[Rasti.][Iya, Bu?]Rasti sampai gugup saat melihat panggilan dari ibu mertuanya. Menyembunyikan rahasia besar pada mereka memang bukan perkara mudah. Belum lagi, takut tiba-tiba mereka tahu. Mertua seperti orangtua Raihan mungkin menjadi idaman para menantu. Rasti berpikir mungkin ia akan menyesal seumur hidup karena melepaskan mertua sebaik itu.[Mbak Ratna melahirkan. Apa kamu dan Raihan nggak mau pulang?] tanya ibu mmertuanya erdengar lemas. Sepertinya, itu hanya alasan. [Kamu kan belum pernah datang ke kampung ibu dan bapak. Para tetangga nanya terus.] Lanjutnya. Benar saja dugaan Rasti, pasti kelahiran Mbak Ratna_kakak Raihan adalah alasan saja. Ibu ingin ia dan Raihan pulang.[Rasti terserah Raihan saja, Bu,] jawab Rasti bingung. Ia hanya tidak ingin mematahkan hati wanita yang lembut itu.[Tadi, Ibu nelpon Raihan. Katanya Rasti sedang sakit. Jadi, Raihan tidak bisa datang, sekarang.] Sungguh Rasti mendengar suara ibu mertuanya yang sedih.[Rasti akan berbicara pada Raihan ya,
"Mayang." Seseorang memanggil ketika ia keluar dari toko. Hari ini, tokonya ramai pelanggan. Biasanya Bu Mayang akan pulang sekitar pukul 16.30, ini sudah pukul 17.15 menit, ia baru selesai dan pulang. Mungkin juga karena hanya sendiri tanpa bantuan Rasti. Biasanya membereskan semua hal ketika mau tutup adalah pekerjaan putrinya, namun ia sedang cedera dan tidak bisa membantu.Bu Mayang menoleh, seorang pria tengah berdiri di sana, menunggunya hingga menyelesaikan semua pekerjaan. Wanita itu hanya memandang acuh, menelaahnya sebentar, lalu beranjak pergi."Mayang." Pak Bagus mengambil langkah besar menghampiri. Menghentikan langkah kaki Bu Mayang. "Aku ingin bicara." Bu Mayang menurut tanpa ada ekspresi yang berubah. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat ini. Ketenangan sikapnya, sedikit aneh. Pak Bagus melihat mantan istrinya berdiri menunggu ia berbicara. Sorot mata kosong seolah mempertanyakan siapa dirimu? "Maafkan aku, May." Pak Bagus tahu ada kemarahan besar yang disembunyi
Raihan tersenyum saat turun dari mobil. Dua wanita spesialnya sudah berdiri menunggu dengan barang bawaan mereka. Ia pun ikut bahagia karena ini pertama kalinya mereka berpergian bersama, apalagi pulang ke kampung halaman. Pria itu sudah lama tidak mudik, ia bahkan langsung mengambil cuti selama seminggu, meski di sela-sela liburan itu tetap ada saja pekerjaan yang biasanya tidak bisa dilepas semuanya dan harus ia kerjakan. Tidak sulit, zaman sudah canggih, pria itu bisa bekerja dari sana, nanti."Banyak sekali barang bawaanmu?" bisik Raihan saat membawa semua barang-barang Rasti dan ibunya ke bagasi mobil. "Milik, ibu. Aku hanya bawa tas ini saja." Rasti menurunkan tas yang dibawanya. Raihan menempatkan agar tertata rapi."Apa yang ibu bawa sampai sebanyak ini?" bisik Raihan lagi. Mertuanya itu sudah duduk lebih dulu di kursi depan. "Entahlah! Aku sudah bilang agar ibu tidak terlalu banyak membawa barang. Tapi, dia bilang ini barang-barang penting semua.""Ya, sudah tidak apa-apa.
Suasa malam di kampung Raihan sangatlah dingin. Pria itu bersama bapaknya membuat pembakaran di depan rumah. Menghadap pesawahan yang samar terlihat dengan cahaya rembulan. Suara gemiricik air yang mengalir dari selang bambu bahkan seperti musik yang menenangkan. "Wangi sekali," gumam Rasti yang ikut keluar karena suaminya masih belum masuk kamar padahal sudah pukul 21.00 malam. Sebenarnya ia gundah, takut suaminya tidak tidur di kamar. Orangtuanya mungkin akan mempertanyakan itu. Padahal, dia sendiri yang mengajukan gugatan, tapi entah kenapa seolah takut keluarga Raihan mengetahuinya."Kemarilah!" panggil Raihan. Rasti mendekat. Melihat pria itu yang tengah membakar jagung dengan olesan mentega, harumnya sungguh menggoda. Rasti bahkan merasa tidak tahan. "Ini langsung dipetik dari samping rumah. Rasanya pasti sangat manis," ujar bapak mertuanya."Wah." Rasti semakin tidak sabar. Pria tua itu baru saja duduk untuk bergabung dengan anak menantunya. Namun, istrinya sudah memanggil d
"Wah, Bu Mayang sudah cantik aja," goda besannya saat melihat wanita itu mengenakan pakaian rapi. Celana katun panjang dengan tunik sedikit pendek di atas pantat. Sayangnya, tubuh Bu Mayang yang sudah memasuki 42 tahun ini masih bagus dan singset. "Iya," jawabnya riang. "Memangnya Bu Mayang mau, kemana?" tanya Bu Widia lagi."Aku mau----" Bu Mayang berpikir sebelum mengatakannya."Ayo, mataharinya keburu tinggi." Raihan menengok kamar yang ditempati mereka. Pria itu sudah menunggu di luar setelah mengatakan untuk mengajak istrinya pergi melihat matahari terbit di atas bukit.Wajah Bu Mayang yang mendengar itu langsung berubah senang, ia hendak menghampiri menantunya untuk ikut. Namun, Bu Widia segera menarik tangan besannya."Bu Mayang ikut saya saja." Wanita itu menarik lengan Bu Mayang paksa, meski sedikit berat dan butuh tenaga untuk menariknya karena bertahan."Aku ingin melihat matahari terbit di atas bukit," ujarnya. Bu Mayang menguping pembicaraan menantunya dan bersiap sendi
Bu Nawang benar-benar menutup mata, wanita tua itu tidak sadarkan diri. Jihan yang berada di sampingnya hanya bisa menangis. Dua perawat memberikan pertolongan pertama. Gadis itu hanya melihat dengan air mata. Sungguh ia tidak menyangka kalau neneknya akan jatuh seperti itu. Ambulans segera sampai ke Rumah Sakit besar di kota itu. Neneknya tidak bisa dilihat lagi karena ia langsung di dorong masuk ke ruangan. Jihan berdiri bingung, entah apa dulu yang harus ia lakukan. Pikirannya linglung, apalagi karena gadis itu hanya mengurung diri di kamar dan tidak tahu apa-apa yang tengah terjadi di keluarganya."Suster, boleh saya meminjam ponsel?" tanyanya gugup. Ia bahkan tidak sempat dan tidak ingat untuk membawa benda pipih itu. "Saya ingin menghubungi ayah," ucapnya lagi."Silahkan, Mbak." Suster memberikannya ponsel. Jihan menekan nomor ayahnya. Ia meraba-raba, berusaha untuk mengingat. Nomor ayahnya tidak pernah berganti sejak dulu, hingga Jihan masih hapal.[Papa,] ucap Jihan gemetar.
"Syukurlah kamu datang." Pak Bagus menyambut menantunya di ruangan. Ia sengaja menunggu waktu di mana istrinya pergi. Ada hal yang harus ia lakukan di belakang wanita itu.Jihan pun yang melihat suaminya datang hanya menatap semu."Maaf, Pak. Di kantor banyak yang harus Hendra kerjakan." Pria itu bingung memilih alasan. Ia memang pergi tanpa pamit dan rasanya malu untuk kembali, tapi mertuanya menghubungi dan meminta untuk datang."Tidak apa-apa, Nak. Papa tidak tahu kalau pernikahan kalian menjadi seperti ini. Papa sangat malu, terlihat sangat tidak perhatian pada anak sendiri." Pak Bagus merasa bersalah. Ia hanya sibuk dengan dirinya.Hendra melihat Jihan yang masih diam membisu. Duduk di sofa dengan jiwa yang tampak lelah."Jihan melihat peristiwa terjatuhnya ibu. Dia sepertinya trauma. Papa khawatir keadaannya, namun tidak bisa meninggalkan ibu di sini sendiri. Boleh, papa minta kamu untuk menemaninya?" ucap Pak Bagus sembari melirik pada putrinya. Gadis itu benar-benar menjadi pe
"Pak, Mas Haris sudah siuman. Mela memanggil bapaknya yang tengah duduk di luar ruangan. "Apa?""Mas Haris siuman." "Benarkah?" Keduanya langsung masuk, Haris yang tertidur selama dua hari setelah mengalami panas tinggi akhirnya membuka mata."Syukurlah, Nak. Kamu sudah siuman." Pria tua itu mendekati Haris dan melihatnya dengan senang.Haris melihat satu persatu dari dua orang asing yang pertama ia lihat setelah siuman. Dan, ini yang kedua kalinya ia hampir kehilangan nyawa, dua orang itu masih setia menemani.Mata Haris menyapu sekeliling, ruangan putih bersih dan harum. Berbeda dengan ruangan pertama saat ia terbangun, sebuah langit-langit yang rendah dengan dinding kayu yang cukup dekat dengan tubuhnya. "Di mana ini?" tanyanya lemah."Di Rumah Sakit, Nak.""Rumah Sakit?" Haris sontak bangun."Tenanglah! Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan, perawatanmu sudah dibayar oleh seseorang. Kamu mendapatkan pengobatan yang sangat bagus hingga lukamu begitu cepat pulih." Jelas bapak tu
"Bagaimana?" Bu Nawang menyambut antusias kedatangan putranya yang baru pulang dari Bali. Ia sudah tahu kalau Bagus akan melamar Mayang lagi di sana untuk menjadikannya istri."Di tolak, Bu.""Apa? Ditolak? Si Mayang menolak anak ibu yang kaya raya ini?" Wanita tua itu tidak terima. "Apa dia sudah gila, beraninya menolak anakku? Si Mayang harus tahu banyak mengantri untuk menjadi istrimu, Bagus."Pak Bagus berjalan gontai menuju sofa dan menjatuhkan tubuhnya di sana. Setelah mendengar penolakan kejam itu, Pak Bagus tidak lagi berani dekat-dekat dengan Mayang, ia insicure pada dirinya sendiri."Apa alasan dia menolakmu? Apa dia meminta agar semua hartamu di alihkan atas namanya?" Bu Nawang masih tidak percaya ada yang menolak keinginannya."Mayang bilang, Bagus bukan lagi tipe pria idamannya, Bu.""Dia tidak suka sama pria gendut, perut buncit dan berleher pendek ini." Pak Bagus melanjutkan dengan nelangsa."Apa? Dia berani mengatakan itu pada anak semata wayangku?" Bu Nawang mulai mem
"Hanya 2 tas saja, Bu. Nggak bisa lebih!" Rasti sudah mewanti-wanti ibunya untuk tidak membawa banyak barang, seperti saat mereka pergi ke kampung Raihan, sebelumnya."Iya. Kamu udah bilang 4 kali sama ibu, Rasti," jawab Bu Mayang tidak menoleh. Ia terlalu sibuk dengan packingan bajunya. Menyiasati bagaimana cara semua barang bawaannya masuk ke dalam 2 tas seperti yang dikatakan putrinya itu."Ini, dia pasti butuh dan lupa membawanya. Ini juga harus aku bawa, Bu Widia akan marah besar, jika aku tidak membawanya." Wanita itu berpikir untuk memasukkannya pada kemasan yang lebih kecil. Hingga pukul 23.00 wanita itu masih sibuk mengepak barang-barang yang akan dibawa pergi.Di rumahnya sudah sepi, suara Raihan dan Rasti pun tidak lagi terdengar. "Apa mereka udah tidur?" Bu Mayang menyelinap ke bawah kursi ruang tamunya. Perlahan ia berjongkok dan memicingkan sebelah mata. Mengintip dari lubang kancing yang menembus ke kamar anak menantunya."Arg!" Bu Mayang terkaget sampat terbentur kursi
Rasti masuk ke dalam ruangan persidangan sesaat sebelum sidang di mulai. Raihan sudah duduk di sana bersama pengacaranya. Ia menoleh pada gadis itu yang hanya menunduk sambil berjalan hingga sampai ke tempat duduknya.Hakim memasuki ruangan sidang. Berkas perkara mulai dibacakan. Berkas tuntutan dari Rasti kosong. Ia tidak menuliskan apapun. Di matanya tidak ada kekurangan untuk suaminya itu.Rasti diminta untuk berdiri dan menjelaskan perasaannya secara langsung. Ia diberi kesempatan oleh hakim untuk mengungkapkan sendiri alasan dari penuntutannya. "Raihan adalah pria yang sangat baik. Itu alasan kenapa saya tidak menuliskan satu pun kekurangannya. Tapi, ada sesuatu yang tidak bisa saya ungkapkan pada halayak ramai mengenai gugatan perceraian ini. Saya dan Raihan sama-sama tahu alasannya. Saya sungguh minta, maaf," ucap Rasti menunduk. Tubuhnya terasa bergetar, ia bahkan meneteskan air mata di sana. Raihan yang tahu beratnya perasaan istrinya saat ini, sontak berdiri. Berkali-kali,
Pak Bagus duduk di samping ranjang ibunya. Ia tidak ingin kecolongan lagi, mungkin saja orang itu kembali. Sejak kejadian tadi malam, ia bahkan tidak bisa memejamkan mata. Menatap wajah ibunya yang sudah menua. Wanita di hadapannya bukanlah ibu yang sempurna, tapi apa yang dilakukannya adalah sebuah cara siaga untuk melindungi diri dan anaknya. Setelah melihat fakta sesungguhnya, mungkin puluhan tahun ini, apa yang ibunya lakukan tidak semua atas kehendaknya sendiri."Bu." Bagus menggenggam tangan ibunya. Ia mengelusnya sembari mengenang masa-masa yang telah lalu. Ibunya memang berwatak keras, tapi di mata Pak Bagus tidak ada orang sebaik ibunya, seburuk apapun wanita itu memperlakukannya. Ia bisa hidup hingga saat ini semua karena jasa-jasanya yang tidak akan mungkin terbalas. Apalagi mereka hidup berdua sejak dulu. Melihat ibunya kerja keras untuk menghidupinya, Pak Bagus tidak pernah melihat wajah ayahnya sendiri, hingga kini."Bangunlah, Bu. Kita masih bisa memperbaiki keadaan ini
"Argh! Sial!" Dara menumpahkan emosinya. Ia tahu pengacara itu mengkhianatinya."Pecat Haikal, sekarang! Jadikan, dia gelandangan!" pekiknya lagi saat Zaki mengunjunginya. Kemudian, menceritakan kalau pengacara yang datang kemarin adalah pengacara ayahnya. "Anak bodoh! Kamu memang tol*l!"Zaki hanya diam saat dimaki ibunya, ia menyadari kebodohannya."Lalu, bagaimana dengan nenek tua itu. Apakah dia sudah mati?"Zaki masih diam. Mata Dara bergerak mengintai."Bukankah kamu telah menghabiskan waktu dengan sia-sia, Zaki?" tanyanya emosi.Anak lelaki itu sudah kecanduan. Minumannya adalah alkohol, dan ia tidak bisa melepaskan game online di tangannya. Zaki lupa akan tugas-tugasnya dari sang ibu."Benar-benar, kamu!" Dara menendang meja di depannya, pemisah antara mereka. Zaki sampai berdiri kaget. "Cari pengacara lain, sekarang! Aku harus keluar dari sini!"Zaki segera pergi. Ia yang tidak punya relasi dan hanya menghabiskan hidupnya untuk dunia game, bingung. Uangnya yang banyak itu, ti
Raihan dan Rasti pulang ke rumah, malam hari. Bu Mayang tidak banyak bertanya tentang kedatangan mereka yang terlambat. Ia seperti lelah setelah perjalanan jauh. Rasti mendapati ibunya dengan mata mengantuk dan langsung kembali ke kamar setelah membuka pintu."Ibu, sudah tidur lagi," ucap pelan Rasti sembari menutup kembali pintu kamar ibunya yang ia baru saja dibuka. Memastikan.Raihan mengangguk. Mereka duduk sebentar di meja tamu. Rasti mengambil air minum untuk suaminya itu. Pria itu seperti ingin menyampaikan sesuatu."Sidang perceraian kita akan digelar, 6 hari lagi." Raihan mulai membuka pembicaraan. Suaranya kecil dan nyaris hilang. Ia sama sekali tidak ingin duduk di depan meja hijau itu.Rasti terdiam. Sebenarnya, ia selalu mengingat hari itu, di setiap detiknya. Apalagi setelah masa-masa kebahagiaan bersama Raihan dan keluarganya. Wanita mana yang ingin melepaskan keberuntungan itu?"Aku ingin kamu mempertimbangkannya kembali, Rasti. Kita bisa hadapi masalah ibu sama-sama."
Raihan dan Rasti sampai tidak lama setelah dihubungi ayahnya. Jaraknya saat itu memang tidak terlalu jauh."Rasti!" panggil Pak Bagus. Rupanya pria itu pun baru saja sampai ke Rumah Sakit."Ada apa, yah?" tanya Raihan saat Rasti hanya menengok saat namanya dipanggil, namun tidak mengucapkan satu kata pun.Pak Bagus menceritakan semua yang dikatakan oleh suster melalui telepon, sebelumnya. Rasti mendengarkan dengan seksama."Aku tidak tahu apa golongan darahku sendiri," jawab Rasti. Ia bahkan tidak pernah memikirkan itu. Ibunya pun belum pernah membawanya ke fasilitas kesehatan untuk memeriksa."Kalau begitu kita bisa cek dulu," ucap Raihan, menatap, meyakinkan persetujuan dari Rasti. Ia tidak ingin istrinya itu merasa terpaksa. Kalaupun Rasti tidak mau, ia akan tetap mendukung dan membelanya dari ayah mertua. "Kamu bersedia?" tanya Raihan memastikan.Pak Bagus pun tidak memaksa, ia paham betul perasaan Rasti saat ini. Siapa yang tidak akan berpikir, jika berada di posisi Rasti?"Ya."
Haris tidak punya waktu untuk kembali dan mencari penutup wajahnya. Ia tahu betul dua orang tadi mencarinya. Ia harus pergi sejauh mungkin, sekarang. Bersembunyi untuk sementara.Motornya kembali dipacu, ia menarik maksimal stang gas. meninggalkan kekecewaannya terhadap wanita yang dicintai. Mata petugas polisi lalu lintas langsung tertuju, menghubungi teman-temannya dan mengejar, mengepung.Mata Haris menoleh, "Sial!" Ia menyadari kalau dirinya dikejar. Matanya tak lagi sempat melirik kanan kiri, ia hanya fokus memacu kendaraannya ke depan. Kondisi tubuhnya belum benar-benar sehat, tapi ia tidak hiraukan itu. Lolos dan bebas, hanya itu yang ada di pikirannya.Mata Haris melotot, pasukan polisi sudah bersiap menjegal di depan sana. Berkeliling, mengepung. Bersiap melepaskan tembakan saat dia menyerobot garda terdepan. "Berhenti! Serahkan dirimu secara baik-baik!" Suara petugas terdengar menggema dari pengeras suara. Tapi, Haris tidak bisa berhenti. Ia tidak akan mungkin bisa lepas se
"Pak, Mas Haris sudah siuman. Mela memanggil bapaknya yang tengah duduk di luar ruangan. "Apa?""Mas Haris siuman." "Benarkah?" Keduanya langsung masuk, Haris yang tertidur selama dua hari setelah mengalami panas tinggi akhirnya membuka mata."Syukurlah, Nak. Kamu sudah siuman." Pria tua itu mendekati Haris dan melihatnya dengan senang.Haris melihat satu persatu dari dua orang asing yang pertama ia lihat setelah siuman. Dan, ini yang kedua kalinya ia hampir kehilangan nyawa, dua orang itu masih setia menemani.Mata Haris menyapu sekeliling, ruangan putih bersih dan harum. Berbeda dengan ruangan pertama saat ia terbangun, sebuah langit-langit yang rendah dengan dinding kayu yang cukup dekat dengan tubuhnya. "Di mana ini?" tanyanya lemah."Di Rumah Sakit, Nak.""Rumah Sakit?" Haris sontak bangun."Tenanglah! Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan, perawatanmu sudah dibayar oleh seseorang. Kamu mendapatkan pengobatan yang sangat bagus hingga lukamu begitu cepat pulih." Jelas bapak tu