Beberapa menit yang lalu. “Berapa hutangnya?” Annisa menoleh ke arah sumber suara dan menerka maksud pertanyaan yang baginya terdengar lancang itu. Namun, tak dia temukan apa-apa. Laki-laki itu seringkali terlalu misterius untuk dimengerti. “Kalau memang masalahnya hutang, seharusnya selesai setelah semuanya lunas, bukan?” tanya Ali kemudian pandangan mereka beradu sebelum sama-sama berpaling. Meski harus mempermalukan diri, Annisa menjawab apa adanya. Enam puluh lima juta boleh jadi sedikit bagi sebagian orang, tapi tidak bagi mereka. Sepetak tanah yang dimiliki Ayahnya telah dijadikan jaminan dan akan lunas andai dilepas. Tapi bagi Annisa itu harta satu-satunya. Jaminan mereka bisa hidup nyaman tanpa intimidasi siapa pun. “Akan kubayar,” sahut laki-laki itu akhirnya, memaksa perempuan di sampingnya menatap tajam yang kali ini disertai sorot tak percaya. Tentu Annisa bukan tidak mendengarnya. Kalimat itu terdengar cukup jelas di tengah sunyinya malam. “Jika itu bisa melepaskan
“Keluarlah, biar kubawakan.” Ali melepas dekapannya, lalu menyematkan helai rambut yang terlepas dari ikatan ke belakang telinga Nadya. Perempuan itu mengatur napas. Merapikan ikatan rambut yang sebenarnya sama sekali tak berubah sejak dia keluar tadi, kemudian melangkah keluar mendahului Ali yang menyunggingkan senyum melihat tingkah perempuan manja itu. Tiba di ruang tengah, Nadya mendengar isak tertahan dan samar bayangan tangan yang mengusap wajah. Menepikan rasa cemburu yang sempat tersemat, yang kemudian membuatnya malu ketika mengingatnya, Nadya menekan sakelar lampu, dan tampaklah wajah sembab berbalut pasmina cream di sofa. Annisa memaksakan senyum. “Maaf jadi merepotkan Mbak Nad.” Setelah melihat apa yang terjadi, Annisa tahu, Nadya terpaksa mengizinkannya menginap. Nadya membalas senyum. “Mbak dengar dari Mas Ali apa yang menimpa kamu. Sabar, ya,” ucapnya masih sambil berdiri menunggu Ali meletakkan tiga cangkir itu di meja. Kalimat itu dia ucapkan ramah seperti biasan
“Bayangkan jika Mas adalah suami dan istrimu bermain di belakang dengan cinta lamanya. Apa yang akan Mas lakukan? Apa Mas tidak terluka? Apa Mas rela berbagi wanita dengan laki-laki lain?” Annisa berpaling. Menghirup napas dalam sebelum kembali bicara. “Aku bukan bermaksud menggurui. Sedalam apa cinta kalian, aku pun tidak tahu. Hanya terlanjur menganggap kalian adalah keluarga maka aku takut sesuatu terjadi dan kalian terlambat menyadari kesalahan.” Ucapan Annisa tiba-tiba mendesak kesadaran Ali. Mengubah ruang gelap yang semula mengurung menjadi terang dalam pandangan. Ali terjaga. Sesak di dada seolah akan meledak, memaksanya seketika bangkit dari tidur. Ali mengusap wajah gusar. Sering kali ucapan sederhana pun menjadi sangat melukai saat hati begitu peka. Menoleh ke kanan, Nadya masih terlelap di sampingnya. Pandangannya berpaling pada jam di dinding kamar, waktu menunjukkan pukul dua pagi. Ali bangkit. Setelah membersihkan diri dan mengenakan lagi pakaiannya, laki-laki it
Nadya melangkah menuruni tangga saat terdengar bel rumahnya berbunyi. Bersamaan dengan itu, terdengar pula dering panjang dari telepon yang memang sudah di tangan. Itu Pramono. “Ya, Mas?” “Buka pintunya, Dek!” Kalimat Pramono serupa perintah bagi Nadya yang membuatnya menurut begitu saja. Di ruang tamu dia sempat mengikuti arah perginya Ali dan mendapati dia berbelok ke dapur, tempat di mana Annisa berada. ‘Ayolah, Nad, ini bukan saatnya cemburu.’ Nadya memejamkan mata demi meredam gejolak rasa yang tak tak pada tempatnya. Kemudian seperti tulang di tubuhnya lenyap, Nadya gemetar nyaris tak sanggup menopang langkah sendiri hanya dengan membayangkan kemungkinan yang akan terjadi. Bagaimana jika Pramono tahu? Bagaimana jika keributan di rumahnya? Memikirkan apa yang akan dia katakan pada suaminya nanti menimbulkan sensasi mual di lambung. Tiba di depan pintu, telepon terputus. Nadya menghirup napas dalam sebelum membukanya. Klak! Pintu terbuka. Wajah Pramono benar-benar muncul
“O—oh, waw, kenapa kalian nggak cerita?” Memandang Annisa dan Ali bergantian, Nadya kemudian menunduk setelah menanggapi sekedarnya. Seperti diingatkan pada niat awalnya mempertemukan mereka, niat yang juga diketahui oleh Pramono, Nadya merasa terjerembap pada lubang yang dia ciptakan sendiri. Membuat lukanya menyakiti bukan hanya tubuh tapi juga jiwa. Nadya mengusap kepala yang mendadak terasa pening. Di sebelahnya, Pramono dan Annisa masih sibuk membicarakan masa depan yang entah bagaimana mendadak menjadi topik menarik bagi mereka. Sementara di sudut lain, Ali menatap kuatir tanpa bisa berbuat apa-apa. Dia menebak, Nadya tak baik-baik saja sebab berita yang baru saja dia dengar. Nadya mulai menggigil. Mendadak udara terasa dingin baginya. Bukan hanya, oleh kabar yang baru saja dia dengar, tapi juga oleh pakaian tanpa lengan yang dikenakannya. Nadya memeluk diri sendiri. “Kenapa, Dek?” bisik Pramono saat akhirnya menyadari gelagat tak biasa Nadya. Dia menggenggam tangan sang ist
Pukul empat pagi, Nadya terjaga oleh suara gemercik air dari kamar mandi. Tak berselang lama seseorang keluar dengan aroma khasnya. Itu kali ke dua Pramono mandi sepagi ini. Nadya kemudian kembali memejamkan mata saat merasakan seseorang mendekat dan duduk di tepian ranjang. Lalu sebuah kecupan terasa hangat di pelipisnya yang tertutup helaian rambut. “Subuh, Dek.” Pramono mengusap lengan Nadya lalu melangkah keluar dengan pakaian koko lengkap dengan sarungnya setelah memastikan istrinya bangun. Setelah membersihkan diri, Nadya tetap menjalankan salat meski dia tahu Tuhan pasti telah murka oleh perbuatannya. Satu hal yang dia yakini, ada kewajiban yang tak bisa ditinggalkan sebejat apa dia telah berbuat—meski berakhir dengan pertanyaan menggantung, ‘Lalu apa esensi aku melakukan semua ini jika tetap tak mencegah perbuatan keji?’ Nadya menunduk ketika menyadari bahwa bukan aturannya yang salah, namun benaknya yang keliru. Dia tak berada di tempat saat peraduan dengan Allah berlangs
Mendengar pertanyaan itu, dua perempuan di dapur menoleh. Dari pintu hubung tampak Pramono berjalan mendekat. Seperti maling ketahuan, Nadya menunduk akibat dentaman keras di dadanya. Di seberang meja, Annisa mencoba mencari jawaban yang tepat agar apa yang keluar dari mulutnya tak menjadi masalah bagi rumah tangga orang lain. Namun, akhirnya kembali Pramono yang bicara. “Udah mateng, Dek? Mas laper banget.” Pertanyaan itu tak langsung dijawab, karena Nadya seperti tak mendengarnya. Dia masih menunduk menatap entah pada apa di meja, sampai Pramono mengulang pertanyaan disertai sebuah usapan di pucuk kepalanya. “Ya, Mas? Apa?” Pramono mengernyit. Dia menatap Nadya heran. Membuat perempuan itu sedikit gugup sebelum mengingat pertanyaan yang samar dia dengar dari suaminya. “S—sudah, Mas. Mau sekarang?” “Ya, Mas laper banget.” “Tapi, cuma ada tempe goreng sama sambal bawang. Nggak apa-apa? Nad nggak belanja kemarin karena nggak tahu Mas akan pulang.” Dari pintu yang sama Ali muncul
“Apa?” Nadya menatap Ali dan Annisa bergantian. Mendadak sensasi ngilu itu muncul kembali di sudut hati Nadya. Menampilkan tawa getir di wajah itu. “Oh, waw. Sudah serius rupanya kalian ya ... sampai Mbak pun nggak tahu.” Ekspresi Nadya berubah. Dia mengatakan itu dengan raut kesal yang tak ditutup-tutupi. Membuat gadis di seberang meja menunduk luruh. “Kalau cuma enam puluh lima juta, Mbak pun ada. Kenapa Ali? Apa Mbak bukan saudara kamu? Kenapa semudah itu menerima bantuan dari—“ Kalimat Nadya berhenti saat sebuah sentuhan hangat terasa di lengan kanannya. Dia menatap dua tangan yang bertumpu itu sebelum membuang muka jengah karena menyadari reaksinya berlebihan. “Dek, dia menerima bantuan dari calon suami, apa salahnya?” tanya Pramono menoleh ke arah Nadya. “Biarkanlah. Justru bagus kalau masalahnya cepat selesai, bukan?” Remasan pelan Nadya rasakan di jemarinya. Dari ujung mata, Ali yang sejak tadi hanya diam, melirik pada Annisa. Kasihan pada Annisa yang terpojok, dia memb