“Ugh…” Lydia mengernyit kemudian meringis pelan menahan sakit saat bangkit dari toilet duduk, tuk kemudian berjalan ke wastafel.
Setelah mencuci tangan, Lydia menatap pantulan dirinya di cermin. Dengan mata telanjang sekalipun bisa terlihat dengan jelas bintik-bintik merah di area lehernya. Tidak banyak sih, tapi ada satu hal yang paling mencolok. Di sekitaran pangkal leher Lydia, ada bekas serupa jari yang agak samar. Seolah dirinya pernah dicekik. Dan tak usah ditanya jejak jari siapa itu. Itu adalah milik Reino Andersen. "Ini benar-benar gila. Bagaimana mungkin jadi seperti ini sih? Polar Bear itu nyaris memhunuhku." Lydia yang sudah teringat kejadian semalam, jadi merinding. Itu benar-benar malam yang panas dan brutal. Lydia harus ingat untuk menutupi ini sebentar sore, sebelum ibu dan adiknya pulang ke rumah. “Mau buang hajat aja menderita banget ya Tuhan,” gumam Lydia setelah berhasil kembali berbaring di ranjangnya. Sumpah demi apapun, Lydia merasa sangat kesakitan sekarang ini. Mana yang katanya surga dunia itu? Pada prosesnya memang enak, tapi kalau sesudahnya sakit begini jelas tidak menyenangkan lagi. Apalagi perut bagian bawah Lydia ikutan sakit. Lydia berpikir sebentar. Dia sedang menimbang, perlukah dia bertanya pada sahabatnya yang sudah lebih berpengalaman? Siapa tahu saja salah satu dari mereka tahu cara mengatasi rasa sakit ini. Soalnya besok dia sudah harus kembali bekerja lagi. Lydia tidak bisa izin sakit 2 hari tanpa surat keterangan dari dokter. “Tidak mungkin kan aku dapat pengantar dari dokter kandungan dengan keterangan ‘olahraga’ berlebihan?” gumam Lydia menutup wajahnya dengan bantal. “Astaga.” Lydia terlonjak kaget karena ponselnya berdering nyaring. Dan dia segera mengangkatnya. “Ya, halo Ma. Ada apa menelepon?” “LYDIA,” teriak sang mama keras sekali. Lydia sampai harus menjauhkan ponselnya dari kuping. “Astaga, Nak. Kamu semalam dari mana aja? Kenapa gak pulang? Kamu tahu betapa syoknya Mama waktu lihat kamar kamu kosong dan masih rapih banget? Mana Mama telepon dari kemarin, tapi kamu gak angkat. Tadi telepon ke kantor katanya kamu tidak masuk kerja.” “Mama bahkan hampir gak ngantor buat nyariin kamu. Kenzo juga nyaris mama suruh bolos kuliah buat nyari kamu. Bukannya balik telepon, malah kirim chat saja. Seolah gak ada apa-apa.” “Sorry, Ma,” ringis Lydia pelan. Dia benar-benar lupa menelepon balik ibunya itu. Untung saja Lydia sempat mengirim chat untuk mengabarkan kalau dia sudah di rumah. “Kamu ke mana saja semalam? Kemarin kan cuma izin lembur.” Lydia makin meringis karena kebohongan yang dia katakan kemarin. Dia tidak yakin akan diberi izin kalau bilang mau pergi club malam. “Habis lembur diajak makan bersama teman kantor, Ma. Acara divisiku gitu. Gak enak nolaknya,” jawab Lydia dengan kebohongan lain. “Terus kenapa gak pulang?” “Karena kemalaman, aku nginap,” jawab Lydia takut-takut. Andaikata sang mama menanyakan dia menginap di mana, Lydia pasti tak akan bisa menjawab lagi. Kalaupun dia bisa menjawab, mamanya bisa saja menelepon orang yang disebut namanya itu untuk konfirmasi. Dan kalau itu terjadi, nyawa Lydia bisa melayang. “Berterima kasihlah pada Erika karena mau menampungmu. Untung kamu punya teman yang baik.” “Mama menelepon Erika?” tanya Lydia sedikit bingung. “Tentu saja. Mama menelepon semua temanmu. Dan akhirnya tenang setelah menelepon Erika.” Lydia bernapas lega. Sahabatnya itu telah menyelamatkan dirinya. Lydia harus ingat menelepon sahabatnya itu untuk berterima kasih, setelah omelan ibunya selesai. Dan sekarang Lydia jadi tahu harus bertanya ke mana. “Thanks buat bantuannya semalam.” “Anytime. Tapi kau ke mana sih gak pulang ke rumah? Aku jadi harus bohong sama mamamu biar dia gak panik,” Erika yang penasaran langsung bertanya. “Gimana ya ngomongnya,” jawab Lydia tiba-tiba saja meragu untuk bertanya pada Erika. Kalau Lydia bertanya, itu berarti dia harus menceritakan banyak hal. Dan kalau Erika sangat kepo, bisa jadi pernikahan kontraknya pun terpaksa diceritakan. Padahal pada ibunya saja Lydia tidak pernah bercerita. Erika sih sama sekali tidak memaksa kalau sahabatnya itu tidak mau bicara, tapi Lydia jadi merasa bersalah karena sudah menyusahkan. “Aku katakanlah berbuat kesalahan semalam,” jawab Lydia ragu-ragu. “Biar kutebak. One night stand dengan orang asing?” “Kind of,” jawab Lydia dengan ringisan pelan. Sama sekali tidak kaget Erika bisa menebak dengan tepat. “Kok kind of? Kau udah punya pacar atau punya FWB?” “Nope. Aku belum punya pacar atau sejenisnya. Maksudku aku melakukannya dengan seseorang yang kukenal dan... begitulah.” “Begitulah bagaimana?” “Dia atasanku dan...” “Excuse me? Atasan?” Erika memotong kalimat sahabatnya itu. Lydia mengangguk, kemudian segera sadar kalau dia sedang menelepon dan Erika tidak bisa melihatnya. “CEO lebih tepatnya.” Lydia mulai menceritakan beberapa hal terkait pekerjaan. Para sahabatnya sudah tahu hal itu, tapi belum dengan dirinya yang dipanggil bos besar. Kemudian berlanjut ke pertemuan tak disengaja semalam. Oh, dan Lydia juga tentu tidak menceritakan adegan panasnya. Dia hanya bercerita soal bekas sidik jari di lehernya. “Sampai ada sidik jari?” “Ya. Dan aku juga kesakitan di bagian perut bawah dan di bagian bawah juga.” “Itu masih normal karena baru pertama kali, tapi sidik jari? It’s truly hard and rough. Tidak heran kalau perutmu sampai sakit. Dia gak kelainan kan?” “Kelainan seksual gitu? Kalau itu aku tidak tahu,” jawab Lydia jujur. Dia nyaris tidak pernah berinteraksi dengan Reino, bagaimana bisa dia tahu? “Kalau pun ada itu bukan urusanmu lagi. Kau berniat menghindarinya kan?” “Yah. Sebisa mungkin.” "Ya udah. Artinya kau tidak perlu pusing dengan hal lain. Fokus saja pada dirimu sendiri.""Kuharap juga bisa seperti itu," balas Lydia terdengar lesu sekali. " Soalnya dia kan bosku. Bukan tidak mungkin kami papasan lagi." "Asal dia tidak mengajakmu bercinta seperti Mr. Grey di Fifty Shades." "Jangan gila dong." Setelah pembicaraan lumayan panjang, Erika mengakhiri pembicaraan dengan menyuruh sahabatnya istirahat. Hanya itu saja, tidak ada lagi yang lain. Dan Lydia juga lupa memberitahu Erika untuk merahasiakan ini dari yang lainnya. Sayangnya Lydia melupakan satu hal. Hal seperti ini, nyaris tidak pernah menjadi rahasia diantara para sahabatnya. Itu juga yang dipikirkan oleh Erika saat mengirimkan pesan di grup chat mereka. “Astaga Erika,” teriak Lydia begitu membaca pesan teks sahabatnya itu. [Erika Bego: Congrats untuk Si Rata yang akhirnya berhasil melepas virginity.] ***To Be Continued***"Oh, Tuhan ini sangat melelahkan." Lydia memijat pelipisnya yang berdenyut. Gara-gara Erika, dua sahabatnya yang lain ikut merecokinya sampai malam. Mereka semua bahkan kompak berkunjung ke rumah Lydia, selepas jam pulang kantor. Andaikata Cinta yang sudah menikah tidak dicari suami, mungkin para sahabat Lydia itu akan menginap. Apalagi karena tuan rumah yang lainnya tidak keberatan sama sekali. “Good morning. Kok lesu banget,” salah seorang rekan kerja Lydia menyapa. “Good morning juga. Aku cuma masih ngantuk saja,” jawab Lydia seraya duduk di kursinya. Sesuai rencana, hari ini Lydia kembali bekerja. Dan rasa sakit yang dirasakannya juga sudah jauh berkurang. Yang tersisa hanyalah bekas kemerahan yang kini sudah mulai menghitam. Untung saja semua tanda itu masih bisa ditutupi dengan concealer yang banyak. Erika yang punya alat make up paling lengkap, memberinya concealer mahal yang masih baru, lengkap dengan sponge dan kuas make up. Lydia amat berterima kasih untuk yang satu i
“Udah mau pulang, Lyd?” Revan langsung bangkit dari kursinya, ketika Lydia berjalan menuju pintu ruangan sambil melihat ponselnya. “Yupz. Tapi aku mau cari taksi online dulu.” Lydia menunjukkan ponselnya sambil tersenyum. “Aku juga sudah mau pulang, gimana kalau sekalian kuantar pulang?” Revan terlihat buru-buru mengambil tas ranselnya. “Kebetulan aku ada bawa helm lebih hari ini.” Langkah Lydia terhenti untuk menatap rekan kerjanya sebentar. Kalau mau jujur, sebenarnya Lydia kurang nyaman dibonceng oleh lawan jenis yang belum terlalu dekat dengannya. Karena itu dia selalu memilih taksi online dibandingkan ojek. Tapi karena ini masih pertengahan bulan dan keuangannya sedang menurun, Lydia akhirnya mengiyakan. “Tapi aku gak langsung pulang ke rumah nih. Aku ada janji dulu sama teman-temanku dan sepertinya tempatnya agak jauh.” “Memangnya di mana?” Lydia menyebut nama sebuah cafe dan Revan langsung menyanggupi untuk mengantar. Katanya kebetulan dia ada urusan disekitar situ. “Ci
“Sayang? Apa sih yang kamu lihat dari tadi?” Perempuan yang bersama Reino menoleh ke arah yang dilihat lelaki berwajah dingin itu, bertepatan dengan Lydia dkk beranjak. Dia penasaran apa yang membuat fokus Reino teralihkan darinya, tapi sama sekali tidak menemukan apa yang dilihat Reino. “Sudah kubilang berapa kali? Berhenti panggil aku sayang,” geram Reino ketika wanita di depannya sudah kembali melihat dirinya. “Tapi kita kan pacaran, masa .…” “Pacaran? Kata siapa?” tanya Reino meletakkan gelas wine dengan kasar ke atas meja. “Ah,” Reino mengangguk paham maksud wanita itu. “Apa setelah kuajak tidur beberapa kali, lantas kau merasa dirimu spesial?” tanya pria berwajah masam itu pada wanita di depannya. “Bukan begitu … aku .…” “Than behave,” potong Reino dingin. “Aku masih punya banyak cadangan selain kau. Dan ini kali terakhir aku menuruti permintaan makan malam absurd ini sebelum kita check in.” Reino mengelap bibirnya dengan serbet putih, kemudian melempar kain itu ke ata
“Makasih, Bang.” Lydia tersenyum sambil mengambil plastik merah yang disodorkan abang ojek online yang dipesannya. Lydia kemudian dengan tergesa kembali masuk ke lobi kantornya. Ini sebenarnya sudah jam pulang kantor dan orang-orang mulai keluar dari gedung kantor. Dan Rasanya hanya Lydia saja yang justru berlari masuk, lebih tepatnya ke arah toilet yang ada di lantai satu. Sialnya karena terlalu terburu-buru, Lydia malah menabrak seseorang. “Aduh maaf, Pak. Saya gak perhatiin jalan.” Lydia segera menunduk untuk minta maaf pada orang yang ditabraknya. Lydia sebenarnnya tidak memperhatikan siapa yang ditabraknya, tapi dari pakaian dia tahu itu adalah lelaki. Dan Lydia tak menyangka kalau bungkusan obat dengan label aplikasi kesehatan online yang dipegangnya terjatuh ke lantai, tuk kemudian dipungut oleh pria itu. “Kamu sakit?” Suara baritone yang terdengar dalam itu menyentak Lydia. Dia segera mendonggak dan menemukan Reino memegang plastik obat miliknya. Padahal Lydia sudah
“KELUAR.” Reino menyeret perempuan yang menurutnya terlalu lamban dalam bergerak itu keluar dari kamar hotel yang dipesannya. Sama sekali tidak peduli jika wanita itu masih dalam keadaan setengah telanjang. “Tunggu Reino. Aku belum selesai berpakaian,” teriak wanita itu kesal setengah mati. Tapi tidak ada gunanya, Reino sudah membanting pintu hingga menutup.Lelaki putih nun jangkung yang masih dalam keadaan telanjang itu menggeram kesal di dalam kamar suite yang sudah berantakan. Bukan berantakan habis bercinta, tapi Reino menghancurkan sebagian isi kamar itu. Pecahan lampu hias tergeletak di lantai, demikian pula dengan vas bunga. Belum termasuk dengan telepon dan teko listrik yang teronggok tak berdaya di bawah televis layar datar yang sudah pecah. “Sialan. Apa sih yang perempuan itu lakukan padaku?” geram Reino yang sudah duduk di pinggir ranjang, sedang menyumpahi Lydia. Yes, thats right. Lydia Amarta mantan istri kontraknya Reino Andersen. Pria itu sedang memaki mantan ist
“Eh? Ini apaan?” gumam Lydia ketika merasakan ada sesuatu yang mengganjal di bawah keyboardnya. “Ah, tadi Pak Reino duduk di sana waktu periksa laporan. Mungkin ada paper klip yang gak sengaja tersangkut tadi,” Kiara yang mendengar gumaman Lydia segera menyahut. Mulut Lydia langsung terbuka cukup lebar mendengar kalimat Kiara. Dia baru mendengar kalau Reino duduk di tempatnya saat berkunjung tadi. Untung saja Lydia kembali setelah pria itu telah pergi. Entah kenapa, Lydia punya pikiran kalau yang ada di bawah keyboardnya bukan paper clip yang gak sengaja nyempil. Dan ketika dia mengangkat keyboardnya, ada lipatan kertas kecil berwarna kuning di sana. Tidak hanya satu, tapi ada beberapa. Dengan gerakan pelan agar tidak terlihat orang sekitarnya, Lydia mengambil kertas-kertas itu dan membukanya. Dia tidak terkejut lagi menemukan tulisan yang nyaris serupa pada kertas-kertas itu.‘Temui aku di parkiran basement selepas pulang kantor. Awas saja kalau terlambat. Aku akan memecatmu.’
Lydia mengerjapkan matanya beberapa kali, sedang berusaha mencerna kata-kata pria di hadapannya itu. Tapi entah dia sedang lemot atau apa, Lydia gagal memahami. Atau mungkin juga dia salah dengar. “Sorry, tadi Pak Reino ngomong apa?” tanya Lydia karena dia merasa amat sangat yakin dia salah dengar. Reino menggeram kesal. Padahal dia sudah memutuskan urat malunya untuk mengatakan semua itu, tapi wanita kurus ini bahkan tidak mendengar dengan baik? “Aku ingin membuat kontrak baru denganmu,” kali ini Reino 100 persen menanggalkan kesopanannya. Jika biasanya lelaki itu masih sesekali menggunakan saya kamu, maka kali ini tidak lagi. Mulai detik ini Reino akan menggunakan bahasa yang lebih santai demi kenyamanannya sendiri kedepannya. Dia percaya diri pengajuannya akan disetujui Lydia. “Dan kontrak apa yang anda maksud, Pak?” Reino kembali menggeram marah ketika Ly
“Lydia,” Bu Nia memanggil dengan suara cemas. “Ya, Bu?” Lydia mendekat ke meja manajernya itu sebagai bentuk sopan santun. Bu Nia dan Supervisor punya meja sendiri dan itu membuat Lydia perlu berjalan ke sudut ruangan yang disekat dengan kaca. “Perhitungan pajak untuk bulan lalu sudah selesai?” Tanya Bu Nia dengan hembusan napas lelah. “Udah sih, Bu.” “Kalau gitu bawa ke Pak Reino sekarang juga.” “Eh?” “Bawa ke Pak Reino sekarang juga, Lydia,” ulang Bu Nia masih terdengar lelah. “Oh, baik Bu. Nanti saya kirimkan lewat email,” jawab Lydia masih bingung. “Dibawakan Lydia,” geram Bu Nia mulai kesal harus mengulang sampai 3 kali. “Pak Reino mau hardcopy. Dan bawa saja jangan banyak tanya,” hardik Bu Nia terlihat tidak sabar. Karena tidak bisa melawan lagi, Lydia hanya mengiyakan dengan raut bingung. Bahkan Kiara dan Revan pun menatapnya dengan heran. Jelas ada yang tidak benar di sini. Bagaimana bisa seorang karyawan biasa sepertinya, malah diminta untuk mengantar laporan pada
“Amadeus Andersen?” Kenzo mengucapkan nama keponakannya yang kedua dengan kedua mata berkedip. “Apa kau ingin anak-anakmu jadi musisi?”Anak kedua Reino yang berjenis kelamin lelaki, baru saja dilahirkan dan lagi-lagi Reino baru terpikirkan soal nama. Alhasil, itu sempat membuat Lydia kesal. Untung saja, nama pemberian Reino cukup bagus. Amadeus. Diambil dari nama komposer terkenal dunia, Wolfgang Amadeus Mozart. Dengan nama anak pertama yang bernama Melody, tentu saja orang-orang akan berpikir kalau Reino ingin anaknya jadi musisi. “Tidak. Aku hanya ingin anak-anakku punya nama dengan tema yang sama.” Reino menjelaskan dengan santai. “Karena yang pertama sudah berhubungan dengan musik, jadi yang kedua pun harus sama.” “Tapi setidaknya tolong jangan membuat nama secara tiba-tiba.” Lydia menegur untuk yang kesekian kali. “Aku kesal karena nama yang sudah kusiapkan malah tidak jadi dipakai.” “Kita bisa memakainya sebagai nama tengah.” Reino memberi ide. “Sudah tidak mungkin. Aktanya
“Selamat atas kehamilan keduanya. Janinnya sudah berumur hampir empat minggu.” Lydia melongo mendengar apa yang dikatakan dokter barusan. Sungguh, dia sama sekali tidak menyangka akan mendengar kalimat seperti itu karena memang belum ingin menambah momongan. Bukannya Lydia tidak mau tambah anak, tapi rencananya nanti. Mungkin setelah Melody berumur lebih dari setahun atau bahkan setelah anaknya berumur tiga tahun. Namun, ternyata itu semua tidak bisa lagi. Di usia Melody yang ke enam bulan, Lydia sudah hamil lagi. “Makanya aku bilang juga apa?” Lydia menghardik suaminya ketika mereka sudah duduk manis di dalam mobil. “Pakai pengaman. Apa susahnya sih?” “Katanya menyusui itu KB alami kan?” tanya Reino takut-takut. “Jadi kupikir tidak masalah.” “Iya, tapi kan ada syaratnya juga. Kau pikir aku menyusui dua puluh empat jam?” Lydia makin menghardik suaminya. “Sudah kejadian juga. Kita hanya bisa pasrah.” Reino mengatakan kalimat pamungkas itu. Lydia mendesah pelan. Memang sudah tak
Waktu berlalu dengan cepat. Setelah pencarian nama yang kilat, kini dua bayi kembar yang diberi nama Meyer dan Meidi itu sudah berusia lima bulan. Hanya berbeda satu bulan kurang dua hari dari keponakan mereka, Melody. Nama mereka bertiga bahkan serupa, bahkan wajah pun agak mirip. Tidak heran kalau mereka bertiga kadang dikira kembar. “Aduh lucunya mereka.” Kenzo memekik senang ketika adik dan keponakannya berkumpul dan bermain bersama. “Kalau kau begitu suka dengan bayi, kenapa tidak segera menikah dan punya anak sendiri?” Lydia geleng-geleng kepala melihat tingkah adiknya itu. Hari ini, Lydia berkunjung ke rumah mamanya. Kebetulan dia sudah agak lama tak berkunjung karena sibuk dan baru saja sembuh dari sakit. Anak-anak dibiarkan bermain di lantai yang sudah dialasi karpet tebal. Tak lupa juga para pengasuh dan pengurus rumah berjaga di sekitar bocah-bocah itu. “Aku suka bayi, tapi masih terlalu muda untuk menikah. Lagi pula, aku baru masuk kerja. Aku harus kumpul banyak uan
“Bagaimana?” Lydia berlarian mendatangi adiknya yang berdiri di depan ruang operasi. Liani sudah diatur akan dirujuk ke rumah sakit mana ketika melahirkan nanti. Letaknya berada di antara rumahnya dan rumah Lydia. Sengaja seperti itu agar bisa memudahkan semua orang. Rumah sakit yang sama dengan Lydia dulu. Lydia bahkan sempat menyusui Melody dulu sebentar, sebelum meninggalkan bayinya dengan mama Clarissa. Untung saja bayinya anteng dan tidak terlalu rewel, sehingga Lydia dan Reino bisa segera ke rumah sakit. “Mama masih di dalam. Dia baru masuk sekitar lima belas menit lalu karena tadi diperiksa dulu,” jelas Kenzo dengan panik. “Tidak apa-apa. Kau tidak perlu sepanik itu. Mama hanya melahirkan.” Lydia mengusap lengan adiknya. “Ya, tapi ... perut mama akan dibedah untuk mengeluarkan dua bocah itu. Itu tetap saja menakutkan.” Kenzo malah bergidik ketika membayangkannya. “Bagaimana nanti kau menemani istrimu melahirkan kalau kau selemah itu?” tanya Reino sambil menggelengkan kepal
“Bagaimana rasanya jadi seorang ibu?” Erika menanyakan hal itu pada Lydia. “Luar biasa,” jawab perempuan yang baru saja melahirkan beberapa minggu lalu itu. “Ternyata cukup menyenangkan.” “Cukup menyenangkan?” tanya Cinta dengan mata melotot. “Memangnya anakmu tidak pernah terbangun tengah malam? Tidak pernah rewel?"“Rewel.” Lydia mengangguk pelan, sambil melihat anaknya yang baru saja tertidur itu. “Tapi kan banyak yang bantuin.” “Yeah, the power of money. Ada pengasuhnya.” Vanessa memutar bola matanya karena gemas. Lydia tertawa cukup keras. Yang dikatakan Vanessa itu memang tidak salah. Reino memang menyewa pengasuh untuk membantu Lydia mengurus Melody. Ada juga mama mertua baik hati yang mau membantu dan Reino juga cukup siaga. Bisa dikatakan hidup Lydia benar-benar nyaman. Dia benar-benar hanya menyusui putrinya dan membantu memakaikan baju. Selebihnya akan dilakukan pengasuh atau mama mertua. “Kalau kau kewalahan, coba ambil pengasuh. Punya dua bayi pasti lebih repot.” L
“Aku takut.” Lydia terlihat sudah ingin menangis ketika mengatakan itu. “Tidak perlu takut. Kau akan baik-baik saja.” Reino mengecup istrinya yang sudah berganti pakaian dengan jubah operasi yang steril. Yap. Hari ini pada akhirnya ibu hamil itu akan melahirkan dengan prosedur operasi cesar menggunakan metode ERACS. Itu adalah jenis operasi yang bisa membuat Lydia tak perlu tinggal lama di rumah sakit karena pemulihannya lebih cepat. Sebenarnya Lydia ingin mencoba normal, tapi dia tak bisa melakukan itu. Ukuran bayinya terlalu besar, sementara panggulnya agak kecil. Tidak tanggung-tanggung berat bayi dalam kandungan diperikan sudah melebihi tiga koma lima kilo. Itu membuat Lydia kesulitan berjalan selama trisemester akhir.“Kau tidak perlu takut.” Ibu mertua Lydia menenangkan menantunya. “Zaman sudah modern dan alat kedokteran juga sudah canggih. Semua akan aman.” “Aku juga akan mendampingimu.” Reino mengelus lengan istrinya yang makin bertambah gemuk, seiring pertumbuhan si bay
“Bagaimana ini?” Liani tampak panik ketika melihat putrinya sampai ke rumah lama mereka. “Mama kenapa?” Lydia segera menaruh tasnya di sofa dan duduk di samping sang ibu dengan wajah cemas. “Tadi mamamu ada sedikit flek.” Pak Hadi yang akhirnya menjelaskan kondisi calon istrinya itu. “Jadi kami pergi ke dokter karena Liani agak khawatir dan ternyata ....” “Kantong janinnya ada dua,” lanjut Liani memotong kalimat calon suaminya. “Hah?” Reino dan Lydia bergumam bersamaan. “Sepertinya kembar.” Lagi-lagi Hadi yang menjawab. “Maaf, Lyd. Mama bener-bener gak sengaja. Padahal kau sudah mengatakan hanya ingin satu adik lagi, tapi pada akhirnya jadi dua. Mama khawatir padamu.” Liani makin panik saja. Jujur saja, Lydia sangat syok. Dia tak menyangka akan mendapat dua adik lagi dan ingin protes, tapi mau apa lagi? Sudah terjadi juga dan dia tak bisa menyalahkan sang mama. Liani jelas tidak bisa mengontrol hal seperti itu. “Tidak apa-apa kok, Ma.” Lydia akhirnya berbicara setelah diam cu
Setelah menjalani pemeriksaan, rupanya Liani benar-benar hamil. Baru sekitar sebulan, tapi itu membuatnya jadi cemas. Bukan saja cemas ini akan membuatnya kelelahan di hari pernikahan, tapi juga cemas dengan Lydia dan Kenzo. Biar bagaimana, pendapat kedua anaknya itu penting. “Wuah.” Kenzo langsung memekik senang mendengar kabar itu. “Aku akan punya adik? Sungguh?” Liani senang ketika melihat putra bungsunya itu antusias mendengar berita bahagia yang satu itu. Artinya sekarang tinggal Lydia saja. “Asal jangan banyak-banyak. Kalau satu masih bisa kumaklumi.” Pada akhirnya hanya itu yang bisa dikatakan Lydia pada ibunya, walau dengan tampang yang masih tak rela. Desahan napas lega langsung terdengar ketika Liani mendengar kalimat putrinya. Setidaknya kini tak ada lagi yang membebani pikirannya, selain harus segera menutup kandungan setelah melahirkan nanti. “Terima kasih karena mau memberi Mama satu kesempatan lagi,” bisik Liani memeluk lengan putrinya yang terasa makin gemuk.
Lydia menatap Pak Hadi dengan tajam. Ibu hamil itu sudah beberapa menit seperti itu dan membuat Pak Hadi jadi salah tingkah. Bahkan Reino pun jadi agak salah tingkah. “Anu, Mbak. Ada apa saya tiba-tiba dipanggil?” tanya Hadi merasa sudah terlalu lama berdiri di depan kedua bosnya. “Apa kau sudah bosan hidup?” Lydia bertanya dengan nada ketus. “Tentu saja saya masih ingin hidup karena saya akan menikah sebentar lagi,” jawab Hadi tanpa berpikir. “Ya, itu. Kau kan sudah akan menikah, jadi kenapa membuat ibuku hamil di luar nikah?” Lydia menghardik dengan nada yang masih sama kesalnya. “Oh? Apa Liani sudah melakukan tes?” tanya Hadi tanpa merasa bersalah sama sekali. “Tunggu dulu.” Tiba-tiba saja Reino menyela. “Maksudmu Mama Liani hamil?” tanya lelaki itu dengan mata melotot. “Maksudnya kau akan punya adik lagi?” Reino kembali bertanya setelah istrinya mengangguk. “Anak dari Hadi?” Suara Reino makin lama makin membesar. Dia sungguh amat sangat terkejut mendengar berita ya