“Udah mau pulang, Lyd?” Revan langsung bangkit dari kursinya, ketika Lydia berjalan menuju pintu ruangan sambil melihat ponselnya.
“Yupz. Tapi aku mau cari taksi online dulu.” Lydia menunjukkan ponselnya sambil tersenyum. “Aku juga sudah mau pulang, gimana kalau sekalian kuantar pulang?” Revan terlihat buru-buru mengambil tas ranselnya. “Kebetulan aku ada bawa helm lebih hari ini.” Langkah Lydia terhenti untuk menatap rekan kerjanya sebentar. Kalau mau jujur, sebenarnya Lydia kurang nyaman dibonceng oleh lawan jenis yang belum terlalu dekat dengannya. Karena itu dia selalu memilih taksi online dibandingkan ojek. Tapi karena ini masih pertengahan bulan dan keuangannya sedang menurun, Lydia akhirnya mengiyakan. “Tapi aku gak langsung pulang ke rumah nih. Aku ada janji dulu sama teman-temanku dan sepertinya tempatnya agak jauh.” “Memangnya di mana?” Lydia menyebut nama sebuah cafe dan Revan langsung menyanggupi untuk mengantar. Katanya kebetulan dia ada urusan disekitar situ. “Cieh,” goda Kiara tepat sebelum dua orang itu menghilang. Tapi hanya Revan yang menanggapi dengan malu-malu. “Gak apa kan naik motor butut?” tanya Revan malu-malu. “Seenggaknya kamu masih punya motor, Van. Daripada aku yang gak punya apa-apa,” balas Lydia menerima helm dari pria itu. Yah, keluarganya punya satu mobil tua sih. Tapi mobil itu digunakan oleh ibu Lydia untuk pergi bekerja. Tidak mungkin kan dia meminta ibunya saja yang menggunakan taksi online? Sementara Lydia memakai helmnya, matanya yang masih sangat bagus dan tajam itu bisa melihat Reino dari kejauhan. Tempat parkir motor yang tak begitu jauh dari tempat drop off depan lift, membuat Lydia bisa melihat pria itu keluar dari pintu lift Sialnya, Reino yang baru mau masuk ke mobil dinasnya, secara tak sengaja menatap ke arah Lydia. Dan tatapan mata mereka bertumbukan, membuat Lydia refleks membuang muka. “Yuk, Lyd. Buruan naik, biar kita gak kena macet.” Suara Revan membuat Lydia bergegas untuk naik ke boncengan motor rekan kerjanya itu. Ransel pria itu sudah dia taruh di bagian depan, agar penumpangnya tidak merasa sesak. Lydia duduk dengan canggung di belakang Revan. Dia ingin memegang sesuatu karena takut terjatuh, tapi enggan memeluk Revan atau sekedar memegang ujung jaket pria itu. Dia bahkan tidak pernah semesra itu dengan adik lelakinya, apalagi pria lain kan? Pilihan Lydia tinggal besi di bagian belakang jok motor dan dia memegangnya tepat sebelum motor Revan melaju. Lydia sempat melihat lagi ke arah Reino dan dia terkejut karena Beruang Kutub itu masih menatapnya, bahkan mengikuti laju motor Revan. “Udah pegangan kan, Lyd?” Revan berteriak untuk memastikan penumpangnya aman. “Udah kok,” jawab Lydia setelah berhasil mengatasi keterkejutannya soal Reino tadi. Wanita muda itu tidak habis pikir kenapa juga mantan suaminya yang dingin itu terus menatapnya. Dia ingin sedikit ge-er, tapi itu juga hal yang tidak mungkin. “Kamu sering ya hang out sama teman-temanmu?” tanya Revan tidak tahan untuk tidak bicara. “Lumayan lah,” jawab Lydia singkat. “Udah lama kalian temanan?” “Sejak SMA.” “Boleh gabung makan malam gak?” tanya Revan memberanikan diri. “Bukannya tadi kamu bilang ada urusan ya?” tanya Lydia dengan bingung. “Eh, maksudku lain kali,” jawab Revan agak gugup. “Siapa tahu ada yang masih jomblo.” Vanessa dan Erika masih jomblo sih, tapi sepertinya mereka tidak cocok dengan Revan. “Nanti aku coba tanya deh,” akhirnya Lydia memilih jawaban paling aman. Dan saat bersamaan, Lydia tidak sengaja melihat ke arah spion motor Revan. Dia mengenali mobil yang berada tepat di belakang mereka sekarang ini. Merasa tidak yakin, Lydia mencoba berbalik. Dan ternyata memang benar mobil Reino berada tepat di belakang mereka. “Van, bisa cepet dikit gak? Aku sudah agak terlambat nih,” seru Lydia agak panik. Entah apa yang terjadi Lydia merasa bosnya itu sedang mengikutinya. “Ok,” jawab Revan terdengar santai. *** “Ada apa denganmu?” tanya Vanessa yang sampai bersamaan dengan Lydia. Lydia terlihat buru-buru turun dari motor, sambil melihat sekelilingnya. “Aku rasa aku diikuti,” bisik Lydia pelan agar tidak didengar Revan. “Hah?” “Udah masuk aja dulu deh. Nanti kuceritaiin. By the way, thanks ya Van.” Lydia melambai pada Revan, kemudian menarik Vanessa masuk ke cafe mewah di depannya. “Ada apa dengan rambut berantakanmu?” tanya Cinta yang sudah duluan datang. Erika juga sudah datang, selisih dua menit dari Vanessa dan Lydia. “Dia tadi dibonceng entah oleh pria mana dan katanya juga diikuti,” Vanessa yang menjawab. Dan itu mengundang banyak tanya dari semua orang. Lydia kemudian mulai menceritakan hal aneh yang dilihatnya setelah memesan makanan. Dia kelaparan dan butuh asupan nutrisi sesegera mungkin. “Kamu yakin diikuti? Siapa tahu kebetulan saja searah,” sahut Erika setelah Lydia selesai bercerita dan mulai makan dengan lahap. “Masalahnya dia terus menatapiku saat di parkiran. Jelas saja aku curiga,” jawab Lydia setelah berhasil menelan makanannya. Diantara empat sekawan ini memang Lydia yang punya nafsu makan paling besar. Tapi herannya justru dialah yang paling kurus dan nyaris tak berlekuk. Karena itulah para sahabatnya ini memanggilnya Rata. “Kamu yakin kamu yang ditatap?” kali ini Cinta yang bertanya. “Yakin seratus persen. Orang tatapan kami bertemu kok dan kalian tahu penglihatanku sangat bagus,” jawab Lydia amat sangat yakin. “Tapi kenapa dia mmenatapmu? Katamu waktu di lift juga seperti itu kan?” Erika kembali bertanya karena penasaran. “Aku yakin dia pasti merasa amat sangat terpuaskan di ranjang tempo hari, makanya dia cari kesempatan untuk memakanmu lagi,” Vanessa yang menjawab dengan gaya yang dibuat-buat. “Yang benar saja. Jangan aneh-aneh deh.” Lydia mendelik tajam ke arah Vanessa. Menampik kalimat sahabatnya itu. “Who knows? Siapa tahu dibalik tubuhmu yang biasa saja ini, kamu punya kemampuan luar biasa di atas ranjang. Ya gak sih?” Vanessa tidak akan membiarkan Lydia tenang dan terus mengerjai sahabatnya itu. Ejekan Vanessa mungkin kadang terdengar menyakitkan, tapi tidak ada satupun dari mereka yang pernah marah. Toh yang dikatakan Vanessa itu biasanya benar dan konteksnya hanya bercanda. Semua orang sudah tahu dan tertawa karena terdengar lucu bagi mereka. “Tapi aku penasaran deh, Lyd,” seru Cinta yang kali ini tidak tertawa. “Polar Bear-mu itu wujudnya seperti apa sih?” Lydia tidak langsung menjawab karena perlu memikirkan detailnya terlebih dulu. Dia perlu membayangkan Reino di dalam kepalanya. “Dia lebih terlihat seperti bule tampan. Rambutnya hitam lebat, tapi tidak legam. Matanya berwarna biru dan tatapannya dingin. Ekspresinya juga agak menyeramkan,” Lydia menerawang. “Rahangnya tegas, hidungnya tinggi, alisnya juga lebat dan tegas. Kulitnya putih, dadanya bidang dan dia sangat tinggi.” “Apakah hari ini dia menggunakan jas berwana navy?” tanya Cinta menatap ke satu titik di belakang Lydia. “Dari mana kau tahu?” tanya Lydia dengan kening berkerut. “He is truly handsome,” Vanessa menjawab pertanyaan Lydia, tapi sama sekali tidak nyambung. “Kenapa kalian aneh banget sih?” tanya Lydia bingung. Apalagi ketika Erika mengedikkan dagunya, meminta Lydia untuk berbalik ke belakang. Lydia melakukannya karena penasaran. Tapi baru juga beberapa detik, dia berbalik lagi dengan tangan menutupi mulut. Dua meja di belakangnya, Reino terlihat sedang menatapnya sambil makan malam dengan seorang wanita. ***To Be Continued***“Sayang? Apa sih yang kamu lihat dari tadi?” Perempuan yang bersama Reino menoleh ke arah yang dilihat lelaki berwajah dingin itu, bertepatan dengan Lydia dkk beranjak. Dia penasaran apa yang membuat fokus Reino teralihkan darinya, tapi sama sekali tidak menemukan apa yang dilihat Reino. “Sudah kubilang berapa kali? Berhenti panggil aku sayang,” geram Reino ketika wanita di depannya sudah kembali melihat dirinya. “Tapi kita kan pacaran, masa .…” “Pacaran? Kata siapa?” tanya Reino meletakkan gelas wine dengan kasar ke atas meja. “Ah,” Reino mengangguk paham maksud wanita itu. “Apa setelah kuajak tidur beberapa kali, lantas kau merasa dirimu spesial?” tanya pria berwajah masam itu pada wanita di depannya. “Bukan begitu … aku .…” “Than behave,” potong Reino dingin. “Aku masih punya banyak cadangan selain kau. Dan ini kali terakhir aku menuruti permintaan makan malam absurd ini sebelum kita check in.” Reino mengelap bibirnya dengan serbet putih, kemudian melempar kain itu ke ata
“Makasih, Bang.” Lydia tersenyum sambil mengambil plastik merah yang disodorkan abang ojek online yang dipesannya. Lydia kemudian dengan tergesa kembali masuk ke lobi kantornya. Ini sebenarnya sudah jam pulang kantor dan orang-orang mulai keluar dari gedung kantor. Dan Rasanya hanya Lydia saja yang justru berlari masuk, lebih tepatnya ke arah toilet yang ada di lantai satu. Sialnya karena terlalu terburu-buru, Lydia malah menabrak seseorang. “Aduh maaf, Pak. Saya gak perhatiin jalan.” Lydia segera menunduk untuk minta maaf pada orang yang ditabraknya. Lydia sebenarnnya tidak memperhatikan siapa yang ditabraknya, tapi dari pakaian dia tahu itu adalah lelaki. Dan Lydia tak menyangka kalau bungkusan obat dengan label aplikasi kesehatan online yang dipegangnya terjatuh ke lantai, tuk kemudian dipungut oleh pria itu. “Kamu sakit?” Suara baritone yang terdengar dalam itu menyentak Lydia. Dia segera mendonggak dan menemukan Reino memegang plastik obat miliknya. Padahal Lydia sudah ber
“KELUAR.” Reino menyeret perempuan yang menurutnya terlalu lamban dalam bergerak itu keluar dari kamar hotel yang dipesannya. Sama sekali tidak peduli jika wanita itu masih dalam keadaan setengah telanjang. “Tunggu Reino. Aku belum selesai berpakaian,” teriak wanita itu kesal setengah mati. Tapi tidak ada gunanya, Reino sudah membanting pintu hingga menutup.Lelaki putih nun jangkung yang masih dalam keadaan telanjang itu menggeram kesal di dalam kamar suite yang sudah berantakan. Bukan berantakan habis bercinta, tapi Reino menghancurkan sebagian isi kamar itu. Pecahan lampu hias tergeletak di lantai, demikian pula dengan vas bunga. Belum termasuk dengan telepon dan teko listrik yang teronggok tak berdaya di bawah televis layar datar yang sudah pecah. “Sialan. Apa sih yang perempuan itu lakukan padaku?” geram Reino yang sudah duduk di pinggir ranjang, sedang menyumpahi Lydia. Yes, thats right. Lydia Amarta mantan istri kontraknya Reino Andersen. Pria itu sedang memaki mantan ist
“Eh? Ini apaan?” gumam Lydia ketika merasakan ada sesuatu yang mengganjal di bawah keyboardnya. “Ah, tadi Pak Reino duduk di sana waktu periksa laporan. Mungkin ada paper klip yang gak sengaja tersangkut tadi,” Kiara yang mendengar gumaman Lydia segera menyahut. Mulut Lydia langsung terbuka cukup lebar mendengar kalimat Kiara. Dia baru mendengar kalau Reino duduk di tempatnya saat berkunjung tadi. Untung saja Lydia kembali setelah pria itu telah pergi. Entah kenapa, Lydia punya pikiran kalau yang ada di bawah keyboardnya bukan paper clip yang gak sengaja nyempil. Dan ketika dia mengangkat keyboardnya, ada lipatan kertas kecil berwarna kuning di sana. Tidak hanya satu, tapi ada beberapa. Dengan gerakan pelan agar tidak terlihat orang sekitarnya, Lydia mengambil kertas-kertas itu dan membukanya. Dia tidak terkejut lagi menemukan tulisan yang nyaris serupa pada kertas-kertas itu.‘Temui aku di parkiran basement selepas pulang kantor. Awas saja kalau terlambat. Aku akan memecatmu.’
Lydia mengerjapkan matanya beberapa kali, sedang berusaha mencerna kata-kata pria di hadapannya itu. Tapi entah dia sedang lemot atau apa, Lydia gagal memahami. Atau mungkin juga dia salah dengar. “Sorry, tadi Pak Reino ngomong apa?” tanya Lydia karena dia merasa amat sangat yakin dia salah dengar. Reino menggeram kesal. Padahal dia sudah memutuskan urat malunya untuk mengatakan semua itu, tapi wanita kurus ini bahkan tidak mendengar dengan baik? “Aku ingin membuat kontrak baru denganmu,” kali ini Reino 100 persen menanggalkan kesopanannya. Jika biasanya lelaki itu masih sesekali menggunakan saya kamu, maka kali ini tidak lagi. Mulai detik ini Reino akan menggunakan bahasa yang lebih santai demi kenyamanannya sendiri kedepannya. Dia percaya diri pengajuannya akan disetujui Lydia. “Dan kontrak apa yang anda maksud, Pak?” Reino kembali menggeram marah ketika Ly
“Lydia,” Bu Nia memanggil dengan suara cemas. “Ya, Bu?” Lydia mendekat ke meja manajernya itu sebagai bentuk sopan santun. Bu Nia dan Supervisor punya meja sendiri dan itu membuat Lydia perlu berjalan ke sudut ruangan yang disekat dengan kaca. “Perhitungan pajak untuk bulan lalu sudah selesai?” Tanya Bu Nia dengan hembusan napas lelah. “Udah sih, Bu.” “Kalau gitu bawa ke Pak Reino sekarang juga.” “Eh?” “Bawa ke Pak Reino sekarang juga, Lydia,” ulang Bu Nia masih terdengar lelah. “Oh, baik Bu. Nanti saya kirimkan lewat email,” jawab Lydia masih bingung. “Dibawakan Lydia,” geram Bu Nia mulai kesal harus mengulang sampai 3 kali. “Pak Reino mau hardcopy. Dan bawa saja jangan banyak tanya,” hardik Bu Nia terlihat tidak sabar. Karena tidak bisa melawan lagi, Lydia hanya mengiyakan dengan raut bingung. Bahkan Kiara dan Revan pun menatapnya dengan heran. Jelas ada yang tidak benar di sini. Bagaimana bisa seorang karyawan biasa sepertinya, malah diminta untuk mengantar laporan pada
“Lyd, kamu dipanggil Pak Reino lagi,” seru Bu Nia dengan nada lelah. “Again?” pekik Lydia tidak percaya. Ini sudah hari keempat sejak Reino mengerjai Lydia. Pria itu akan meminta Lydia datang dengan alasan laporan, kemudian dia hanya akan disuruh berdiri. Kemudian akan diusir setelah Reino bosan. Pernah juga Lydia disuruh merevisi laporan berkali-kali dan pada akhirnya kembali ke format awal. Kemarin bahkan Reino membentaknya dan melemparkan kertas ke wajahnya. Wajah Lydia sampai tergores kertas karenanya. Lydia tidak mengerti kenapa Beruang Kutub itu selalu cari gara-gara dengannya. Masa gara-gara ditolak sih? Tidak mungkin Reino Andersen senorak itu kan? Tapi pada kenyataannya memang seperti itu. Reino bertingkah setelah ditolak. “Sebenarnya kamu ngapain sih sampai dikerjai Pak Reino seperti itu?” tanya Bu Nia, disertai tatapan kepo dari semua orang.
Sahabat Lydia, mengerubunginya dan menatapnya dari dekat. Bahkan Cinta sudah menopang dagu, tepat di hadapan sahabatnya itu, tapi Lydia yang sedang melamun dengan sebelah tangan menopang dagu dan sebelah tangan memainkan sedotan pada gelas minumannya, sama sekali bergeming. Gemas dengan kelakuan Lydia yang sejak tadi melamun saja, Vanessa menoyor kepala sahabatnya itu. Pelan saja, tapi tetap membuatnya terkejut karena dikerubungi. “Astaga, Ta!” Lydia menoyor kening sahabatnya itu dengan jari telunjuk untuk menjauhkannya. “Kamu kenapa sih? Diajak untuk nongkrong bareng, malah melamun berjam-jam,” seru Erika hiperbola. “Siapa yang melamun?” elak Lydia menyeruput minumannya. “Kamu,” seru ketiga sahabat Lydia itu bersamaan, sambil menunjuki sahabatnya. Dikeroyok seperti itu, Lydia hanya bisa memutar matanya. Mau gimana lagi, dia sama sekali tidak punya pembelaan. Lydia memang jadi banyak pikiran gara-gara kelakuan Reino kemarin siang. Untungnya Lydia masih bisa menghindari pertanya
“Amadeus Andersen?” Kenzo mengucapkan nama keponakannya yang kedua dengan kedua mata berkedip. “Apa kau ingin anak-anakmu jadi musisi?”Anak kedua Reino yang berjenis kelamin lelaki, baru saja dilahirkan dan lagi-lagi Reino baru terpikirkan soal nama. Alhasil, itu sempat membuat Lydia kesal. Untung saja, nama pemberian Reino cukup bagus. Amadeus. Diambil dari nama komposer terkenal dunia, Wolfgang Amadeus Mozart. Dengan nama anak pertama yang bernama Melody, tentu saja orang-orang akan berpikir kalau Reino ingin anaknya jadi musisi. “Tidak. Aku hanya ingin anak-anakku punya nama dengan tema yang sama.” Reino menjelaskan dengan santai. “Karena yang pertama sudah berhubungan dengan musik, jadi yang kedua pun harus sama.” “Tapi setidaknya tolong jangan membuat nama secara tiba-tiba.” Lydia menegur untuk yang kesekian kali. “Aku kesal karena nama yang sudah kusiapkan malah tidak jadi dipakai.” “Kita bisa memakainya sebagai nama tengah.” Reino memberi ide. “Sudah tidak mungkin. Aktanya
“Selamat atas kehamilan keduanya. Janinnya sudah berumur hampir empat minggu.” Lydia melongo mendengar apa yang dikatakan dokter barusan. Sungguh, dia sama sekali tidak menyangka akan mendengar kalimat seperti itu karena memang belum ingin menambah momongan. Bukannya Lydia tidak mau tambah anak, tapi rencananya nanti. Mungkin setelah Melody berumur lebih dari setahun atau bahkan setelah anaknya berumur tiga tahun. Namun, ternyata itu semua tidak bisa lagi. Di usia Melody yang ke enam bulan, Lydia sudah hamil lagi. “Makanya aku bilang juga apa?” Lydia menghardik suaminya ketika mereka sudah duduk manis di dalam mobil. “Pakai pengaman. Apa susahnya sih?” “Katanya menyusui itu KB alami kan?” tanya Reino takut-takut. “Jadi kupikir tidak masalah.” “Iya, tapi kan ada syaratnya juga. Kau pikir aku menyusui dua puluh empat jam?” Lydia makin menghardik suaminya. “Sudah kejadian juga. Kita hanya bisa pasrah.” Reino mengatakan kalimat pamungkas itu. Lydia mendesah pelan. Memang sudah tak
Waktu berlalu dengan cepat. Setelah pencarian nama yang kilat, kini dua bayi kembar yang diberi nama Meyer dan Meidi itu sudah berusia lima bulan. Hanya berbeda satu bulan kurang dua hari dari keponakan mereka, Melody. Nama mereka bertiga bahkan serupa, bahkan wajah pun agak mirip. Tidak heran kalau mereka bertiga kadang dikira kembar. “Aduh lucunya mereka.” Kenzo memekik senang ketika adik dan keponakannya berkumpul dan bermain bersama. “Kalau kau begitu suka dengan bayi, kenapa tidak segera menikah dan punya anak sendiri?” Lydia geleng-geleng kepala melihat tingkah adiknya itu. Hari ini, Lydia berkunjung ke rumah mamanya. Kebetulan dia sudah agak lama tak berkunjung karena sibuk dan baru saja sembuh dari sakit. Anak-anak dibiarkan bermain di lantai yang sudah dialasi karpet tebal. Tak lupa juga para pengasuh dan pengurus rumah berjaga di sekitar bocah-bocah itu. “Aku suka bayi, tapi masih terlalu muda untuk menikah. Lagi pula, aku baru masuk kerja. Aku harus kumpul banyak uan
“Bagaimana?” Lydia berlarian mendatangi adiknya yang berdiri di depan ruang operasi. Liani sudah diatur akan dirujuk ke rumah sakit mana ketika melahirkan nanti. Letaknya berada di antara rumahnya dan rumah Lydia. Sengaja seperti itu agar bisa memudahkan semua orang. Rumah sakit yang sama dengan Lydia dulu. Lydia bahkan sempat menyusui Melody dulu sebentar, sebelum meninggalkan bayinya dengan mama Clarissa. Untung saja bayinya anteng dan tidak terlalu rewel, sehingga Lydia dan Reino bisa segera ke rumah sakit. “Mama masih di dalam. Dia baru masuk sekitar lima belas menit lalu karena tadi diperiksa dulu,” jelas Kenzo dengan panik. “Tidak apa-apa. Kau tidak perlu sepanik itu. Mama hanya melahirkan.” Lydia mengusap lengan adiknya. “Ya, tapi ... perut mama akan dibedah untuk mengeluarkan dua bocah itu. Itu tetap saja menakutkan.” Kenzo malah bergidik ketika membayangkannya. “Bagaimana nanti kau menemani istrimu melahirkan kalau kau selemah itu?” tanya Reino sambil menggelengkan kepal
“Bagaimana rasanya jadi seorang ibu?” Erika menanyakan hal itu pada Lydia. “Luar biasa,” jawab perempuan yang baru saja melahirkan beberapa minggu lalu itu. “Ternyata cukup menyenangkan.” “Cukup menyenangkan?” tanya Cinta dengan mata melotot. “Memangnya anakmu tidak pernah terbangun tengah malam? Tidak pernah rewel?"“Rewel.” Lydia mengangguk pelan, sambil melihat anaknya yang baru saja tertidur itu. “Tapi kan banyak yang bantuin.” “Yeah, the power of money. Ada pengasuhnya.” Vanessa memutar bola matanya karena gemas. Lydia tertawa cukup keras. Yang dikatakan Vanessa itu memang tidak salah. Reino memang menyewa pengasuh untuk membantu Lydia mengurus Melody. Ada juga mama mertua baik hati yang mau membantu dan Reino juga cukup siaga. Bisa dikatakan hidup Lydia benar-benar nyaman. Dia benar-benar hanya menyusui putrinya dan membantu memakaikan baju. Selebihnya akan dilakukan pengasuh atau mama mertua. “Kalau kau kewalahan, coba ambil pengasuh. Punya dua bayi pasti lebih repot.” L
“Aku takut.” Lydia terlihat sudah ingin menangis ketika mengatakan itu. “Tidak perlu takut. Kau akan baik-baik saja.” Reino mengecup istrinya yang sudah berganti pakaian dengan jubah operasi yang steril. Yap. Hari ini pada akhirnya ibu hamil itu akan melahirkan dengan prosedur operasi cesar menggunakan metode ERACS. Itu adalah jenis operasi yang bisa membuat Lydia tak perlu tinggal lama di rumah sakit karena pemulihannya lebih cepat. Sebenarnya Lydia ingin mencoba normal, tapi dia tak bisa melakukan itu. Ukuran bayinya terlalu besar, sementara panggulnya agak kecil. Tidak tanggung-tanggung berat bayi dalam kandungan diperikan sudah melebihi tiga koma lima kilo. Itu membuat Lydia kesulitan berjalan selama trisemester akhir.“Kau tidak perlu takut.” Ibu mertua Lydia menenangkan menantunya. “Zaman sudah modern dan alat kedokteran juga sudah canggih. Semua akan aman.” “Aku juga akan mendampingimu.” Reino mengelus lengan istrinya yang makin bertambah gemuk, seiring pertumbuhan si bay
“Bagaimana ini?” Liani tampak panik ketika melihat putrinya sampai ke rumah lama mereka. “Mama kenapa?” Lydia segera menaruh tasnya di sofa dan duduk di samping sang ibu dengan wajah cemas. “Tadi mamamu ada sedikit flek.” Pak Hadi yang akhirnya menjelaskan kondisi calon istrinya itu. “Jadi kami pergi ke dokter karena Liani agak khawatir dan ternyata ....” “Kantong janinnya ada dua,” lanjut Liani memotong kalimat calon suaminya. “Hah?” Reino dan Lydia bergumam bersamaan. “Sepertinya kembar.” Lagi-lagi Hadi yang menjawab. “Maaf, Lyd. Mama bener-bener gak sengaja. Padahal kau sudah mengatakan hanya ingin satu adik lagi, tapi pada akhirnya jadi dua. Mama khawatir padamu.” Liani makin panik saja. Jujur saja, Lydia sangat syok. Dia tak menyangka akan mendapat dua adik lagi dan ingin protes, tapi mau apa lagi? Sudah terjadi juga dan dia tak bisa menyalahkan sang mama. Liani jelas tidak bisa mengontrol hal seperti itu. “Tidak apa-apa kok, Ma.” Lydia akhirnya berbicara setelah diam cu
Setelah menjalani pemeriksaan, rupanya Liani benar-benar hamil. Baru sekitar sebulan, tapi itu membuatnya jadi cemas. Bukan saja cemas ini akan membuatnya kelelahan di hari pernikahan, tapi juga cemas dengan Lydia dan Kenzo. Biar bagaimana, pendapat kedua anaknya itu penting. “Wuah.” Kenzo langsung memekik senang mendengar kabar itu. “Aku akan punya adik? Sungguh?” Liani senang ketika melihat putra bungsunya itu antusias mendengar berita bahagia yang satu itu. Artinya sekarang tinggal Lydia saja. “Asal jangan banyak-banyak. Kalau satu masih bisa kumaklumi.” Pada akhirnya hanya itu yang bisa dikatakan Lydia pada ibunya, walau dengan tampang yang masih tak rela. Desahan napas lega langsung terdengar ketika Liani mendengar kalimat putrinya. Setidaknya kini tak ada lagi yang membebani pikirannya, selain harus segera menutup kandungan setelah melahirkan nanti. “Terima kasih karena mau memberi Mama satu kesempatan lagi,” bisik Liani memeluk lengan putrinya yang terasa makin gemuk.
Lydia menatap Pak Hadi dengan tajam. Ibu hamil itu sudah beberapa menit seperti itu dan membuat Pak Hadi jadi salah tingkah. Bahkan Reino pun jadi agak salah tingkah. “Anu, Mbak. Ada apa saya tiba-tiba dipanggil?” tanya Hadi merasa sudah terlalu lama berdiri di depan kedua bosnya. “Apa kau sudah bosan hidup?” Lydia bertanya dengan nada ketus. “Tentu saja saya masih ingin hidup karena saya akan menikah sebentar lagi,” jawab Hadi tanpa berpikir. “Ya, itu. Kau kan sudah akan menikah, jadi kenapa membuat ibuku hamil di luar nikah?” Lydia menghardik dengan nada yang masih sama kesalnya. “Oh? Apa Liani sudah melakukan tes?” tanya Hadi tanpa merasa bersalah sama sekali. “Tunggu dulu.” Tiba-tiba saja Reino menyela. “Maksudmu Mama Liani hamil?” tanya lelaki itu dengan mata melotot. “Maksudnya kau akan punya adik lagi?” Reino kembali bertanya setelah istrinya mengangguk. “Anak dari Hadi?” Suara Reino makin lama makin membesar. Dia sungguh amat sangat terkejut mendengar berita ya