Hayoloh ... 😁
Nadya melangkah menuruni tangga saat terdengar bel rumahnya berbunyi. Bersamaan dengan itu, terdengar pula dering panjang dari telepon yang memang sudah di tangan. Itu Pramono. “Ya, Mas?” “Buka pintunya, Dek!” Kalimat Pramono serupa perintah bagi Nadya yang membuatnya menurut begitu saja. Di ruang tamu dia sempat mengikuti arah perginya Ali dan mendapati dia berbelok ke dapur, tempat di mana Annisa berada. ‘Ayolah, Nad, ini bukan saatnya cemburu.’ Nadya memejamkan mata demi meredam gejolak rasa yang tak tak pada tempatnya. Kemudian seperti tulang di tubuhnya lenyap, Nadya gemetar nyaris tak sanggup menopang langkah sendiri hanya dengan membayangkan kemungkinan yang akan terjadi. Bagaimana jika Pramono tahu? Bagaimana jika keributan di rumahnya? Memikirkan apa yang akan dia katakan pada suaminya nanti menimbulkan sensasi mual di lambung. Tiba di depan pintu, telepon terputus. Nadya menghirup napas dalam sebelum membukanya. Klak! Pintu terbuka. Wajah Pramono benar-benar muncul
“O—oh, waw, kenapa kalian nggak cerita?” Memandang Annisa dan Ali bergantian, Nadya kemudian menunduk setelah menanggapi sekedarnya. Seperti diingatkan pada niat awalnya mempertemukan mereka, niat yang juga diketahui oleh Pramono, Nadya merasa terjerembap pada lubang yang dia ciptakan sendiri. Membuat lukanya menyakiti bukan hanya tubuh tapi juga jiwa. Nadya mengusap kepala yang mendadak terasa pening. Di sebelahnya, Pramono dan Annisa masih sibuk membicarakan masa depan yang entah bagaimana mendadak menjadi topik menarik bagi mereka. Sementara di sudut lain, Ali menatap kuatir tanpa bisa berbuat apa-apa. Dia menebak, Nadya tak baik-baik saja sebab berita yang baru saja dia dengar. Nadya mulai menggigil. Mendadak udara terasa dingin baginya. Bukan hanya, oleh kabar yang baru saja dia dengar, tapi juga oleh pakaian tanpa lengan yang dikenakannya. Nadya memeluk diri sendiri. “Kenapa, Dek?” bisik Pramono saat akhirnya menyadari gelagat tak biasa Nadya. Dia menggenggam tangan sang ist
Pukul empat pagi, Nadya terjaga oleh suara gemercik air dari kamar mandi. Tak berselang lama seseorang keluar dengan aroma khasnya. Itu kali ke dua Pramono mandi sepagi ini. Nadya kemudian kembali memejamkan mata saat merasakan seseorang mendekat dan duduk di tepian ranjang. Lalu sebuah kecupan terasa hangat di pelipisnya yang tertutup helaian rambut. “Subuh, Dek.” Pramono mengusap lengan Nadya lalu melangkah keluar dengan pakaian koko lengkap dengan sarungnya setelah memastikan istrinya bangun. Setelah membersihkan diri, Nadya tetap menjalankan salat meski dia tahu Tuhan pasti telah murka oleh perbuatannya. Satu hal yang dia yakini, ada kewajiban yang tak bisa ditinggalkan sebejat apa dia telah berbuat—meski berakhir dengan pertanyaan menggantung, ‘Lalu apa esensi aku melakukan semua ini jika tetap tak mencegah perbuatan keji?’ Nadya menunduk ketika menyadari bahwa bukan aturannya yang salah, namun benaknya yang keliru. Dia tak berada di tempat saat peraduan dengan Allah berlangs
Mendengar pertanyaan itu, dua perempuan di dapur menoleh. Dari pintu hubung tampak Pramono berjalan mendekat. Seperti maling ketahuan, Nadya menunduk akibat dentaman keras di dadanya. Di seberang meja, Annisa mencoba mencari jawaban yang tepat agar apa yang keluar dari mulutnya tak menjadi masalah bagi rumah tangga orang lain. Namun, akhirnya kembali Pramono yang bicara. “Udah mateng, Dek? Mas laper banget.” Pertanyaan itu tak langsung dijawab, karena Nadya seperti tak mendengarnya. Dia masih menunduk menatap entah pada apa di meja, sampai Pramono mengulang pertanyaan disertai sebuah usapan di pucuk kepalanya. “Ya, Mas? Apa?” Pramono mengernyit. Dia menatap Nadya heran. Membuat perempuan itu sedikit gugup sebelum mengingat pertanyaan yang samar dia dengar dari suaminya. “S—sudah, Mas. Mau sekarang?” “Ya, Mas laper banget.” “Tapi, cuma ada tempe goreng sama sambal bawang. Nggak apa-apa? Nad nggak belanja kemarin karena nggak tahu Mas akan pulang.” Dari pintu yang sama Ali muncul
“Apa?” Nadya menatap Ali dan Annisa bergantian. Mendadak sensasi ngilu itu muncul kembali di sudut hati Nadya. Menampilkan tawa getir di wajah itu. “Oh, waw. Sudah serius rupanya kalian ya ... sampai Mbak pun nggak tahu.” Ekspresi Nadya berubah. Dia mengatakan itu dengan raut kesal yang tak ditutup-tutupi. Membuat gadis di seberang meja menunduk luruh. “Kalau cuma enam puluh lima juta, Mbak pun ada. Kenapa Ali? Apa Mbak bukan saudara kamu? Kenapa semudah itu menerima bantuan dari—“ Kalimat Nadya berhenti saat sebuah sentuhan hangat terasa di lengan kanannya. Dia menatap dua tangan yang bertumpu itu sebelum membuang muka jengah karena menyadari reaksinya berlebihan. “Dek, dia menerima bantuan dari calon suami, apa salahnya?” tanya Pramono menoleh ke arah Nadya. “Biarkanlah. Justru bagus kalau masalahnya cepat selesai, bukan?” Remasan pelan Nadya rasakan di jemarinya. Dari ujung mata, Ali yang sejak tadi hanya diam, melirik pada Annisa. Kasihan pada Annisa yang terpojok, dia memb
“Dek, mereka pamit, tuh? Kamu nggak keluar?” tanya Pramono tepat setelah pintu kamar tertutup. Nadya tak menyahut. Setelah menangis sepanjang berada di kamar, dia merasa tak ingin melakukan apa pun kecuali berbaring untuk meredakan rasa pening kepalanya. “Are you ok, Nadya?” Pramono bertanya hati-hati. Saat sensitif, salah bertanya akan menjadi masalah baginya. “Aku capek, Mas. Boleh aku tidur?” Sebaliknya, Nadya menjawab sedikit ketus dari balik selimut, lalu memijit pelipisnya. Mendadak dia kesal pada perhatian Pramono yang menurutnya sedikit berlebihan. Pramono memandang wanita di ranjang dan mencoba mencari solusi untuk masalah itu. Sayangnya solusi dari masalah hati wanita sering kali hanya dia yang tahu. Maka ketika ... “Mau dipanggilkan tukang urut?” Pertanyaan Pramono kembali keluar, tapi jawaban Nadya tetap sama. Dia menggeleng. “Baiklah. Mas keluar ya.” Nadya tak menanggapi. Pramono menghela napas. Setelah membetulkan letak selimut istrinya, dia melangkah menuju ruang
Beberapa hari lalu. “Ali agak telat, Bu. Ibu tunggu atau naik taksi?” “Ibu tunggu aja di depan ya, dekat parkiran.” “Ok.” Sambungan telepon terputus. Roro memasukkan kembali ponsel ke dalam tas, tapi kecemasan segera menguasai hati perempuan paruh baya itu sebab dia tak mendapati dompetnya di sana. Roro mengedar pandang ke penjuru lantai berharap menemukan barang yang dia cari di sana sebelum seorang gadis muncul di belakangnya dengan tangan terulur. “Ibu cari ini?” Perempuan muda bersetelan kasual menyodorkan dompet berwarna coklat tua kepada Roro yang seketika menatap tangan terulur itu. Dan ya, dia kenal benar benda dalam genggaman gadis itu adalah barang yang dia cari. Pandangan Roro kemudian berpaling pada sosok yang membawanya. Dia kembali berbicara, “Saya menemukan ini terjatuh di lantai, dan mengikuti Ibu sampai di sini. Punya Ibu, ‘kan?” Perempuan muda itu mengulum senyum yang dalam pandangan Roro tampak tulus tanpa dibuat-buat. Entah karena dia telah bosan mendekati
“Apa ada hubungannya dengan Ali?” Pramono menatap lekat wajah melengos Nadya yang dalam pandangannya seperti upaya mengingkari kenyataan, bahwa memang ada yang tengah dia sembunyikan. Mendengar pertanyaan tak terduga dari Pramono, Nadya menoleh cepat. “Apa maksud Mas?” Perempuan itu memindai wajah sang suami. Pupilnya bergetar karena pikirannya kini mulai liar membayangkan kemungkinan Pramono tahu semuanya. Dan menunggu apa kira-kira yang akan terjadi selanjutnya. Setelah sekian detik berlalu, belum juga ada jawaban dari Pramono. Laki-laki itu masih diam dan menatap kosong ke sudut lain. Detik berikutnya dia bangkit dan berjalan ke arah balkon lalu kembali berbalik untuk memandang istrinya dari luar jendela. “Kalau sudah baikkan, ayo kita turun. Tasya menanyakan kamu. Kamu perlu juga kenalan sama Mbak Asih.” Laki-laki itu kemudian berbalik dan kembali menatap keluar rumah seolah ada pemandangan menarik di luar sana. Sementara Nadya mengumpat dalam hati. Dia tak suka merasa risau
Usai makan malam, dan menidurkan Tasya di kamarnya, Nadya termenung di ujung ruang tamu. Remote di pangkuan. Televisi menyala di ujung ruangan. Namun, pikirannya melayang entah kemana. Ada hal yang membuat dia enggan dengan mudah menerima kebaikan Pramono. Salah satunya, dosa yang dia perbuat. Nadya malu. Dia merasa tak tahu diri jika menerima kebaikan Pramono begitu saja, sementara tangannya telah begitu jahat mencabik hati laki-laki baik itu. Hal yang juga sekali lagi akhirnya Nadya sesali, adanya lebam biru di pipi Tasya yang ternyata akibat ulah Ratna, wanita yang selama ini menampakkan wajah lembutnya di hadapan Pramono, yang seolah sanggup menggantikan kedudukan istri mana pun. Nadya menunduk. ‘Ini semua salahku. Andai aku tak menanggapi Ali. Andai aku tak menyerahkan kehormatanku begitu saja ... mungkin ini semua tak akan terjadi. Dan jika ada yang pantas dihukum, maka itu adalah aku,’ bisik Nadya dalam hati. Dia menangis dalam diam. “Apa yang kau pikirkan?” Dari arah dapur,
“Mas baik-baik saja?” tanya Annisa pada Pramono tepat ketika membuka pintu kamar rawatnya. Setelah sempat melirik sebentar, alih-alih menanggapi, laki-laki itu justru berpaling dari gadis yang mendekat ke arahnya. “Jadi Nadya bersamanya, sekarang?” tanya Pramono tak terkejut. Annisa mengedikkan bahu, seolah ada jawaban, ‘Begitulah’ pada gerakan itu. “Hanya untuk minta maaf. Tak ada yang lain,” jawabnya datar. Sontak laki-laki di bed menoleh. Dahinya berkerut begitu saja. “Minta maaf? Untuk?” “Mbak Nadya merasa apa yang menimpa Ali—kalian adalah salahnya.” Laki-laki itu menatap skeptis, lalu terkekeh pada detik berikutnya. Ekspresi wajahnya berubah begitu getir. “Korban sesungguhnya bukan dia,” ucapnya di antara geraham beradu. “Bukan dia yang seharusnya mendapatkan permintaan maaf itu, kau tahu bukan?” “Mas, Nisa pikir bukan itu maksud Mbak Nadya.” “Lalu apa?” Annisa menelan ludah sebelum mulai bicara, “Dia hanya merasa Ali tak perlu mendapat pukulan itu.” Kerutan di dahi Pra
Berniat pulang lebih awal, pukul tiga sore Pramono keluar dari ruangannya. Melewati meja Hana, berbelok kiri, dia melangkah menuju ruang editor untuk menemui Nadya dan bermaksud mengajaknya pulang bersama. Namun, Pramono harus kecewa karena wanita itu tidak ada di mejanya. Laki-laki itu berbalik. “Kau tahu di mana Nadya, Hana?” Sontak Hana mendongak. Pandangannya sempat melirik ke ruangan sebelah di mana Nadya biasanya berada, sebelum kembali pada sang bos yang berdiri dengan tatapan dingin, menunggu jawaban. “Tidak, Pak. Saya kira tadi sudah izin sama Bapak.” Pramono memicing. Artinya dia pergi? “Sejak kapan?” “Mungkin satu jam yang lalu.” Laki-laki itu meninggalkan meja Hana dan keluar dari ruang editor dengan langkah panjang. Satu tangannya menyelip ke dalam saku kanan celana, lalu keluar dengan ponsel dalam genggaman dan mulai menggulirkan ibu jari. “Kau di mana?” tanyanya pada seseorang di ujung sana setelah nada sambung terputus. “Aku di rumah.” “Rumah yang mana?” “Yang
“Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?” tanya Pramono berusaha menutupi kemarahannya. Laki-laki di hadapannya berdeham pelan. Detik berikutnya punggung dan menatap dingin ke arah Pramono. “Aku ingin mengatakan, mari kita bersaing secara sehat,” jawabnya tenang. “Aku tahu, meski Anda begitu marah, jauh dalam lubuk hati Anda, Anda masih sangat mengharapkan Nadya—demi putri kalian. Dan mungkin, masih ada sedikit cinta untuk dia di dalam sana. Benar? Kupastikan, aku akan mencintainya dengan baik. Jika Anda tidak yakin bisa memaafkannya dengan ikhlas, sebaiknya menyerah lah dari sekarang.” ‘Astaga ...’ Pramono meraup wajah lelah. Gigi geraham bergemeletuk. Menoleh ke kanan, diraihnya ponsel yang tergeletak di meja. Ibu jarinya bergulir menelusuri daftar kontak. Pada nama Annisa dia berhenti dan menekan tombol call. “Ya, Mas?” sapa Annisa tepat setelah bunyi dengung di telinganya terputus. “Sa, aku bisa minta tolong?” “Ya. Minta tolong apa?” *** Sepulang dari kantor Pramono, Edwin
Beberapa menit yang lalu. “Nah, begini kan cantik.” Shofwa mengulum senyum. “Coba Teteh lihat. Cantik, ‘kan?” tanya Shofwa pada wanita di sampingnya. Dipandanginya wajah itu dari pantulan kaca di depan mereka. Tak menyahut, Nadya memandang seraut wajah di cermin. Dia hampir tak mengenali dirinya sendiri yang kini dibalut jilbab panjang. Tak ada yang terlihat lagi melainkan wajah bersih dengan mata coklat dalam dan bibir yang dipulas dengan warna lembut, khas dirinya. Gadis di samping Nadya mengulum senyum. Kedua matanya menyipit. Menampakkan ekspresi kebahagiaan yang tak dibuat-buat. “Bahkan ... masih secantik itu setelah Teteh pakai jilbab. Maha Kuasa Allah menciptakan wanita dengan kecantikannya yang sempurna.” ‘Cantik?’ Nadya menatap ragu pada dirinya sebelum menunduk. ‘Apakah itu anugerah, atau musibah?’ Dia bahkan mengira kecantikannya adalah petaka yang berakhir dengan terlukanya hati banyak orang. Kini, bahkan keluarga dan orang tuanya juga. Nadya merasakan hangat merebak
“Mama masih di sini?” tanya Tasya saat menuruni anak tangga dan melihat ada sang ibu di dapur. Wanita yang masih mengenakan pakaian yang sama sejak kemarin siang, memandang ke arah bocah yang mendekat. Selarik senyum dia suguhkan seolah tak ada beban apa pun di hatinya. “Mama harus masak dulu. Terus antar Tasya ke Sekolah, terus berangkat kerja,” jawabnya. “Tapi ... tapi ... mama pulang lagi, kan?” Gerakan tangan Nadya melambat. Piring berisi nasi itu sempat mengambang sebelum diletakkannya ke meja, lalu memandang bocah di ujung meja dengan tatapan teduh. Dia bisa melihat dengan jelas ketakutan di wajah bocah itu. Nadya menoleh pada laki-laki yang kini siap dengan kemeja putihnya. Tak ikut campur, namun dia yakin Pramono menyimak pembicaraan itu, dan ingin tahu apa jawabannya. Tak berselang lama, wanita yang berdiri di ujung meja mengangguk. “Iya, Sayang. Mama akan datang lagi,” jawabnya seiring tatapan ke arah Pramono. Pandangan mereka beradu. Pramono sadar dia belum mendapat j
“Kuingin kau menemui Tasya barang semenit. Dia membutuhkan ibunya.” Terngiang kembali kalimat Pramono kemarin. Nadya meremas jemarinya gugup. Di depan sana Playground tempat Tasya bermain sudah terlihat. “Kau gugup?” tanya Pramono. Nadya memilih tak menanggapi. Mobil berhenti. Tak langsung keluar, Nadya justru sibuk mengatur napas. Mempersiapkan diri pada apa pun yang mungkin terjadi nanti. Penolakan, misalnya. Saat marah, anak itu sering menolak sang ibu. Dan besar kesalahannya, membuat Nadya merasa pantas mendapat kemarahan dari Tasya, bahkan mungkin bukan kata maafnya. Sementara dalam pandangan Pramono, sikap itu tampak seperti seseorang yang menunggu dibukakan pintu. Maka laki-laki yang telah berada di luar itu lalu mendekat ke pintu, membukanya. Satu tangannya lalu terulur ke arah Nadya. Wanita itu terenyak. Sempat dipandangnya tangan itu, lalu ragu-ragu menerimanya. “Tasya pasti senang melihat kau datang,” ucap Pramono sembari menutup pintu. Sebaliknya, keraguan justru mem
“Mas, di sini.” Annisa melambai pada laki-laki yang mengedar pandang di tepi alun-alun kota Bandung. Topi hitam di kepala. Jam di tangan kirinya. Laki-laki berkemeja putih itu menoleh. Lalu tersenyum. Dia melangkah mendekat. Namun perempuan dari arah sebaliknya melangkah lebih cepat. Gadis itu berhenti ketika jarak mereka hanya tersisa beberapa senti. Dengan teliti, dipandanginya wajah itu. Binar kebahagiaan terpancar jelas di matanya. Senyum jujur yang dibalut rasa malu. Satu lagi ... rasa yang sama. Annisa hampir tak percaya bisa melihat laki-laki itu datang begitu jauh hanya untuk menemuinya. Annisa melangkah maju dengan kedua tangan terbuka, dan merengkuh erat tubuh laki-laki itu. “Aku kangen, sama Mas.” Ragu, laki-laki itu mundur selangkah. Kedua tangannya sempat akan mengurai dekapan Annisa, namun akhirnya memilih membiarkan ketika dekapan itu terasa lebih erat. *** “Ratna!” Mendengar namanya dipanggil, wanita di pintu keluar bandara menoleh. Wajah yang semula sendu, beru
Beberapa menit sebelumnya. “Mas sarapanlah dulu.” Ratna meletakkan mangkuk sayur di meja. Satu piring dia ambil dan meletakkannya di depan Pramono. Di atasnya, nasi lengkap dengan sayuran telah tersaji. “Terima kasih,” jawab Pramono melirik wanita di seberang meja sebentar. Tampak sembab di wajah itu. Dia yakin, Ratna menangis belum lama tadi. Beralih ke piring, laki-laki itu meraih sendok di atasnya. “Kau baik-baik saja?” Ratna tertawa datar. “Apa ada yang baik-baik saja, setelah diceraikan suaminya?” Butuh waktu bagi Ratna untuk mendengar tanggapan laki-laki di depan meja. Wajahnya menunduk ke arah makanan di hadapan. “Aku hanya tak ingin membebanimu, Ratna,” ucap Pramono dengan nada begitu rendah. “Aku tahu.” Wanita itu mengangguk. “Itulah kenapa kuminta Kak Syarif datang untuk menjemput ke sini.” “Syarif? Asisten Ayah?” “Ya.” Pramono manggut-manggut. Kabari aku saat dia datang. Aku harus ke kantor sebentar. *** Usai mengantar Tasya ke sekolah, Pramono bergegas menuju kan