Malan malam itu Hana nobatkan sebagai makan malam ter-awkward sepanjang hidupnya.Ares, Letta, dan kedua adik Evan sebenarnya bersikap biasa padanya. Bahkan Hana yakin Elaksi dan Elga sama sekali tidak mengetahui apa yang terjadi antara dirinya dan kakak mereka, kalau ditilik dari santainya mereka membicarakan Hana dan Evan yang tidak bertegur sapa, seperti orang bertengkar.Sementara Evan terlihat berusaha menghabiskan makan malamnya dengan cepat, ingin segera pergi dan mengakhiri prosesi makan malam keluarga yang berhasil menempatkannya duduk bersebelahan dengan seseorang yang sedang sangat tidak ingin ditemuinya. Kalau bukan karena mamanya yang setengah jam berusaha merayunya untuk ikut makan malam bersama, saat ini mungkin Evan sedang duduk makan malam dengan temannya atau sendiri di cafe."Jadi ini mau make gedung yang mana sih buat acara Mas Evan sama Hana? Kurang dua bulan lagi, gedung punya Ayah udah pada full booked, kan nggak bisa seenaknya aja cancel orang yang udah booked
"Han, kamu nggak siap-siap ke kantor?" tanya Ares saat sarapan.Malam sebelumnya, Letta memang berhasil membujuk Hana untuk menginap. Dengan usapannya di punggung Hana, akhirnya Hana bisa tenang dan mau kembali ke kamarnya.Hana sendiri tidak menceritakan apa pun pada Letta. Sepertinya ia hanya butuh bahu untuk bersandar."Kan Hana udah resign, Om," jawabnya sambil melirik Evan."Hah? Trus yang ngurus Evan siapa?" Ares sama sekali tidak mendengar tentang pengunduran diri Hana. Baik Evan maupun orang HRD tidak ada yang melapor padanya."Aku bisa ngurus diri sendiri, Yah."Ares mengangguk-angguk, tiba-tiba berubah pikiran. "Ya udah, kamu istirahat aja dulu, Han. Seneng-seneng, jalan-jalan. Liburan ke Bali atau Lombok sana. Kan kamu sejak jadi asisten Om jarang cuti. Cuti juga kalo lagi sakit doang."Hana tersenyum kaku. "Aku nanti mau ke kantornya Kak Azka, Om." Di depan orang tua Evan dan orang tua Azka, Hana memang memanggil Azka dengan sebutan 'Kak'. Tapi ia lebih terbiasa langsung m
"Apaan sih lo, Han? Dari tadi gue perhatiin, maju mundur, maju mundur, kayak lagi senam poco-poco."Hana menghela napas saat menyadari keberadaan Ribka yang baru saja menginjakkan kaki di lobby kantor. Ia sendiri sudah meragu sejak beberapa menit sebelumnya. Mungkin benar kata Ribka, ia seperti orang yang sedang senam poco-poco karena terlihat maju mundur berulang kali."Kenapa sih?" tanya Ribka bingung."Gue bingung gimana nanti ngadepin Evan." Hana terlihat ingin mundur lagi. "Aduh, gue mendingan kerja di Mahendra deh."Ribka terbahak. Ia memang sudah mendengar cerita lengkap dari Hana saat semalam dengan galaunya Hana meneleponnya dan cerita panjang lebar. "Hey, Hana Anindira. Mantan asisten Dirut yang paling disegani di kantor ini. Bisa-bisanya keder cuma gara-gara mau ketemu sama bos ganteng. Udah yuk ah." Ia lantas menggamit lengan Hana dan menyeretnya masuk.Setibanya di meja kerjanya yang dulu, Hana menghela napas berkali-kali, sambil mengamati nasi uduk di atas piringnya yang
“Hai, Mel,” sapa Arfindo santai. Ia sudah tahu kalau Melinda—yang juga satu jurusan dengannya—dan Evan akan ikut datang dalam makan malam itu karena Evan sempat menghubunginya saat siang.Lagipula, di kampus mereka, siapa yang tidak mengenal pasangan paling serasi, Evan-Melinda. Arfindo sama sekali tidak merasa kaget begitu Evan mengatakan akan mengajak Melinda. Yang membuatnya kaget justru saat Evan mengatakan akan mengajak Hana juga.Seperti mendapat lotere, Arfindo langsung kegirangan. Dulu ia benar-benar kesulitan mendekati Hana. Ares yang merupakan pimpinan tertinggi di Cakrawangsa Group tidak pernah membiarkannya berjarak kurang dari tiga meter di dekat Hana.Kesempatan yang tidak boleh dilepaskan kan!Melinda langsung menarik dan menempati kursi yang tersisa, di samping Arfindo.“Hai, Van. Hana ikut juga? Kupikir kita mau reunian.”Evan menghela napas berat.Runyam.Semula ia ingin mem
Ribka mengendap-endap undur diri dari suasana tegang di depannya. Evan masih menatap Hana, menunggu jawaban yang tidak kunjung keluar dari wanita itu.“Ke ruanganku, cerita di dalem!” Evan berbicara dengan nada memerintah dan berjalan lebih dulu masuk ke ruangannya.Hana mengekori Evan, beberapa langkah di belakangnya. Ia ikut masuk sebelum pintu ruangan Evan menutup sempurna.“Duduk!”Evan benar-benar terlihat seperti atasan yang hendak memarahi bawahannya. Bahkan ia mengambil posisi setengah bersandar pada meja kerjanya, meminta Hana duduk di kursi tamu yang ada di depan meja kerjanya, bukan di sofa seperti dulu kalau mereka sedang berbincang.“Kamu diapain?” tanya Evan lagi setelah Hana duduk di kursi yang ditunjuknya.“Kamu pikir dia bakal ngapain aku?”“Dia itu terkenal player dari jaman kuliah dulu, sampe sekarang juga dia belum berubah, nganggep cewek kayak tisu yang abis di
“Van.”Suara mamanya terdengar memanggil Evan saat ia baru saja menginjakkan kaki ke dalam rumah.Evan memang pulang agak telat dan tidak ikut makan malam bersama, wajar kalau mamanya menunggu di ruang keluarga sembari berkutat dengan laptopnya. Bukan berarti dia anak mama, tapi memang begitu perlakuan di keluarga Cakrawangsa, tidak hanya berlaku untuk Evan, tetapi juga untuk kedua adiknya, dan bahkan Hana kalau sedang menginap di sana.“Mama ngapain?”“Nunggu kamu,” jawab Letta singkat sambil tetap mengutak-atik keyboard laptop-nya.“Iya, aku tau. Maksudku itu loh, Mama lagi ngerjain apa, kok jam segini masih main laptop, bukannya kayak ibu-ibu lain yang nonton sinetron.”Letta berjengit ngeri mendengar seloroh Evan. “Enak aja! Mama? Nonton yang ribuan episode itu? Makasih deh.”Evan menatap layar yang sejak tadi dilihat mamanya dan seketika ia menelan ludahnya. Mamanya, seo
"Kesel banget gue sama dia." Hana menggeram tertahan."Kenapa lagi sih? Perasaan kemaren udah baekan. Kemaren sore bukannya udah pulang bareng?" Ribka menatap Hana dengan bingung.Keduanya tidak sempat makan di luar kantor karena harus menyiapkan meeting, dan akhirnya memilih makan siang di kantin kantor, daripada di atas meja kerja.Evan? Hana sudah menawarinya makan siang, tapi lelaki itu kembali ke mode dinginnya.“Gue rasa ya, di belakang punggungnya ada tombol on/off deh,” ucap Hana asal.Ribka terbahak meskipun belum mengerti ke mana arah pembicaraan Hana, namun yang jelas Ribka merasa lega melihat Hana bisa menceritakannya dengan terang-terangan. Ia tidak pernah suka melihat Hana menyembunyikan masalahnya. “Jadi lo udah grepe-grepe punggungnya?”“Astaga, Ribka! Mulut dijaga woy.”“Ya habisnya gue nggak ngerti maksud lo apa, trus apa lagi barusan ngomongin punggungnya, ya jangan salahkan
Evan melajukan mobilnya, berusaha menembus kepadatan jalan raya di saat rush hour. Jantungnya mulai menggila setelah mendengar kabar tentang Hana dari mamanya. Tanpa pikir panjang, ia menghubungi Hana, tetapi justru adiknya, Elga, yang menjawab, mengatakan kalau Hana berada di apartemen dan tidak bisa mengangkat telepon.Separah itu kah keadaannya sampai tidak bisa mengangkat telepon?Orang tua Evan juga bergegas menuju mobil yang dikendarai supir keluarga mereka, tapi tentu saja kecepatan supirnya kalah telak dibanding Evan yang menyetir seperti orang kesetanan.***"El, tolongin kakak buka pintunya, El." Hana tidak bisa meninggalkan apa yang sedang dikerjakannya, karena itu, ia meminta Elga untuk membuka pintu setelah mendengar bunyi bel berulang kali.Elga memang datang ke apartemen Hana sore itu. Semula ia ingin pergi ke kantor ayahnya dan meminta tumpangan pulang, tapi urung dilakukannya karena jarak apartemen Hana lebih dekat dengan tempat ia hang out bersama teman-temannya.Ba
"Lucu banget siiih." Vio yang menggendong sesosok bayi kecil tidak bisa mengalihkan matanya dari bayi yang belum bisa membuka mata itu. "Boleh bawa pulang satu nggak? Kan masih ada satunya lagi.""Kalo dia laper, lo mau nyusuin?" Hana mendelik ke arah Vio."Ck! Lucu banget tau, Han." Vio dengan gemasnya mengecupi pipi bayi merah itu."Udah pengen ya?" tanya Hana menggoda Vio yang agak terlihat kaku menggendong bayi di tangannya.Vio mengedikkan bahu sebagai jawabannya.Saat keduanya tengah bermain-main dengan bayi kembar itu, Evan dan Azka masuk ke dalam kamar rawat dengan dua tote bag yang berlogokan salah satu minimarket. Hana memang meminta pada suaminya untuk dibelikan cemilan karena makanan dari rumah sakit hanya mampu mengganjal setengah ruangan di perutnya."Van, si twin siapa sih namanya? Astaga, udah setengah jam aku nanya ke Hana, katanya kamu yang bakal ngasih tau karena kamu ngelarang dia ngasih tau. Apaan coba?"Evan tersenyum pongah. Ia memang melarang Hana memberitahukan
Hana mengusap peluh yang mulai terasa di dahinya. Ia berusaha menahan rasa sakit yang mulai menyergapnya. Evan masih tertidur pulas di sebelahnya.Setelah mengatur napasnya beberapa saat dan sakit di perutnya tidak kunjung mereda, tangan Hana terpaksa menggapai suaminya untuk membangunkannya."Maaas.""Hmm?" Evan mendengar panggilan istrinya tapi matanya masih enggan untuk membuka."Mas, perutku mules."Barulah setelah mendengar itu, mata Evan membuka sempurna. "Kontraksi?"Hana hanya bisa kembali mengatur napasnya. Ini yang pertama untuknya, bagaimana ia bisa membedakan itu kontraksi palsu atau kontraksi yang sebenarnya."Aku bangunin Mama dulu ya."Sejak satu bulan sebelum Hari Perkiraan Lahir (HPL), semua anggota keluarga Evan sudah menginap di rumah Evan, mama papanya, termasuk Elga dan Elaksi. Euforia dan khawatir yang berlebihan adalah penyebabnya. Tapi Evan juga tidak memungkiri kalau ia membutuhkan kehadiran mamanya yang sudah berpengalaman menghadapi proses persalinan."Masih
"Permisi, Pak." Ribka melongokkan kepala ke ruang atasannya setelah mendengar sahutan dari Evan yang mempersilakannya masuk."Kenapa, Rib?""Hana?"Evan hanya menunjuk dengan dagu posisi Hana yang sedang tidur di sofanya. Sejak kehamilan Hana, Evan sengaja mengganti set sofa di ruangannya dengan yang lebih besar agar Hana bisa tidur dengan nyaman.Apalagi kini kehamilan Hana menginjak tujuh bulan. Dengan perut sudah sebesar itu, sebenarnya Evan tidak tega membiarkan Hana masih bekerja, walau setengah hari kerja Hana hanya dihabiskan untuk tidur. Tapi ke-clingy-an Hana belum juga berkurang hingga Evan tidak mungkin membiarkannya di rumah sendiri."Kenapa nyari Hana?""Ada proposal yang nunggu approval Pak Evan. Dan belum di-review Hana. Tadi tim pengembangan 2 udah nanya hasilnya, Pak.""Langsung kirim ke saya aja, Rib. Biar saya periksa.""Nggak lewat Hana nggak apa-apa, Pak?""Lihat sendiri dia teler begitu." Evan terkekeh melihat Hana yang tertidur dengan nyaman tanpa merasa tergang
"Maaas, meluknya jangan kenceng-kenceng. Nanti dedeknya kegencet."Evan merenggangkan pelukannya meskipun rasanya masih belum rela."Gemes abisnya. Kamu jadi lebih enak dipeluk."Hana mendelik kesal. Pasti ada yang tersirat di balik ucapan suaminya itu. "Maksudnya aku gendutan? Jadinya empuk untuk dipeluk?""Ya ampun, jangan sensitif gitu dong, Han. Nanti kalo kamu kesel, baby-nya ikut kesel sama ayahnya gimana?"Hana mengerucutkan bibir karena kesal, tapi justru ditanggapi Evan sebagai kode untuk mencium bibir istrinya itu, yang semenjak kehamilannya sama sekali tidak pernah terpoles lipstik."Ya orang hamil memang gendutan, Sayang. Kalo nggak gendutan gimana lah, mesti kita periksain lagi ke dokter, apalagi kamu bawa dua baby di perut," ucap Evan setelah puas mengeksplorasi kelembutan bibir istrinya."Mas nggak akan ninggalin aku meskipun aku gendut kan?" tanya Hana tiba-tiba."Kok kamu jadi clingy banget sih sejak hamil?" tanya Evan sampai hampir terbahak. Tidak pernah terbayangkan
"Mbak Hana mikir apa?" tanya Bi Lastri yang memperhatikan Hana melamun sambil mengaduk lemon tea yang baru saja dibuatnya. "Jangan banyak pikiran, Mbak. Kasihan yang di perut."Hana tersenyum melihat kekhawatiran Bi Lastri padanya. Pasti mama mertuanya sudah mewanti-wanti ART di rumahnya untuk memperhatikannya.Ia memang sedang berpikir, tapi bukan masalahnya yang sedang menguasai pikirannya. Hari sebelumnya ia sempat mengobrol dengan Vio, dan curahan hati Vio tentang hubungannya benar-benar membuat Hana memutar otaknya.Dan inilah saatnya ia mencoba melakukan sesuatu untuk membantu hubungan sahabatnya."Bibi, minta tolong bawain minum sama cemilannya ke ruang tengah ya," ucap Hana, kemudian berlalu menyusul suaminya dan sepupu iparnya yang sedang mengobrol di ruang tengah."Mas, Arfindo udah punya cewek belum sih?" Kalimat pertanyaan pertama yang disampaikan Hana begitu menginjakkan kaki di ruang tengah membuat Evan mengernyitkan dahi."Ngapain nanyain Arfindo?"'Evan dan cemburunya.
"Jadi Evan nerima lo lagi?"Sudah beberapa minggu sejak keluarga Evan akhirnya tahu apa yang dilakukan Hana untuk menyelamatkan perusahaan. Hana sedang sibuk mempersiapkan pernikahannya dengan Evan yang disangka Vio tidak akan terjadi.Hana mengedikkan bahu, karena dia sendiri juga bingung dengan apa yang diinginkan Evan. "Lo sama Kak Azka gimana?""Loh kok jadi ngomongin gue?""Ayolah Vi, gue butuh hiburan kisah cinta orang lain daripada kisah cinta gue.""Nggak ada apa-apa, Han. Jadi nggak ada yang perlu gue ceritain.""Hah? Serius? Waaah, Kak Azka mesti didorong nih."Hana meraih ponselnya dari dalam tas kemudian sibuk mengirim pesan pada Azka, sementara Vio menatap makan siang di depannya dengan malas padahal dia yang sejak pagi mendesak Hana untuk menemaninya makan siang di salah satu restoran kesukaannya.Keduanya larut dalam obrolan sampai Hana tidak sadar kalau makanannya sudah habis sementara makanan Vio bisa dibilang masih utuh."Makan yang bener, Vi.""Lo kayak nggak pernah
"See? Dia udah nggak ada perlu lagi, makanya nggak ngehubungin." Vio menatap ponselnya dengan kesal. "Emang dia nggak ada rasa. Sadar dong, Vio!" Vio berusaha meyakinkan diri sendiri kalau perasaannya tak berbalas.'Telepon duluan aja!' Entah sisi hatinya yang mana yang sedang berbisik."Dih, nggak ada ceritanya seorang Vio ngehubungin laki-laki duluan." Sambil menggeram kesal, Vio menjauhkan ponselnya, kemudian mencoba larut dalam berkas gugatan yang baru saja dikirimkan stafnya melalui e-mail.Sepanjang hari Vio berusaha menyibukkan diri sendiri, dan jika mode Vio yang seperti ini sedang kumat, maka yang menjadi buklan-bulanannya adalah para staf dan junior pengacara di law firm itu. Vio bisa saja bekerja seakan besok hari kiamat, dan hari itu juga semua berkas perkara atau pledoi yang sedang mereka siapkan harus selesai."Kenapa sih Mbak Vio?" bisik Indri pada Laras."Putus cinta kali, kayak biasanya. Masih kaku aja, tau sendiri kita rutin ngalamin hal ini beberapa bulan sekali.""
Vio mengerjap pelan, diiringi dengan suara terkikik pelan dari resepsionis yang mendengarkan ucapan Azka yang hanya berjarak tidak lebih lima meter darinya."Hmm ... Mas, bukannya aku sok sibuk. Tapi aku ngecek jadwalku dulu ya—"'Dan kesiapanku.' batin Vio. Andai ia bisa mengutarakannya. Tapi tidak lama kemudian ia sadar kalau Azka dan mamanya berurusan dengannya hanya demi Hana, tidak ada niat lain. Ia hampir tertawa kalau tidak ingat Azka masih berada di depannya."Ya udah, jangan dipaksain kalo gitu, nanti aku whatsapp lagi ya, kamu bisa atau nggak-nya."Vio mengangguk mengiakan. Sebenarnya ia lebih senang ditelepon, paling tidak ia bisa mendengar suara berat Azka, tapi tidak mungkin diungkapkannya kan."Aku ... berangkat kerja dulu ya."Kali ini suara terkikik Achi semakin keras dan baru berhenti setelah Vio memelototinya."Mbak Vio kayak lagi main rumah-rumahan deh."Kalau saja wanita itu tidak lebih tua dari Vio, mungkin Vio akan memarahinya habis-habisan. "Main rumah-rumahan?
"Ma, Pa, aku nggak sarapan di rumah ya." Azka bergegas merapikan barangnya ke dalam tas ransel sambil berpamitan pada kedua orang tuanya yang sedang duduk menyantap sarapan."Ke mana, Ka? Pagi banget?""Jemput Vio, Ma. Semalem dia kuanter pulang, pagi ini dia naik apa kalo mobilnya di kantor?"Rimbi terbengong mendengar jawaban Azka. Sementara Ferdi menahan tawanya."Demi dapet alamat Hana. Pergi dulu Ma, Pa." Azka mencium tangan kedua orang tuanya lantas berlalu pergi.Setelah Azka hilang dari pandangan mereka, barulah Ferdi berani meledakkan tawanya. "Udah, kamu aja yang turun tangan. Nungguin hasil dari Azka pasti lama.""Emangnya Azka ...?" Rimbi menatap suaminya dengan bingung."Kali ini Azka dapet lawan yang sepadan, kayaknya kamu yang mesti turun tangan."***Azka melajukan mobilnya ke sebuah perumahan elit. Jelas Azka tahu di mana Vio tinggal karena sudah beberapa kali mengantar Hana ke rumah itu, dan malam sebelumnya pun ia mengantar Vio sampai depan gerbang rumahnya. Akan te