Share

33. Rencana Perjodohan

Penulis: Bintu Ikhwani
last update Terakhir Diperbarui: 2022-04-15 08:27:33
Empat belas jam sebelumnya.

“Nisa, ayah bisa ngomong sebentar?”

Dada Annisa berdengap. Beberapa jam sebelumnya sang ibu sudah mengatakan bahwa salah satu kerabat jauh menghubungi untuk meneruskan rencana perjodohannya dengan Rijal. Rencana itu sebenarnya telah tercetus cukup lama, namun Annisa tak menyangka bahwa itu benar-benar akan terealisasi.

Dengan langkah gemetar, Annisa mendekati sang ayah kemudian duduk pada salah satu kursi rumahnya, menunggu apa pun yang akan ayahnya katakan.

“Kamu pasti sudah tahu dari ibu, ‘kan?”

Annisa melirik sang ayah sesaat, sebelum pandangannya kembali tertuju pada kedua tangan yang saling bertumpu di pangkuan.

“Dulu, Rijal pernah melamarmu,” kata sang ayah. “Dan sekarang, dia mau melanjutkan itu. Kamu kenal dia dari kecil pasti tahu bagaimana perangainya, ‘kan?”

Meski benar, tetap saja gadis itu tak bisa mengabaikan rasa kecewa pada laki-laki yang menerima lamaran tanpa terlebih dulu menanyakan pendapatnya. Dua tahun lalu, Rijal melamarnya dan
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   34. Cemburu Bukan Pada Tempatnya

    Nadya memicing. “Minta tolong?” ‘Minta tolong? Malam-malam begini? Apa yang bisa kulakukan?’ Tak biasanya Nadya mendengar kata-kata itu dari Ali. Seiring dengan kesadaran yang terkumpul, Nadya menengok jam di dinding. Jarum pendek baru akan menuju angka sebelas. Nadya bangkit dan bersandar pada kepala bed. “Tolong apa, Mas?” Setelah terjeda beberapa detik, terdengar jawaban dari ujung telepon. “Apa Annisa bisa menginap semalam di rumahmu?” “Apa?” Sekali lagi Nadya menatap jam di dinding. ‘Annisa?’ Nadya mematikan ponsel setelah mendengar maksud Ali dan mengizinkan. ‘Apa bisa, katanya?’ Perempuan itu tersenyum getir. Bahkan jika Annisa ingin berlama-lama di rumahannya pun, akan dengan senang hati dia izinkan. Yang mengganggunya adalah, kenapa harus Ali yang meminta izin? Apa gadis itu tak bisa bicara sendiri? Apakah dia pikir ‘aku’ akan dengan kolot menolak dia? Apa yang sebenarnya terjadi pada Annisa? Bagaimana malam-malam begini mereka bisa bersama? Nadya menghela napas dalam

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-16
  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   35. Annisa El Lathiefa

    Beberapa menit yang lalu. “Berapa hutangnya?” Annisa menoleh ke arah sumber suara dan menerka maksud pertanyaan yang baginya terdengar lancang itu. Namun, tak dia temukan apa-apa. Laki-laki itu seringkali terlalu misterius untuk dimengerti. “Kalau memang masalahnya hutang, seharusnya selesai setelah semuanya lunas, bukan?” tanya Ali kemudian pandangan mereka beradu sebelum sama-sama berpaling. Meski harus mempermalukan diri, Annisa menjawab apa adanya. Enam puluh lima juta boleh jadi sedikit bagi sebagian orang, tapi tidak bagi mereka. Sepetak tanah yang dimiliki Ayahnya telah dijadikan jaminan dan akan lunas andai dilepas. Tapi bagi Annisa itu harta satu-satunya. Jaminan mereka bisa hidup nyaman tanpa intimidasi siapa pun. “Akan kubayar,” sahut laki-laki itu akhirnya, memaksa perempuan di sampingnya menatap tajam yang kali ini disertai sorot tak percaya. Tentu Annisa bukan tidak mendengarnya. Kalimat itu terdengar cukup jelas di tengah sunyinya malam. “Jika itu bisa melepaskan

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-21
  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   36. Berubah Pikiran

    “Keluarlah, biar kubawakan.” Ali melepas dekapannya, lalu menyematkan helai rambut yang terlepas dari ikatan ke belakang telinga Nadya. Perempuan itu mengatur napas. Merapikan ikatan rambut yang sebenarnya sama sekali tak berubah sejak dia keluar tadi, kemudian melangkah keluar mendahului Ali yang menyunggingkan senyum melihat tingkah perempuan manja itu. Tiba di ruang tengah, Nadya mendengar isak tertahan dan samar bayangan tangan yang mengusap wajah. Menepikan rasa cemburu yang sempat tersemat, yang kemudian membuatnya malu ketika mengingatnya, Nadya menekan sakelar lampu, dan tampaklah wajah sembab berbalut pasmina cream di sofa. Annisa memaksakan senyum. “Maaf jadi merepotkan Mbak Nad.” Setelah melihat apa yang terjadi, Annisa tahu, Nadya terpaksa mengizinkannya menginap. Nadya membalas senyum. “Mbak dengar dari Mas Ali apa yang menimpa kamu. Sabar, ya,” ucapnya masih sambil berdiri menunggu Ali meletakkan tiga cangkir itu di meja. Kalimat itu dia ucapkan ramah seperti biasan

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-21
  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   37. Kepulangan Pramono

    “Bayangkan jika Mas adalah suami dan istrimu bermain di belakang dengan cinta lamanya. Apa yang akan Mas lakukan? Apa Mas tidak terluka? Apa Mas rela berbagi wanita dengan laki-laki lain?” Annisa berpaling. Menghirup napas dalam sebelum kembali bicara. “Aku bukan bermaksud menggurui. Sedalam apa cinta kalian, aku pun tidak tahu. Hanya terlanjur menganggap kalian adalah keluarga maka aku takut sesuatu terjadi dan kalian terlambat menyadari kesalahan.” Ucapan Annisa tiba-tiba mendesak kesadaran Ali. Mengubah ruang gelap yang semula mengurung menjadi terang dalam pandangan. Ali terjaga. Sesak di dada seolah akan meledak, memaksanya seketika bangkit dari tidur. Ali mengusap wajah gusar. Sering kali ucapan sederhana pun menjadi sangat melukai saat hati begitu peka. Menoleh ke kanan, Nadya masih terlelap di sampingnya. Pandangannya berpaling pada jam di dinding kamar, waktu menunjukkan pukul dua pagi. Ali bangkit. Setelah membersihkan diri dan mengenakan lagi pakaiannya, laki-laki it

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-22
  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   38. Sebagai Tumbal

    Nadya melangkah menuruni tangga saat terdengar bel rumahnya berbunyi. Bersamaan dengan itu, terdengar pula dering panjang dari telepon yang memang sudah di tangan. Itu Pramono. “Ya, Mas?” “Buka pintunya, Dek!” Kalimat Pramono serupa perintah bagi Nadya yang membuatnya menurut begitu saja. Di ruang tamu dia sempat mengikuti arah perginya Ali dan mendapati dia berbelok ke dapur, tempat di mana Annisa berada. ‘Ayolah, Nad, ini bukan saatnya cemburu.’ Nadya memejamkan mata demi meredam gejolak rasa yang tak tak pada tempatnya. Kemudian seperti tulang di tubuhnya lenyap, Nadya gemetar nyaris tak sanggup menopang langkah sendiri hanya dengan membayangkan kemungkinan yang akan terjadi. Bagaimana jika Pramono tahu? Bagaimana jika keributan di rumahnya? Memikirkan apa yang akan dia katakan pada suaminya nanti menimbulkan sensasi mual di lambung. Tiba di depan pintu, telepon terputus. Nadya menghirup napas dalam sebelum membukanya. Klak! Pintu terbuka. Wajah Pramono benar-benar muncul

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-26
  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   39. Dua Lelaki dalam Semalam

    “O—oh, waw, kenapa kalian nggak cerita?” Memandang Annisa dan Ali bergantian, Nadya kemudian menunduk setelah menanggapi sekedarnya. Seperti diingatkan pada niat awalnya mempertemukan mereka, niat yang juga diketahui oleh Pramono, Nadya merasa terjerembap pada lubang yang dia ciptakan sendiri. Membuat lukanya menyakiti bukan hanya tubuh tapi juga jiwa. Nadya mengusap kepala yang mendadak terasa pening. Di sebelahnya, Pramono dan Annisa masih sibuk membicarakan masa depan yang entah bagaimana mendadak menjadi topik menarik bagi mereka. Sementara di sudut lain, Ali menatap kuatir tanpa bisa berbuat apa-apa. Dia menebak, Nadya tak baik-baik saja sebab berita yang baru saja dia dengar. Nadya mulai menggigil. Mendadak udara terasa dingin baginya. Bukan hanya, oleh kabar yang baru saja dia dengar, tapi juga oleh pakaian tanpa lengan yang dikenakannya. Nadya memeluk diri sendiri. “Kenapa, Dek?” bisik Pramono saat akhirnya menyadari gelagat tak biasa Nadya. Dia menggenggam tangan sang ist

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-27
  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   40. Cemburu Buta

    Pukul empat pagi, Nadya terjaga oleh suara gemercik air dari kamar mandi. Tak berselang lama seseorang keluar dengan aroma khasnya. Itu kali ke dua Pramono mandi sepagi ini. Nadya kemudian kembali memejamkan mata saat merasakan seseorang mendekat dan duduk di tepian ranjang. Lalu sebuah kecupan terasa hangat di pelipisnya yang tertutup helaian rambut. “Subuh, Dek.” Pramono mengusap lengan Nadya lalu melangkah keluar dengan pakaian koko lengkap dengan sarungnya setelah memastikan istrinya bangun. Setelah membersihkan diri, Nadya tetap menjalankan salat meski dia tahu Tuhan pasti telah murka oleh perbuatannya. Satu hal yang dia yakini, ada kewajiban yang tak bisa ditinggalkan sebejat apa dia telah berbuat—meski berakhir dengan pertanyaan menggantung, ‘Lalu apa esensi aku melakukan semua ini jika tetap tak mencegah perbuatan keji?’ Nadya menunduk ketika menyadari bahwa bukan aturannya yang salah, namun benaknya yang keliru. Dia tak berada di tempat saat peraduan dengan Allah berlangs

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-30
  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   41. Rasa yang Tersembunyi

    Mendengar pertanyaan itu, dua perempuan di dapur menoleh. Dari pintu hubung tampak Pramono berjalan mendekat. Seperti maling ketahuan, Nadya menunduk akibat dentaman keras di dadanya. Di seberang meja, Annisa mencoba mencari jawaban yang tepat agar apa yang keluar dari mulutnya tak menjadi masalah bagi rumah tangga orang lain. Namun, akhirnya kembali Pramono yang bicara. “Udah mateng, Dek? Mas laper banget.” Pertanyaan itu tak langsung dijawab, karena Nadya seperti tak mendengarnya. Dia masih menunduk menatap entah pada apa di meja, sampai Pramono mengulang pertanyaan disertai sebuah usapan di pucuk kepalanya. “Ya, Mas? Apa?” Pramono mengernyit. Dia menatap Nadya heran. Membuat perempuan itu sedikit gugup sebelum mengingat pertanyaan yang samar dia dengar dari suaminya. “S—sudah, Mas. Mau sekarang?” “Ya, Mas laper banget.” “Tapi, cuma ada tempe goreng sama sambal bawang. Nggak apa-apa? Nad nggak belanja kemarin karena nggak tahu Mas akan pulang.” Dari pintu yang sama Ali muncul

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-30

Bab terbaru

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   136. Last Part Season 2

    Usai makan malam, dan menidurkan Tasya di kamarnya, Nadya termenung di ujung ruang tamu. Remote di pangkuan. Televisi menyala di ujung ruangan. Namun, pikirannya melayang entah kemana. Ada hal yang membuat dia enggan dengan mudah menerima kebaikan Pramono. Salah satunya, dosa yang dia perbuat. Nadya malu. Dia merasa tak tahu diri jika menerima kebaikan Pramono begitu saja, sementara tangannya telah begitu jahat mencabik hati laki-laki baik itu. Hal yang juga sekali lagi akhirnya Nadya sesali, adanya lebam biru di pipi Tasya yang ternyata akibat ulah Ratna, wanita yang selama ini menampakkan wajah lembutnya di hadapan Pramono, yang seolah sanggup menggantikan kedudukan istri mana pun. Nadya menunduk. ‘Ini semua salahku. Andai aku tak menanggapi Ali. Andai aku tak menyerahkan kehormatanku begitu saja ... mungkin ini semua tak akan terjadi. Dan jika ada yang pantas dihukum, maka itu adalah aku,’ bisik Nadya dalam hati. Dia menangis dalam diam. “Apa yang kau pikirkan?” Dari arah dapur,

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   135. Mengubah Niat

    “Mas baik-baik saja?” tanya Annisa pada Pramono tepat ketika membuka pintu kamar rawatnya. Setelah sempat melirik sebentar, alih-alih menanggapi, laki-laki itu justru berpaling dari gadis yang mendekat ke arahnya. “Jadi Nadya bersamanya, sekarang?” tanya Pramono tak terkejut. Annisa mengedikkan bahu, seolah ada jawaban, ‘Begitulah’ pada gerakan itu. “Hanya untuk minta maaf. Tak ada yang lain,” jawabnya datar. Sontak laki-laki di bed menoleh. Dahinya berkerut begitu saja. “Minta maaf? Untuk?” “Mbak Nadya merasa apa yang menimpa Ali—kalian adalah salahnya.” Laki-laki itu menatap skeptis, lalu terkekeh pada detik berikutnya. Ekspresi wajahnya berubah begitu getir. “Korban sesungguhnya bukan dia,” ucapnya di antara geraham beradu. “Bukan dia yang seharusnya mendapatkan permintaan maaf itu, kau tahu bukan?” “Mas, Nisa pikir bukan itu maksud Mbak Nadya.” “Lalu apa?” Annisa menelan ludah sebelum mulai bicara, “Dia hanya merasa Ali tak perlu mendapat pukulan itu.” Kerutan di dahi Pra

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   134. Semakin Keruh

    Berniat pulang lebih awal, pukul tiga sore Pramono keluar dari ruangannya. Melewati meja Hana, berbelok kiri, dia melangkah menuju ruang editor untuk menemui Nadya dan bermaksud mengajaknya pulang bersama. Namun, Pramono harus kecewa karena wanita itu tidak ada di mejanya. Laki-laki itu berbalik. “Kau tahu di mana Nadya, Hana?” Sontak Hana mendongak. Pandangannya sempat melirik ke ruangan sebelah di mana Nadya biasanya berada, sebelum kembali pada sang bos yang berdiri dengan tatapan dingin, menunggu jawaban. “Tidak, Pak. Saya kira tadi sudah izin sama Bapak.” Pramono memicing. Artinya dia pergi? “Sejak kapan?” “Mungkin satu jam yang lalu.” Laki-laki itu meninggalkan meja Hana dan keluar dari ruang editor dengan langkah panjang. Satu tangannya menyelip ke dalam saku kanan celana, lalu keluar dengan ponsel dalam genggaman dan mulai menggulirkan ibu jari. “Kau di mana?” tanyanya pada seseorang di ujung sana setelah nada sambung terputus. “Aku di rumah.” “Rumah yang mana?” “Yang

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   133. Persaingan Dua Lelaki

    “Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?” tanya Pramono berusaha menutupi kemarahannya. Laki-laki di hadapannya berdeham pelan. Detik berikutnya punggung dan menatap dingin ke arah Pramono. “Aku ingin mengatakan, mari kita bersaing secara sehat,” jawabnya tenang. “Aku tahu, meski Anda begitu marah, jauh dalam lubuk hati Anda, Anda masih sangat mengharapkan Nadya—demi putri kalian. Dan mungkin, masih ada sedikit cinta untuk dia di dalam sana. Benar? Kupastikan, aku akan mencintainya dengan baik. Jika Anda tidak yakin bisa memaafkannya dengan ikhlas, sebaiknya menyerah lah dari sekarang.” ‘Astaga ...’ Pramono meraup wajah lelah. Gigi geraham bergemeletuk. Menoleh ke kanan, diraihnya ponsel yang tergeletak di meja. Ibu jarinya bergulir menelusuri daftar kontak. Pada nama Annisa dia berhenti dan menekan tombol call. “Ya, Mas?” sapa Annisa tepat setelah bunyi dengung di telinganya terputus. “Sa, aku bisa minta tolong?” “Ya. Minta tolong apa?” *** Sepulang dari kantor Pramono, Edwin

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   132. Kedatangan Edwin

    Beberapa menit yang lalu. “Nah, begini kan cantik.” Shofwa mengulum senyum. “Coba Teteh lihat. Cantik, ‘kan?” tanya Shofwa pada wanita di sampingnya. Dipandanginya wajah itu dari pantulan kaca di depan mereka. Tak menyahut, Nadya memandang seraut wajah di cermin. Dia hampir tak mengenali dirinya sendiri yang kini dibalut jilbab panjang. Tak ada yang terlihat lagi melainkan wajah bersih dengan mata coklat dalam dan bibir yang dipulas dengan warna lembut, khas dirinya. Gadis di samping Nadya mengulum senyum. Kedua matanya menyipit. Menampakkan ekspresi kebahagiaan yang tak dibuat-buat. “Bahkan ... masih secantik itu setelah Teteh pakai jilbab. Maha Kuasa Allah menciptakan wanita dengan kecantikannya yang sempurna.” ‘Cantik?’ Nadya menatap ragu pada dirinya sebelum menunduk. ‘Apakah itu anugerah, atau musibah?’ Dia bahkan mengira kecantikannya adalah petaka yang berakhir dengan terlukanya hati banyak orang. Kini, bahkan keluarga dan orang tuanya juga. Nadya merasakan hangat merebak

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   131. Perbincangan dengan Shofwa

    “Mama masih di sini?” tanya Tasya saat menuruni anak tangga dan melihat ada sang ibu di dapur. Wanita yang masih mengenakan pakaian yang sama sejak kemarin siang, memandang ke arah bocah yang mendekat. Selarik senyum dia suguhkan seolah tak ada beban apa pun di hatinya. “Mama harus masak dulu. Terus antar Tasya ke Sekolah, terus berangkat kerja,” jawabnya. “Tapi ... tapi ... mama pulang lagi, kan?” Gerakan tangan Nadya melambat. Piring berisi nasi itu sempat mengambang sebelum diletakkannya ke meja, lalu memandang bocah di ujung meja dengan tatapan teduh. Dia bisa melihat dengan jelas ketakutan di wajah bocah itu. Nadya menoleh pada laki-laki yang kini siap dengan kemeja putihnya. Tak ikut campur, namun dia yakin Pramono menyimak pembicaraan itu, dan ingin tahu apa jawabannya. Tak berselang lama, wanita yang berdiri di ujung meja mengangguk. “Iya, Sayang. Mama akan datang lagi,” jawabnya seiring tatapan ke arah Pramono. Pandangan mereka beradu. Pramono sadar dia belum mendapat j

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   130. Permintaan (Mantan) Suami Bag. 2

    “Kuingin kau menemui Tasya barang semenit. Dia membutuhkan ibunya.” Terngiang kembali kalimat Pramono kemarin. Nadya meremas jemarinya gugup. Di depan sana Playground tempat Tasya bermain sudah terlihat. “Kau gugup?” tanya Pramono. Nadya memilih tak menanggapi. Mobil berhenti. Tak langsung keluar, Nadya justru sibuk mengatur napas. Mempersiapkan diri pada apa pun yang mungkin terjadi nanti. Penolakan, misalnya. Saat marah, anak itu sering menolak sang ibu. Dan besar kesalahannya, membuat Nadya merasa pantas mendapat kemarahan dari Tasya, bahkan mungkin bukan kata maafnya. Sementara dalam pandangan Pramono, sikap itu tampak seperti seseorang yang menunggu dibukakan pintu. Maka laki-laki yang telah berada di luar itu lalu mendekat ke pintu, membukanya. Satu tangannya lalu terulur ke arah Nadya. Wanita itu terenyak. Sempat dipandangnya tangan itu, lalu ragu-ragu menerimanya. “Tasya pasti senang melihat kau datang,” ucap Pramono sembari menutup pintu. Sebaliknya, keraguan justru mem

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   129. Permintaan (Mantan) Suami

    “Mas, di sini.” Annisa melambai pada laki-laki yang mengedar pandang di tepi alun-alun kota Bandung. Topi hitam di kepala. Jam di tangan kirinya. Laki-laki berkemeja putih itu menoleh. Lalu tersenyum. Dia melangkah mendekat. Namun perempuan dari arah sebaliknya melangkah lebih cepat. Gadis itu berhenti ketika jarak mereka hanya tersisa beberapa senti. Dengan teliti, dipandanginya wajah itu. Binar kebahagiaan terpancar jelas di matanya. Senyum jujur yang dibalut rasa malu. Satu lagi ... rasa yang sama. Annisa hampir tak percaya bisa melihat laki-laki itu datang begitu jauh hanya untuk menemuinya. Annisa melangkah maju dengan kedua tangan terbuka, dan merengkuh erat tubuh laki-laki itu. “Aku kangen, sama Mas.” Ragu, laki-laki itu mundur selangkah. Kedua tangannya sempat akan mengurai dekapan Annisa, namun akhirnya memilih membiarkan ketika dekapan itu terasa lebih erat. *** “Ratna!” Mendengar namanya dipanggil, wanita di pintu keluar bandara menoleh. Wajah yang semula sendu, beru

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   128. Kemarahan Pramono Bag. 2

    Beberapa menit sebelumnya. “Mas sarapanlah dulu.” Ratna meletakkan mangkuk sayur di meja. Satu piring dia ambil dan meletakkannya di depan Pramono. Di atasnya, nasi lengkap dengan sayuran telah tersaji. “Terima kasih,” jawab Pramono melirik wanita di seberang meja sebentar. Tampak sembab di wajah itu. Dia yakin, Ratna menangis belum lama tadi. Beralih ke piring, laki-laki itu meraih sendok di atasnya. “Kau baik-baik saja?” Ratna tertawa datar. “Apa ada yang baik-baik saja, setelah diceraikan suaminya?” Butuh waktu bagi Ratna untuk mendengar tanggapan laki-laki di depan meja. Wajahnya menunduk ke arah makanan di hadapan. “Aku hanya tak ingin membebanimu, Ratna,” ucap Pramono dengan nada begitu rendah. “Aku tahu.” Wanita itu mengangguk. “Itulah kenapa kuminta Kak Syarif datang untuk menjemput ke sini.” “Syarif? Asisten Ayah?” “Ya.” Pramono manggut-manggut. Kabari aku saat dia datang. Aku harus ke kantor sebentar. *** Usai mengantar Tasya ke sekolah, Pramono bergegas menuju kan

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status