Apa yang kakek inginkan? "Bagaimana? Apakah ia bersedia mengikuti mu?" tanya Pak Broto, setelah menggeser tombol hijau di ponselnya yang tadi berdering. "Bujuklah dia. Katakan padanya, ada sesuatu yang ingin Kakek sampaikan padanya." Pak Broto menatap layar ponselnya yang kini sudah kembali gelap. Aku harus mencari solusi terbaik untuk Lily. Jika Juna dan Lily langsung bercerai, ini tidak akan baik bagi keduanya, tapi jika tetap bersama, mereka akan semakin saling menyakiti, pikirnya Pak Broto dalam diamnya sambil terus menatap Juna yang masih terduduk di dekat anak tangga. Pria tua itu lantas pergi, meninggalkan Juna yang sedang sibuk menghapus airmatanya, mmenunggu kedatangan Lily dan Baskara di kamarnya. -0- Mobil Baskara keluar dari area parkir apartemen milik Qonita. Ia hanya diam seribu bahasa. Tidak ingin menambah keruh suasana, setelah apa yang ia lakukan pada Lily sebelum
Terpaksa Menolak Pak Broto menghela nafasnya, lalu memandang cucu dan cucu mantunya secara bersamaan. "Kakek hanya berusaha agar masalah ini bisa diselesaikan dengan baik-baik, meski mungkin akan menyakiti kalian bertiga, dua antara kalian akan tersiksa atau bahkan kalian semua akan menderita. Setidaknya, ada usaha yang harus dicoba untuk menyelesaikan masalah ini." Lily terdiam, sedangkan Baskara memandang ke arah luar lewat jendela kamar yang terbuka. "Juna sudah kembali sejak dua jam yang lalu. Berusahalah untuk menahan emosi kalian. Bukannya Kakek membela kakakmu itu, tapi ia sendiri terlihat kecewa pada dirinya, menyesali apa yang sudah ia lakukan pada Lily. Jadi Ara, Kakek harap kamu bisa mengendalikan perasaan dan emosimu." Lily dan Baskara berjalan ke luar meninggalkan Pak Broto yang kini beristirahat di pembaringannya. "Kamar tamu ada di sebelah kamarku. Jika kau membutuhkan ap
Seperti Juna Juna baru sampai di rumah saat jarum jam di tangan kanannya menunjukkan pukul 10 tepat. Ia sengaja memilih untuk tidak ikut sholat tarawih di rumah, melainkan mampir di masjid yang ia lewati. Suasana rumah besar itu sudah sepi. Lampu-lampu di ruang utama sudah dimatikan kecuali lampu untuk taman dan teras rumah yang sengaja dibiarkan selalu menyala. Juna membawa mobilnya memasuki garasi, dan memarkirnya sedikit menjauh dari mobil Baskara. Ia lantas berjalan masuk, naik ke ruang kerjanya. Membersihkan badannya sebentar lalu mulai membuka laptopnya kembali, meneruskan pekerjaannya yang masih belum selesai. Suara ketukan jarinya di atas laptop mengalun memenuhi ruangan kerjanya. Juna benar-benar mempersiapkan dengan detil, materi yang akan ia bawa untuk bertemu kliennya esok. Jangan sampai usahanya tidak membawa hasil apa-apa. Bagaimana pun, biaya yang sudah dikeluarkan perusahaan sangatlah be
Tunggu Aku Lily tengah sibuk memotong ketupat di ruang makan, sedangkan kedua orang tuanya tengah menerima tamu. Ponselnya berdering, memaksa dirinya untuk berhenti sejenak dan bergegas mengambil benda pipih itu di kamarnya. "Assalammu'alaikum." Tidak ada suara yang terdengar di ujung sana. Sunyi. "Halo?" Masih sama. "Halo?" Lily masih bersabar menunggu. Terdengar desahan nafas di ujung sana. *Halo... Apa kabar? Deg. Detak jantung Lily seakan berhenti. Suara ini. Tenggorokannya terasa tercekat, tidak mampu menjawab sepatah kata pun. *Apakah masih di situ? Lily seketika gelagapan. Ia bingung hendak berkata apa. "Hmmm... Ma-Mmasih." Hening. Tidak ada satu pun yang bersuara. *Tolong maafkan aku. Banyak hal yang sudah kulakukan dan kuucapkan padamu, yang aku yakin, pasti sudah sangat menyakiti perasaanmu. Lily bergeming mendengarkan semua perkataan Juna. Entah mengapa, mendengar suara pria itu saja, sudah membuatnya lupa akan semua hal yang pernah Juna lakukan dan ucapkan
Berhutang Nyawa Juna turun dari taksi online yang mengantarnya dari bandara hingga ke depan rumah. Ia setengah berlari, menghindari rintik hujan yang mulai rapat. Tangan kanan melindungi kepalanya, dengan tas selempang yang diletakkan di atas kepalanya, sedangkan tangan kiri membawa koper berukuran sedang. Ia melihat sosok yang beberapa hari ini terus membayangi hidupnya, sedang berlari-lari sambil membawa baju-baju masuk ke dalam rumah, mencoba menyelamatkan baju-baju yang sudah kering itu dari guyuran hujan. Senyum tipis tersungging di sudut bibirnya, terus melangkah mendekat ke teras rumah. Juna segera melepas sepatuyang basah kuyup, dan meletakkan tas selempangnya di kursi teras berdampingan dengan koper berwarna biru navy. Ia pun melepas jaketnya yang juga basah kuyup terkena guyuran air hujan. Ingin sekalian melepas pakaiannya tapi urung, karena dirnya masih berada di
Malam Panas Juna terus mengamati wajah Pak Broto yang kini tampak sedang berpikir keras. Ia melihat ada keresahan di sana. Apakah pernikahannnya dengan Lily begitu berarti bagi laki-laki tua itu? Apakah ada suatu alasan tersendiri yang disimpan sang kakek? "Kakek?" Juna mencoba mencari tahu apa yang sedang dipikirkan laki-laki tua itu. Pak Broto melihat ke arah cucu laki-lakinya itu. "Tidak ada apa-apa. Hanya saja... Ada satu hal yang mengganggu pikiran Kakek. Sella. Mengapa gadis itu selalu saja datang kemari setiap dirinya menghabiskan liburan sekolah? Bukankah dirinya punya rumah sendiri?" Juna menghela nafas kasar. "Kakek tanyakan saja pada Mama. Juna sudah berulang kali mengingatkan mama. Juna dan Baskara juga sering mengigatkan gadis itu untuk tidak lagi datang kemari. Terlebih lagi, ada Lily di sini. Juna khawatir, Sella mempunyai tujuan buruk terhadap Lily." Pak Broto terkejut mendengar penuturan Juna. " Apakah ia sudah berani mengganggu Lily?" Juna menggelengkan kepala
Mari Bersandiwara Tenggorokan Lily seketika tercekat. Ia mulai merasa panas dingin, dan mulai mengutuki kebodohannya yang telah memancing hasrat terpendam Juna. Kali ini, ia mengaku salah. Salah besar! Suara serak Juna mengingatkannya pada malam itu. Ia lalu menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha mengusir bayangan buruk itu. Jika boleh jujur, bukannya Lily tidak merasakan debaran aneh saat itu. Kenyataan bahwa dirinya yang belum siap, dan merasa sangat terkejut mendapati sikap Juna yang tiba-tiba menjadi begitu intim terhadapnya, membuat dirinya bereaksi berlebih. Syok karena sikap Juna yang berubah drastis dari sebelumnya dan tidak pernah terbayang dalam benaknya, dan rasa trauma karena tindakan Juna yang menjadi kasar tidak seperti dalam bayangannyan, membuatnya histeris dan membenci pria itu. Juna yang melihat tubuh Lily bergetar, terkejut. Tubuh itu gemetar, sama dengan waktu itu. Akal sehatnya kembali menguasai dirinya. Ia mundur beberapa langkah, membuat jarak dengan Lily ya
Jangan Membuatku Bingung "Bersandiwara?" Juna mengulangi ucapan Lily. Gadis itu mengagguk cepat. "Apa kau keberatan?" Lily menatap lekat manik hitam Juna. "Hanya untuk satu tahun." Juna terdiam. Pikirannya kacau. Ia tidak bisa menangkap maksud usulan dari gadis yang duduk di seberangnya. Bersandiwara menjadi pasangan suami istri sesungguhnya? Ia terus mengulangi kalimat itu dan terus berusaha mencerna maksudnya. "Apa kau tidak apa-apa?" Juna memperhatikan wajah Lily yang masih menunggu jawabannya. Ia sedikit meragukan permintaan Lily. Tidakkah gadis itu menyimpan trauma terhadapnya? Mengapa justru mengusulkan hal yang tidak masuk akal seperti ini? "Tidak apa-apa." "Serius? Bukankah kau..." Juna tidak sampai hati untuk membuka kenangan malam itu. "Bantu aku untuk melupa
Suara itu begitu mengejutkan Juna dan Baskara. Mereka sama sekali tidak mengira sosok yang sedang mereka bicarakan, tiba-tiba muncul di tengah-tengah mereka. "Lily...!" seru kakak beradik itu bersamaan, menatap wanita muda yang menggendong seorang bayi mungil. "Kebetulan sekali kita bertemu di sini." Lily tersenyum sangat manis. Sangat bertolak belakang dengan apa yang ia rasakan saat ini. Juna terngaga. Apakah ini semua rencana Tuhan? Mendatangkan Lily ditengah-tengah mereka yang sedang bersiteru tentang dirinya? "Lily! Kamu mau kemana?" Baskara segera bangkit dari duduknya. Ia lantas menghampiri Lily. Rasa sayang terlihat jelas dari sikap dan tutur kata Baskara, memaksa Juna kembali merasa bersalah. "Tidak kemana-mana." Lily masih tersenyum. Namun, perubahan di kedua manik cokelatnya, segera diketahui Baskara. Mata yang mulai berair itu, membuat Baskara secara tidak sadar menarik Lily ke dalam dekapannya. Ia thu jika wanita itu sedang berpura-pura tegar. "Aku tidak apa-apa,
Juna bergeming, kembali menatap langit biru yang membentang bersih tanpa sedikit pun awan. Ia mengabaikan pertanyaan Baskara, yang menuntut penjelasan lebih atas pernyataan yang baru saja ia ucapkan. Bukan hal yang mudah bagi seorang Juna, untuk mengambil keputusan itu. Ia sudah menimbang jauh hari sebelumnya. Ya. Sebelum ia dan Lily, pada akhirnya menyepakati untuk melakukan gencatan senjata, membuat kesepakatan untuk menjalankan peran mereka masing-masing, sebagai pasangan suami-istri, selama satu tahun. Dan kini, sudah tiba waktunya untuk mereka berdua, duduk bersama kembali, membicarakan hubungan mereka untuk ke depan. Membayangkan perpisahannya dengan Lily, dan juga Arka, membuat Juna tersiksa. Tidak pernah ia merasakan kebimbangan yang sangat seperti sekarang ini. "Aku sudah berjanji, akan menceraikannya setelah satu tahun pernikahan kami." Sontak Baskara mengangkat kepalanya. Ia tidak mengira jika Juna masih mengingat hal itu. "Kak?" Juna menganggukkan kepalanya dengan t
Tangan kiri Juna bergerak sebentar lalu kembali diam. Ia mendengar beberapa orang sedang berbicara di dekatnya tapi ia tidak bisa memahami apa yang mereka bicarakan. Pria itu sibuk mencari-cari sumber cahaya. Ia tidak bisa melihat apa pun di sekitarnya. Gerakan ini tanpa ia sadari, membuat kepalanya secara otomatis bergerak ke kanan dan ke kiri. Sayangnya, di ruangan itu sedang tidak ada seorang pun. Gelap. Juna tidak bisa melihat apa-apa. Ia mencoba mengangkat tangan kanannya, tapi mengapa terasa begitu berat. Digantinya dengan tangan kiri. Berhasil. Tangannya terangkat sempurna, tapi ia tidak bisa meraih apa pun. Dikerjapkannya berulang kali, namun kedua matanya tetap tidak bisa melihat apa pun. 'Apa yang terjadi?' batin Juna mulai panik. 'Buta. Apakah aku sekarang buta?' Kini, Juna menjadi benar-benar panik. Tiba-tiba perutnya terasa begitu lapar. Ia ingin memakan sesuatu. Apa saja yang bisa mengganjal perutnya sekarang ini. Bayangan semur daging melayang-layang di benakn
Baskara tenggelam dalam tumpukan map-map yang nyaris menutupi dirinya. Ia tidak punya banyak waktu untuk menyelesaikan semua dokumen-dokumen itu. Tiga jam berlalu sejak kedatangannya ke ruangan Juna. Karena kondisi Juna, maka ia terpaksa mengambil alih semua pekerjaan sang kakak,untuk sementara waktu. Untung saja ia pernah memimpin anak cabang perusahaan itu, jadi ia tidak perlu belajar terlalu lama untuk melanjutkan pekerjaan yang sudah dikerjakan Juna sebelumnya. Ketukan yang sebenarnya tidak terlalu keras, membuyarkan konsentrasi Baskara. Ia nyaris terjungkal dari kursinya. Begitu wajah asisten Juna muncul dari balik pintu, Baskara sontak saja melayangkan satu pensil dan nyaris mengenai pelipis pria muda itu. "Aisssh, Kau ini! Tidak tahukah jika aku sedang sangat serius dengan pekerjaanku..." Tatapan kesal mengiringi langkah sang asisten. Ditutupnya dengan kasar, berkas yang berada di hadapannya "Maafkan saya, Pak. Tapi, ada telpon dari rumah sakit mengabarkan..." Belum juga kali
Lily bergeming. Ia tidak lagi berani membalas tatapan Baskara. Ia merasa seperti seorang pencuri yang tertangkap basah oleh pemilik rumah. Otaknya dipaksa berputar, mencari alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan Baskara yang dirasa menyudutkan dirinya. "Ak-Akuu... Aku hanya... Yaaah, hanya... Kebetulan...Ya, aku hanya kebetulan berada di sini..." Entah apa yang dipikirkan Lily. Jawabannya justru memicing pertanyaan lanjutan Baskara. "Kamu di sini sendiri?" Tanpa bisa dicegahnya, kepala Lily dengan pasrah mengangguk. "Sendiri? Lalu di mana Arka? Kamu meninggalkannya sendirian?" Suara Baskara tanpa sadar meninggi, membuat Lily sontak membulatkan matanya. "Suaramu!" seru Lily tertahan. Baskara segera menarik tangan Lily, membawa wanita muda itu keluar dari ruang serba putih itu. Lily meringis kesakitan. Baru kali ini, ia merasakan kemarahan Baskara. Apakah yang ia lakukan sangat salah? "Bas. Sssa-kiit," keluh Lily berusaha melepaskan cengkeraman Baskara di pergelangan tangann
Pak Yono berjalan cepat keluar dari kamarnya, meraih kontak mobil yang tergeletak di atas nakasnya. Langkahnya terkesan buru-buru, sambil berbicara dengan seseorang dengan ponselnya. "Baik, Mbak. Saya segera berangkat. Perlukah saya menghubungi Mas Baskara?" *Tidak perlu. Biar aku sendiri saja yang memberitahunya. "Baik. Saya berangkat ke sana sekarang." Mobil sedan hitam Juna meluncur mulus meninggalkan pekarangan luas milik Pak Broto. Lily menelpon Pak Yono untuk menjemputnya pulang, karena hari ini adalah hari terakhirnya dan bayi mungil Arka berada di rumah sakit. -0- Lily baru saja selesai membereskan semua barang bawaannya, tanpa bantuan siapa pun. Baskara masih menyelesaikan urusan administrasi persalinan dan perawatannya. Ia berjalan keluar, melihat apakah Pak Yono, orang kepercayaan Pak Broto sudah tiba di sini atau belum. Ia sangat membutuhkan Pak Yono saat ini. Ada sesuatu yang harus ia lakukan, sebelum dirinya dan bayi mungil Arka meninggalkan tempat ini. Lima bela
Baskara langsung berdiri dan kembali ke loket tempat pembayaran. Telpon dari Lily membuat dirinya melupakan sejenak tentang nama pasien yang mirip dengan Juna. Untungnya, antrian tidak lagi sebanyak tadi. Hanya tinggal dua orang. *Apakah begitu banyak yang mengantri hingga kau membutuhkan waktu begitu lama menyelesaikan pembayarannya, Bas? Suara Lily terdengar seperti seseorang yang sedang merajuk. "Antri, Sayang. Banyak orang yang sedang mengantri melakukan pembayaran di sini." Baskara berbohong. Ia sendiri sedang berjalan, kembali menuju loket pembayaran. *Bukankah hari masih pagi, mengapa orang-orang sudah mengantri? Baskara menghela nafas panjang. Beginikah perubahan seorang wanita yang baru saja melahirkan? Begitu cerewet, mengomentari semuanya dengan sangat detil? "Kamu tidak percaya padaku?" Baskara menjauhkan ponsel dari telinganya. Ia bersiap-siap dengan lengkingan suara Lily, tapi itu tidak terjadi. *Bukan begitu. Hanya saja, aku sudah bosan di sini. Pengen cepet-cepe
Juna duduk di sebuah kursi panjang berwarna putih, Ia menghisap sebuah cerutu yang anehnya, cerutu itu juga berwarna putih. Kepulan asap hanya terlihat bak garis tepi yang membentuk bulatan-bulatan tembus pandang, terbang hingga satu meter lalu menghilang tanpa jejak. Juna terus menghisap cerutu tanpa henti. Ia seakan sedang melepaskan semua beban yang ada di pundaknya. Pikiran Juna melanglang buana, entah kemana. Hanya saja, saat itu Juna sedang menghitung dalam hati usia pernikahannya dengan Lily. Jarinya mulai melambat kemudian berhenti berhitung. Ia menatap ke semua jari tangannya. Kurang satu bulan lagi, usia pernikahannya dengan Lily akan genap berusia satu tahun. "Sudah hampir satu tahun. Apakah aku sudah siap untuk melepasnya?" gumam Juna lirih. "Apa yang akan dilakukan Lily setelah perceraian ini? Akankah ia menikah dengan Baskara?" Juna kembali mengulang hitungannya dan tak lama kemudian dirinya berhenti . Berapa kalipun ia menghitung, ia akan berhenti di tempat yang sama
Juna berlari mengejar taksi yang baru saja berhenti di halaman depan bandara. Ia tidak menghiraukan hujan deras yang mengguyur kota Jakarta setibanya ia dari Singapura. Yang ada dalam benaknya hanyalah Lily dan kandungannya. Ia sangat ingin menemani istrinya melewati masa-masa kritisnya saat melahirkan buah cinta mereka. Saat ia berhasil mencapai pintu taksi, mendadak sebuah sedan hitam menghantamnya dari samping kanan, membuat Juna terlempar ke udara setinggi satu meter sebelum jatuh ke sebelah kiri, berjarak sepuluh meter dari tempatnya berhenti semula. Ia tidak merasakan apa-apa lagi. Yang ia ucapkan saat dirinya menyentuh tanah hanya satu kalimat. "Maafkan aku, Lily." Juna mendengar teriakan orang-orang di sekitarnya hingga kemudian kehilangan kesadarannya. Juna memimpikan Baskara dalam alam bawah sadarnya. Tiba-tiba ia sudah berada dalam satu bangku panjang dengan adiknya. "Apakah dia sudah tidur?" tanyanya pada Baskara yang baru saja menjatuhkan tubuhnya di kursi yang sama