Warning! 21+. Feel free to skip. “Sekarang buka.” Lydia membeku ditempat ketika mendengar ucapan Reino itu. Dia amat sangat paham apa yang dimaksud pria itu Tapi karena saking gugupnya, Lydia malah bertanya balik. “A... apa yang... dibuka?” “Kau tahu apa yang kumaksud,” geram Reino terdengar jelas karena suara dari luar sama sekali tidak terdengar. Sepertinya ruangan itu benar-benar kedap suara. Lydia yang masih saja gugup, membuat Reino merasa makin kesal saja. Dan karena wanita kurus itu masih berdiri dekat pintu, Reino memintanya mendekat hanya dengan gerakan tangan. Dan entah apa yang terjadi, tubuh Lydia seperti bergerak sendiri. Pikirannya mengatakan dia tidak boleh mendekat, tapi kakinya melangkah dengan pelan untuk medekati Reino. Lydia berhenti tepat di selangkah di depan pria arogan itu. “Buka,” perintah Reino sekali lagi. Lydia ingin sekali menolak dengan berbagai alasan yang sudah dia rangkai di otaknya, tapi yang terjadi ma
Masih ada adegan 21+, tapi cuma dikit di bagian pertengahan. Kalau mau skip, dibagian situ boleh.***“Maaf, Pak. Ruangan ini tidak bisa asal dimasuki,” seorang pegawai club itu menghalangi para polisi yang berkerumun di depan pintu. Yeah. Club malam yang tidak pernah dirazia polisi dan satpol pp, tiba-tiba saja didatangi. Parahnya mereka memaksa untuk memeriksa setiap ruangan yang ada, termasuk ruangan VVIP private yang disewa Reino. “Buka saja. Kalau tidak kamu bisa kena masalah,” jawab salah seorang polisi. “Maaf, Pak. Justru saya bisa kena masalah kalau anda memaksa,” pegawai itu meringis mendengar polisi tadi. Dan yeah. Para kumpulan penegak hukum itu menerobos masuk begitu saja. “Astaga!” teriak beberapa orang. Reino yang mendengar suara itu, segera menarik Lydia ke pelukannya dan berbalik memunggungi orang-orang itu. Lydia yang t
“Hah.” Entah sudah berapa kali Lydia menghela napas hari ini. Ini bahkan belum jam makan siang, tapi rasanya Lydia sudah sangat lelah. Dan ini semua gara-gara Reino Andersen, si Polar Bear mesum tukang cari masalah. Semua gara-gara omongannya saat rapat darurat kemarin. Gara-gara pengakuan yang asal diucapkan pria itu, Lydia jadi target gosip. Ya. Target gosip. Sudah sejak dia menjejakkan kaki di kantor pagi ini, Lydia bisa melihat orang memandanginya. Bahkan ada beberapa yang berbisik di depannya. Ada juga yang menyindir terang-terangan. “Pantas dia bisa tiba-tiba jadi asisten padahal sudah ada Pak Hadi.” “Yeah. Aku juga gak tahu apa yang dilihat Pak Reino dari perempuan kurus seperti dia. Mungkin kalau di ranjang dia liar.” Lydia kembali menghela napas ketika mendengar kalimat itu. Dia langsung berbalik dan menemukan dua orang yang ber
“Selamat pagi menjelang siang semuanya,” Lydia menyapa orang-orang di ruangan marketing. Selepas memberitahu asisten Thalita (yang kini beralih jadi asistennya), tentang beberapa hal soal pekerjaan yang harus di kerjakan, Lydia pergi ke divisi marketing untuk mulai menjalankan tugas dari Reino. Dan sesuai dugaan. Lebih banyak mata yang memandang Lydia dengan tatapan tidak suka. Sebagian besar berasal dari para wanita dan terutama dari tim dua. “Sesuai perintah dari Pak Reino, saya akan melakukan sedikit evaluasi di divisi marketing kantor pusat kita. Sekalian juga menangani komplain yang berkepanjangan.” Walau tatapan yang tertuju padanya agak membuat salah tingkah, Lydia tetap berusaha untuk tenang. Dia perlu segera menyelesaikan tugas ini jika ingin hidup tenang. “Apanya yang mau dievaluasi dari timku? Performa kami baik-baik saja,” tanya Manajer Marketing terlihat marah. “Maaf. Saya hanya menjalankan perintah dari Pak Reino. Untuk lebih jelasny
“Lydia kan?” Lydia berbalik ketika mendengar namanya. Dia cukup terkejut melihat Viktor ada di minimarket kecil seperti ini. Lydia pikir orang kaya dengan gaya parlente seperti Viktor hanya akan mengunjungi supermarket besar yang mewah. “Sepertinya ini masih jam kerja deh. Kok kamu bisa ada di sini?” tanya Viktor dengan kening berkerut. “Saya sedang kunjungan lapangan, Pak. Mau mengurusi beberapa komplain yang belum terselesaikan,” jawab Lydia dengan ringisan pelan. “Kamu yang turun tangan sendiri? Kiraiin ada tim untuk ini?” “Karena komplainnya gak kunjung selesai, saya disuruh turun tangan langsung.” Viktor mengangguk mengerti. Dan karena Lydia mengatakan masih menunggu manajer toko, Viktor mengajak Lydia untuk menemaninya belanja. Dan karena memang tidak ada yang dia lakukan selagi menunggu, Lydia mengiyakan saja. “Aku tidak menyangka
“Mau Mama pijitin?” “Loh, Mama? Kok belum tidur sih?” Lydia yang berbaring dengan menatap tablet, langsung berdiri menyambut ibunya. Liani membawa nampan kecil berisi susu vanila hangat. Lydia segera meraih nampan itu untuk diletakan di atas nakas. Lianilah yang kemudian mengambil gelasnya dan meminta anaknya untuk minum susu dulu. Lydia meminum susunya tanpa protes. Dia baru protes ketika sang ibu mulai memijat bahunya yang memang terasa kaku akibat terlalu lama kerja. “Mama,” Lydia menyingkirkan tangan Liani dengan lembut. “Mama ngapain sih?” “Mijitin kamu lah. Belakangan ini kan kamu lembur terus, pasti capek banget.” “Capek sih, Ma. Tapi bukan berarti Mama harus mijitin aku dong. Mama kan habis operasi, jadi harus banyak istirahat.” “Tapi kamu jadi makin sibuk pasti gara-gara biaya rumah sakit kan?” tanya Liani yang hanya bisa dijawa
Rupanya masalah komplain bisa diselesaikan dengan cukup mudah. Semuanya hanya masalah kepercayaan. Ketika rasa percaya itu hilang, tentu susah untuk didapatkan kembali. Tapi nyatanya Lydia berhasil. Hanya dalam seminggu, Lydia sudah berhasil menyelesaikan komplain. Entah bagaimana asisten Reino itu berhasil mendapatkan kepercayaan lagi. Lydia sudah menjelaskan semuanya saat rapat, tapi tetap saja Reino merasa belum percaya. Masa iya kepercayaan dari pihak konsumen bisa dikembalikan semudah itu? Solusi yang ditawarkan memang bukan hanya sekedar ganti rugi materil dan kata maaf, tapi juga kesempatan. Lydia memberi orang-orang itu kesempatan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Tentu saja masih ada keuntungan yang didapatkan dari perusahaan. Misalnya saja, untuk pemilik minimarket. Pria tua itu sering menceritakan saudaranya yang sering dapat hadiah dari hasil penjualan barang. Maka Lydia langsung menawarkan kerja sama. Jika pihak mini market bisa menjual dengan kuantitas te
“Oh, my God. Emang nyaman banget holiday dibayarin,” teriak Vanessa sangat kencang. “Woi, ini di tempat umum kali. Pelankan suaramu,” hardik Lydia sedikit malu dengan suara cempreng sahabatnya itu. “Ck. Makanya kasih tahu pacarmu itu, lain kali tolong sewakan vila saja. Biar kita bisa teriak-teriak sampai puas pas sarapan,” sergah Vanessa kesal. “Ya kali. Udah syukur juga kita semua dibayarin. Mana fasilitasnya yang the best lagi,” timpal Cinta dengan mata berputar. “Dan lagian ya. Kalau kita diambilkan vila yang dekatan atau satu vila buat rame-rame, adanya telinga kita yang tuli dengar suara desahan tiap malam,” tambah Erika tanpa filter. “Ih, apaan sih Ka.” Cinta langsung menoyor bahu sahabatnya itu dengan keras, membuat semua orang tertawa. Mereka berempat (berlima ditambah suami Cinta), akhirnya benar-benar terbang ke Yogyakarta dengan biaya ditanggung
“Amadeus Andersen?” Kenzo mengucapkan nama keponakannya yang kedua dengan kedua mata berkedip. “Apa kau ingin anak-anakmu jadi musisi?”Anak kedua Reino yang berjenis kelamin lelaki, baru saja dilahirkan dan lagi-lagi Reino baru terpikirkan soal nama. Alhasil, itu sempat membuat Lydia kesal. Untung saja, nama pemberian Reino cukup bagus. Amadeus. Diambil dari nama komposer terkenal dunia, Wolfgang Amadeus Mozart. Dengan nama anak pertama yang bernama Melody, tentu saja orang-orang akan berpikir kalau Reino ingin anaknya jadi musisi. “Tidak. Aku hanya ingin anak-anakku punya nama dengan tema yang sama.” Reino menjelaskan dengan santai. “Karena yang pertama sudah berhubungan dengan musik, jadi yang kedua pun harus sama.” “Tapi setidaknya tolong jangan membuat nama secara tiba-tiba.” Lydia menegur untuk yang kesekian kali. “Aku kesal karena nama yang sudah kusiapkan malah tidak jadi dipakai.” “Kita bisa memakainya sebagai nama tengah.” Reino memberi ide. “Sudah tidak mungkin. Aktanya
“Selamat atas kehamilan keduanya. Janinnya sudah berumur hampir empat minggu.” Lydia melongo mendengar apa yang dikatakan dokter barusan. Sungguh, dia sama sekali tidak menyangka akan mendengar kalimat seperti itu karena memang belum ingin menambah momongan. Bukannya Lydia tidak mau tambah anak, tapi rencananya nanti. Mungkin setelah Melody berumur lebih dari setahun atau bahkan setelah anaknya berumur tiga tahun. Namun, ternyata itu semua tidak bisa lagi. Di usia Melody yang ke enam bulan, Lydia sudah hamil lagi. “Makanya aku bilang juga apa?” Lydia menghardik suaminya ketika mereka sudah duduk manis di dalam mobil. “Pakai pengaman. Apa susahnya sih?” “Katanya menyusui itu KB alami kan?” tanya Reino takut-takut. “Jadi kupikir tidak masalah.” “Iya, tapi kan ada syaratnya juga. Kau pikir aku menyusui dua puluh empat jam?” Lydia makin menghardik suaminya. “Sudah kejadian juga. Kita hanya bisa pasrah.” Reino mengatakan kalimat pamungkas itu. Lydia mendesah pelan. Memang sudah tak
Waktu berlalu dengan cepat. Setelah pencarian nama yang kilat, kini dua bayi kembar yang diberi nama Meyer dan Meidi itu sudah berusia lima bulan. Hanya berbeda satu bulan kurang dua hari dari keponakan mereka, Melody. Nama mereka bertiga bahkan serupa, bahkan wajah pun agak mirip. Tidak heran kalau mereka bertiga kadang dikira kembar. “Aduh lucunya mereka.” Kenzo memekik senang ketika adik dan keponakannya berkumpul dan bermain bersama. “Kalau kau begitu suka dengan bayi, kenapa tidak segera menikah dan punya anak sendiri?” Lydia geleng-geleng kepala melihat tingkah adiknya itu. Hari ini, Lydia berkunjung ke rumah mamanya. Kebetulan dia sudah agak lama tak berkunjung karena sibuk dan baru saja sembuh dari sakit. Anak-anak dibiarkan bermain di lantai yang sudah dialasi karpet tebal. Tak lupa juga para pengasuh dan pengurus rumah berjaga di sekitar bocah-bocah itu. “Aku suka bayi, tapi masih terlalu muda untuk menikah. Lagi pula, aku baru masuk kerja. Aku harus kumpul banyak uan
“Bagaimana?” Lydia berlarian mendatangi adiknya yang berdiri di depan ruang operasi. Liani sudah diatur akan dirujuk ke rumah sakit mana ketika melahirkan nanti. Letaknya berada di antara rumahnya dan rumah Lydia. Sengaja seperti itu agar bisa memudahkan semua orang. Rumah sakit yang sama dengan Lydia dulu. Lydia bahkan sempat menyusui Melody dulu sebentar, sebelum meninggalkan bayinya dengan mama Clarissa. Untung saja bayinya anteng dan tidak terlalu rewel, sehingga Lydia dan Reino bisa segera ke rumah sakit. “Mama masih di dalam. Dia baru masuk sekitar lima belas menit lalu karena tadi diperiksa dulu,” jelas Kenzo dengan panik. “Tidak apa-apa. Kau tidak perlu sepanik itu. Mama hanya melahirkan.” Lydia mengusap lengan adiknya. “Ya, tapi ... perut mama akan dibedah untuk mengeluarkan dua bocah itu. Itu tetap saja menakutkan.” Kenzo malah bergidik ketika membayangkannya. “Bagaimana nanti kau menemani istrimu melahirkan kalau kau selemah itu?” tanya Reino sambil menggelengkan kepal
“Bagaimana rasanya jadi seorang ibu?” Erika menanyakan hal itu pada Lydia. “Luar biasa,” jawab perempuan yang baru saja melahirkan beberapa minggu lalu itu. “Ternyata cukup menyenangkan.” “Cukup menyenangkan?” tanya Cinta dengan mata melotot. “Memangnya anakmu tidak pernah terbangun tengah malam? Tidak pernah rewel?"“Rewel.” Lydia mengangguk pelan, sambil melihat anaknya yang baru saja tertidur itu. “Tapi kan banyak yang bantuin.” “Yeah, the power of money. Ada pengasuhnya.” Vanessa memutar bola matanya karena gemas. Lydia tertawa cukup keras. Yang dikatakan Vanessa itu memang tidak salah. Reino memang menyewa pengasuh untuk membantu Lydia mengurus Melody. Ada juga mama mertua baik hati yang mau membantu dan Reino juga cukup siaga. Bisa dikatakan hidup Lydia benar-benar nyaman. Dia benar-benar hanya menyusui putrinya dan membantu memakaikan baju. Selebihnya akan dilakukan pengasuh atau mama mertua. “Kalau kau kewalahan, coba ambil pengasuh. Punya dua bayi pasti lebih repot.” L
“Aku takut.” Lydia terlihat sudah ingin menangis ketika mengatakan itu. “Tidak perlu takut. Kau akan baik-baik saja.” Reino mengecup istrinya yang sudah berganti pakaian dengan jubah operasi yang steril. Yap. Hari ini pada akhirnya ibu hamil itu akan melahirkan dengan prosedur operasi cesar menggunakan metode ERACS. Itu adalah jenis operasi yang bisa membuat Lydia tak perlu tinggal lama di rumah sakit karena pemulihannya lebih cepat. Sebenarnya Lydia ingin mencoba normal, tapi dia tak bisa melakukan itu. Ukuran bayinya terlalu besar, sementara panggulnya agak kecil. Tidak tanggung-tanggung berat bayi dalam kandungan diperikan sudah melebihi tiga koma lima kilo. Itu membuat Lydia kesulitan berjalan selama trisemester akhir.“Kau tidak perlu takut.” Ibu mertua Lydia menenangkan menantunya. “Zaman sudah modern dan alat kedokteran juga sudah canggih. Semua akan aman.” “Aku juga akan mendampingimu.” Reino mengelus lengan istrinya yang makin bertambah gemuk, seiring pertumbuhan si bay
“Bagaimana ini?” Liani tampak panik ketika melihat putrinya sampai ke rumah lama mereka. “Mama kenapa?” Lydia segera menaruh tasnya di sofa dan duduk di samping sang ibu dengan wajah cemas. “Tadi mamamu ada sedikit flek.” Pak Hadi yang akhirnya menjelaskan kondisi calon istrinya itu. “Jadi kami pergi ke dokter karena Liani agak khawatir dan ternyata ....” “Kantong janinnya ada dua,” lanjut Liani memotong kalimat calon suaminya. “Hah?” Reino dan Lydia bergumam bersamaan. “Sepertinya kembar.” Lagi-lagi Hadi yang menjawab. “Maaf, Lyd. Mama bener-bener gak sengaja. Padahal kau sudah mengatakan hanya ingin satu adik lagi, tapi pada akhirnya jadi dua. Mama khawatir padamu.” Liani makin panik saja. Jujur saja, Lydia sangat syok. Dia tak menyangka akan mendapat dua adik lagi dan ingin protes, tapi mau apa lagi? Sudah terjadi juga dan dia tak bisa menyalahkan sang mama. Liani jelas tidak bisa mengontrol hal seperti itu. “Tidak apa-apa kok, Ma.” Lydia akhirnya berbicara setelah diam cu
Setelah menjalani pemeriksaan, rupanya Liani benar-benar hamil. Baru sekitar sebulan, tapi itu membuatnya jadi cemas. Bukan saja cemas ini akan membuatnya kelelahan di hari pernikahan, tapi juga cemas dengan Lydia dan Kenzo. Biar bagaimana, pendapat kedua anaknya itu penting. “Wuah.” Kenzo langsung memekik senang mendengar kabar itu. “Aku akan punya adik? Sungguh?” Liani senang ketika melihat putra bungsunya itu antusias mendengar berita bahagia yang satu itu. Artinya sekarang tinggal Lydia saja. “Asal jangan banyak-banyak. Kalau satu masih bisa kumaklumi.” Pada akhirnya hanya itu yang bisa dikatakan Lydia pada ibunya, walau dengan tampang yang masih tak rela. Desahan napas lega langsung terdengar ketika Liani mendengar kalimat putrinya. Setidaknya kini tak ada lagi yang membebani pikirannya, selain harus segera menutup kandungan setelah melahirkan nanti. “Terima kasih karena mau memberi Mama satu kesempatan lagi,” bisik Liani memeluk lengan putrinya yang terasa makin gemuk.
Lydia menatap Pak Hadi dengan tajam. Ibu hamil itu sudah beberapa menit seperti itu dan membuat Pak Hadi jadi salah tingkah. Bahkan Reino pun jadi agak salah tingkah. “Anu, Mbak. Ada apa saya tiba-tiba dipanggil?” tanya Hadi merasa sudah terlalu lama berdiri di depan kedua bosnya. “Apa kau sudah bosan hidup?” Lydia bertanya dengan nada ketus. “Tentu saja saya masih ingin hidup karena saya akan menikah sebentar lagi,” jawab Hadi tanpa berpikir. “Ya, itu. Kau kan sudah akan menikah, jadi kenapa membuat ibuku hamil di luar nikah?” Lydia menghardik dengan nada yang masih sama kesalnya. “Oh? Apa Liani sudah melakukan tes?” tanya Hadi tanpa merasa bersalah sama sekali. “Tunggu dulu.” Tiba-tiba saja Reino menyela. “Maksudmu Mama Liani hamil?” tanya lelaki itu dengan mata melotot. “Maksudnya kau akan punya adik lagi?” Reino kembali bertanya setelah istrinya mengangguk. “Anak dari Hadi?” Suara Reino makin lama makin membesar. Dia sungguh amat sangat terkejut mendengar berita ya