“KELUAR.”
Reino menyeret perempuan yang menurutnya terlalu lamban dalam bergerak itu keluar dari kamar hotel yang dipesannya. Sama sekali tidak peduli jika wanita itu masih dalam keadaan setengah telanjang. “Tunggu Reino. Aku belum selesai berpakaian,” teriak wanita itu kesal setengah mati. Tapi tidak ada gunanya, Reino sudah membanting pintu hingga menutup. Lelaki putih nun jangkung yang masih dalam keadaan telanjang itu menggeram kesal di dalam kamar suite yang sudah berantakan. Bukan berantakan habis bercinta, tapi Reino menghancurkan sebagian isi kamar itu. Pecahan lampu hias tergeletak di lantai, demikian pula dengan vas bunga. Belum termasuk dengan telepon dan teko listrik yang teronggok tak berdaya di bawah televis layar datar yang sudah pecah. “Sialan. Apa sih yang perempuan itu lakukan padaku?” geram Reino yang sudah duduk di pinggir ranjang, sedang menyumpahi Lydia. Yes, thats right. Lydia Amarta mantan istri kontraknya Reino Andersen. Pria itu sedang memaki mantan istri kontraknya karena setelah kejadian mereka tak sengaja tidur bersama, Reino seperti kehilangan kualitasnya di atas ranjang. Setelah kemarin juga tidak berhasil dengan sekretarisnya yang menyebalkan, kali ini malah lebih parah lagi. ‘Barang antik’ Reino sama sekali tidak bereaksi, bahkan setelah distimulus seperti apapun. Dan itu memalukan. “Aku harus melakukan sesuatu,” gumam Reino setelah cukup tenang. “Setidaknya aku harus mencari tahu apa yang membuatku seperti ini. Dan itu berarti harus mulai dari dia.” Reino mengangguk membenarkan idenya yang menurutnya sedikit gila. Tapi dari pada dia tidak bisa bersenang-senang, lebih baik jadi gila saja. *** “Perhatian,” Kiara tiba-tiba saja berteriak. “Katanya Pak Bos Reino lagi inspeksi ke tiap divisi,” lanjut Kiara sambil menatap ponselnya. “What? Kok bisa? Tahu dari mana?” Bu Nia yang sibuk memeriksa laporan langsung mendonggak. Lydia yang sedang mengitung pajak juga langsung menengok. “Aku kan gabung dengan banyak grup chat yang ada di kantor ini, Bu.” Kiara tersenyum bangga akan pergaulannya yang luas. “Dan katanya sekarang Pak Reino berniat ke divisi kita.” Mata Lydia langsung membulat mendengar kalimat rekan kerjanya yang satu itu. Mendengar Reino akan berkunjung ke divisi keuangan membuat Lydia jadi panik, dia harus keluar dari ruangannya. “Aku ke toilet bentar ya,” seru Lydia pada Kiara yang sudah kembali duduk di sebelahnya. Lydia berjalan sesantai mungkin. Dia tidak ingin terlihat sedang ingin melarikan diri, walau itulah tujuannya. Tapi baru juga Lydia mau belok kanan begitu keluar dari ruangannya, Reino sudah terlihat dari jauh. Panik, Lydia segera berbelok ke kiri. Padahal di sebelah kiri sudah tidak ada apa-apa lagi selain tangga darurat. Kebetulan ruangan divisi keuangan yang terlalu besar itu, terletak paling sudut. Berseberangan dengan toilet dan pintu ruangan audit internal. Mau tidak mau Lydia terpaksa membuka pintu tangga darurat. Saat pintu kaca ruangan yang ditujunya terbuka, Reino sempat melihat Lydia keluar. Bahkan masih bisa melihat wajah terkejut wanita itu, sebelum berlari ke arah tangga darurat. “Dia menghindariku?” gumam Reino dengan wajah kesalnya yang sama saja saat marah. “Kenapa, Pak?” tanya sekretaris genit Reino dengan bingung. Dia tadi tidak melihat Lydia karena sibuk membaca laporan dari ipad untuk atasannya itu. Reino sama sekali tidak menjawab dan langsung melangkah ke divisi keuangan dengan raut wajah kesalnya. Reino ingin melihat apa yang bisa dilakukannya dengan meja perempuan kurang ajar itu. “Pak Reino,” Bu Nia segera berdiri dan menyapa bos besar. Supervisor dan asisten manajer mengikuti di belakangnya. Karyawan yang lain tadinya ingin ikut menyapa, tapi Reino sudah mengakat tangan. Mengisyaratkan kalau mereka bisa lanjut bekerja dan tak usah peduli padanya. Walau susah untuk tidak peduli pada kehadiran Reino, Pria tinggi itu menatap keseluruhan ruangan besar itu. Masih ada dua kubikel kosong dengan masing 4 kursi dan meja yang melekat satu sama lain dan dibatasi dengan sekat. Bentuk kubikelnya kotak, sama dengan kubikel lain dan penghuninya bisa saling menatap satu sama lain. Di ujung ruangan ada dua meja besar, loker karyawan, mesin foto kopi, penghancur kertas, dispenser dan kulkas yang tertata rapi. Ruangan itu juga nyaris dikelilingi oleh rak dan lemari untuk menyimpan berkas. “Itu meja siapa yang kosong?” Reino menunjuk ke kubikel yang berisi Kiara dan Revan. Ada dua meja kosong di sana dan salah satunya seperti tidak berpenghuni. “Yang satu itu lagi cuti melahirkan, Pak. Sementara yang ini punya Lydia. Dia lagi ke toilet.” Reino mengangguk mendengar itu, kemudian dengan sengaja duduk di meja Lydia yang sangat rapi itu. Dan Reino meminta beberapa laporan yang sedang dikerjakan untuk diperiksa, sebagai alasan untuk tinggal lebih lama di ruangan itu. Selama laporannya disiapkan, Reino mencuci mata dengan menatap meja wanita yang membuatnya hampir gila. Benar-benar rapi dengan beberapa organizer dan hiasan simpel di atasnya. Kertas tersusun rapi di rak kertas bersusun tiga. Alat tulis lengkap tersusun rapi di pen holder besi warna hitam. Iseng, Reino membuka laci bagian atas Lydia. Isinya juga sangat rapi diberi sekat organiser serupa dengan rak kertas dan pen holdernya. Bahkan tempat sampah di dekat kaki Reino juga serupa jaring besi warna hitam. Yang agak berbeda hanyalah kalkulator besar warna pink, dengan hiasan hello kitty. Juga ada dua klip holder yang menjepit masing-masing satu foto polaroid. Reino memperhatikan fotonya dengan seksama. Foto yang pertama berisi 4 orang yang seingat Reino merupakan teman-tema Lydia, yang tempo hari dilihatnya makan bersama. Yang satunya foto dengan 3 orang dan salah satunya adalah pria. Keakraban mantan istrinya dengan pria difoto, membuat kening Reino berkerut. “Silakan laporannya, Pak.” Pak Wawan selaku supervisor yang memberikan laporan pada Reino, membuyarkan segala isi pikiran pria blasteran itu. Reino mengambil laporan yang disodorkan dan sempat beradu tatap dengan Kiara yang duduk bersebelahan dengannya. Hanya sebentar saja, sebelum Reino membuka lembar demi lembar laporannya. Tapi yang jadi masalah adalah, Reino malah tidak bisa fokus. Matanya terus-terusan melirik foto yang terpajang di atas meja. Belum lagi pikiran Reino yang terus-terusan memikirkan bahwa dia duduk di tempat Lydia biasanya duduk. Pikiran itu berakhir dengan Reino yang membayangkan Lydia duduk di atas pangkuannya dengan sensual. “Sialan,” geramnya kesal. “Ada yang salah, Pak?” Nia yang memang sengaja duduk di meja kosong di kubikel itu untuk melihat tanggapan Reino segera beranjak. “Belum ada,” jawab Reino asal saja. 'Aku harus melakukan sesuatu dengan perempuan ini,' gumam Reino dalam hati. 'Apapun yang terjadi aku harus bisa menyeretnya ke atas ranjang.' Masalahnya sekarang hanya satu. Reino tidak pernah berhasil menghubungi Lydia. Entah kenapa, setelah cerai wanita itu tidak pernah mengangkat telepon darinya. Dan tidak mungkin juga dia menggunakan interkom kantor untuk memberitahu masalah sesensitif itu. Karenanya kali ini Reino memutuskan untuk menghubunginya dengancara primitif. Pria itu mengambil sticky note yang tergeletak di atas pen holder, kemudian menuliskan sesuatu di sana. ‘Temui aku di parkiran basement selepas pulang kantor. Awas saja kalau terlambat. Aku akan memecatmu.’ ***To Be Continued***“Eh? Ini apaan?” gumam Lydia ketika merasakan ada sesuatu yang mengganjal di bawah keyboardnya. “Ah, tadi Pak Reino duduk di sana waktu periksa laporan. Mungkin ada paper klip yang gak sengaja tersangkut tadi,” Kiara yang mendengar gumaman Lydia segera menyahut. Mulut Lydia langsung terbuka cukup lebar mendengar kalimat Kiara. Dia baru mendengar kalau Reino duduk di tempatnya saat berkunjung tadi. Untung saja Lydia kembali setelah pria itu telah pergi. Entah kenapa, Lydia punya pikiran kalau yang ada di bawah keyboardnya bukan paper clip yang gak sengaja nyempil. Dan ketika dia mengangkat keyboardnya, ada lipatan kertas kecil berwarna kuning di sana. Tidak hanya satu, tapi ada beberapa. Dengan gerakan pelan agar tidak terlihat orang sekitarnya, Lydia mengambil kertas-kertas itu dan membukanya. Dia tidak terkejut lagi menemukan tulisan yang nyaris serupa pada kertas-kertas itu.‘Temui aku di parkiran basement selepas pulang kantor. Awas saja kalau terlambat. Aku akan memecatmu.’
Lydia mengerjapkan matanya beberapa kali, sedang berusaha mencerna kata-kata pria di hadapannya itu. Tapi entah dia sedang lemot atau apa, Lydia gagal memahami. Atau mungkin juga dia salah dengar. “Sorry, tadi Pak Reino ngomong apa?” tanya Lydia karena dia merasa amat sangat yakin dia salah dengar. Reino menggeram kesal. Padahal dia sudah memutuskan urat malunya untuk mengatakan semua itu, tapi wanita kurus ini bahkan tidak mendengar dengan baik? “Aku ingin membuat kontrak baru denganmu,” kali ini Reino 100 persen menanggalkan kesopanannya. Jika biasanya lelaki itu masih sesekali menggunakan saya kamu, maka kali ini tidak lagi. Mulai detik ini Reino akan menggunakan bahasa yang lebih santai demi kenyamanannya sendiri kedepannya. Dia percaya diri pengajuannya akan disetujui Lydia. “Dan kontrak apa yang anda maksud, Pak?” Reino kembali menggeram marah ketika Ly
“Lydia,” Bu Nia memanggil dengan suara cemas. “Ya, Bu?” Lydia mendekat ke meja manajernya itu sebagai bentuk sopan santun. Bu Nia dan Supervisor punya meja sendiri dan itu membuat Lydia perlu berjalan ke sudut ruangan yang disekat dengan kaca. “Perhitungan pajak untuk bulan lalu sudah selesai?” Tanya Bu Nia dengan hembusan napas lelah. “Udah sih, Bu.” “Kalau gitu bawa ke Pak Reino sekarang juga.” “Eh?” “Bawa ke Pak Reino sekarang juga, Lydia,” ulang Bu Nia masih terdengar lelah. “Oh, baik Bu. Nanti saya kirimkan lewat email,” jawab Lydia masih bingung. “Dibawakan Lydia,” geram Bu Nia mulai kesal harus mengulang sampai 3 kali. “Pak Reino mau hardcopy. Dan bawa saja jangan banyak tanya,” hardik Bu Nia terlihat tidak sabar. Karena tidak bisa melawan lagi, Lydia hanya mengiyakan dengan raut bingung. Bahkan Kiara dan Revan pun menatapnya dengan heran. Jelas ada yang tidak benar di sini. Bagaimana bisa seorang karyawan biasa sepertinya, malah diminta untuk mengantar laporan pada
“Lyd, kamu dipanggil Pak Reino lagi,” seru Bu Nia dengan nada lelah. “Again?” pekik Lydia tidak percaya. Ini sudah hari keempat sejak Reino mengerjai Lydia. Pria itu akan meminta Lydia datang dengan alasan laporan, kemudian dia hanya akan disuruh berdiri. Kemudian akan diusir setelah Reino bosan. Pernah juga Lydia disuruh merevisi laporan berkali-kali dan pada akhirnya kembali ke format awal. Kemarin bahkan Reino membentaknya dan melemparkan kertas ke wajahnya. Wajah Lydia sampai tergores kertas karenanya. Lydia tidak mengerti kenapa Beruang Kutub itu selalu cari gara-gara dengannya. Masa gara-gara ditolak sih? Tidak mungkin Reino Andersen senorak itu kan? Tapi pada kenyataannya memang seperti itu. Reino bertingkah setelah ditolak. “Sebenarnya kamu ngapain sih sampai dikerjai Pak Reino seperti itu?” tanya Bu Nia, disertai tatapan kepo dari semua orang.
Sahabat Lydia, mengerubunginya dan menatapnya dari dekat. Bahkan Cinta sudah menopang dagu, tepat di hadapan sahabatnya itu, tapi Lydia yang sedang melamun dengan sebelah tangan menopang dagu dan sebelah tangan memainkan sedotan pada gelas minumannya, sama sekali bergeming. Gemas dengan kelakuan Lydia yang sejak tadi melamun saja, Vanessa menoyor kepala sahabatnya itu. Pelan saja, tapi tetap membuatnya terkejut karena dikerubungi. “Astaga, Ta!” Lydia menoyor kening sahabatnya itu dengan jari telunjuk untuk menjauhkannya. “Kamu kenapa sih? Diajak untuk nongkrong bareng, malah melamun berjam-jam,” seru Erika hiperbola. “Siapa yang melamun?” elak Lydia menyeruput minumannya. “Kamu,” seru ketiga sahabat Lydia itu bersamaan, sambil menunjuki sahabatnya. Dikeroyok seperti itu, Lydia hanya bisa memutar matanya. Mau gimana lagi, dia sama sekali tidak punya pembelaan. Lydia memang jadi banyak pikiran gara-gara kelakuan Reino kemarin siang. Untungnya Lydia masih bisa menghindari pertanya
“Excuse me?” Lydia langsung melotot horor pada Reino. Saking paniknya Lydia langsung melirik ke kiri dan kanan, untuk memastikan tidak ada orang yang mendengar kalimat vulgar pria jangkung di depannya ini. Tapi tentu saja ada yang mendengar karena para sahabat Lydia berada di sekitarnya. Selebihnya aman. “Ini tempat umum, Pak. Tolong kontrol kata-kata anda,” bisik Lydia dengan wajah menunduk karena malu. Bukan hanya malu dengan kalimat Reino, tapi karena kini mereka jadi pusat perhatian. Tinggi dan tampang Reino yang di atas rata-rata, membuat semua orang dengan mudahnya menoleh. Apalagi kini teman-teman pria itu juga mendekat ke arahnya. “Everythings okay, dude?” tanya Viktor sedikit bingung. Bingung karena yang didatangi Reino rupanya wanita bertubuh kurus di depannya. Kaisar menyusul di belakang sahabatnya. “Everthing is fine,” hardik Reino. “Kecuali kau,”
Lydia yang sedari tadi memang phnya firasat buruk, segera berlari masuk ke dalam rumahnya. Dan apa yang dia bayangkan memang terjadi, Mereka datang lagi. “Apa-apaan kalian?” Lydia berteriak melihat beberapa orang pria berada di dalam rumahnya dan terlihat sedang mengancam ibu dan adiknya. “Oh, akhirnya kau datang juga.” Seorang pria yang duduk di sofa tunggal berucap dengan cukup nyaring. "Aku sudah cukup lama menunggu loh." Lydia melihat keadaan rumahnya yang berantakan itu. Pecahan kaca bertebaran di lantai dan beberapa barang terlihat rusak, belum lagi beberapa lelaki berpakaian hitam yang tersebar di beberapa bagian rumahnya yang tidak besar itu. “Oh, my God ada apa ini?” suara terkejut Erika membuat fokus Lydia kembali pada orang yang duduk di sofa tunggal. “Mau apalagi sih kalian?” tanya Lydia berusaha untuk menekan rasa takutnya. Mehghadapi orang-orang seperti ini memang
Lydia berdiri di depan gedung kantornya, menatap nanar bangunan lima lantai itu. Gedung kantornya sendiri tidak terlalu besar, tapi pabrik makanan di belakangnya cukup luas. PT. Linder, Tbk, memang merupakan pabrik makanan kemasan paling terkenal. Pabriknya ada di mana-mana dan tempat Lydia bekerja merupakan pusatnya. Gedung lima lantai itu bisa dikatakan tempat perusahaan itu pertama berdiri, karenanya keluarga Reino enggan memindahkannya. Begitu pula dengan pabrik roti di belakangnya. Lokasinya bisa dibilang berada di kota, tapi mereka mengoperasikan pabriknya dengan baik. Tidak ada keluhan dari penduduk sekitar, maupun dari pemerintah. Masalahnya sekarang adalah, Lydia mencurigai pemilik sekaligus CEO perusahaan ini. Dia mencurigai orang-orang yang datang ke rumahnya kemarin adalah ulah Reino Andersen. Walau tak ada bukti, Lydia mencurigainya. “Tidak mungkin aku bertanya padanya kan” gumam Lydia
“Amadeus Andersen?” Kenzo mengucapkan nama keponakannya yang kedua dengan kedua mata berkedip. “Apa kau ingin anak-anakmu jadi musisi?”Anak kedua Reino yang berjenis kelamin lelaki, baru saja dilahirkan dan lagi-lagi Reino baru terpikirkan soal nama. Alhasil, itu sempat membuat Lydia kesal. Untung saja, nama pemberian Reino cukup bagus. Amadeus. Diambil dari nama komposer terkenal dunia, Wolfgang Amadeus Mozart. Dengan nama anak pertama yang bernama Melody, tentu saja orang-orang akan berpikir kalau Reino ingin anaknya jadi musisi. “Tidak. Aku hanya ingin anak-anakku punya nama dengan tema yang sama.” Reino menjelaskan dengan santai. “Karena yang pertama sudah berhubungan dengan musik, jadi yang kedua pun harus sama.” “Tapi setidaknya tolong jangan membuat nama secara tiba-tiba.” Lydia menegur untuk yang kesekian kali. “Aku kesal karena nama yang sudah kusiapkan malah tidak jadi dipakai.” “Kita bisa memakainya sebagai nama tengah.” Reino memberi ide. “Sudah tidak mungkin. Aktanya
“Selamat atas kehamilan keduanya. Janinnya sudah berumur hampir empat minggu.” Lydia melongo mendengar apa yang dikatakan dokter barusan. Sungguh, dia sama sekali tidak menyangka akan mendengar kalimat seperti itu karena memang belum ingin menambah momongan. Bukannya Lydia tidak mau tambah anak, tapi rencananya nanti. Mungkin setelah Melody berumur lebih dari setahun atau bahkan setelah anaknya berumur tiga tahun. Namun, ternyata itu semua tidak bisa lagi. Di usia Melody yang ke enam bulan, Lydia sudah hamil lagi. “Makanya aku bilang juga apa?” Lydia menghardik suaminya ketika mereka sudah duduk manis di dalam mobil. “Pakai pengaman. Apa susahnya sih?” “Katanya menyusui itu KB alami kan?” tanya Reino takut-takut. “Jadi kupikir tidak masalah.” “Iya, tapi kan ada syaratnya juga. Kau pikir aku menyusui dua puluh empat jam?” Lydia makin menghardik suaminya. “Sudah kejadian juga. Kita hanya bisa pasrah.” Reino mengatakan kalimat pamungkas itu. Lydia mendesah pelan. Memang sudah tak
Waktu berlalu dengan cepat. Setelah pencarian nama yang kilat, kini dua bayi kembar yang diberi nama Meyer dan Meidi itu sudah berusia lima bulan. Hanya berbeda satu bulan kurang dua hari dari keponakan mereka, Melody. Nama mereka bertiga bahkan serupa, bahkan wajah pun agak mirip. Tidak heran kalau mereka bertiga kadang dikira kembar. “Aduh lucunya mereka.” Kenzo memekik senang ketika adik dan keponakannya berkumpul dan bermain bersama. “Kalau kau begitu suka dengan bayi, kenapa tidak segera menikah dan punya anak sendiri?” Lydia geleng-geleng kepala melihat tingkah adiknya itu. Hari ini, Lydia berkunjung ke rumah mamanya. Kebetulan dia sudah agak lama tak berkunjung karena sibuk dan baru saja sembuh dari sakit. Anak-anak dibiarkan bermain di lantai yang sudah dialasi karpet tebal. Tak lupa juga para pengasuh dan pengurus rumah berjaga di sekitar bocah-bocah itu. “Aku suka bayi, tapi masih terlalu muda untuk menikah. Lagi pula, aku baru masuk kerja. Aku harus kumpul banyak uan
“Bagaimana?” Lydia berlarian mendatangi adiknya yang berdiri di depan ruang operasi. Liani sudah diatur akan dirujuk ke rumah sakit mana ketika melahirkan nanti. Letaknya berada di antara rumahnya dan rumah Lydia. Sengaja seperti itu agar bisa memudahkan semua orang. Rumah sakit yang sama dengan Lydia dulu. Lydia bahkan sempat menyusui Melody dulu sebentar, sebelum meninggalkan bayinya dengan mama Clarissa. Untung saja bayinya anteng dan tidak terlalu rewel, sehingga Lydia dan Reino bisa segera ke rumah sakit. “Mama masih di dalam. Dia baru masuk sekitar lima belas menit lalu karena tadi diperiksa dulu,” jelas Kenzo dengan panik. “Tidak apa-apa. Kau tidak perlu sepanik itu. Mama hanya melahirkan.” Lydia mengusap lengan adiknya. “Ya, tapi ... perut mama akan dibedah untuk mengeluarkan dua bocah itu. Itu tetap saja menakutkan.” Kenzo malah bergidik ketika membayangkannya. “Bagaimana nanti kau menemani istrimu melahirkan kalau kau selemah itu?” tanya Reino sambil menggelengkan kepal
“Bagaimana rasanya jadi seorang ibu?” Erika menanyakan hal itu pada Lydia. “Luar biasa,” jawab perempuan yang baru saja melahirkan beberapa minggu lalu itu. “Ternyata cukup menyenangkan.” “Cukup menyenangkan?” tanya Cinta dengan mata melotot. “Memangnya anakmu tidak pernah terbangun tengah malam? Tidak pernah rewel?"“Rewel.” Lydia mengangguk pelan, sambil melihat anaknya yang baru saja tertidur itu. “Tapi kan banyak yang bantuin.” “Yeah, the power of money. Ada pengasuhnya.” Vanessa memutar bola matanya karena gemas. Lydia tertawa cukup keras. Yang dikatakan Vanessa itu memang tidak salah. Reino memang menyewa pengasuh untuk membantu Lydia mengurus Melody. Ada juga mama mertua baik hati yang mau membantu dan Reino juga cukup siaga. Bisa dikatakan hidup Lydia benar-benar nyaman. Dia benar-benar hanya menyusui putrinya dan membantu memakaikan baju. Selebihnya akan dilakukan pengasuh atau mama mertua. “Kalau kau kewalahan, coba ambil pengasuh. Punya dua bayi pasti lebih repot.” L
“Aku takut.” Lydia terlihat sudah ingin menangis ketika mengatakan itu. “Tidak perlu takut. Kau akan baik-baik saja.” Reino mengecup istrinya yang sudah berganti pakaian dengan jubah operasi yang steril. Yap. Hari ini pada akhirnya ibu hamil itu akan melahirkan dengan prosedur operasi cesar menggunakan metode ERACS. Itu adalah jenis operasi yang bisa membuat Lydia tak perlu tinggal lama di rumah sakit karena pemulihannya lebih cepat. Sebenarnya Lydia ingin mencoba normal, tapi dia tak bisa melakukan itu. Ukuran bayinya terlalu besar, sementara panggulnya agak kecil. Tidak tanggung-tanggung berat bayi dalam kandungan diperikan sudah melebihi tiga koma lima kilo. Itu membuat Lydia kesulitan berjalan selama trisemester akhir.“Kau tidak perlu takut.” Ibu mertua Lydia menenangkan menantunya. “Zaman sudah modern dan alat kedokteran juga sudah canggih. Semua akan aman.” “Aku juga akan mendampingimu.” Reino mengelus lengan istrinya yang makin bertambah gemuk, seiring pertumbuhan si bay
“Bagaimana ini?” Liani tampak panik ketika melihat putrinya sampai ke rumah lama mereka. “Mama kenapa?” Lydia segera menaruh tasnya di sofa dan duduk di samping sang ibu dengan wajah cemas. “Tadi mamamu ada sedikit flek.” Pak Hadi yang akhirnya menjelaskan kondisi calon istrinya itu. “Jadi kami pergi ke dokter karena Liani agak khawatir dan ternyata ....” “Kantong janinnya ada dua,” lanjut Liani memotong kalimat calon suaminya. “Hah?” Reino dan Lydia bergumam bersamaan. “Sepertinya kembar.” Lagi-lagi Hadi yang menjawab. “Maaf, Lyd. Mama bener-bener gak sengaja. Padahal kau sudah mengatakan hanya ingin satu adik lagi, tapi pada akhirnya jadi dua. Mama khawatir padamu.” Liani makin panik saja. Jujur saja, Lydia sangat syok. Dia tak menyangka akan mendapat dua adik lagi dan ingin protes, tapi mau apa lagi? Sudah terjadi juga dan dia tak bisa menyalahkan sang mama. Liani jelas tidak bisa mengontrol hal seperti itu. “Tidak apa-apa kok, Ma.” Lydia akhirnya berbicara setelah diam cu
Setelah menjalani pemeriksaan, rupanya Liani benar-benar hamil. Baru sekitar sebulan, tapi itu membuatnya jadi cemas. Bukan saja cemas ini akan membuatnya kelelahan di hari pernikahan, tapi juga cemas dengan Lydia dan Kenzo. Biar bagaimana, pendapat kedua anaknya itu penting. “Wuah.” Kenzo langsung memekik senang mendengar kabar itu. “Aku akan punya adik? Sungguh?” Liani senang ketika melihat putra bungsunya itu antusias mendengar berita bahagia yang satu itu. Artinya sekarang tinggal Lydia saja. “Asal jangan banyak-banyak. Kalau satu masih bisa kumaklumi.” Pada akhirnya hanya itu yang bisa dikatakan Lydia pada ibunya, walau dengan tampang yang masih tak rela. Desahan napas lega langsung terdengar ketika Liani mendengar kalimat putrinya. Setidaknya kini tak ada lagi yang membebani pikirannya, selain harus segera menutup kandungan setelah melahirkan nanti. “Terima kasih karena mau memberi Mama satu kesempatan lagi,” bisik Liani memeluk lengan putrinya yang terasa makin gemuk.
Lydia menatap Pak Hadi dengan tajam. Ibu hamil itu sudah beberapa menit seperti itu dan membuat Pak Hadi jadi salah tingkah. Bahkan Reino pun jadi agak salah tingkah. “Anu, Mbak. Ada apa saya tiba-tiba dipanggil?” tanya Hadi merasa sudah terlalu lama berdiri di depan kedua bosnya. “Apa kau sudah bosan hidup?” Lydia bertanya dengan nada ketus. “Tentu saja saya masih ingin hidup karena saya akan menikah sebentar lagi,” jawab Hadi tanpa berpikir. “Ya, itu. Kau kan sudah akan menikah, jadi kenapa membuat ibuku hamil di luar nikah?” Lydia menghardik dengan nada yang masih sama kesalnya. “Oh? Apa Liani sudah melakukan tes?” tanya Hadi tanpa merasa bersalah sama sekali. “Tunggu dulu.” Tiba-tiba saja Reino menyela. “Maksudmu Mama Liani hamil?” tanya lelaki itu dengan mata melotot. “Maksudnya kau akan punya adik lagi?” Reino kembali bertanya setelah istrinya mengangguk. “Anak dari Hadi?” Suara Reino makin lama makin membesar. Dia sungguh amat sangat terkejut mendengar berita ya