henti. Ia seakan sedang melepaskan semua beban yang ada di pundaknya. Pikiran Juna melanglang buana, entah kemana. Hanya saja, saat itu Juna sedang menghitung dalam hati usia pernikahannya dengan Lily. Jarinya mulai melambat kemudian berhenti berhitung. Ia menatap ke semua jari tangannya. Kurang satu bulan lagi, usia pernikahannya dengan Lily akan genap berusia satu tahun. "Sudah hampir satu tahun. Apakah aku sudah siap untuk melepasnya?" gumam Juna lirih. "Apa yang akan dilakukan Lily setelah perceraian ini? Akankah ia menikah dengan Baskara?" Juna kembali mengulang hitungannya dan tak lama kemudian dirinya berhenti . Berapa kalipun ia menghitung, ia akan berhenti di tempat yang sama
Juna berlari mengejar taksi yang baru saja berhenti di halaman depan bandara. Ia tidak menghiraukan hujan deras yang mengguyur kota Jakarta setibanya ia dari Singapura. Yang ada dalam benaknya hanyalah Lily dan kandungannya. Ia sangat ingin menemani istrinya melewati masa-masa kritisnya saat melahirkan buah cinta mereka. Saat ia berhasil mencapai pintu taksi, mendadak sebuah sedan hitam menghantamnya dari samping kanan, membuat Juna terlempar ke udara setinggi satu meter sebelum jatuh ke sebelah kiri, berjarak sepuluh meter dari tempatnya berhenti semula. Ia tidak merasakan apa-apa lagi. Yang ia ucapkan saat dirinya menyentuh tanah hanya satu kalimat. "Maafkan aku, Lily." Juna mendengar teriakan orang-orang di sekitarnya hingga kemudian kehilangan kesadarannya. Juna memimpikan Baskara dalam alam bawah sadarnya. Tiba-tiba ia sudah berada dalam satu bangku panjang dengan adiknya. "Apakah dia sudah tidur?" tanyanya pada Baskara yang baru saja menjatuhkan tubuhnya di kursi yang sama