Mata Hana menatap satu per satu keempat orang yang berdiri di depan pintu kamarnya dengan bingung.Azka mengacak rambut Hana karena kesal telah membuatnya repot berhari-hari mencari alamatnya pindah."Sorry." Vio menggerakkan mulutnya tanpa suara. Di sampingnya berdiri seorang wanita yang mampu mengintimidasinya untuk mengantarkannya langsung ke unit apartemen Hana.Padahal Vio berhasil bertahan dari bujukan Azka selama beberapa hari belakangan untuk membocorkan di mana Hana tinggal. Tapi siang tadi, Azka menghubungi Vio untuk bertemu dan mengajak mamanya yang hanya dalam waktu beberapa menit mampu mengintimidasi Vio, hingga kini mereka semua berdiri di depan pintu apartemen Hana.Hana sendiri tidak kaget kalau akhirnya Vio membocorkan alamatnya. Bagaimana pun juga Rimbi memang hampir selalu bisa mengintimidasi orang lain. Tapi yang Hana bingung adalah keberadaan Evan yang berdiri di belakang Rimbi. Bukankah tadi ia meninggalkan Evan di parkiran mall? Jadi, Evan membuntutinya sampai k
"Evan, senyum dong. Kamu kayak mau dibawa ke tiang gantungan," ucap mamanya berusaha mencairkan suasana tegang di kamar hotel itu.Hari ini, Evan harus mengubur semua mimpinya, meninggalkan usaha yang dirintisnya demi memenuhi permintaan orang tuanya untuk terjun ke dalam perusahaan keluarga ayahnya."Ma ...." Masih ada waktu, mungkin ia masih bisa meyakinkan mamanya untuk membatalkan permintaan mamanya itu."Evan, maafin Mama ya," ucapnya dengan mata berkaca-kaca. "Kalo aja ayahmu masih muda, Mama nggak akan minta kamu buat ngelakuin yang sebenernya nggak kamu suka. Maafin Mama ya, Van."Melihat sudut mata mamanya yang sudah basah, tangan Evan langsung menggenggam tangan mamanya. "Nggak apa-apa, Ma. Aku ... coba ngerti. Ini tanggung jawabku sebagai anak sulung."Evan mencoba tersenyum di depan mamanya, walau hatinya juga hancur."Hei, Van! Kamu apain Mama kamu sampe matanya berkaca-kaca?" tanya ayahnya panik begitu keluar dari kamar mandi."Posesif," ledek Evan saat melihat kebucinan
"Evan!" Hana menatap Evan yang bersandar pada dinding, berusaha untuk berdiri tegap walaupun kesulitan."Panggil ... aku 'Pak'!" ucap Evan dengan nada yang menyiratkan kalau dia sudah benar-benar mabuk."Kita udah di rumah, Van. Aku nggak perlu manggil kamu 'Pak'. Oh please, Van. Aku juga pusing banget gara-gara kamu paksa minum."Evan terkekeh, kemudian menatap Hana tanpa berkedip. "Bohong!""Aku mau balik ke kamarku," ucap Hana tegas. Kepalanya semakin berdenyut dan matanya hampir menutup karena kantuknya tidak tertahan lagi. Hana lantas melangkah, mengabaikan Evan dengan segala ucapannya yang mulai tidak masuk akal.Tapi lagi-lagi Evan menariknya, kali ini hingga ke arah kasur dan mendorong Hana dengan cukup keras.Hana menggeram kesal. Namun sepertinya Evan tidak memperhatikannya."Kamu asistenku," ucapnya sambil menyeringai dan menahan tangan Hana.Meskipun Evan sedang mabuk, tapi tenaganya nyatanya masih bisa untuk mendorong dan menahan Hana dengan posisi mengungkungnya di atas
Letta mematung di depan pintu, sebelum akhirnya berhasil menguasai diri dan berjalan ke arah kasur untuk menyeret anaknya agar bangun. Sementara Hana yang kini telah berdiri dengan hanya mengenakan kemeja Evan, menambah pemandangan yang membuat Letta menghela napas."Evan!" Letta memukul betis Evan yang sedang tengkurap, berkali-kali, karena hanya itu area yang bisa dijangkau Letta.Meskipun Evan sering berolah raga, terutama pergi ke gym, hingga otot-ototnya tidak perlu diragukan lagi bagaimana liatnya, pukulan mamanya yang merupakan pemegang sabuk hitam tae kwon do dan mantan atlet tae kwon do saat SMA tidak perlu ditanya lagi kekuatannya.Evan langsung berteriak pada pukulan kedua, dan masih terus berteriak karena mamanya belum berhenti memukulnya. Pada akhrinya, entah di pukulan yang ke berapa, Evan tidak kuat lagi dan bangkit dari posisinya. Ia berdiri di atas kasur mengambil jarak sejauh mungkin dari mamanya."Mama kenapa sih?" tanya Evan bersungut. Tidak biasanya mamanya memban
"Kak, ngerasa aneh nggak sih sama suasana makan tadi?" tanya Elga yang mengekori Elaksi menuju kamarnya usai sarapan."Aneh gimana?" Elaksi memang paling cuek di antara tiga bersaudara itu, karenanya ia tidak memperhatikan hal-hal detail seperti adiknya, Elga yang berbeda delapan tahun darinya itu."Mama sama Ayah kayak kelihatan tegang gitu. Trus Mas Evan kayak ketakutan gitu, nunduk terus. Apa Mas Evan ngelakuin kesalahan ya, Kak?""Ya ampun, El. Mas Evan udah sedewasa itu, bukan anak sekolahan lagi yang ketahuan nilainya jelek atau cabut dari sekolah. Kesalahan apa yang bisa bikin dia ketakutan kayak asumsimu? Tidur sama cewek?""Hush! Kakak ah. Ngomongnya itu loh."Elaksi terbahak melihat adiknya yang bergidik ngeri sambil merebahkan diri di kasurnya.Di keluarga Cakrawangsa, tidak mengenal istilah seks sebelum menikah. Ares dan Letta selalu mengajarkan kepada mereka untuk tidak melakukannya sebelum menikah. Ares tahu hal itu sulit, di zaman sekarang yang serba bebas, apalagi jik
"Kenapa kamu masih di kamarku?" tanya Hana yang mendapati Evan masih berada di dalam kamarnya."Ini gudang," balas Evan. "Mama bilang apa?"Hana terdiam, ia masih mengingat bagaimana raut wajah mama Evan saat memintanya menikah dengan Evan. Wanita itu bahkan memohon kepadanya, bukan hanya sekadar meminta.Kecelakaan yang dialami orang tuanya saat ia masih duduk di bangku kelas 2 SD membuatnya benar-benar terpuruk. Menjadi seorang anak yatim piatu tidak pernah ada dalam bayangannya. Sejak itu, Hana tinggal dengan kakek dari pihak ibunya, namun sekitar dua tahun kemudian, kakeknya juga meninggal karena sakit. Ia tidak bisa tinggal di keluarga ayahnya, karena ayahnya hanya punya saudara jauh, tidak ada keluarga inti yang bisa merawat Hana.Sejak itu, Ares dan Letta merawat Hana layaknya anak sendiri. Tidak pernah sekali pun Ares dan Letta membedakan perlakuan mereka terhadap anak kandung mereka dan Hana.Karena itu lah, Hana menyayangi dan menghormati Ares dan Letta layaknya orang tua se
"Selamat pagi, Pak," ucap Hana sambil menunduk singkat saat melihat Evan melewati mejanya untuk masuk ke dalam ruangan.Evan tidak menjawab sapaan Hana, bahkan melemparkan senyuman pun tidak.Hana mengoceh tanpa suara melihat kelakuan Evan padanya."Mbak Hana kenapa?" tanya seorang cleaning service yang bertugas membersihkan lantai itu saat melihat mulut Hana komat-kamit.Hana mencebik kesal. "Tuh, bos songong," jawabnya singkat."Oh, bos yang baru ya, Mbak? Anaknya Pak Ares? Masa sih songong, Mbak? Pak Ares baik banget loh.""Nggak semua buah jatuh deket pohonnya, Mbak. Kali aja buahnya sebelum jatuh ke tanah udah kesundul sama jerapah, trus nggelundung jauh," jawab Hana asal.Cleaning service bernama Tina itu terbahak mendengar gerutuan Hana di pagi hari. "Tapi ganteng, Mbak. Wajar songong.""Ih." Hana makin berdecak kesal mendengar pujian Tina terhadap Evan. "Teori dari mana itu?"Mengabaikan Tina yang masih mengelap dispenser sambil terkekeh, Hana memilih mengetuk pintu ruangan Ev
"Mana bahan buat meeting siang ini?" tanya Evan sedikit berteriak kesal pada Hana yang baru masuk ke dalam ruangannya."Kan sudah saya email, Pak," jawab Hana juga tak kalah kesalnya."Saya mau print out-nya," desak Evan.Hana mengernyit, tapi kemudian menurut pada Evan. "Sebentar, Pak," ucap Hana sambil menahan geraman kesalnya. Ia keluar ruangan Evan dan kembali tak lama kemudian. "Jadi, mulai sekarang Pak Evan maunya bentuk print out, bukan softcopy via email?" tanya Hana memastikan."Ya terserah saya mau bentuknya apa," jawab evan dingin.Ingin rasanya Hana mencekik laki-laki di depannya ini. Padahal dulu saat menjadi asisten Direktur Utama, pekerjaannya tidak seruwet ini. Hey, Evan hanya Direktur Pengembangan Usaha dan tingkahnya melebihi Komisaris Utama."Baik, Pak. Lain kali saya tanyakan dulu ke Pak Evan. Maaf, soalnya saya baru tahu kalau untuk bahan meeting pun harus mengikuti mood Pak Evan yang naik turun." Hana lantas pergi begitu saja setelah menyentil ego Evan.Evan mend
Mata Hana menatap satu per satu keempat orang yang berdiri di depan pintu kamarnya dengan bingung.Azka mengacak rambut Hana karena kesal telah membuatnya repot berhari-hari mencari alamatnya pindah."Sorry." Vio menggerakkan mulutnya tanpa suara. Di sampingnya berdiri seorang wanita yang mampu mengintimidasinya untuk mengantarkannya langsung ke unit apartemen Hana.Padahal Vio berhasil bertahan dari bujukan Azka selama beberapa hari belakangan untuk membocorkan di mana Hana tinggal. Tapi siang tadi, Azka menghubungi Vio untuk bertemu dan mengajak mamanya yang hanya dalam waktu beberapa menit mampu mengintimidasi Vio, hingga kini mereka semua berdiri di depan pintu apartemen Hana.Hana sendiri tidak kaget kalau akhirnya Vio membocorkan alamatnya. Bagaimana pun juga Rimbi memang hampir selalu bisa mengintimidasi orang lain. Tapi yang Hana bingung adalah keberadaan Evan yang berdiri di belakang Rimbi. Bukankah tadi ia meninggalkan Evan di parkiran mall? Jadi, Evan membuntutinya sampai k
"Ya menurut lo siapa lagi? Pasti ada andil dia lah. Lo tau kan betapa susahnya nyari investor dalam keadaan perusahaan yang hampir collapse gini. Kalo Melinda nggak ikut campur, mana mau PT Wijaya nanemin investasinya." Ribka dengan penuh emosi menceritakan kejadian-kejadian di dalam perusahaan semenjak Hana resign.Siang itu, mereka sengaja mengatur janji temu untuk makan siang bersama demi berbagi cerita."Lo baik-baik aja, Han?"Hana mengangguk sambil mencoba melemparkan senyum (sok) tegarnya. Mana mungkin ia mengatakan kalau ia tidak baik-baik saja, walau kenyataannya hidupnya kini tanpa tujuan, dan benar-benar tidak ada keluarga atau orang lain yang bisa dianggap keluarga setelah kejadian itu. Tidak mungkin kan keluarga Cakrawangsa masih menganggapnya keluarga?"Bos ganteng kayaknya nggak baik-baik aja deh, Han. Dia tuh kayak ngalihin stresnya dia ke kerjaan. Mana mukanya sepet banget setiap hari." Ribka memandang Hana penuh harap. "Nggak bisa ya lo balik jadi asistennya? Bisa gi
Hana baru saja selesai bersiap, dan bunyi bel kamarnya membuatnya bergegas untuk membukakan pintu."Bang, sekarang?" tanya Hana begitu melihat sosok Ibra di depan pintu kamarnya."Kamu udah siap?"Hana mengangguk kemudian kembali masuk ke dalam kamar untuk mengambil tas serta mengenakan sepatu. Keduanya tengah menginap di Four Seasons Hotel, Kuala Lumpur, demi membuktikan hubungan mereka pada Frans, pengacara yang mengurus harta warisan untuk Ibra."Ayo, Bang," ajak Hana.Ibra mengulum senyumnya. Tidak biasanya Hana terlihat kaku selama dekat dengannya. "Santai, Han. Inget rencana kita. Kita mau pura-pura liburan berdua dan nggak sengaja ketemu Om Frans."Hana mengangguk-angguk sambil menghela napas."Om Frans bakal percaya nggak ya, Bang?""Kalo kamu setegang ini, ya ... mungkin Om Frans nggak bakal percaya. Makanya rileks." Ibra lantas mengulurkan tangannya sebagai kode kepada Hana untuk menggenggam tangannya. "Suruhan Om Frans bisa jadi ngikutin kita. Jadi begitu keluar dari kamar
"Pagi-pagi banget joging-nya, Van?" tanya Ares yang melihat putranya masuk ke halaman rumah dengan keringat yang tercetak jelas di kaos yang ia kenakan."Iya, Yah. Tadi nggak bisa tidur lagi jadi mendingan nyari keringet aja," jawab Evan.Ares menghela napas. Sebenarnya ia tahu kalau Evan sedang berusaha menghentikan kebiasaan yang selama ini dilakukannya, yaitu bangun pagi, bersiap, dan pergi ke apartemen Hana bahkan saat matahari masih mengintip malu.Sejak istrinya memberitahunya perihal hubungan Evan dan Hana yang berakhir, Ares mencoba sebisa mungkin untuk tidak membicarakan tentang Hana. Pun begitu, perintahnya pada semua orang yang ada di rumah."Van, nanti malam ada undangan gala dinner. Kamu udah dijadwalin kan sama sekretarismu?""Udah, Yah.""Dateng bareng Ayah sama Mama aja."Evan mengangguk. Lagipula dia harus datang bersama siapa lagi kalau bukan dengan kedua orang tuanya?Meski Evan sebenarnya sangat malas menghadiri acara semacam itu, tapi ia sadar kalau di acara-acara
Evan terbangun di ruang tamu apartemen Hana. Di lantai, tapi dengan bantal sofa yang sudah menyangga kepalanya dan selimut yang menutupi tubuhnya. Kepalanya masih terasa berat. Seperti sebelumnya saat ia mabuk, ia tidak ingat apa yang terjadi.“Shit! Ngapain gue di sini?” Evan lantas angkat kaki dari apartemen itu dan setelah malam itu, ia bersumpah tidak akan menginjakkan kaki lagi di sana.“Nginep di mana semalem kamu, Van?”Evan baru saja melangkahkan kaki masuk ke dalam rumahnya dan suara dari seseorang yang paling disayangnya membuatnya berhenti seketika.“Di apartemen Kevin, Ma,” dustanya.“Kamu minum?” tebak Letta. Matanya sudah membulat sempurna, bersiap untuk memberikan kuliah empat SKS untuk anak laki-lakinya yang selalu berulah itu.“Aku ke kamar dulu ya, Ma.” Tanpa menjawab pertanyaan mamanya, Evan memilih berlalu. Ia pun tidak bisa berbohong di depan mamanya. Biarlah omelan mamanya ia terima nanti ketika kesadarannya sudah kembali seutuhnya.Letta menghela napas berat. N
Evan mendorong kasar tubuh Hana hingga terpelanting ke atas kasur. "Tolong bilang kalau apa yang kulihat salah, Han!" bentaknya. Ia masih berusaha sekuat tenaga untuk meredam amarahnya."Apa yang barusan kamu lakuin? Jawab, Han!" Evan mencengkeram lengan bagian atas Hana dan mengguncang tubuh Hana karena wanita itu sama sekali tidak menjawab pertanyaannya. Jangankan menjawab, wanita di depannya itu tidak mengeluarkan ekspresi sama sekali, menangis pun tidak."Ada hubungan apa kamu sama dia?"Melihat Hana yang masih teguh pada pendiriannya untuk tidak menjawab, membuat Evan yakin kalau Hana memang memiliki hubungan dengan Ibra.Tanpa berkata apa-apa lagi, Evan melepas cincin tunangan di jari manisnya dan melemparkannya ke sembarang arah.Brak!Suara pintu yang dibanting itu membuat Hana kembali ke kesadarannya, Evan telah pergi meninggalkannya."Hana, kamu nggak apa-apa?" Suara itu, suara yang familiar sekaligus asing baginya. Bukan Evan lagi kini yang menanyakan keadaannya.Ibra berjo
Ibra: Udah dapet apartemen Han?Hana: UdahIbra: Harus banget pindah apartemen juga?Hana: Apartemen ini kan punya Om AresHana: Nggak mungkin aku tinggal di sini, Evan bisa setiap saat ke siniIbra: Kapan pindah? Butuh bantuan?Hana: Dalam waktu dekat. Setelah aku ngomong ke EvanIbra: Belum ngomong juga?Hana:BelumIbra: Aku ke apartemenmu ya besok. Ada beberapa hal yang mesti aku omongin dan lusa aku ke luar kotaHana: OkSetelah bertukar pesan dengan Ibra, Hana yang semula berbaring di atas tempat tidurnya memilih keluar dari kamar. Ia mengedarkan pandangan ke setiap sudut apartemen itu, apartemen yang telah ditinggalinya sejak ia mulai kuliah hingga kini dia bekerja di Cakrawangsa Group. Ares dan Letta sempat keberatan saat Hana mengutarakan ingin pindah dari kediaman mereka, tapi akhirnya mereka mengiakan dengan syarat Hana menempati salah satu apartemen milik Ares, agar mereka masih bisa memantau keadaan Hana.Hana menurut, walau sebenarnya ia ingin hidup di kost atau sewa rum
“Kamu yakin, Han? Ini nggak bakal gampang.”Hana terdiam. Malam sebelumnya ia sangat yakin mengambil langkah itu. Kini saat ia berada di hadapan Ibra, tiba-tiba keberaniannya menguap.Ibra menatap Hana dengan lekat. Bohong kalau dia bilang tidak mau memenuhi permintaan Hana. Bukan semata-mata karena ia ingin menolong Hana. Tapi ... perasaannya ternyata memang untuk Hana, dan bodohnya, ia baru menyadarinya setelah Hana dekat dengan Evan.Tepatnya ketika malam di mana ia makan bersama Hana dan Evan datang tiba-tiba.Ibra ingat bagaimana ia kebingungan usai Hana pergi dengan Evan kala itu.***-Malam saat Ibra akhirnya sadar dengan perasaannya-"Lah, Bang. Hana mana?" tanya Vio yang memang terlambat datang karena meeting-nya yang tidak selesai-selesai.Sedianya, mereka makan malam bertiga karena Hana merengek ingin lasagna. Tapi saat Vio tiba di cafe langganannya, hanya ada abangnya yang terlihat menatap risoto di depannya dengan tatapan kosong."Abang. Astaga! Adeknya nanya loh ini. Ma
Hana dan Ibra menatap Vio dengan penuh pertanyaan."Apa maksudmu, Vi?" tanya Ibra yang tidak tahan lagi menunggu adiknya berbicara."Abang lupa kalo nenek ninggalin warisan kita berupa saham Global Investama?"Hana membungkam mulutnya dengan tangannya sendiri. Harapannya seketika muncul."Jangan ungkit itu, Vio. Kita nggak akan ngambil warisan itu. Kita nggak perlu. Apa yang dipunya keluarga Wasesa lebih dari cukup untuk masa depan kita."Vio menghela napas. Dalam hatinya, ia benar-benar ingin membantu Hana, sahabatnya itu, yang sudah beberapa minggu marah dan mendiamkannya. Tapi benar yang abangnya katakan. Mereka sudah punya kesepakatan untuk tidak mengambil bagian warisan yang ditinggalkan nenek mereka."Tunggu! Aku masih belum ngerti deh." Hana menatap Vio dengan tajam. "Apa hubungannya kata-kata Vio tadi sama warisan.""Warisan buat Bang Ibra sama gue, yang berupa saham di Global Investama itu baru bisa dikasih ke kami, kalau ... Bang Ibra sudah punya pasangan.""Hah?" Hana benar