Lydia melirik ke arah pelayan yang membawakannya sarapan ke kamar. Pelayan wanita itu terlihat menunduk malu entah karena apa. Dia nyaris tidak mendonggak saat menaruh meja kecil di atas ranjang, tepat di depan Lydia. Dan itu membuat Lydia bertanya-tanya. Pandangan mata Lydia mencoba menyapu semua sudut kamar dan tidak ada yang aneh. Tidak ada barang berantakan atau baju berserakan di lantai. Ranjangnya juga sudah rapi dan sudah diganti dengan seprai yang baru. Tadi pagi, Lydia sendiri yang melepas penutup ranjang yang masih terasa agak lembap itu. Belum lagi masih ada bau sisa percintaannya semalam. Dan seingat Lydia tadi dia sendiri yang memasukkannya ke mesin cuci, sementara para pelayan lain memasang seprai baru. Jadi sekarang Lydia tidak mengerti kenapa para pelayan bertingkah malu-malu. “Gimana sarapannya?” tanya Clarissa menyapa menantu satu-satunya itu. “Good,” jawab Lydia yang hari ini terlambat bangun. “Maaf, ya Ma. Lydia gak bisa ikut sarapan,” ringisnya pelan. “Gak m
“Aku sudah ada di luar rumahmu. Keluar sekarang juga.” Lydia menggeram kesal ketika telepon dari Reino itu terputus tiba-tiba. Padahal baru sekitar sejam dia berada di rumahnya, tapi Reino sudah menjemput saja. Ini gara-gara Lydia harus mengelabui Clarissa. Ya. Perjalanan itu nyatanya memakan waktu lebih dua jam. Dan membuat Lydia yang sebenarnya kelelahan makin lelah saja. Mana di rumah dia juga tidak istirahat karena harus menemani ibunya. “Ma. Sepertinya Lydia sudah harus balik lagi deh,” seru Lydia dengan wajah cemberut. “Eh? Secepat ini?” tanya Liani juga ikutan cemberut. “Mau diapa lagi. Namanya juga masih kerja. Nanti kalau ada waktu dan dapat izin, Lydia pasti mampir lagi kok.” Mau tidak mau, Liani harus merelakan putri kesayangannya pergi bekerja lagi. Andaikata dia masih bisa bekerja, Liani pasti akan memastikan Lydia keluar dari pekerjaannya. Dia kurang suka putrinya harus bekerja keras, sampai menginap di rumah orang. “Bos kamu baik juga ya. Tiap kali pasti dijempu
Akhirnya berakhir sudah masa menginap di rumah orang tua Reino. Lydia berada di sana tepat seminggu, sesuai dengan yang dijanjikan Reino padanya. Dan Lydia mensyukuri hal ini Hanya satu yang membuat Lydia merasa aneh. Rasanya Reino sedikit berubah. Pria itu jadi lebih banyak menghindarinya. Lydia tidak tahu ada apa, tapi itulah yang dia rasakan. Dan rupanya bukan hanya Lydia saja yang merasa seperti itu. Tuti pun merasa kalau Reino menghindar dan makin terlihat dingin. ‘Lagi tengkar ya, Bu?’ tanya Tuti beberapa jam lalu. Dan karena penasaran, Lydia berniat untuk mencari tahu. Apa pun yang terjadi, dia harus tahu alasan Reino menghindarinya. Lydia sama sekali tidak suka dengan keadaan ini. “Pak, ini berkas yang harus ditanda tangani,” sahut Lydia memberikan berkasnya pada Reino. “Taruh saja di meja,” perintah Reino tanpa mendonggak. Rei
“Sebenarnya aku salah apa sih?” tanya Lydia dengan suara isak tangis yang tak bisa dibendungnya. Sekarang bahkan belum jam pulang kerja, tapi Lydia sudah pulang duluan. Dia tidak peduli lagi dengan Reino. Mau dipecat, potong gaji atau apa pun itu, Lydia hanya ingin segera pulang. Lydia yang tidak punya kegiatan lain, kemudian mengajak para sahabatnya untuk bertemu. Dan untungnya semua sedang punya waktu untuk ngumpul. “Emang kau diapaiin sih?” tanya Erika prihatin sekali dengan keadaan Lydia. Seumur-umur, tiga orang itu belum pernah melihat Lydia menangis. Karena itu ketika Lydia menelepon sambil terisak, mereka semua meluangkan waktu untuk menemani sahabat mereka itu. Dan karena Cinta agak sulit keluar rumah, mereka memilih untuk berkumpul di apatemen ibu hamil itu. “Polar Bear Sialan itu,” seru Lydia dengan suara cukup keras. “Dia menghindariku.” “Terus?” t
“SIALAN.” “Woi, jangan banting ponselku.” Kaisar segera mengambil ponselnya dari tangan Reino. Itu adalah satu dari sedikit barang berharga yang dia punya, jadi tidak boleh rusak sama sekali. “Sialan. Coba telepon lagi pacarmu itu,” hardik Reino tidak terima teleponnya diputus sepihak. “Dari pada urus perempuan, mending kau urus dulu investasimu ke perusahaanku,” jawab Kaisar menjauhkan ponselnya dari jangkauan Reino. “Dasar teman tidak berguna. Tidak hal lain apa di otakmu selain uang?” tanya Reino terlihat sangat kesal. “Tentu saja ada Erika di otakku selain uang. Masalahnya kenapa tidak pakai ponselmu sendiri?” Reino menggeram marah. Andai Lydia mau menerima teleponnya, dia tidak akan meminjam ponsel orang lain. Dan kalau bukan karena si brengsek Viktor itu, dia tidak akan sepanik ini. Ya. Pengakuan Viktor yang men
Demi apa pun juga, Lydia tidak pernah berpikir kalau dirinya akan mengalami hal yang seperti di film-film. Apalagi dirinya ini hanyalah rakyat jelata. Dia sama sekali bukan orang kaya atau orang terkenal. Jadi ketika dia tiba-tiba dibekap dan dibawa masuk ke dalam mobil, Lydia sungguh terkejut dan tidak percaya.kenapa harus dirinya yang jadi korban penculikan? “Pak. Saya ini hanya orang biasa saja. Bukan orang kaya atau terkenal,” pekik Lydia sedikit gemetar. Yeah. Siapa pun pasti akan merasa takut dan gemetaran disituasi seperti ini kan? Apalagi pria-pria yang menculiknya ini berwajah seram. Hanya orang tidak waras yang tidak merasa takut. “Pak. Sumpah, saya inibukan siapa-siapa yang pantas diculika,” seru Lydia sudah ingin menangis. “Bos. Kita gak salah nyulik orang kan?” salah seorang penculik itu bertanya. “Mana. Coba kulihat ulang dulu fotonya,” si Bos menjawab, seraya mengeluarkan ponselnya. Si Bos ini membuka aplikasi pesan dan melihat ulang foto yang dikirimkan padanya.
Lydia tidak tahu dia dibawa ke mana. Matanya tidak ditutup, tapi otaknya tidak bisa mengingat jalan mana saja yang dia lalui. Intinya dia dibawa cukup jauh. Mungkin sekitar dua jam lebih perjalanan. Itu pun tempat mereka berhenti hanyalah rumah kecil yang tidak berpenghuni. Ponsel Lydia juga diambil dan sekarang hari sudah malam. Berulang kali Lydia membasahi bibirnya yang kering. Dia sedari tadi tidak diberikan minum, apalagi makan. Tubuh Lydia yang tidak makan sedari siang sekarang menjadi lemas dan perutnya terasa mual. Udara ruangan yang agak panas pun membuatnya makin dehidrasi. “Pak. Apa gak ada makanan atau minuman? Saya bisa sakit kalau dibiarkan kelaparan,” seru Lydia dengan suara lemah. Orang yang menjaga Lydia hanya melirik sinis, kemudian kembali menatap ponselnya. Dari suaranya sih, sepertinya orang itu sedang bermain game. Lydia ingin sekali merebut ponsel orang itu, tapi jelas itu mustahil. Tangan dan ka
“Pak. Kami sudah berhasil melacak lokasi mobil itu dari pantauan CCTV,” beritahu Hadi setelah dia menerima laporan. Reino tidak memberi tanggapan karena tahu Hadi belum selesai bicara. Dia menunggu, sambil melirik pengawal merangkap asistennya itu dengan mata menyipit tajam. “Lokasinya kurang lebih hampir tiga jam perjalanan darat. Untuk menghemat waktu, kami sudah meminta heli. Sekitar dua puluh lima menit lagi sudah siap di heli pad yang ada di atas pabrik.” “Dua puluh lima menit?” teriak Reino makin marah saja. “Bisa lebih lama dari itu?” “Maaf, Pak. Butuh persiapan untuk menerbangkan helikopter, dua puluh lima menit adalah waktu yang sangat cepat.” “Brengsek.” Reino menendang tempat sampah yang ada di dekatnya, membuat isinya berantakan. Seberantakkan dirinya sendiri. Sejak melihat sendiri kejadian penculikan Lydia, Reino memang terlihat berantakan. Bukan hanya penampilannya, tapi juga emosinya. Apalagi dia dibuat menunggu cukup lama sampai akhirnya Hadi menemukan posisi
“Amadeus Andersen?” Kenzo mengucapkan nama keponakannya yang kedua dengan kedua mata berkedip. “Apa kau ingin anak-anakmu jadi musisi?”Anak kedua Reino yang berjenis kelamin lelaki, baru saja dilahirkan dan lagi-lagi Reino baru terpikirkan soal nama. Alhasil, itu sempat membuat Lydia kesal. Untung saja, nama pemberian Reino cukup bagus. Amadeus. Diambil dari nama komposer terkenal dunia, Wolfgang Amadeus Mozart. Dengan nama anak pertama yang bernama Melody, tentu saja orang-orang akan berpikir kalau Reino ingin anaknya jadi musisi. “Tidak. Aku hanya ingin anak-anakku punya nama dengan tema yang sama.” Reino menjelaskan dengan santai. “Karena yang pertama sudah berhubungan dengan musik, jadi yang kedua pun harus sama.” “Tapi setidaknya tolong jangan membuat nama secara tiba-tiba.” Lydia menegur untuk yang kesekian kali. “Aku kesal karena nama yang sudah kusiapkan malah tidak jadi dipakai.” “Kita bisa memakainya sebagai nama tengah.” Reino memberi ide. “Sudah tidak mungkin. Aktanya
“Selamat atas kehamilan keduanya. Janinnya sudah berumur hampir empat minggu.” Lydia melongo mendengar apa yang dikatakan dokter barusan. Sungguh, dia sama sekali tidak menyangka akan mendengar kalimat seperti itu karena memang belum ingin menambah momongan. Bukannya Lydia tidak mau tambah anak, tapi rencananya nanti. Mungkin setelah Melody berumur lebih dari setahun atau bahkan setelah anaknya berumur tiga tahun. Namun, ternyata itu semua tidak bisa lagi. Di usia Melody yang ke enam bulan, Lydia sudah hamil lagi. “Makanya aku bilang juga apa?” Lydia menghardik suaminya ketika mereka sudah duduk manis di dalam mobil. “Pakai pengaman. Apa susahnya sih?” “Katanya menyusui itu KB alami kan?” tanya Reino takut-takut. “Jadi kupikir tidak masalah.” “Iya, tapi kan ada syaratnya juga. Kau pikir aku menyusui dua puluh empat jam?” Lydia makin menghardik suaminya. “Sudah kejadian juga. Kita hanya bisa pasrah.” Reino mengatakan kalimat pamungkas itu. Lydia mendesah pelan. Memang sudah tak
Waktu berlalu dengan cepat. Setelah pencarian nama yang kilat, kini dua bayi kembar yang diberi nama Meyer dan Meidi itu sudah berusia lima bulan. Hanya berbeda satu bulan kurang dua hari dari keponakan mereka, Melody. Nama mereka bertiga bahkan serupa, bahkan wajah pun agak mirip. Tidak heran kalau mereka bertiga kadang dikira kembar. “Aduh lucunya mereka.” Kenzo memekik senang ketika adik dan keponakannya berkumpul dan bermain bersama. “Kalau kau begitu suka dengan bayi, kenapa tidak segera menikah dan punya anak sendiri?” Lydia geleng-geleng kepala melihat tingkah adiknya itu. Hari ini, Lydia berkunjung ke rumah mamanya. Kebetulan dia sudah agak lama tak berkunjung karena sibuk dan baru saja sembuh dari sakit. Anak-anak dibiarkan bermain di lantai yang sudah dialasi karpet tebal. Tak lupa juga para pengasuh dan pengurus rumah berjaga di sekitar bocah-bocah itu. “Aku suka bayi, tapi masih terlalu muda untuk menikah. Lagi pula, aku baru masuk kerja. Aku harus kumpul banyak uan
“Bagaimana?” Lydia berlarian mendatangi adiknya yang berdiri di depan ruang operasi. Liani sudah diatur akan dirujuk ke rumah sakit mana ketika melahirkan nanti. Letaknya berada di antara rumahnya dan rumah Lydia. Sengaja seperti itu agar bisa memudahkan semua orang. Rumah sakit yang sama dengan Lydia dulu. Lydia bahkan sempat menyusui Melody dulu sebentar, sebelum meninggalkan bayinya dengan mama Clarissa. Untung saja bayinya anteng dan tidak terlalu rewel, sehingga Lydia dan Reino bisa segera ke rumah sakit. “Mama masih di dalam. Dia baru masuk sekitar lima belas menit lalu karena tadi diperiksa dulu,” jelas Kenzo dengan panik. “Tidak apa-apa. Kau tidak perlu sepanik itu. Mama hanya melahirkan.” Lydia mengusap lengan adiknya. “Ya, tapi ... perut mama akan dibedah untuk mengeluarkan dua bocah itu. Itu tetap saja menakutkan.” Kenzo malah bergidik ketika membayangkannya. “Bagaimana nanti kau menemani istrimu melahirkan kalau kau selemah itu?” tanya Reino sambil menggelengkan kepal
“Bagaimana rasanya jadi seorang ibu?” Erika menanyakan hal itu pada Lydia. “Luar biasa,” jawab perempuan yang baru saja melahirkan beberapa minggu lalu itu. “Ternyata cukup menyenangkan.” “Cukup menyenangkan?” tanya Cinta dengan mata melotot. “Memangnya anakmu tidak pernah terbangun tengah malam? Tidak pernah rewel?"“Rewel.” Lydia mengangguk pelan, sambil melihat anaknya yang baru saja tertidur itu. “Tapi kan banyak yang bantuin.” “Yeah, the power of money. Ada pengasuhnya.” Vanessa memutar bola matanya karena gemas. Lydia tertawa cukup keras. Yang dikatakan Vanessa itu memang tidak salah. Reino memang menyewa pengasuh untuk membantu Lydia mengurus Melody. Ada juga mama mertua baik hati yang mau membantu dan Reino juga cukup siaga. Bisa dikatakan hidup Lydia benar-benar nyaman. Dia benar-benar hanya menyusui putrinya dan membantu memakaikan baju. Selebihnya akan dilakukan pengasuh atau mama mertua. “Kalau kau kewalahan, coba ambil pengasuh. Punya dua bayi pasti lebih repot.” L
“Aku takut.” Lydia terlihat sudah ingin menangis ketika mengatakan itu. “Tidak perlu takut. Kau akan baik-baik saja.” Reino mengecup istrinya yang sudah berganti pakaian dengan jubah operasi yang steril. Yap. Hari ini pada akhirnya ibu hamil itu akan melahirkan dengan prosedur operasi cesar menggunakan metode ERACS. Itu adalah jenis operasi yang bisa membuat Lydia tak perlu tinggal lama di rumah sakit karena pemulihannya lebih cepat. Sebenarnya Lydia ingin mencoba normal, tapi dia tak bisa melakukan itu. Ukuran bayinya terlalu besar, sementara panggulnya agak kecil. Tidak tanggung-tanggung berat bayi dalam kandungan diperikan sudah melebihi tiga koma lima kilo. Itu membuat Lydia kesulitan berjalan selama trisemester akhir.“Kau tidak perlu takut.” Ibu mertua Lydia menenangkan menantunya. “Zaman sudah modern dan alat kedokteran juga sudah canggih. Semua akan aman.” “Aku juga akan mendampingimu.” Reino mengelus lengan istrinya yang makin bertambah gemuk, seiring pertumbuhan si bay
“Bagaimana ini?” Liani tampak panik ketika melihat putrinya sampai ke rumah lama mereka. “Mama kenapa?” Lydia segera menaruh tasnya di sofa dan duduk di samping sang ibu dengan wajah cemas. “Tadi mamamu ada sedikit flek.” Pak Hadi yang akhirnya menjelaskan kondisi calon istrinya itu. “Jadi kami pergi ke dokter karena Liani agak khawatir dan ternyata ....” “Kantong janinnya ada dua,” lanjut Liani memotong kalimat calon suaminya. “Hah?” Reino dan Lydia bergumam bersamaan. “Sepertinya kembar.” Lagi-lagi Hadi yang menjawab. “Maaf, Lyd. Mama bener-bener gak sengaja. Padahal kau sudah mengatakan hanya ingin satu adik lagi, tapi pada akhirnya jadi dua. Mama khawatir padamu.” Liani makin panik saja. Jujur saja, Lydia sangat syok. Dia tak menyangka akan mendapat dua adik lagi dan ingin protes, tapi mau apa lagi? Sudah terjadi juga dan dia tak bisa menyalahkan sang mama. Liani jelas tidak bisa mengontrol hal seperti itu. “Tidak apa-apa kok, Ma.” Lydia akhirnya berbicara setelah diam cu
Setelah menjalani pemeriksaan, rupanya Liani benar-benar hamil. Baru sekitar sebulan, tapi itu membuatnya jadi cemas. Bukan saja cemas ini akan membuatnya kelelahan di hari pernikahan, tapi juga cemas dengan Lydia dan Kenzo. Biar bagaimana, pendapat kedua anaknya itu penting. “Wuah.” Kenzo langsung memekik senang mendengar kabar itu. “Aku akan punya adik? Sungguh?” Liani senang ketika melihat putra bungsunya itu antusias mendengar berita bahagia yang satu itu. Artinya sekarang tinggal Lydia saja. “Asal jangan banyak-banyak. Kalau satu masih bisa kumaklumi.” Pada akhirnya hanya itu yang bisa dikatakan Lydia pada ibunya, walau dengan tampang yang masih tak rela. Desahan napas lega langsung terdengar ketika Liani mendengar kalimat putrinya. Setidaknya kini tak ada lagi yang membebani pikirannya, selain harus segera menutup kandungan setelah melahirkan nanti. “Terima kasih karena mau memberi Mama satu kesempatan lagi,” bisik Liani memeluk lengan putrinya yang terasa makin gemuk.
Lydia menatap Pak Hadi dengan tajam. Ibu hamil itu sudah beberapa menit seperti itu dan membuat Pak Hadi jadi salah tingkah. Bahkan Reino pun jadi agak salah tingkah. “Anu, Mbak. Ada apa saya tiba-tiba dipanggil?” tanya Hadi merasa sudah terlalu lama berdiri di depan kedua bosnya. “Apa kau sudah bosan hidup?” Lydia bertanya dengan nada ketus. “Tentu saja saya masih ingin hidup karena saya akan menikah sebentar lagi,” jawab Hadi tanpa berpikir. “Ya, itu. Kau kan sudah akan menikah, jadi kenapa membuat ibuku hamil di luar nikah?” Lydia menghardik dengan nada yang masih sama kesalnya. “Oh? Apa Liani sudah melakukan tes?” tanya Hadi tanpa merasa bersalah sama sekali. “Tunggu dulu.” Tiba-tiba saja Reino menyela. “Maksudmu Mama Liani hamil?” tanya lelaki itu dengan mata melotot. “Maksudnya kau akan punya adik lagi?” Reino kembali bertanya setelah istrinya mengangguk. “Anak dari Hadi?” Suara Reino makin lama makin membesar. Dia sungguh amat sangat terkejut mendengar berita ya