FEBRUARI, 03
Kau getarkan duniaku
Mendorongku ke ujung tanduk, membuatku pusing setengah mati
Karena kau yang memulai semuanya maka kau yang harus menghentikannya~
Suara high heels yang melangkah dengan irama yang selaras terdengar samar di tengah keramaian pusat perbelanjaan kota.
Gadis dengan rambutnya yang dikuncir kuda itu berjalan dengan gemulai, membuat dress kuning selutut yang ia kenakan beberapa kali melompat lompat sesuai pergerakan kakinya.
"Hey, kau sendiri?"
Gadis itu mendengus, melangkah tanpa mengindahkan panggilan genit dari pria yang baru saja melewatinya.
Mengharapkan sapaan ramah dari gadis ini hanyalah impian semata.
Dia adalah Wendy, yang hanya akan memberikan senyumannya pada pria yang bernama Tirtan, pria yang merupakan pelanggan, dan anak laki laki yang menggemaskan.
Dia Wendy.
Dia bukan gadis murahan.
"Apa kau sudah sampai?"
Adalah suara yang keluar dari ponselnya, suara seorang pria yang kentara sekali rasa khawatirnya.
"Hmm... Sedikit lagi aku sampai."
Wendy melirik kanan dan kiri, memastikan tempatnya berada saat ini. "Mungkin beberapa meter lagi."
"Apa aku tinggalkan saja pekerjaan ini dan menjemputmu?"
Wendy tertawa pelan, mendengar Tirtan di panggilannya yang ke 5 ini benar benar menggemaskan. Dia sama sekali tak bisa membiarkan Wendy pergi sendirian.
"Ayolah, Kak. Aku ini sudah besar."
"Justru karena kau sudah besar."
Wendy menggeleng geleng. "Kak, kerjakan saja pekerjaanmu itu dengan tenang, akan ku suruh Amel membuatkanmu makanan kesukaanku."
"Kenapa makanan kesukaanmu?"
"Karena aku akan segera pulang dan makan siang bersamamu, bodoh."
Kemudian hanya ada keheningan di sambungan telepon tersebut.
"Ah.... Iya juga?" dan kekehan Tirtan terdengar jelas dari sana.
"Sudah dulu ya, aku sudah sampai, see you love~"
"See you love~~"
Wendy mematikan ponselnya, memasukannya ke dalam tas selempang yang sedang ia kenakan.
Di depannya adalah sebuah butik dengan papan nama "Karin Style", butik yang selama ini menjadi tempat langganannya untuk membeli baju baik untuk dirinya sendiri maupun untuk Tirtan.
"Selamat datang Nona Wendy."
Wendy tersenyum ramah pada seorang wanita paruh baya di depannya.
"Bu Karin..!" Wendy setengah berlari ke arah orang itu, memberinya pelukan erat sebelum kembali menatap wajah Karin yang tak kalah senang. "Aku sangat merindukanmu, kemana saja kau beberapa bulan ini?"
Karin melepaskan pelukan dari Wendy dan menghela nafasnya kasar.
"Yah, memiliki seorang anak yang merepotkan membuatku harus menemaninya saat dia kecelakaan kemarin."
"Astaga! Apa yang terjadi?" Wendy menatap Karin penuh prihatin, namun Karin malah membalasnya dengan tawa frustasi.
"Hahaha, cecunguk itu menabrak pohon beringin saat sedang menyetir, ah... Rasanya pembuluh darahku hampir pecah kalau mengingatnya."
Wendy terkikik geli mendengar helaan nafas kasar dari Karin.
Karin adalah seorang pengrajin baju yang namanya kurang terkenal di kota. Dirinya sudah cukup usia, dengan beberapa rambut putih yang sudah tumbuh di kepala.
Suatu hari, belum lama dari kedatangannya ke ibu kota, tempat Karin lah yang pertama kali Wendy kunjungi.
Sebuah butik sepi dengan banyaknya model baju yang menarik.
Tinggal sendiri di Ibu kota untuk menafkahi anaknya yang tinggal di desa membuat Karin yang saat itupun sudah cukup tua harus kewalahan tanpa manajemen yang tepat.
Maka dari itu Wendy (yang sebelumnya belajar dari memperhatikan Tirtan) mengajari Karin bagaimana cara melakukan promosi di sosial media dan memanajemen usahanya.
Kini butik Karin sudah cukup ramai, dengan satu cabang di luar kota. Menjadikan Wendy sebagai pelanggan kesayangannya.
"Kau harus menyuruhnya untuk menikah, Bu. Biarkan istrinya yang mengurusnya."
Karin hanya mengedikkan bahunya.
"Yah, seandainya saja anakku tidak sleboran seperti itu, gadis gadis pasti sudah mengantri untuknya."
Kemudian Karin menarik Wendy ke salah satu rak pakaian yang cukup jauh dari jangkauan tangan pelanggan biasa.
"Aku baru saja membuatnya beberapa hari yang lalu setelah ku dengar kalian akan membuat cabang cafe yang baru, ku rasa kalian perlu setelan untuk pesta pembukaannya."
Wendy terpana, melihat sebuah gaun panjang berwarna biru tua di depannya.
Gaun dengan lengan tangan pendek dilapisi brukat yang berwarna senada, dengan bagian tulang selangka yang terekspos, bagian pinggang gaun yang terlihat kecil pasti akan sangat pas memeluk pinggang Wendy, bagian bawah tubuh gaun yang fit to body sampai bawah pasti akan memberikan kesan yang sangat sexy pada tubuh Wendy.
Di samping keindahan gaun itu, Wendy malah melirik Karin penuh selidik.
"Aku tahu aku tahu~" Karin mengangkat tangannya ke udara, seolah tahu arti dari lirikan tajam Wendy. "Aku tahu Tirtan akan mengomel padamu setelah acara jika kau mengenakan gaun ini."
Wendy mengangguk dengan setuju. "Ya, terkadang Tirtan memang sangat menyebalkan."
"Tapi Wendy, bayangkan, kau akan menjadi yang tercantik dengan mengenakannya. Oh Tirtan seharusnya belajar cara berbagi adiknya pada pria lain."
Wendy hanya melirik Karin jenaka dan mendengus geli. "Tidak ada yang sebaik Tirtan di dunia ini, Bu Karin."
"Lagi! Gasendra Group berhasil mencetak kesuksesan di dunia perbisnisan Indonesia....."
Samar samar suara nyaring berita tv terdengar di telinga Wendy yang masih sibuk meneliti gaun buatan Karin di depannya, sedangkan Karin sudah melenggang mendekatkan dirinya pada tv yang berada di ruang tunggu.
"Apa kau yakin, Wendy?"
Wendy melirik Karin yang sudah bersedekap di depan tv sembari menatap intens pria yang ada di layar tersebut.
"Semua kesuksesan ini saya dapatkan tentu saja berkat dari semua orang yang berperan dalam aktivitas Gasendra Group setiap harinya."
Wendy menghampiri Karin, matanya tak henti melihat pemuda yang membungkuk sopan, hanya sebentar, sangat sebentar, sebelum akhirnya pergi berjalan dengan cepat meninggalkan wartawan bersama dengan para pengawalnya.
"Lihat, betapa tampan, mapan, dan sopannya pemuda itu." Karin menggigit jarinya gemas, menyesal karena sudah terlahir lebih awal dari penerus Gasendra tersebut.
"Ey, Bu Karin, almarhum suamimu akan sedih kalau mendengarnya." Wendy menyenggol pundak Karin dengan jenaka, tapi kemudian matanya kembali melirik layar tv, merasa tak asing dengan orang yang ada di dalamnya.
"Aku seperti pernah melihatnya..." Lanjut Wendy dengan pelan.
"Ha! Tentu saja!" Karin kemudian berbalik, berniat melanjutkan pekerjaannya. "Siapa yang tak kenal dan tak pernah melihat Damon si penerus Gasendra Group? Wajahnya ada di seluruh stasiun tv dan majalah."
Wendy menggeleng pelan, bukan di tv ataupun majalah, karena Wendy jarang melihat keduanya. Tapi kemudian dia hanya mengangguk mengiyakan ucapan Karin.
"Ya... Mungkin."
~ o o o ~
Wendy berjalan dengan perasaan riang, dengan tangan kanan membawa setelan gaun dan jas untuknya dan Tirtan, tangan kirinya membawa belanjaan untuk Amel yang merengek ingin memasak resep baru.
Suasana pusat perbelanjaan kota di sore hari memang sangat ramai, untung saja Karin memberikan Wendy sepasang sepatu tua miliknya agar lebih nyaman berjalan jalan.
"Taksi!"
Wendy mengangkat tangannya, melambai pada seorang supir taksi yang tengah memperhatikannya penuh harap.
"Mau kemana nona?" Supir taksi itu dengan ceria menghampiri Wendy, mengulurkan tangannya untuk mengambil alih belanjaan Wendy dan membukakan pintu dari kursi tengah mobil.
"Antar aku ke cafe Ethereal di utara kota, kau tahu?"
Supir taksi itu menepuk nepuk dadanya dengan bangga. "Tentu saja! Tidak ada satu tempat pun di kota ini yang tak aku tahu."
Wendy terkekeh kecil saat pria paruh baya itu membusungkan dadanya dengan sombong. "Baik baik, aku percaya aku percaya."
Tapi saat Wendy hendak memasuki pintu taksi tersebut, sebuah silhouette seseorang yang dia kenal melewati dirinya.
Seseorang yang melihatnya saja sudah membuatnya mendidih penuh amarah.
"Cheline?"
Wendy dengan cepat menutup kembali pintu taksi, membuat supir tersebut mengerutkan keningnya bingung, karena Wendy menutup pintu taksi yang di dalamnya masih penuh dengan belanjaan yang dia bawa.
"Pak, bisa tunggu saya di sini sebentar? Ada seseorang yang harus ku kejar."
Supir taksi tersebut mengangguk pelan, meskipun tak begitu mengerti dengan maksud dari yang Wendy katakan.
Di sisi lain Wendy sudah mulai terengah, matanya dengan jelas melihat wanita berambut panjang dengan tubuh ramping tersebut.
Keramaian pusat perbelanjaan membuatnya linglung dengan orang orang yang berlalu lalang.
"Cheline?"
Tapi matanya dengan cepat menangkap bayang dari sosok wanita yang sedang berada di dalam restoran mewah...
....dengan pria yang memeluk pinggangnya mesra dan mengelus tangannya lamban.
Pria yang bukan Tirtan.
Pria yang bukan Kakaknya.
Siang itu Wendy meninggalkan pusat perbelanjaan dengan tangan terkepal dan nafas yang memburu marah.
~ o o o ~
Hawa di dalam taksi benar benar mencekam, Wendy tadi datang dan langsung membanting pintu taksi membuat sang supir mengerut ketakutan.
Wanita murahan sialan.
Memang benar jika Wendy bilang dia murahan, berani beraninya dia bermesraan dengan pria lain yang bukan Kakaknya.
"Nona?"
Supir taksi paruh baya itu membeo dengan pelan, masih takut dengan aura kelam di sekitar tubuh Wendy.
Rambut lebatnya lepek karena keringat dingin dari emosi yang dia rasakan, tangannya bergetar dengan hebat dan mulutnya memucat.
"Nona, kita sudah sampai." lagi, pria itu melirik ke arah kursi penumpang, memerhatikan Wendy dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan perasaan khawatir.
Wendy tersentak kaget, matanya dengan teliti melihat bangunan cafe di depannya kemudian menghembuskan nafasnya pelan, tangannya dengan cepat merogoh dompet dari dalam tas mungilnya dan mengambil beberapa lembar uang untuk disodorkan pada supir tersebut.
"Tapi, nona, uangnya terlalu banyak."
Wendy menggeleng dengan pelan. "Itu untuk permintaan maaf karena sudah merepotkan dan membuat tidak nyaman."
Kemudian Wendy turun dari taksi tersebut, mengangkat kantung kantung belanjaannya dan hendak pergi jika saja sebuah tangan tidak menahan salah satu kantung belanjaan yang dia bawa.
"Tunggu, nona."
Supir taksi paruh baya itu -sepertinya seumuran dengan Karin- merogoh rogoh kantung bajunya, mengeluarkan sebuah kertas kotak berwarna putih dengan tulisan hitam di atasnya.
"Kartu nama saya."
Jika saja mood Wendy tidak sedang hancur, dia pasti terkikik geli saat melihat wajah penuh perasaan yakin dan bangga dari supir taksi tersebut saat menyodorkan kartu nama sederhana itu padanya.
Udin.
Supir taksi ideal anda, hubungi 08xxxxx
"Terima kasih, Pak Udin."
Bahkan membaca kartu tersebut dalam hati membuat lidah Wendy merasa geli.
"Nona, Nona adalah gadis yang baik. Siapapun yang menyakiti Nona benar-benar orang jahat, jika Nona membutuhkan taksi untuk memergoki perselingkuhan atau kabur dari permasalahan silahkan hubungi saya, gratis untuk nona."
Belum sempat Wendy berbicara, Udin sudah menancapkan gas dan melaju dengan pesat dengan taksinya, sepertinya Udin ingin sekali dilihat keren di matanya. Udin pasti salah paham dengan tingkah Wendy, dia kira Wendy pasti habis diselingkuhi atau di campakkan.
Mengedikan bahunya, Wendy memasukan kartu nama Udin ke dalam pursenya.
Berjalan menuju cafenya, bersiap untuk menghadapi bencana besar yang sebentar lagi akan menimpanya.
FEBRUARI, 03Kriiing"Selamat datang di Ethereal~"Wendy mengangguk pada karyawan paruh waktu yang baru saja mulai bekerja kemarin, matanya mengitari suasana cafe sebentar.Bagus, tidak terlalu ramai.Entah kenapa Wendy merasa dia akan membuat sebuah kerusuhan besar sebentar lagi. "Di mana Tirtan, Rama?"Rama, sang waiter paruh waktu tersebut dengan sigap mengambil alih belanjaan yang terlihat seperti bahan-bahan dapur dari tangan Wendy dan tersenyum. "Ada di atas, Kak."Iya, Rama lebih muda 5 tahun dari Wendy, seorang mahasiswa semester satu, seorang anak rantau dan butuh uang untuk kehidupan sehari harinya.
FEBRUARI, 05 "Aku bisa merasakan bahwa aku dalam bahaya, Aku tidak bisa melarikan diri Satu langkah ceroboh dan aku tak sadarkan diri Aku tidak bisa tenang, sangat darurat. Terlalu berbahaya" Dimana Damon mulai terobsesi dengan Wendy. Sore hari ini terasa hangat, suara suara melengking dari anak anak yang sedang berjalan bergerombolan di trotoar membuat Damon mengerutkan keningnya tak suka. "Tuan." Vino memasuki mobil dan menduduki kursi pengemudi, mengeluarkan satu kopi dingin dengan nama Ethereal di atas gelas kartonnya dan menaruhnya di cup holder mobil di hadapan Damon.
Maka tersenyumlah, karena tangismu akan segera tiba Tertawalah, karena raungmu akan segera terdengar Sayangku, satu-satunya keahlianku adalah membuat orang bahagia sebelum ku jatuhkan dalam derita "Jangan lihat-lihat!" Lagi, suara protes wanita terdengar di telinga Wendy. Meski malam, taman kota masih ramai dengan muda mudi yang sedang asik berbagi kasih. Beberapa kali Wendy mendengar cibiran wanita yang prianya terus terusan melirik ke arah Wendy. Iya, Wendy tahu. Pasti beberapa orang mengira Wendy ini bahkan seorang pekerja seksual yang sedang man
Jangan angkat ponselmu yang berdering. Jangan beri tahu siapapun, biarkan saja, kenapa kau cemas? Tak apa, aku tahu isi hatimu. Beri tahu aku semua rahasiamu. 10 Tahun Sebelum Kejadian. 10 tahun yang lalu, saat itu Damon adalah mahasiswa baru di perguruan tinggi nomor 1 di Indonesia. Menyandang nama Gasendra membuat puluhan mata langsung tertuju padanya, entah itu pandangan kagum, pandangan iri atau pandangan memuja. Damon sudah biasa dengan semuanya. Yang tidak biasa adalah dua orang yang sedang asik
FEBRUARI, 20 Keseharian Wendy kembali berjalan normal. Tirtan sudah kembali seperti biasa bahkan semakin manis padanya dan selalu berhati-hati dalam menyentuhnya. Meskipun cabang cafe sudah dibuka dan memiliki tempat yang lebih besar, Tirtan dan Wendy tetap memilih untuk mengerjakan semuanya dari tempat pertama. "Rama, tolong bantu Amel membawa belanjaan ke dapur." Wendy yang sedang mengelap kaca menyempatkan diri untuk mennguncir rambutnya menjadi cepol yang tinggi. Hari ini entah kenapa suasananya sangat menyenangkan, Wendy sedang merasa sangat positif dan bersemangat, membuat dua karyawannya ikut-ikutan gembira. "L, is for the way you look at me~" Lantunan indah dari bibir Wendy membuat Amel dan Rama yang sedang membenahkan sekitar ikut mengangguk angguk mengikuti irama dan menggumam. DihandphoneWendy sudah terputar sebuahplaylistYoutube dengan judul "Kumpulan lagu
"Tunjukan semuanya padaku, jangan buat semua uang yang ku hamburkan padamu sia-sia."Damon GasendraPria dominan yang di gadang-gadang manusia setengah dewa. Kaya dan tampan sejak lahir membuatnya menjadi seorang sadistik yang angkuh pun arogan.Penyandang nama Gasendra dan penerus Gasendra Group membuatnya menjadi orang paling berpengaruh nomor satu di Indonesia sejak digantikannya posisi sang Ayah di usianya yang masih tergolong muda.Kelebihan lainnya tentu saja, penampilan.Kabarnya, tidak ada satu pria pun di negara ini yang memiliki ketampanan melebihi dirinya. Mata cokl
-Ethereal- (kata sifat)"Sesuatu yang begitu indah, yang terlalu sempurna untuk dunia"Wendy bukanlah wanita cengeng dan manja, merasakan penderitaan sedari kecil membuatnya tumbuh sebagai wanita dengan mental tangguh.Hanya satu orang yang dapat melihat sisi manja dan cengeng dirinya.Tirtan, sang Kakak laki-laki, satu-satunya anggota keluarga yang tersisa setelah Ibunya meninggal.Tumbuh dalam lingkungan penuh kekerasan, Wendy akan senantiasa dibawa bersembunyi di dalam lemari pakaian bersama sang Kakak saat mereka masih kecil."Kita sembunyi di sini ya? Jangan takut, ada Kakak di sini."
JANUARI, 18,Suara decitan sepatu terdengar di sepanjang lorong, tak ada satu orang pun yang tidak menunduk saat melihat bayangannya mendekat.Damon, dengan setelannya yang sudah kusut berjalan dengan gagah menuruni elevator dari lantai 30. Keningnya bertaut tidak santai, menandakan jam kerjanya yang sudah terlewat batas, meski begitu Damon tetap terlihat memesona.Kaki jenjangnya saat melangkah, otot-ototnya yang masih menonjol meski sudah di lapisi setelan dan tentu saja wajahnya yang membuat segala pria di sekitar terlihat seperti butiran debu halus atau bersin tikus."Jadwal apa saja yang ku punya malam ini?"Damon dengan mata tajamnya menatap satu per satu karyawan yang dia lewati, memastik
FEBRUARI, 20 Keseharian Wendy kembali berjalan normal. Tirtan sudah kembali seperti biasa bahkan semakin manis padanya dan selalu berhati-hati dalam menyentuhnya. Meskipun cabang cafe sudah dibuka dan memiliki tempat yang lebih besar, Tirtan dan Wendy tetap memilih untuk mengerjakan semuanya dari tempat pertama. "Rama, tolong bantu Amel membawa belanjaan ke dapur." Wendy yang sedang mengelap kaca menyempatkan diri untuk mennguncir rambutnya menjadi cepol yang tinggi. Hari ini entah kenapa suasananya sangat menyenangkan, Wendy sedang merasa sangat positif dan bersemangat, membuat dua karyawannya ikut-ikutan gembira. "L, is for the way you look at me~" Lantunan indah dari bibir Wendy membuat Amel dan Rama yang sedang membenahkan sekitar ikut mengangguk angguk mengikuti irama dan menggumam. DihandphoneWendy sudah terputar sebuahplaylistYoutube dengan judul "Kumpulan lagu
Jangan angkat ponselmu yang berdering. Jangan beri tahu siapapun, biarkan saja, kenapa kau cemas? Tak apa, aku tahu isi hatimu. Beri tahu aku semua rahasiamu. 10 Tahun Sebelum Kejadian. 10 tahun yang lalu, saat itu Damon adalah mahasiswa baru di perguruan tinggi nomor 1 di Indonesia. Menyandang nama Gasendra membuat puluhan mata langsung tertuju padanya, entah itu pandangan kagum, pandangan iri atau pandangan memuja. Damon sudah biasa dengan semuanya. Yang tidak biasa adalah dua orang yang sedang asik
Maka tersenyumlah, karena tangismu akan segera tiba Tertawalah, karena raungmu akan segera terdengar Sayangku, satu-satunya keahlianku adalah membuat orang bahagia sebelum ku jatuhkan dalam derita "Jangan lihat-lihat!" Lagi, suara protes wanita terdengar di telinga Wendy. Meski malam, taman kota masih ramai dengan muda mudi yang sedang asik berbagi kasih. Beberapa kali Wendy mendengar cibiran wanita yang prianya terus terusan melirik ke arah Wendy. Iya, Wendy tahu. Pasti beberapa orang mengira Wendy ini bahkan seorang pekerja seksual yang sedang man
FEBRUARI, 05 "Aku bisa merasakan bahwa aku dalam bahaya, Aku tidak bisa melarikan diri Satu langkah ceroboh dan aku tak sadarkan diri Aku tidak bisa tenang, sangat darurat. Terlalu berbahaya" Dimana Damon mulai terobsesi dengan Wendy. Sore hari ini terasa hangat, suara suara melengking dari anak anak yang sedang berjalan bergerombolan di trotoar membuat Damon mengerutkan keningnya tak suka. "Tuan." Vino memasuki mobil dan menduduki kursi pengemudi, mengeluarkan satu kopi dingin dengan nama Ethereal di atas gelas kartonnya dan menaruhnya di cup holder mobil di hadapan Damon.
FEBRUARI, 03Kriiing"Selamat datang di Ethereal~"Wendy mengangguk pada karyawan paruh waktu yang baru saja mulai bekerja kemarin, matanya mengitari suasana cafe sebentar.Bagus, tidak terlalu ramai.Entah kenapa Wendy merasa dia akan membuat sebuah kerusuhan besar sebentar lagi. "Di mana Tirtan, Rama?"Rama, sang waiter paruh waktu tersebut dengan sigap mengambil alih belanjaan yang terlihat seperti bahan-bahan dapur dari tangan Wendy dan tersenyum. "Ada di atas, Kak."Iya, Rama lebih muda 5 tahun dari Wendy, seorang mahasiswa semester satu, seorang anak rantau dan butuh uang untuk kehidupan sehari harinya.
FEBRUARI, 03Kau getarkan duniakuMendorongku ke ujung tanduk, membuatku pusing setengah matiKarena kau yang memulai semuanya maka kau yang harus menghentikannya~Suara high heels yang melangkah dengan irama yang selaras terdengar samar di tengah keramaian pusat perbelanjaan kota.Gadis dengan rambutnya yang dikuncir kuda itu berjalan dengan gemulai, membuat dress kuning selutut yang ia kenakan beberapa kali melompat lompat sesuai pergerakan kakinya."Hey, kau sendiri?"Gadis it
2 BULAN SEBELUM KEJADIAN. JANUARI, 22 Tik Tok Tik Tok Denting jam seolah menggema di dalam ruangan gelap ini, satu titik cahaya terpancar dari sebuah lampu kecil (lampu belajar) diatas meja. Suara coretan coretan kertas terdengar menggema kemana mana, suara lembaran kertas yang dibalik dan ketikan pada komputer saja yang menjadi iringan suara denting jam ini. Sedikitnya terlihat dari pantulan bulan yang ada di luar jendela, jam dinding besar tua itu menunjukan angka 2 pada jarum kecilnya. Pria itu tak terusik sedikitpun dengan kesunyian yang ada, atau bahkan dengan gelapnya ruangan. Berkas berkas yang berserakan di meja kerjanya pun tak menghilangkan
JANUARI, 21 "Tuan." Damon berhenti menatap keluar dari jendela besar kamarnya. Entah mengapa kenangan buruk dari masa lalu tiba tiba datang menghampirinya. Membuat moodnya tiba tiba turun dan enggan melakukan apa pun kecuali melamun. Saat ini, Vino berdiri tepat di depan meja kerja Damon, di dalam mansion yang merupakan tempat tinggal utama setiap penerus Gasendra sebelum pensiun dan kembali menyerahkannya pada sang penerus. "Sudah kau dapatkan?" Damon berjalan pelan, sudah tak ada jas yang membalut tubuhnya. Yang ada hanyalah sebuah jubah tidur berwarna hitam yang membuat dada bidangnya terintip setiap dia berjalan. "Sudah, Tuan."
JANUARI, 18,Suara decitan sepatu terdengar di sepanjang lorong, tak ada satu orang pun yang tidak menunduk saat melihat bayangannya mendekat.Damon, dengan setelannya yang sudah kusut berjalan dengan gagah menuruni elevator dari lantai 30. Keningnya bertaut tidak santai, menandakan jam kerjanya yang sudah terlewat batas, meski begitu Damon tetap terlihat memesona.Kaki jenjangnya saat melangkah, otot-ototnya yang masih menonjol meski sudah di lapisi setelan dan tentu saja wajahnya yang membuat segala pria di sekitar terlihat seperti butiran debu halus atau bersin tikus."Jadwal apa saja yang ku punya malam ini?"Damon dengan mata tajamnya menatap satu per satu karyawan yang dia lewati, memastik